Oleh :
Nama
NIM
: 410015013
Kelas
: km.3.1
DAFTAR ISI
Halaman judul..
Daftar isi..
Kata pengantar.
BAB I Pendahuluan.
1.1 Latar belakang ..
1.2 Maksud dan tujuan
a. Analisa Granulometri..
b. Analisa bentuk kerakal.
c. Analisa komposisi butir sedimen.
BAB II Lokasi (Letak & kesampaian)
2.1 Lokasi (data utama ditambah data pendukung).
2.2 Kesampaian (data utama ditambah data pendukung)
BAB III Dasar Teori
3.1 Analisa Granulometri
3.2 Analisa bentuk kerakal..
3.3 Analisa komposisi butir sedimen..
BAB IV Hasil dan Pembahasan.
4.1 Keadaan Lokasi utama dan pendukung ( Foto, arah sungai, keadaan
system DAS sungai) visual & narasi
4.2 Hasil Granulometri.
Hasil (perhitungan dan grafik dari data utama dan data pendukung)
Interpetasi data utama dan data pendukung
Hasil (perhitungan dan grafik dari data utama dan data pendukung)
Interpetasi data utama dan data pendukung
4.5 Interpetasi mekanisme sedimentasi pada system sungai data utama dan
data pendukung
BAB V Penutup..
5.1 Kesimpulan..
5.2 Kritik & Saran..
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Brandon Marcelo.MP
BAB I
PENDAHULUAN
I.2.
a. Analisa granulometri
BAB II
LOKASI (LETAK DAN KESAMPAIAN)
BAB III
DASAR TEORI
3.1.ANALISA GRANULOMETRI
Analisis granulometri merupakan suatu analisis tentang ukuran butiran
sedimen. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat resistensi butiran
sedimen terhadap proses-proses eksogenik seperti pelapukan erosi dan abrasi
dari provenance, serta proses transportasi dan deposisinya. Hal-hal tersebut
merupakan variabel penting dalam melakukan suatu interpretasi.
Tingkat resistensi suatu batuan dapat dilihat dari ukuran butirnya. Prosesproses eksogenik akan mengubah bentuk dan ukuran suatu partikel sedimen.
Nah, yang mungkin awalnya runcing-runcing, atau ukuran butirnya masih
gede-gede, lama kelamaan kan seiring waktu akan berubah karena proses
eksogenik itu. Sedangkan proses transportasi dan deposisi memperlihatkan
proses bagaimana agen utama seperti air menggerakkan dan mengendapkan
butiran sedimen.
Menurut Boggs (1987), ada 3 faktor yang mempengaruhi ukuran butir batuan
sedimen, yaitu variasi ukuran butir sedimen asal, proses transportasi, dan
energi pengendapan. Data-data hasil analisis ukuran butir sedimen tersebut
digunakan untuk mengetahui 3 faktor tersebut secara jelas.
Tabel 1.1 Skala dan Konversi Ukuran Butir (modifikasi Wentworth, 1922 dalam
Boggs, 2006)
Semakin besar ukuran butir dalam mm, maka nilai phi akan semakin negatif.
Sebaliknya, semakin kecil ukuran butir dalam mm, maka nilai phi akan
semakin positif. Krumbein memilih logaritma negatif dari ukuran butir (mm)
karena ukuran pasir dan butiran halus lebih sering dijumpai pada batuan
sedimen.
Analisis distribusi ukuran sedimen dapat dilakukan dengan cara melakukan
pengukuran langsung terhadap material sedimen berukuran gravel, dan
pengayakan kering pada material sedimen berukuran pasir dan lempung.
Untuk mendapatkan sampel yang mampu mewakili semua sampel itu sendiri,
maka dilakukan splitting. Metode splittingyang digunakan dalam praktikum
adalah quartering. Quartering dilakukan dengan cara menuangkan sampel
melalui suatu corong di atas karton yang disilangkan saling tegak lurus
sehingga sampel akan terbagi dalam 4 kuadran. Proses ini diulang-ulang
hinggai diperoleh berat sampel yang diinginkan.
Ada beberapa metode atau cara yang dilakukan untuk menganalisis distribusi
ukuran butir, yaitu cara grafis dan cara matematis. Analisis yang dilakukan
bertujuan untuk mendapatkan beberapa parameter. Parameter nilai pada
pengukuran butir sedimen antara lain ukuran butir rata-rata (mean),
keseragaman butir (sorting), skewness, dan kurtosis. Parameter tersebut
dapat ditentukan nilainya berdasarkan perhitungan secara grafis maupun
secara matematis. Perhitungan secara grafis menggunakan persamaan yang
berdasarkan nilai phi pada sumbu horizontal kurva prosentase frekuensi
kumulatif. Sedangkan perhitungan matematis menggunakan rumus umum
momen pertama dengan asumsi bahwa kurva distribusi frekuensinya bersifat
normal (Gaussian).
Cara Grafis
Cara grafis dilakukan setelah melakukan pengayakan dan penimbangan
terhadap butiran sedimen. Butiran sedimen yang diayak dan ditimbang
berukuran pasir halus hingga pasir kasar. Setelah dilakukan pengayakan dan
penimbangan, data-data tersebut diplot dalam beberapa grafik dan
histogram. Salah satunya adalah kurva frekuensi kumulatif yang digunakan
untuk menentukan nilai phi pada persentil tertentu yang kemudian
dimasukkan dalam rumus moment. Rumus-rumus yang digunakan dalam
cara grafis adalah:
Median
Median adalah ukuran butir partikel tepat pada tengah-tengah populasi, yang
berarti separuh dari berat keseluruhan partikel adalah lebih halus sedangkan
separuh lainnya lebih kasar dari ukuran butir tersebut. Median dapat dilihat
secara langsung dari kurva komulatif, yaitu nilai phi pada titik dimana kurva
komulatif memotong nilai 50%.
Mode
Mode merupakan ukuran butir yang frekuensi kemunculannya paling sering
(paling banyak). Nilai mode adalah nilai phi pada titik tertinggi kurva
frekuensi.
Mean
Mean adalah nilai rata-rata ukuran butir. Pada umumnya ukuran butir ini
dinyatakan dalam phi ataupun dalam satuan mm.
Sortasi
Sortasi adalah nilai standar deviasi distribusi ukuran butir (sebaran nilai di
sekitar mean). Parameter ini menunjukkan tingkat keseragaman butir.
NilaiStandardDeviasi
Klasifikasi
<0,35
Verywellsorted
0,350,50
Wellsorted
0,500,71
Moderatelywellsorted
0,711,00
Moderatelysorted
1,002,00
Poorlysorted
2,004,00
Verypoorlysorted
>4,00
Extremelypoorlysorted
Skewness (Sk)
Skewness menyatakan derajat ketidaksimetrian suatu kurva. Bila Sk berharga
positif maka sedimen yang bersangkutan mempunyai jumlah butir kasar lebih
banyak dari jumlah butir yang halus dan sebaliknya jika berharga negatif
maka sedimen tersebut mempunyai jumlah butir halus lebih banyak dari
jumlah butir yang kasar.
Sk =
1
NilaiSkewness
Klasifikasi
+1.0sd+0,3
Veryfineskewness
+0,3sd+0,1
Fineskewness
+0,1sd0,1
Nearsymmetrical
0,1sd0,3
Coarseskewness
0,3sd1,0
Verycoarseskewness
Kurtosis
Kurtosis dapat menunjukan harga perbandingan antara pemilahan bagian
tengah terhadap bagian tepi dari suatu kurva. Untuk menentukan harga K
digunakan rumus yang diajukan oleh Folk (1968)
>3,00
NilaiKurtosis
Klasifikasi
<0,67
Veryplatycurtic
0,670,90
Platycurtic
0,901,11
Mesokurtic
1,111,50
Leptokurtic
1,503,00
Veryleptokurtic
Extremelyleptokurtic
Apabila dilihat dari aspek geometri bentukan dari butiran pasir tersebut,
bentuk prolatedan equant cenderung lebih mudah untuk tertransportasi
daripada bentuk oblate dan bladed.
b/a
c/b
Kelas
>2/3
< 2/3
Oblate (discoidal)
II
> 2/3
> 2/3
Equant (Equiaxial/spherical)
III
< 2/3
< 2/3
Bladed (Triaxial)
IV
< 2/3
> 2/3
Prolate (Rod-shaped)
Sphericity
Sphericity merupakan ukuran butiran hingga mendekati bentuk bola
(Surjono, 2011) < . Semakin tinggi nilai sphericity, maka butiran tersebut
semakin menyerupai bentuk bola. Menurut Wadell (1932), rumus untuk
mencari
nilai sphericityadalah.. Rumus
tersebut
kemudian
dikembangkan oleh Krumbein (1941) yang mengasumsikannya ke dalam
bentuk sumbu length (D ,panjang), intermediate (D , menengah), dan short
(D , pendek), dengan rumus
Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept
sphericityyang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang,
menengah dan pendek suatu partikel dan memasukkan pada rumus tersebut.
Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept sphericity tidak dapat
secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran
yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih
cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap
dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus tersebut, justru didapatkan nilai
yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri
pada sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity ( p)
atau sphericity proyeksi maksimum. Secara matematis p dirumuskan sebagai
perbandingan antara area proyeksi maksimum bola dengan proyeksi
maksimum partikel yang mempunyai volume sama.
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs
(1987) menyatakan bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang
dapat diperoleh pada semua bentuk butir
L
Roundness
Roundness merupakan ketajaman pinggir dan sudut suatu material sedimen
klastik. Menurut Wadell (1932), pengukuran roundness suatu butir dilakukan
dengan cara mengukur masing-masing sudut butiran tersebut, kemudian jarijari kelengkungan butiran tersebut dibandingkan dengan jari-jari lingkaran
maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut.
Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak
mungkin bisa dipraktekkan, sedangkan Boggs (1987) menegaskan bahwa cara
tersebut memerlukan waktu yang banyak untuk kerja di laboratorium dengan
harus
dibantu alat circular protractor atau electronic particle-size
analyzer. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Krumbein (1941) membuat
suatu table visual roundness), agar penentuan roundnessbutiran dapat
dilakukan dengan cara dengan membandingkan kenampakan (visual
comparison).
Ada beberapa hal yang menentukan roundness butiran pada endapan
sedimen, yaitu bentuk batuan asal, komposisi butiran, ukuran butir, proses
transportasi, dan jarak transportnya (Boggs, 1987). Apabila sifat fisik suatu
butiran sangat resisten (kuarsa dan zircon), maka akan sangat sulit membulit
apabila tertransport dibandingkan dengan butiran yang kurang keras seperti
Ketersediaan. Mineral halus hadir dalam jumlah yang melimpah pada daerah
sumber. Tidak aka nada arkose dari hasil erosi batu gamping atau kerikil chert
dari erosi granit. Demikian pula dengan ketidakhadiran feldspar mungkin
bukan karena batuan sesumber terletak pada iklim yang lembab (tropis)
namun dapat juga karena fakta bahwa batuan sesumbernya merupakan batu
Iklim : Pelarutan mineral lebih intensif pada daerah dengan iklim yang
relief rendah umumnya batuan segarnya sudah tertutup batuan yang lapuk
sehingga hanya mineral yang stabil yang masih tersisa kemudian tertransport.
Proses sedimentasi : Seperti sistem arus yang membawa partikel, adanya
benturan saat transportasi dan factor hidrolik misalnya berat jenis mineral.
Q/F
Q (kuarsa + chert) /
(F+L)
Arkosic sandstone
1.1
1.1
Graywack
2.7
1.2
Lithic sandstone
9.8
2.3
Orthoquarzite
>10.0
Sandstone
5.8
9.6
Tabel 3.2. rasio Q/F dan Q/ (F+L) yang menunjukan tipe batuan dan indek
kematangan (Pettijohn, 1957).
Dalam menggunakan table rasio Q/F perlu dicatat bahwa rasio tersebut tidak terlalu
sesuai untuk pasir yang berasal dari daerah dengan batuan yang miskin feldspar.
Kurangnya kandungan feldspar akan mengakibatkan tingginya rasio Q/F. Batuan
dengan tingkat kematangan tinggi akan memiliki prosentase kuarsa yang tinggi
seperti pada orthoquarzite (quartzite arenite). Kematangan ini juga akan berkaitan
dengan nilai sortasi dan kebundaran dari partikel (roundness). Semakin matang maka
sortasi semakin baik dan semakin membundar.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Lokasi utama dan pendukung ( Foto, arah sungai, keadaan system
DAS sungai) visual & narasi
Hasil (perhitungan dan grafik dari data utama dan data pendukung)
Interpetasi data utama dan data pendukung
Hasil (perhitungan dan grafik dari data utama dan data pendukung)
Interpetasi data utama dan data pendukung
Hasil (perhitungan dan grafik dari data utama dan data pendukung)
Interpetasi data utama dan data pendukung
4.5 Interpetasi mekanisme sedimentasi pada system sungai data utama dan data
pendukung
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Kritik & Saran