Anda di halaman 1dari 4

Dua Pilar Utama dalam Beragama

Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad


Al-Ghazali atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali
mengatakan bahwa agama itu mengandung dua hal pokok, yakni
meninggalkan maksiat dan berbuat ketaatan. Semua hal yang dilarang
Allah adalah maksiat. Sedangkan melaksanakan ketaatan berarti
mematuhi perintah-perintah-Nya.
Demikianlah, perintah dan larangan, maksiat dan taat, merupakan dua
unsur beragama yang bertolak belakang. Dua-duanya menjadi bagian
mutlak dalam menjalani kehidupan beragama. Terkait dua hal itu, Imam
Al-Ghazali mengingatkan bahwa meninggalkan maksiat lebih berat
ketimbang berbuat taat. Kata beliau dalam kitab Bidyatul Hidyah:

Artinya, Meninggalkan maksiat itu amat berat. Setiap orang masih


sanggup melakukan ketaatan. Tapi berpaling dari syahwat (hawa nafsu)
hanya mampu dilakukan oleh orang-orang shiddqn (yang benarbenar beriman).

Jamaah Shalat Jumat as'adakumullh,


Meninggalkan larangan lebih berat daripada melaksanakan
perintah karena kecenderungan sifat manusia yang ingin bebas tanpa
ada yang membatasi. Inginnya, semua hal yang dikehendaki terwujud;
seluruh yang membuatnya penasaran bisa terungkap. Nah, sementara
larangan menjadi musuh itu semua dan karenanya menjadi sangat
berat.
Kita semua mungkin saja masih bisa melaksanakan perintah
shalat jumat, puasa, zakat, dan seabrek ibadah lainnya. Namun, berapa
banyak dari kita yang sanggup meninggalkan maksiat godaan hawa
nafsu yang ditimbulkan setelah berbuat ketaatan tersebut? Shalat dan
puasa itu bisa dikatakan mudah. Yang susah adalah shalat dan puasa
tetapi tetap tidak merasa lebih suci dan lebih baik dari orang lain yang
tidak melaksanakan shalat dan puasa. Sedekah dan menolong orang
lain bisa dikatakan mudah. Yang susah adalah sedekah dan menolong
orang lain tetapi tidak mengharap imbalan dan pujian apa pun dari
siapa pun.
Hal ini juga membuktikan bahwa taat dan maksiat memang
bertolak belakang, namun keduanya bukan berarti tak bisa bercampur.
Seorang hamba di satu masa bisa sangat rajin ibadah tapi di saat
bersamaan menumpuk maksiat dan melenyapkan pahala ibadah tersebut
karena melanggar rambu-rambu penyakit hati, seperti ujub (bangga
diri), riya (pamer), dan lainnya. Itulah mengapa Rasulullah shallallhu
alaihi wasallam bersabda, Al-muhjiru man hajaras sa wal
mujhidu man jhada hawhu (orang yang berhijrah adalah rang
pindah dari keburukan, sementara orang yang berjihad adalah orang
berperang dengan hawa nafsunya sendiri).
Jamaah Shalat Jumat as'adakumullh,
Seluruh anggota badan manusia adalah titipan atau amanat. Ia
tak hanya harus disyukuri tapi juga wajib dipelihara agar tak
melenceng dari fungsi maslahatnya. Berbuat maksiat, kata Imam AlGhazali, masuk kategori pengkhianatan terhadap titipan Tuhan. Selain
itu, sikap tersebut juga cerminan dari ketaksanggupan seseorang dalam

menjalankan fungsi kepemimpinan terhadap dirinya sendiri. Padahal


Rasulullah mengingatkan:

Artinya, Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian
akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya ini.
Memimpin tak selalu identik dengan kekuasaan politik atau jabatan
publik. Memimpin juga bisa terjadi dalam sekup yang paling kecil,
seperti komunitas, keluarga, hingga diri sendiri. Sering kali memimpin
diri sendiri lebih susah ketimbang memimpin orang lain. Adakah musuh
dan halangan paling berat ketimbang diri sendiri?
Demikian, semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang
sanggup melaksanakan perintah tapi juga meninggalkan larangan
dengan sepenuh hati. Menjadi pribadi yang taat dan jauh dari maksiat
(baik jasmani maupun ruhani) yang berlandaskan kesadaran penuh
ketuhanan.
Khutbah II



.






.


!
.

Anda mungkin juga menyukai