Anda di halaman 1dari 6

PENATALAKSANAAN ADIKSI NARKOTIK

DAN OBAT BERBAHAYA (NARKOBA) PADA


KEHAMILAN
Anita Deborah Anwar
Penyalahgunaan Narkotik dan obat berbahaya (Narkoba) meru-pakan masalah kesehatan
utama di negara-negara maju karena berdampak terhadap pening-katan biaya medis dan
sosial yang tinggi.(1,2,3,4) Dalam era globalisasi saat ini masalah adiksi narkoba akan
semakin banyak terjadi di Indonesia dan merupakan masalah yang perlu segera
diantisipasi dampaknya.
Di amerika Serikat sekitar 50% tempat tidur di rumah sakit dipergunakan untuk merawat
pasien-pasien ketergantungan narkoba, selain itu sekitar 75% korban pembunuhan,
kekerasan dan penyiksaan anak (child abuse) berhubungan dengan penyalahgunaan
narkoba.(2,3,4) Diperkirakan sekitar 2 juta wanita usia reproduksi di amerika Serikat
menggunakan kokain.(4)
Dengan semakin meningkatnya penggunaan narkoba pada wani-ta usia reproduksi,
dengan sen-dirinya kejadian ibu hamil dengan adiksi narkoba semakin meningkat.
Seringkali sulit mem-perkirakan komplikasi perinatal yang mungkin timbul karena
pengguna narkoba sering menggunakan beberapa macam obat secara bersamaan.
Masalah yang mungkin timbul ditambah dengan faktor gizi buruk dan semakin
meningkatnya risiko tertular infeksi seperti tuberku-losa, hepatitis, HIV hingga AIDS,
serta komplikasi perinatal dan komplikasi jangka panjang lain-nya.(1,2,3,4,5) Oleh karena itu
adiksi narkoba pada ibu-ibu hamil dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal.
Penatalaksanaan ibu hamil de-ngan adiksi narkoba merupakan masalah yang kompleks.
Untuk menangani pasien-pasien ter-sebut diperlukan kerjasama multidisipliner yaitu :
bagian obgin, anak, penyakit dalam, psikiatri dan psikologi selain kerjasama dari pasien
dan keluarganya.
Zat-zat atau obat yang sering disalahgunakan adalah alkohol, opiat, lariyuana dan
obat-obat psikotropik lainnya, namun yang cenderung semakin digemari adalah kokain. (4)
Akan dibicara-kan penatalaksanaan kehamilan dengan adiksi narkoba termasuk
identifikasi, terapi, dan manage-men perinatal.
FARMAKOLOGI PERINATAL
Masalah utama adiksi narkoba dalam kehamilan adalah efek samping obat
terhadap perkem-bangan janin.(4,5) Intensitas efek samping ini bergantung pada jumlah
obat yang didistribusikan ke tubuh janin. Karena masalah etik dan teknis hingga saat ini
masih belum banyak yang diketahui tentang farmakokinetik obat-obat tadi didalam tubuh
janin. Namun sudah diketahui bahwa obat-obat yang sering disalahgunakan dapat
melewati plasenta melalui cara diffusi sederhana dan kemudian mem-pengaruhi janin.

Alkohol dan beberapa zat yang disalah-gunakan dapat masuk ke dalam sirkulasi darah
janin beberapa menit setelah dikonsumsi oleh ibu. Konsentrasi obat didalam darah janin
dibandingkan kadar-nya dalam darah ibu, bervariasi antara 50-100%. Beberapa faktor
yang turut berpengaruh yaitu : faktor ibu, faktor plasenta dan faktor janin. Faktor ibu
diantara-nya adalah motilitas gastrointes-tinal yang menurun selama kehamilan sehingga
obat-obat yang diminum akan diserap lambat dan kemudian mengalami metabilosme di
hati. Selain itu karena selama hamil terjadi peningkatan colume darah ibu dan perfusi
renal maka konsentrasi obat-obatan akan menurun pada kehamilan lanjut. Faktor plasenta
adalah dihasil-kannya beberapa enzim yang turut memetabolisir obat. Janin
mengeliminasi obat melalui eksresi renal dan biotransfor-masi. Ekskresi obat melalui
urine akan menyebabkan obat dan metabolitnya terakumulasi di cairan amnion. Eliminasi
obat dalam cairan amnion dapat melalui diffusi melewati mem-bran plasenta kembali ke
sirkulasi maternal atau ditelan oleh janin. Diduga hepar janin sudah dapat melakukan
biotransformasi, namin hal ini belum dapat dipastikan.
TERATOLOGI(4)
Efek teratogenik obat bisa berupa kematian, dysmofphism atau cacat bawaan dan
peru-bahan tingkah laku. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya efek teratogenik
adalah :
Stadium sensitivitas.
Terbagi menjadi 3 stadium yaitu :
Stadium I yang dimulai dari saat fertilisasi hingga bebera-pa saat setelah implantasi.
Pada stadium ini embrio masih terdiri dari beberapa sel yang bersifat multipoten-sial.
Obat-obat embriotoksik akan menyebabkan efek all or none.
Stadium II dimulai dari minggu ke-2 sampai minggu ke-10 pascakonsepsi. Pada stadium
ini besar kemung-kinan timbul efek teratogenik berupa malformasi.
Stadium III merupakan periode pertumbuhan sel. Pada stadium ini, obat-obat
teratogenik dapat menurun-kan jumlah sel sehingga menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat atau meng-ganggu diferensiasi sel dalam organ.
Dosis obat.
Ambang Batas (Threshold Effects) yaitu batas dosis obat teratogenik yang masih dapat
ditolelir. Jadi bila dosis yang dipakai masih dibawah dosis tersebut kejadian efek teratogenik ternyata tidak berbeda secara statistik dibandingkan dengan kontrol.
Faktor genetik. Beberapa fak-tor seperti absorbsi maternal dan fetal, metabolisme dan
distribusi obat serta transpor plasental bersifat individual.
IDENTIFIKASI PENYALAH-GUNAAN OBAT (DIAGNOSIS)
Pendekatan diagnostik pasien adiksi narkoba harus merupakan kombinasi karakteristik
medis, obstetri dan tingkah laku seperti tertera pada tabel di bawah ini :

RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT


Anamnesa mengenai jenis dan obat yang sering digunakan harus selalu ditanyakan pada
saat kunjungan pertama. Namun Funkhouser dkk, melaporkan bahwa anamnesa saja tidak
bisa dijadikan patokan, karena dilaporkan dari 202 wanita yang test urine positif
mengandung mariyuana hanya 149 yang mengaku, dan dari 114 pasien test urine positif
mengandung kokain, hanya 63 yang mengaku. Oleh karena itu pemeriksaan yang lebih
penting adalah test toksikologi. Spesimen bisa berasal dari urine (yang paling banyak
dipakai), darah, cairan amnion dan rambut.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ibu hamil dengan adiksi narkoba meliputi aspek sosial, behavioral,
psiko-logis, nutrisi dan aspek ekonomi dari ketergantungan terhadap obat yang
digunakan, serta penatalaksanaan obstetrik dan pediatrik. Secara garis besar
penatalksanaan penderita dapat dibagi menjadi penatalaksanaan non obstetrik dan
penatalaksa-naan obstetrik. Kebutuhan pasi-en yang sangat kompleks terse-but
membutuhkan pendekatan multidisipliner.
Tujuan :
Eliminasi (minimal reduksi) obat-obat yang digunakan selama hamil dan setelah
melahirkan.
Diduga psikososial untuk membantu pasien.
Menurunkan kejadian morbi-ditas dan mortalitas perinatal.
Memulai ikatan kasih sayang ibu dengan bayi.
Membimbing tercapainya ke-terampilan merawat bayi.
Menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal/bayi.
Dukungan terhadap ibu dan bayi serta follow-up setelah melahirkan.
Penilaian neurobehavioral dan follow-up perkembangan bayi selama 1 tahun (infancy).
PENATALAKSANAAN NON OBSTETRIK.(3)
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan psikologis dan farmakologis.
Tahap 1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya menge-nai penyakitnya (adiksi
obat) secara bijaksana agar dapat meningkatkan peran serta pasien dan keluarga dalam
terapi selanjutnya.
Pada tahap ini sangat diperlukan pengertian dan dukungan moril dari keluarga terutam
suami dan orang tuanya, serta teman dekat. Mulai tahap ini sebaiknya pasien diberi
penjelasan untuk berkon-sultasi kepada psikiater untuk penanganan adiksinya dan juga
keterlibatan internist untuk mendeteksi adanya kelainan-kelainan medis yang biasanya
menyertai pasien-pasien pecandu narkoba.

Tindakan detoksifikasi merupa-kan bagian dari perawatan psikiatrik.


Obat-obat halusinogenik umum-nya tidak memerlukan terapi khusus kecuali timbul
gejala-gejala psikotik berat dapat diberikan benzodiazepin.
Amfetamin dan kokain juga biasanya tidak membutuhkan terapi khusus, namun bila
timbul gejala psikotik (jarang terjadi) dapat diberikan obat antipsikotik seperti
haloperidol 5-30 mg/hari. Selain itu, karena dapat timbul depresi berat sebaiknya
pasien dirawat bebera-pa hari untuk pengawasan. Penggunaan nikotin untuk
replacement therapy pada detoksifikasi sampai saat ini masih kontroversial, namun
semakin banyak nukti bahwa keuntungannya masih jauh lebih banyak daripada
kerugiannya.
Obat-obat yang digunakan untuk detoksifikasi memang merupa-kan obat teratogenik,
tetapi dapat digunakan dalam jangka pendek untuk mencegah gejala pitis obat yang
lebih membaha-yakan janin. Untuk keperluan ini pasien sebaiknya dirawat inap.
Antagonis narkotik tidak boleh diberikan karena akan menim-bulkan gejala putus obat
yang berbahaya bagi kehamilannya. Pemberian metadon dimulai segera setelah pasien
bersedia berpartisipasi bagi upaya penyembuhan adiksinya.
Disarankan metadon dosis rendah, karena lebih aman untuk ibu dan bayi daripada
detoksifikasi. Pemakaian meta-don dapat menstabilkan gaya hidup ibu, serta
menurunkan kejadian komplikasi medis seperti septikemia, hiperbiliru-binemia,
perdarahan intrakranial dan hipogikemia serta menurun-kan insidensi pertumbuhan
janin terhambat hingga 20%. Dosis awal 20 mg kemudian dinaikkan 5 mg/hari
keesokan harinya sampai gejala putus obat dapat diatasi. Kemudian bila
memungkinkan pada trimester ke dua dosis diturunkan sedikit demi sedikit hingga 20
mg/hari. Bila akan dilakukan detoksifikasi (pemberhentian pemakaian obat)
sebaiknya dilakukan pada trimester kedua. Gejala putus obat biasanya hanya berupa
gejala flu gastrointestinal yang dapat dicegah dengan menurun-kan dosis metadone
secara bertahap dalam periode I-3 bulan.
Tujuan kahir detoksifikasi ada-lah tercapainya keadaan bebas ketergantungan dari
segala jenis narkoba karena sulitnya me-ngontrol pemakaian obat-obat psikoaktif dan
karena obat-obat tersebut merupakan senyawa yang membahayakan bagi janin.
Diperlukan dukungan sistem yang kuat untuk mencapai hak ini, karena kehamilan
merupa-kan keadaan yang secara normal menyebabkan perubahan dan stress bagi ibu
sehingga akan banyak godaan untuk kembali memakai narkoba tersebut.
Bila memungkinkan sebaiknya penderita diikutsertakan dalam terapi rehabilitasi
dalam suatu kelompok sesama penderita kecanduan narkoba. Yang ter-akhir, tetapi
tidak kalah penting-nya, sebaiknya penderita dikon-disikan untuk lebih mendekat-kan
diri Kepada Allah SWT.
PENATALAKSANAAN OBSTETRIK.(4)
Penatalaksanaan obstetrik pada wanita hamil dengan adiksi narkoba masih menjadi
masalah. Secara umum PNC pada pasien-pasien ini dimulai jauh lebih terlambat
daripada wanita hamil lain, bahkan tidak jarang pasien datang sudah dalam keadaan
inpartu. Oleh karena itu, usia kehamilan tidak mungkin di-tentukan secara akurat
(biasa-nya pasien pecandu narkoba mempunyai siklus haid tidak teratur). Oleh karena

itu konsultasi tentang risiko adanya kelainan kongenital dan kompli-kasi perinatal
akibat pemakaian obat-obatan tersebut seringkali sudah terlambat.
Penjelasan untuk berhenti dari kebiasaan memakai narkoba harus disampaikan sejak
PNC pertama kali, walaupun hal ini tidak menjamin perlindungan terhadap narkoba
bila sudah terlanjur terjadi. Pasien-pasien ini seringkali tidak mematuhi saran dan
nasihat siapapun.
Pada PNC pertama harus di-lakukan anamnesa riwayat kesehatan, obat yang dipakai,
frekuensi, jenis dll serta pemeriksaan fisik lengkap. Bila ada kecurigaan sebaiknya
disa-rankan untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan di negara-negara maju adalah sebagai
berikut :
Skrining rutin yaitu : pemerik-saan darah Hb, leukosit, trombosit, golongan darah, dan
Rh, antibodi rubella, urinalisis, pap smear, PPD dan GTT 1 jam (pada kehamilan 2426 minggu).
Skrining SD : serologi sifilis, kultur Gonorrhea, kultur kla-mida, antigen hepatitis B,
antibodi HIV.
Skrining Kelainan kongenital : maternal serum alfa fetoprotein (15-20 mg), fetal
ekhokardiogram (20-22 mg), USG (kehamilan 18-20 mg).
Pemeriksaan USG juga diperlu-kan untuk memperkirakan usia kehamilan dan
memonitor per-tumbuhan janin (usia kehamilan 30-34 minggu atau ada indikasi
klinis).
Pemeriksaan biofisik janin : NST, OCT atau profil biofisik (pada kehamilan 30-32
minggu sampai saat persalinan).
Skrining toksikologi urine (mini-mal 1 kali setiap trimester).
Pasien disarankan tidur/tirah baring 4-8 jam sehari untuk mencegah persalinan
prematur dan KPSW. Tirah baring yang cukup dapat meningkatkan sirkulasi
uteroplasental sehingga menurunkan risiko PJT dan persalinan prematur.
MANAGEMEN PERINATAL.(4,5)
Komplikasi terbanyak yang terjadi pada neonatus merupa-kan akibat persalinan
prematur atau BBLR, walaupun pada wanita pencandu narkoba sering ditemukan
cairan ketuban meko-neal, partus presipitatus, solusio plasenta, penyakit menular
seksual dan hepatitis. Khusus-nya partus prematurus dan PJT sering dialami oleh
wanita pencandu opium, kokain dan alkohol.
Komplikasi neonatal pada bayi-bayi yang dilahirkan umumnya adalah sindroma
intraventrikel. Semua hal tersebut terutama akibat PJT dan persalinan prematur. Selain
itu karena kejadian kelainan kongenital pada bayi lebih banyak ditemukan pada bayi
ibu-ibu tersebut, penatalaksanaan pedia-trik harus mencakup upaya identifikasi
adanya kelainan kongenital.
Kelainan yang banyak dilaporkan adalan anomali traktus urogeni-talis yang
berhubungan dengan adiksi kokain.
Neonatal abstinence syndrom (NAS) atau gejala putus obat, terutama pada bayi yang
terpapar narkotik (>30%). Onset NAS bervariasi mulai beberapa menit atau jam
postnatal hingga yang paling lambat 14 hari kemudian, yang tersering terjadi dalam

waktu 72 jam pertama. Faktor-faktor yang mempengaru-hi onset NAS adalah : jenis
obat yang digunakan oleh ibu (misal-nya : heroid mempunyai onset yanglebih cepat
daripada obat-obat narkotik yang berefek lebih lama seperti metadon, derajat adiksi,
saat memakai narkoba terakhir sebelum partus, lama proses persalinan dan maturitas
janin.
Gejala klinik NAS bervariasi dari ringan sampai berat, bisa ber-sifat intermiten atau
progresif. Maturitas fungsi metabolik janin dan sistem ekresi mempunyai peran yang
sangat penting dalam menentukan saat timbulnya gejala. NAS meliputi disfungsi SSP
(tremor, iritabel, tangis yang melengking (high pitched cry) dan hiperrefleksi),
disfungsi saraf otonom (bensin, menguap, dan demam), disfungsi gastrointes-tinal
(muntah, diarem malas menetek dan kesulitan minum) dan disfungsi respirasi (apnea).
Rooting reflek mengingkat, namun intake kurang karena proses menghisap dan reflek
menelan yang tidak terkoordinasi serta tidak efektif. Intake kurang ditambah muntah
dan diare menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit.
Terapi NAS yang paling banyak dipakai adalah phenobarbital. Dosis yang dianjurkan
sebesar 2-4 mg/kg setiap 8 jam. Alternatif lain adalah methadon 1-2 mg 2 kali sehari.
Obat lain yang dapat dipakai adalah pregorik (0,1-0,5 ml/kg setiap 4 jam) disertai
diazepam (1 mg-2mg 2 kali sehari). Tapering off obat-obat tersebut disarankan setelah
7-10 hari. Obat-obat tersebut tidak mempengaruhi perkembangan bayi bahkan dapat
membantu mencegah komplikasi NAS. NAS yang berat sering terjadi pada bayi yang
terpapar alkohol, opiat dan barbiturat. Sedangkan NAS pada bayi yang terpapar
senyawa lain seperti marijuana dan kokain tidak terlalu berat.
Kejadian Sudden Infant Death syndroma (SIDS) diolaporkan meningkat pada bayibayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu pecandu opiat atau kokain. Frekuensinya berkisar
0,6-7%, jauh lebih tinggi dari populasi yang berkisar antara 0,1-4% (berhubungan
dengan opiat). Sedangkan freku-ensi SIDS yangberkaitan dengan kokain masih belum
disepakati. Walaupun pada penelitian awal dilaporkan hingga 15%, namun penelitian
lebih lanjut gagal membuktikan peningkatan kejadian SIDS pada bayi yang terpapai
kokain dibandingkan dengan populasi umum.
KESIMPULAN
Penatalaksanaan ibu hamil dengan adiksi narkoba memang merupakan masalah yang
kom-pleks sehingga diperlukan kerja-sama yang baik antar disiplin ilmu. Selain itu
untuk memaha-minya diperlukan pengetahuan yang cukup tentangpengaruh obatobatan yang sering disalah-gunakan baik terhadap ibunya maupun terhadap janin.
Dengan semakin meningkatnya kejadian kehamilan dengan adik-si narkoba, untuk
menurunkan insidensi morbiditas dan mortali-tas ibu dan bayi diperlukan perhatian
khusus dan berkesi-nambungan dari semua disiplin ilmu yang terkait.

Anda mungkin juga menyukai