Alkohol dan beberapa zat yang disalah-gunakan dapat masuk ke dalam sirkulasi darah
janin beberapa menit setelah dikonsumsi oleh ibu. Konsentrasi obat didalam darah janin
dibandingkan kadar-nya dalam darah ibu, bervariasi antara 50-100%. Beberapa faktor
yang turut berpengaruh yaitu : faktor ibu, faktor plasenta dan faktor janin. Faktor ibu
diantara-nya adalah motilitas gastrointes-tinal yang menurun selama kehamilan sehingga
obat-obat yang diminum akan diserap lambat dan kemudian mengalami metabilosme di
hati. Selain itu karena selama hamil terjadi peningkatan colume darah ibu dan perfusi
renal maka konsentrasi obat-obatan akan menurun pada kehamilan lanjut. Faktor plasenta
adalah dihasil-kannya beberapa enzim yang turut memetabolisir obat. Janin
mengeliminasi obat melalui eksresi renal dan biotransfor-masi. Ekskresi obat melalui
urine akan menyebabkan obat dan metabolitnya terakumulasi di cairan amnion. Eliminasi
obat dalam cairan amnion dapat melalui diffusi melewati mem-bran plasenta kembali ke
sirkulasi maternal atau ditelan oleh janin. Diduga hepar janin sudah dapat melakukan
biotransformasi, namin hal ini belum dapat dipastikan.
TERATOLOGI(4)
Efek teratogenik obat bisa berupa kematian, dysmofphism atau cacat bawaan dan
peru-bahan tingkah laku. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya efek teratogenik
adalah :
Stadium sensitivitas.
Terbagi menjadi 3 stadium yaitu :
Stadium I yang dimulai dari saat fertilisasi hingga bebera-pa saat setelah implantasi.
Pada stadium ini embrio masih terdiri dari beberapa sel yang bersifat multipoten-sial.
Obat-obat embriotoksik akan menyebabkan efek all or none.
Stadium II dimulai dari minggu ke-2 sampai minggu ke-10 pascakonsepsi. Pada stadium
ini besar kemung-kinan timbul efek teratogenik berupa malformasi.
Stadium III merupakan periode pertumbuhan sel. Pada stadium ini, obat-obat
teratogenik dapat menurun-kan jumlah sel sehingga menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat atau meng-ganggu diferensiasi sel dalam organ.
Dosis obat.
Ambang Batas (Threshold Effects) yaitu batas dosis obat teratogenik yang masih dapat
ditolelir. Jadi bila dosis yang dipakai masih dibawah dosis tersebut kejadian efek teratogenik ternyata tidak berbeda secara statistik dibandingkan dengan kontrol.
Faktor genetik. Beberapa fak-tor seperti absorbsi maternal dan fetal, metabolisme dan
distribusi obat serta transpor plasental bersifat individual.
IDENTIFIKASI PENYALAH-GUNAAN OBAT (DIAGNOSIS)
Pendekatan diagnostik pasien adiksi narkoba harus merupakan kombinasi karakteristik
medis, obstetri dan tingkah laku seperti tertera pada tabel di bawah ini :
itu konsultasi tentang risiko adanya kelainan kongenital dan kompli-kasi perinatal
akibat pemakaian obat-obatan tersebut seringkali sudah terlambat.
Penjelasan untuk berhenti dari kebiasaan memakai narkoba harus disampaikan sejak
PNC pertama kali, walaupun hal ini tidak menjamin perlindungan terhadap narkoba
bila sudah terlanjur terjadi. Pasien-pasien ini seringkali tidak mematuhi saran dan
nasihat siapapun.
Pada PNC pertama harus di-lakukan anamnesa riwayat kesehatan, obat yang dipakai,
frekuensi, jenis dll serta pemeriksaan fisik lengkap. Bila ada kecurigaan sebaiknya
disa-rankan untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan di negara-negara maju adalah sebagai
berikut :
Skrining rutin yaitu : pemerik-saan darah Hb, leukosit, trombosit, golongan darah, dan
Rh, antibodi rubella, urinalisis, pap smear, PPD dan GTT 1 jam (pada kehamilan 2426 minggu).
Skrining SD : serologi sifilis, kultur Gonorrhea, kultur kla-mida, antigen hepatitis B,
antibodi HIV.
Skrining Kelainan kongenital : maternal serum alfa fetoprotein (15-20 mg), fetal
ekhokardiogram (20-22 mg), USG (kehamilan 18-20 mg).
Pemeriksaan USG juga diperlu-kan untuk memperkirakan usia kehamilan dan
memonitor per-tumbuhan janin (usia kehamilan 30-34 minggu atau ada indikasi
klinis).
Pemeriksaan biofisik janin : NST, OCT atau profil biofisik (pada kehamilan 30-32
minggu sampai saat persalinan).
Skrining toksikologi urine (mini-mal 1 kali setiap trimester).
Pasien disarankan tidur/tirah baring 4-8 jam sehari untuk mencegah persalinan
prematur dan KPSW. Tirah baring yang cukup dapat meningkatkan sirkulasi
uteroplasental sehingga menurunkan risiko PJT dan persalinan prematur.
MANAGEMEN PERINATAL.(4,5)
Komplikasi terbanyak yang terjadi pada neonatus merupa-kan akibat persalinan
prematur atau BBLR, walaupun pada wanita pencandu narkoba sering ditemukan
cairan ketuban meko-neal, partus presipitatus, solusio plasenta, penyakit menular
seksual dan hepatitis. Khusus-nya partus prematurus dan PJT sering dialami oleh
wanita pencandu opium, kokain dan alkohol.
Komplikasi neonatal pada bayi-bayi yang dilahirkan umumnya adalah sindroma
intraventrikel. Semua hal tersebut terutama akibat PJT dan persalinan prematur. Selain
itu karena kejadian kelainan kongenital pada bayi lebih banyak ditemukan pada bayi
ibu-ibu tersebut, penatalaksanaan pedia-trik harus mencakup upaya identifikasi
adanya kelainan kongenital.
Kelainan yang banyak dilaporkan adalan anomali traktus urogeni-talis yang
berhubungan dengan adiksi kokain.
Neonatal abstinence syndrom (NAS) atau gejala putus obat, terutama pada bayi yang
terpapar narkotik (>30%). Onset NAS bervariasi mulai beberapa menit atau jam
postnatal hingga yang paling lambat 14 hari kemudian, yang tersering terjadi dalam
waktu 72 jam pertama. Faktor-faktor yang mempengaru-hi onset NAS adalah : jenis
obat yang digunakan oleh ibu (misal-nya : heroid mempunyai onset yanglebih cepat
daripada obat-obat narkotik yang berefek lebih lama seperti metadon, derajat adiksi,
saat memakai narkoba terakhir sebelum partus, lama proses persalinan dan maturitas
janin.
Gejala klinik NAS bervariasi dari ringan sampai berat, bisa ber-sifat intermiten atau
progresif. Maturitas fungsi metabolik janin dan sistem ekresi mempunyai peran yang
sangat penting dalam menentukan saat timbulnya gejala. NAS meliputi disfungsi SSP
(tremor, iritabel, tangis yang melengking (high pitched cry) dan hiperrefleksi),
disfungsi saraf otonom (bensin, menguap, dan demam), disfungsi gastrointes-tinal
(muntah, diarem malas menetek dan kesulitan minum) dan disfungsi respirasi (apnea).
Rooting reflek mengingkat, namun intake kurang karena proses menghisap dan reflek
menelan yang tidak terkoordinasi serta tidak efektif. Intake kurang ditambah muntah
dan diare menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit.
Terapi NAS yang paling banyak dipakai adalah phenobarbital. Dosis yang dianjurkan
sebesar 2-4 mg/kg setiap 8 jam. Alternatif lain adalah methadon 1-2 mg 2 kali sehari.
Obat lain yang dapat dipakai adalah pregorik (0,1-0,5 ml/kg setiap 4 jam) disertai
diazepam (1 mg-2mg 2 kali sehari). Tapering off obat-obat tersebut disarankan setelah
7-10 hari. Obat-obat tersebut tidak mempengaruhi perkembangan bayi bahkan dapat
membantu mencegah komplikasi NAS. NAS yang berat sering terjadi pada bayi yang
terpapar alkohol, opiat dan barbiturat. Sedangkan NAS pada bayi yang terpapar
senyawa lain seperti marijuana dan kokain tidak terlalu berat.
Kejadian Sudden Infant Death syndroma (SIDS) diolaporkan meningkat pada bayibayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu pecandu opiat atau kokain. Frekuensinya berkisar
0,6-7%, jauh lebih tinggi dari populasi yang berkisar antara 0,1-4% (berhubungan
dengan opiat). Sedangkan freku-ensi SIDS yangberkaitan dengan kokain masih belum
disepakati. Walaupun pada penelitian awal dilaporkan hingga 15%, namun penelitian
lebih lanjut gagal membuktikan peningkatan kejadian SIDS pada bayi yang terpapai
kokain dibandingkan dengan populasi umum.
KESIMPULAN
Penatalaksanaan ibu hamil dengan adiksi narkoba memang merupakan masalah yang
kom-pleks sehingga diperlukan kerja-sama yang baik antar disiplin ilmu. Selain itu
untuk memaha-minya diperlukan pengetahuan yang cukup tentangpengaruh obatobatan yang sering disalah-gunakan baik terhadap ibunya maupun terhadap janin.
Dengan semakin meningkatnya kejadian kehamilan dengan adik-si narkoba, untuk
menurunkan insidensi morbiditas dan mortali-tas ibu dan bayi diperlukan perhatian
khusus dan berkesi-nambungan dari semua disiplin ilmu yang terkait.