Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

Azolla sp.
Nama Azolla berasal dari bahasa Yunani azo (mengering) dan allyo
(membunuh) berarti tanaman yang mati ketika mengering. Genus Azolla
dikemukakan oleh J. B. Lamark di awal 1783 (Svenson, 1944 diacu oleh Raja
dkk., 2012) ditempatkan di famili Salvinaceae dari ordo Salviniales. Namun para
taksonom sekarang telah menempatkannya pada famili Azollaceae (Konar dan
Kapoor, 1972 diacu oleh Raja dkk., 2012).
Berdasarkan Integrated Taxonomic Information System (2012), Azolla
microphylla memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Division

: Tracheophyta

Class

: Polypodiopsida

Order

: Salviniales

Family

: Azollaceae

Genus

: Azolla

Species

: Azolla microphylla

Azolla merupakan paku air mengapung dan tergabung dalam famili


Azollaceae. Azolla mengembangkan suatu hubungan simbiosis dengan alga hijau
biru yaitu Anabaena azollae (Ferentinos dkk., 2002; Food and Agricultre
Organization, 1978), yang bertanggung jawab melakukan fiksasi dan asimilasi
nitrogen dari atmosfer. Azolla menyediakan sumber karbon dan lingkungan yang
nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan dari simbion alga hijau biru sebagai

Universitas Sumatera Utara

gantinya (Pillai dkk., 2002). Simbiosis Anabaena azollae dapat memproduksi 1


ton pupuk hijau per hektar per hari, mengandung 3 kg nitrogen N2 yang setara
dengan 15 kg ammonium sulfat atau 7 kg urea. Hal ini juga berarti bahwa
budidaya Azolla dapat memproduksi satu setengah ton nitrogen per petak sawah
(Food and Agricultre Organization, 1978). Beberapa strain dari Azolla bisa
memfiksasi 2 3 kg nitrogen/ha/hari. Azolla menghasilkan biomassa dua kali lipat
dalam 3 10 hari, tergantung kondisi lingkungan, dan mencapai 8 10 ton/ha di
persawahan Asia (Hasan and Chakrabarti, 2009).

Gambar 2. Azolla microphylla


Tumbuhan Azolla merupakan pakis air yang terdiri dari batang utama
dengan daun berseling dan akar adventif dengan jarak yang sama di sepanjang
batang dan tumbuh di permukaan air. Batang sekunder berkembang di ketiak
daun. Daun Azolla berbentuk segitiga atau poligon dan mengapung di permukaan
air. Diameter tumbuhan ini berkisar antara 1/3 hingga 1 inchi (12,5 cm) untuk

Universitas Sumatera Utara

spesies kecil seperti Azolla pinnata, mencapai 6 inchi (15 cm) atau lebih untuk
Azolla nilotica dan Azolla filiculoides (Ferentinos dkk., 2002).

Habitat Azolla sp.


Azolla dapat ditemukan di kolam, parit, dan lahan basah bertemperatur
hangat dan wilayah tropis di seluruh dunia. Azolla harus tumbuh di air atau
genangan lumpur, dan akan mati dalam beberapa jam apabila dalam kondisi
kering (Ferentinos dkk., 2002). Kondisi optimum bagi Azolla ialah pada suhu
sekitar 25 oC, pada suhu kurang atau lebih dari suhu tersebut perkembangan
Azolla menurun. Cahaya yang dibutuhkan Azolla berkisar antara 20.000 hingga
50.000 lux, pH netral (pH 7) memberikan perkembangan yang sangat baik bagi
Azolla dan rentang pH 4 6 juga menunjukkan perkembangan yang baik.
Salinitas setidaknya kurang dari 0,1 %. Kelembaban relatif antara 85 90 %.
Berdasarkan penelitian International Rice Research Institute (IRRI) fosfor
merupakan faktor pembatas penting bagi perkembangan Azolla, pemberian 5 kg
P/ha setiap dua hari dalam tiga bentuk, yaitu superphosphate meningkatkan
perkembangan 56 %, rock phosphate 45 %, dan magnesium phospate 22 %.
Penelitian telah menunjukkan bahwa Azolla dapat menambah beratnya dua kali
lipat di substrat bebas nitrogen dalam tiga hingga lima hari. Azolla yang tumbuh
mengandung nitrogen antara 0,1 0,2 %, atau 3 5 % pada berat kering. Ratarata perkembangan Azolla ialah sekitar lima kali lipat selama lima minggu (Food
and Agricultre Organization, 1978).
Perkembangan Azolla di alam dan di laboratorium seluruhnya melalui
reproduksi vegetatif. Namun, reproduksi seksual juga dapat dilakukan demi
kelangsungan hidup populasi dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Ketika

Universitas Sumatera Utara

daun Azolla mencapai ukuran tertentu berdasarkan jenis spesies dan lingkungan,
umumnya diameter 1 hingga 2 cm, batang sekunder yang tua terlepas dari batang
utama sebagai hasil bentukan lapisan yang diamputasi, yang menyebabkan
tumbuhnya individu baru (Hasan dan Chakrabarti, 2009).

Peran Azolla sp. dalam Menyerap Logam


Penelitian tentang fitoremediasi air yang tercemar logam berat dengan
menggunakan Azolla sebelumnya telah banyak dilakukan. Beberapa logam yang
banyak mencemari perairan dan dapat diangkat oleh Azolla di antaranya Cr (Arora
dkk., 2006), Pb (Juhaeti dkk., 2005; Khosravi, 2005), Hg (Rai, 2008), Cd (Rai,
2008; Valderrama dkk., 2012; Khosravi, 2005), Ni (Khosravi, 2005), As (Rahman
dan Hasegawa; 2011), Zn (Khosravi, 2005), dan Cu (Valderrama dkk., 2012).
Walaupun Azolla microphylla mampu bertahan hidup di air yang tercemar logam
berat, kondisi ini diketahui menghambat perkembangan Azolla microphylla,
penelitian juga menyebutkan bahwa Azolla microphylla yang hidup di air yang
terpapar Pb hingga 15 ppm menyebabkan Azolla microphylla tidak berkembang
sama sekali, dan perkembangan Azolla microphylla dapat berkurang hingga 54 %
pada konsentrasi Pb 1 ppm (Arora dkk., 2006). Penelitian lain menunjukkan
pengurangan biomassa Azolla microphylla mencapai 28,9 % pada lingkungan
yang terpapar Hg dan 27 % oleh Cd masing-masing dengan konsentrasi 1 ppm
(Rai, 2008). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Khosravi (2005) dengan
menggunakan Pb, Cd, Ni, dan Zn masing-masing dengan konsentrasi 4 ppm
menghasilkan pengurangan biomassa Azolla microphylla sebanyak 25 %, 42 %,
31 %, dan 17 %.

Universitas Sumatera Utara

Faktor Biokonsentrasi (BCF)


Biokonsentrasi merupakan proses ketika suatu substansi kimia diserap
oleh organisme dari lingkungan sekitar hanya melalui pernafasan dan permukaan
kulit, hal ini tidak termasuk paparan bahan kimia dalam makanan. Ini merupakan
hasil murni tingkat penyerapan bahan kimia pada pernafasan luar (contohnya
insang pada ikan) dan penghilangan bahan kimia termasuk pertukaran pernafasan,
pengeluaran feses, biotransformasi metabolisme dari senyawa induk, dan
perlambatan

pertumbuhan.

Perlambatan

pertumbuhan

dianggap

proses

penghilangan-semu karena bahan kimia tidak benar-benar dihilangkan oleh


organisme tetapi konsentrasinya berkurang seiring dengan meningkatnya volume
jaringan. Sejauh mana biokonsentrasi terjadi dinyatakan sebagai faktor
biokonsentrasi (BCF) dan hanya dapat diukur dalam kondisi laboratorium yang
pada asupan makanan bahan kimia tersebut sengaja tidak dimasukkan (Arnot dan
Frank, 2006).
BCF merupakan index kemampuan suatu tanaman untuk mengakumulasi
ion logam yang berbanding lurus dengan konsentrasi ion logam pada
pertumbuhan lingkungan. BCF didefinisikan sebagai perbandingan konsentrasi
logam dalam biomassa kering terhadap konsentrasi awal ion logam dalam larutan
pakan (Raskin dkk., 1994 diacu oleh Arora dkk., 2005).

Timbal (Pb)
Timbal (Pb) merupakan unsur ke lima dalam golongan (IV)A pada sistem
periodik, memiliki nomor atom 82, berat atom 207,19, dan valensi 2 dan 4. Ratarata ketersediaan Pb di kerak bumi ialah 13 ppm, di tanah berkisar 2,6 hingga 25
ppm, di sungai 3 g/l, dan di air tanah umumnya 0,1 mg/l. Timbal diperoleh

Universitas Sumatera Utara

terutama dari galena (PbS), yang biasanya digunakan untuk baterai, amunisi,
solder, pipa, zat warna, insektisida, campuran logam, dan juga digunakan pada
bensin (Standard Methods Committee, 1997). Timbal secara umum, tidak
mengalami bioakumulasi dan tidak meningkatkan konsentrasi logam pada rantai
makanan. Timbal terikat kuat pada partikel lingkungan seperti tanah, sedimen, dan
endapan lumpur. Karena rendahnya kelarutan dari kebanyakan garam-garam,
timbal cenderung mengendap di luar larutan kompleks (European Comission
Directorates General, 2002).
Timbal pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi.
Kelarutan timbal tergolong rendah sehingga kadar timbal dalam air relatif rendah.
Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan DO.
Timbal tidak termasuk unsur yang essensial bagi makhluk hidup, bahkan unsur ini
bersifat toksik bagi hewan dan manusia karena dapat terakumulasi pada tulang.
Toksisitas timbal terhadap tumbuhan relatif lebih rendah dibandingkan dengan
unsur renik yang lain. Toksisitas timbal terhadap organisme akuatik berkurang
dengan meningkatnya kesadahan dan DO. Kadar timbal yang berkisar antara 0,1
8,0 ppm dapat menghambat pertumbuhan mikroalgae Chlorella saccharophilla
(Effendi, 2003).
Walaupun timbal tidak mengalami bioakumulasi pada kebanyakan
organisme, tetapi dapat terakumulasi pada makanan biota terutama pada partikel,
contohnya kepah dan cacing. Organisme-organisme ini sering memiliki protein
khusus pengikat logam yang menyerap logam dari lingkungan ke dalam tubuh
mereka. Penyebaran timbal pada hewan dipengaruhi oleh metabolisme kalsium.
Pada kerang, konsentrasi timbal lebih tinggi pada cangkang dari pada jaringan

Universitas Sumatera Utara

yang lunak. Selain itu, pada avertebrata akuatik adaptasi terhadap kondisi rendah
oksigen dapat terhambat oleh tingginya konsentrasi timbal. Pada ikan lumbalumba, timbal ditransfer dari induk ke anak selama perkembangan janin dan masa
menyusui. Ikan pada tahap muda lebih rentan pada timbal dibanding masa dewasa
atau telur. Gejala umum akibat pencemaran timbal termasuk cacat tulang belakang
dan menghitamnya bagian ekor. Batas maksimum pencemar yang dapat diterima
oleh spesies terhadap timbal anorganik telah ditentukan untuk beberapa spesies
pada kondisi berbeda dan menghasilkan nilai berkisar antara 0,04 mg/l hingga
0,198 mg/l. Senyawa organik lebih toksik terhadap ikan dari pada timbal dalam
bentuk unsur (anorganik). Ditemukan bukti bahwa telur kodok dan katak sensitif
terhadap konsentrasi timbal yaitu kurang dari 1,0 mg/l pada genangan air dan 0,04
mg/l pada air mengalir, telah diamati perkembangan dan penetasan telur menjadi
terhambat. Pada katak dewasa, tidak ada efek signifikan pada larutan dengan
konsentrasi di bawah 5 mg/l, tetapi timbal 10 mg/kg dalam makanan memberikan
beberapa efek biokimia (European Comission Directorates General, 2002).
Timbal diserap baik oleh tanah sehingga pengaruhnya terhadap tumbuhan
relatif kecil (Effendi, 2003). Pemindahan ion pada tumbuhan bersifat terbatas dan
kebanyakan timbal terikat pada akar atau permukaan daun. Hasilnya, pada banyak
studi eksperimen toksisitas timbal, konsentrasi timbal yang tinggi pada kisaran
100 hingga 1.000 mg/kg tanah dibutuhkan untuk menyebabkan efek toksik yang
tampak pada fotosintesis, pertumbuhan, atau parameter lain. Oleh karena itu,
timbal diduga hanya mempengaruhi tumbuhan pada lokasi lingkungan dengan
konsentrasi timbal yang sangat tinggi (European Comission Directorates General,
2002).

Universitas Sumatera Utara

Kualitas Air
Lingkungan perairan dengan kualitas airnya dianggap sebagai faktor
utama yang mengendalikan keadaan kesehatan dan penyakit pada ikan budidaya
dan ikan liar. Pencemaran lingkungan perairan oleh bahan organik dan anorganik
merupakan kebanyakan faktor yang menjadi ancaman serius terhadap kehidupan
organisme akuatik termasuk ikan (Saeed dan Shaker, 2008). Limbah cair oleh
pertanian mengandung pestisida dan pupuk, buangan limbah aktifitas industri dan
dengan tambahan pembuangan limbah domestik meningkatkan suplai bahan
organik dan logam berat dengan jumlah yang sangat besar di badan air dan
sedimen (European Comission Directorates General, 2002).
Ion logam dapat masuk ke rantai makanan dan terkonsentrasi pada
organisme akuatik pada tingkatan yang mempengaruhi keadaan fisiologis mereka.
Beberapa pencemar yang efektif di antaranya ialah logam berat yang memiliki
dampak lingkungan yang drastis pada semua organisme. Logam transisi seperti
Zn, Cu, dan Fe memiliki peran biokimia pada proses kehidupan semua tanaman
dan hewan akuatik, oleh karena itu logam-logam tersebut esensial di lingkungan
perairan dengan jumlah sedikit (Saeed dan Shaker, 2008). Gasic dan Korban
(2006) menjelaskan bahwa besi, tembaga, seng, kobalt, dan nikel merupakan
mikronutrien esensial yang sangat dibutuhkan oleh aktifitas sejumlah besar
protein yang terkait dalam menopang pertumbuhan dan pengembangan
organisme. Namun pada konsentrasi berlebihan, ion metal ini dapat merugikan
organisme. Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada unsur yang selalu beracun, yang
perlu diperhatikan adalah data dosis-respon (Marschner, 1995 diacu oleh
Appenroth 2010).

Universitas Sumatera Utara

Air permukaan dan air tanah bisa terkontaminasi dengan logam dari
pembuangan air limbah atau kontak langsung dengan tanah, lumpur, limbah
pertambangan, dan puing yang terkontaminasi logam. Padatan bantalan logam
pada lokasi yang terkontaminasi berasal dari sumber yang berbeda-beda dalam
bentuk emisi udara, proses limbah padat, lumpur atau tumpahan. Sumber
pencemar mempengaruhi keberagaman dari lokasi yang terkontaminasi pada skala
makroskopik dan mikroskopik. Perbedaan konsentrasi pencemar dan matriks
mempengaruhi resiko yang terkait dengan logam pencemar dan pilihan
pengolahan (Evanko dan Dzombak, 1997).
Sumber utama kontaminasi timbal (Pb) dalam industri di antaranya
peleburan dan pemrosesan logam, produksi logam sekunder, pembuatan batere
timbal, pembuatan zat warna dan bahan kimia, dan limbah terkontaminasi timbal.
Kontaminasi yang menyebar disebabkan sisa penggunaan timbal pada bensin juga
menjadi perhatian. Timbal yang dibuang ke air tanah, air permukaan dan tanah
biasanya timbal dalam bentuk unsur, oksida dan hidroksida timbal, dan logam
timbal oxyanion kompleks. Proses utama mempengaruhi perjalanan timbal pada
tanah termasuk adsorpsi, pertukaran ion, presipitasi, dan kompleksasi penyerapan
zat organik. Proses ini membatasi jumlah timbal yang dapat ditransport ke air
permukaan dan air tanah. Senyawa timbal organik tetramethyl yang relatif volatil
dapat terbentuk dalam sedimen secara anaerob disebabkan hasil alkilasi oleh
mikroorganisme (Smith dkk., 1995 diacu oleh Evanko dan Dzombak, 1997).

Fitoremediasi
Remediasi yang diartikan sebagai perbaikan lingkungan secara umum
diharapkan dapat menghindari resiko-resiko yang ditimbulkan oleh kontaminasi

Universitas Sumatera Utara

logam yang berasal darialam (geochemical) dan akibat ulah manusia


(anthropogenic) (Hidayati, 2005). Menurut Juhaeti dkk. (2003) dalam jurnalnya,
fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk penghilangan polutan dari
tanah atau perairan yang terkontaminasi. Teknik reklamasi dengan menggunakan
fitoremediasi mengalami perkembangan pesat karena terbukti merupakan metode
yang lebih murah dibandingkan dengan metode yang lainnya misalnya
penambahan lapisan permukaan tanah. Fitoremediator dapat berupa tanaman
herba, semak bahkan pohon. Semua tumbuhan dapat menyerap logam dalam
kemampuan yang bervariasi, tetapi beberapa tumbuhan mampu mengakumulasi
unsur logam tertentu dalam konsentrasi yang cukup tinggi.
Menurut Pal dkk. (2010), fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai
penggunaan

tanaman

untuk

menyerap,

mengikat,

mengeluarkan,

atau

mendegradasi pencemar organik dan anorganik dari tanah, sedimen, air


permukaan dan air tanah. Kategori fitoremediasi di antaranya fitoekstraksi
(penggunaan tanaman untuk mengeluarkan pencemar dari tanah), fitovilatilisasi
(penggunaan tanaman untuk membuat bahan kimia menguap melalui spesies dari
elemen tanah), rhizofiltrasi (penggunaan akar tanaman untuk mengeluarkan
pencemar dari air mengalir) dan fitostabilisasi (penggunaan tanaman untuk
mengubah senyawa kimia pada logam tanah agar berkurang toksisitasnya, tetapi
tidak mengeluarkan logam dari tanah) (Chaney dkk., 1997).
Keberhasilan teknologi hijau pada fitoremediasi, umumnya bergantung
pada beberapa faktor. Pertama, tanaman harus menghasilkan biomassa yang
cukup ketika mengakumulasi logam pada konsentrasi tinggi. Pada beberapa kasus,
peningkatan biomassa akan menurunkan total konsentrasi logam pada jaringan

Universitas Sumatera Utara

tanaman, tetapi memberikan jumlah yang lebih besar dari logam yang diakumulasi
secara keseluruhan. Kedua, tumbuhan pengakumulasi logam harus responsif
untuk praktek budidaya yang memberikan penanaman dan panen dari jaringan
yang kaya logam. Dengan demikian, lebih baik logam terakumulasi di tunas
daripada di akar, karena logam pada tunas bisa dipotong dan dibuang. Hal ini
dapat dikelola pada skala kecil, tapi tidak berguna pada skala besar. Jika logam
terkonsentrasi pada akar, seluruh tumbuhan harus dibuang. Namun, membuang
seluruh tumbuhan tidak hanya meningkatkan biaya fitoremediasi, karena
dibutuhkan pekerja dan tumbuhan yang lebih, tetapi juga meningkatkan waktu
yang dibutuhkan bagi tumbuhan baru untuk berkembang dalam lingkungan dan
memulai akumulasi logam (Melinda dan Sigua, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai