Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULAN
Aritmia merupakan kelainan irama jantung yang sering dijumpai. Aritmia
adalah irama jantung di luar irama sinus normal. Istilah aritmia sebenarnya tidak
tepat karena aritmia berarti tidak ada irama. Oleh karena itu sekarang lebih sering
dipakai istilah disritmia atau irama tidak normal.1
Takikardi supraventrikular (TSV) adalah satu jenis takidisritmia yang
ditandai dengan perubahan frekuensi jantung yang mendadak bertambah cepat
menjadi berkisar antara 150 sampai 280 per menit.

TSV merupakan jenis

disritmia yang paling sering ditemukan pada usia bayi dan anak. Prevalensi TSV
kurang lebih 1 di antara 25.000 anak lebih. Serangan pertama sering terjadi
sebelum usia 4 bulan dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada
perempuan sedangkan pada anak yang lebih besar prevalensi di antara kedua jenis
kelamin tidak berbeda.1,2
Pengenalan secara dini jenis takidisritmia ini sangat penting, terutama pada
bayi karena sifatnya yang gawat darurat. Diagnosis awal dan tatalaksana SVT
memberikan hasil yang memuaskan. Keterlambatan dalam menegakkan diagnosis
dan memberikan terapi akan memperburuk prognosis, mengingat kemungkinan
terjadinya gagal jantung bila TSV berlangsung lebih dari 24-36 jam, baik dengan
kelainan struktural maupun tidak.1,2 Referat ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan dan tatalaksana terhadap takikardi supraventikular pada bayi dan
anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1.1

Definisi
Aritmia merupakan irama jantung abnormal yang bukan berasal dari
nodus SA(Sino-Atrial), irama tidak teratur walaupun berasal dari nodus SA,
frekuensi

kurang

dari

60x/menit

(bradikardia)

atau

lebih

dari

100x/menit(takikardia), dan terjadi hambatan impuls di supra atau intra


ventrikular.1

Takikardia supraventrikular (TSV) adalah satu jenis takidistritmia


yang meliputi setiap irama cepat yang timbul dari atrium, hubungan
atrioventrikular atau jalur tambahan. Atau dengan kata lain takikardia
supraventrikular didefinisikan sebagai suatu mekanisme disritmia yang
abnormal yang timbul di atas atau pada

bundle his. Frekuensi jantung

mendadak bertambah cepat, berkisar antara 180-300 kali permenit. 2


2. 1.2

Epidemiologi
Insidensi takikardi supraventrikular sekitar 35 kasus per 100.000
orang per tahun dan prevalensinya sekitar 2,25 per 1000 (kecuali atrial
fibrilasi, atrial flutter dan atrial takikardi multifokal).3
Kelainan TSV merupakan jenis distritmia

yang paling sering

ditemukan pada usia bayi dan anak dibandingkan dengan takidisritmia


lainnya, dengan angka kejadian kurang lebih 1 : 25.000 anak normal. Lebih
sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.3
Faktor presipitan dari takikardi supraventrikular bervariasi secara usia
dan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian kohort MESA, usia rata-rata yang
mengalami takikardi supraventrikular yaitu 57 tahun dengan kisaran usia
antara infant sampai lebih dari 90 tahun. Onset takikardi lebih tinggi pada
AVNRT (3218 tahun) dibanding AVRT (2314 tahun). Wanita memiliki
resiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita takikardi supraventrikular
dibanding pria.3
2. 1.3

Etiologi
Penyebab takikardi supraventrikular yaitu :4
a. Idiopatik, ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien. Tipe idiopatik
ini biasanya terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.
b. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) terdapat pada 10-20% kasus dan
terjadi hanya setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW
adalah suatu sindrom dengan interval PR yang pendek dan interval QRS
yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan
ventrikel melalui jaras tambahan.

BHEHUDSD
c.
SHQ\DNLW MDQWXQJ EDZDDQ EDQRPDOL EEVWHLQV, single ventricle,
L-TGA)
2. 1.4

Klasifikasi
Ada banyak klasifikasi yang digunakan untuk penggolongan takikardi
supraventrikular.

Salah

satu

klasifikasi

membaginya

berdasarkan

mekanisme takikardi yaitu :


a. Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik)
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar
diobati dan jarang

menimbulkan gejala

akut. Ditemukan pada

pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang

ODPD. PDGD WDNLNDUGL DWULXP SULPHU, WDPSDN DGDQ\D JHORPEDQJ S


yang agak berbeda dengan gelombang p pada waktu irama sinus,
tanpa

disertai

pemanjangan

interval

PR.

Pada

pemeriksaan

elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal (jaras


tambahan).
b. Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT)
Pada AVRT pada sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW) jenis
orthodromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow
conduction) sedangkan

konduksi retrograd

terjadi pada

jaras

tambahan (fast conduction). Kelainan yang tampak pada EKG adalah


takikardi dengan kompleks QRS yang sempit dengan gelombang p
yang timbul segera setelah kompleks QRS dan terbalik. Pada jenis
yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras tambahan
sedangkan konduksi retrograd

terjadi pada

jaras his-purkinye.

Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks


QRS yang lebar dengan gelombang p yang terbalik dan timbul pada
jarak yang jauh setelah kompleks QRS.
c. Atrioventricular nodal reentry tachycardia (AVNRT)
Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini
merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada

bayi dan anak. Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit
fungsional. Jika konduksi antegrad terjadi pada sisi lambat (slow
limb) dan konduksi retrograd terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis
ini disebut juga jenis typical (slow-fast) atau orthodromic. Kelainan
pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS
sempit dengan gelombang p yang timbul segera setelah kompleks
QRS tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak tampak karena
gelombang p tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika
konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat dan konduksi retrograd
terjadi pada sisi lambat, jenis ini disebut jenis atypical (fast-slow) atau
antidromic. Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan
kompleks QRS sempit dan gelombang p terbalik dan timbul pada
jarak yang cukup jauh setelah komplek QRS.

2. 1.5

Mekanisme
Kejadian TSV disebabkan oleh dua mekanisme dasar yaitu ektopik
(automatic) dan re-entry(dengan atau tanpa jaras tambahan). Berdasarkan
pemeriksaan

elektrofisiologi

intrakardiak,

terdapat

dua

mekanisme

terjadinya takikardi supraventrikular yaitu:2


a. Otomatisasi (automaticity)
Irama ektopik yang terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat adanya
sel yang mengalami percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan sel ini

dapat terjadi di atrium, A-V junction, bundel HIS, dan ventrikel.


Struktur lain yang dapat menjadi sumber/fokus otomatisasi adalah
vena pulmonalis dan vena kava superior. Contoh takikardi otomatis
adalah sinus takikardi. Ciri peningkatan laju nadi secara perlahan
sebelum akhirnya takiaritmia berhenti. Takiaritmia karena otomatisasi
sering berkaitan dengan gangguan metabolik seperti hipoksia,
hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis.
b. Reentry
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia
dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi.
Syarat mutlak untuk timbulnya reentry adalah:
1) Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada
bagian distal maupun proksimal hingga

membentuk suatu

rangkaian konduksi tertutup.


2) Salah satu jalur tersebut harus memiliki blok searah.
3) Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang
tidak mengalami blok memungkinkan terangsangnya bagian distal
jalur konduksi yang mengalami blok searah untuk kemudian
menimbulkan aliran listrik secara retrograd secara cepat pada
jalur konduksi tersebut.

2. 1.6

Manifestasi Klinis
Takikardi supraventrikuler biasanya tidak memberikan gejala yang
jelas pada penderitanya, tetapi dari anamnesis dapat ditemukan gejala-gejala
sebagai berikut :
a.

Palpitasi
Merupakan gejala

yang umumnya terjadi, penderita merasakan

jantungnya berdetak dengan cepat selama beberapa detik atau jam.


b.

Kepala terasa ringan

c.

Pusing

d.

Kehilangan kesadaran atau pingsan. Penting untuk memastikan bahwa


pasien benar-benar mengalami sinkop bukan hanya lemas akibat
takikardia. Menanyakan apakah pasien masih dapat mendengar suara

GDUL VHNLWDUQ\D VDDW SLQJVDQ DNDQ PHPEHGDNDQ VLQNRS VHVXQJJXKQ\D


dari hanya sebuah lemas dan cemas saja. Tidak sedikit pasien dengan
supraventrikular takikardia mengaku pingsan tetapi sebetulnya hanya
gejala lemas saja karena ia masih dapat mendengar dengan jelas suara-

suara di sekitarnya. Kehilangan kesadaran pada suatu takikardia


merupakan konsekuensi dari kolaps hemodinamik atau henti jantung
yang dapat menimbulkan kematian jantung mendadak.5

2. 1.7

e.

Nyeri dada

f.

Nafas pendek

Diagnosis
Diagnosis didapatkan

dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang, yaitu :


a.

Anamnesis :
Pasien mengaku jantung berdebar-debar, kepala pusing atau merasa
ringan, pingsan, nyeri dada dan atau nafas pendek. Pada atrial fibrilasi,
palpitasi dirasakan pada semua tempat.

b.

Pemeriksaan Fisik :
1) Inspeksi : adanya pulsasi abnormal di leher,
2) Palpasi : teraba pulsasi di dada atau leher
3) Perkusi : 4) Auskultasi : denyut jantung cepat (takikardi) dan atau denyut
jantung cepat dan tidak teratur (atrial fibrilasi).

c. Pemeriksaan penunjang :
1) Elektrokardiogram : jika serangan berlangsung lama, segera lakukan
pemeriksaan ini.

Biasanya didapatkan kompleks QRS

sempit,

menunjukkan takikardi, durasi QRS kurang dari 90 ms.


2) Monitor Holter

: jika

serangan cepat

dan sering, lakukan

pemeriksaan ini. Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan


untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus
bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3) Foto dada : Dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung
sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup.

4) Laboratorium : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan


magnesium dapat menyebabkan disritmia, peninggian LED dapat
menunjukkan proses inflamasi akut contoh endokarditis sebagai
faktor pencetus disritmia, peningkatan atau penururnan kadar tiroid
serum dapat menyebabkan disritmia.
2. 1.8

Diagnosis Banding
Diagnosis banding takikardi supraventrikular tergantung pada hasil
EKG. Hasil EKG pada takikardi supraventrikular kebanyakan menunjukkan
kompleks QRS yang sempit tetapi pada keadaan tertentu kompleks QRS
pada takikardi supraventrikular bisa menunjukkan kompleks QRS yang
lebar. Adapun diagnosis banding takikardi supraventrikular yaitu :6
a. Kompleks QRS sempit
Jika aksi ventrikel (kompleks QRS) sempit (<120 ms), maka takikardi
yang

terjadi

hampir

semuanya

supraventrikular

dan

diagnosis

bandingnya berkaitan dengan mekanisme yang mendasari. 3,6


1) AVNRT : kebanyakan tidak ada gelombang P atau adanya aktivitas
atrium yang muncul dan interval RR reguler. Gelombang P sebagian
tersembunyi dalam kompleks QRS dan bisa membentuk gelombang
pseudo-R pada sadapan V1 dan/atau gelombang S pada sadapan
inferior.
2) AVRT : kebanyakan gelombang P muncul pada segmen ST dan
terpisah 70 ms dari kompleks QRS
3) Atypical AVNRT

atau PJRT(Permanent Form of Junctional

Tachycardi) atau AT (Atrial Tachycardia): pada takikardi dengan RP


lebih panjang dari PR.

b. Kompleks QRS lebar


Jika kompleks QRS lebih dari 120 ms, maka penting untuk
membedakan antara takikardi supraventrikular dan takikardi ventrikular.
Verapamil/diltiazem intravena yang digunakan untuk mengobati
takikardi supraventrikular dapat menyebabkan kolaps hemodinamik
pada

pasien

supraventrikular

takikardi
sulit

ventrikular.
untuk

Jika

ditegakkan,

diagnosis
maka

takikardi

pasien

harus

ditatalaksanai sebagaimana adanya takikardi ventrikular. 3,6


1) Takikardi Supraventrikular dengan BBB (Bundle-Branch Block)
BBB bisa terjadi sebelum atau hanya selama takikardi ketika salah
satu bundle branch resisten karena laju cepat jantung. BBB bisa
terjadi pada setiap aritmia supraventrikular.

2) Takikardi Supraventrikular dengan Konduksi Atrioventrikular pada


Accessory Pathway
Jenis ini bisa terjadi pada takikardi atrial, atrial flutter, fibrilasi atrial,
AVNRT atau AVRT antidromik.
3) Takikardi Ventrikular :
a) Disosiasi Aritmia Ventrikular
Disosiasi AV dengan laju ventrikel lebih cepat dibanding laju
atrial umumnya

membuktikan adanya TV

(hanya 30%).

Kompleks gabungan menunjukkan gabungan antara impuls sinus


yang terkonduksi dan depolarisasi ventrikel selama disosiasi AV.
Komplek ini

merupakan patognomonik TV.

Gelombang P

biasanya sulit dilihat selama kompleks QRS yang lebar. Oleh


karena itu, klinisi juga harus mencari tanda klinis AV seperti
gelombang A ireguler pada denyut vena jugularis dan kerasnya
bunyi jantung I dan tekanan darah sistolik.
b) Lebar Kompleks QRS
Kompleks QRS lebih dari 0,14 dengan RBBB(Right Bundle
Branch Block) atau 0,16

selama LBBB (Left Bundle Branch

Block) menyerupai VT. Kriteria lebarnya kompleks QRS tidak


membantu dalam membedakan VT dari SVT dengan konduksi
atrioventrikular pada Accessory Pathway karena pasien SVT bisa
saja mengalami pola kompleks QRS tersebut.
c) Karakteristik Konfigurasi pada Kompleks QRS selama Takikardi.
Sadapan prekordial sangat membantu dalam membedakan VT
dan SVT.
Interval RS lebih dari 100 ms pada semua sadapan prekordial
menandakan VT
Pola QRS pada semua sadapan sama dan dengan kompleks
QS.
Adanya ventricular fusion beat menunjukkan asal takikardi di
ventrikel

Kompleks QR menunjukkan parut miokardiaum dan muncul


pada 40% pasien dengan VT setelah infark miokardium.
2. 1.9

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan takikardi supraventrikular terbagi menjadi dua, yaitu
terapi jangka pendek dan terapi jangka panjang.

a. Terapi Jangka Pendek, digunakan pada takikardi supraventrikular yang


akut. 6
1) Manuver Vagal
Pemijatan pada sinus karotis menstimulasi baroreseptor yang
menstimulasi peningkatan aktivitas nervus vagal dan penarikan
simpatis, memperlambat konduksi melalui nodus atrioventrikular.
Jika pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan bruit karotis dan tidak
ada riwayat adanya penyakit arteri karotis, tekanan bisa dilakukan
pada tingkat kartilago krikoid selama 5 detik dengan gerakan sirkuler

yang kuat. Jika takiaritmia tetap, prosedur ini dapat dilakukan pada
sisi yang berlainan. Pendekatan lain untuk meningkatkan tonus vagal
adalah manuver Valsava atau menyentuhkan es batu ke wajah. EKG
12-sadapan terus menerus selama manuver vagal sebab cara aritmia
berakhir kemungkinan

memberikan petunjuk

pada mekanisme

terjadinya aritmia. 3,6


2) Adenosin
Adenosin merupakan

nukleotida endogen

yang bersifat

kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat


cepat dan berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada
hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan
dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel
endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada
nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme
reentry. Adenosin mempunyai efek yang

minimal terhadap

kontraktilitas jantung. 3,6


Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama
dalam terapi TSV karena dapat menghilangkan hampir semua TSV.
Efektivitasnya dilaporkan pada
diberikan secara

sekitar 90%

kasus. Adenosin

bolus intravena diikuti dengan flush saline,

pemberian 6 mg bolus intravena cepat yang diikuti dengan bolus


cairan; jika tidak ada respon dalam 1-2 menit, berikan 12 mg (waktu
paruh kurang dari 5 detik, tidak ada akumulasi risiko). Pada sebagian
pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea,
facial flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi
pada pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V,
atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node
(seperti beta blokers,

calsium channel blocker, amiodaron).

Adenosin bisa menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma.

Adenosin dikontraindikasikan pada pasien dengan kompleks


QRS lebar, transpalntasi jantung, dan penyakit paru obstruktif yang
parah. 6
3) Verapamil
Jika setelah takikardi supraventrikular terjadi lagi secara cepat
setelah pemberian adenosin, maka

dapat diberikan verapamil

intravena (berdasarkan pengalaman klinis). Pemberian verapamil


5mg intravena setiap 3-5 menit, sampai maksimum 15 mg. Obat ini
mulai bekerja 2 sampai 3 menit, dan bersifat menurunkan cardiac
output. Verapamil menghambat masuknya kalsium kedalam sel, memperlambat
konduksi, memperpanjang refraktori, dan menurunkan automatisitas nodus SA dan
AV. Banyak

laporan terjadinya hipotensi berat dan henti jantung pada

bayi berusia di bawah 6 bulan. Oleh karena itu verapamil sebaiknya


tidak digunakan pada pasien yang berusia kurang dari 2 tahun karena
risiko kolap kardiovaskular. Jika diberikan verapamil, persiapan
untuk mengantisipasi hipotensi harus disiapkan seperti kalsium
klorida (10 mg/kg), cairan infus, dan obat vasopressor seperti
dopamin. Namun, tidak ada bukti bahwa verapamil efektif mengatasi
ventrikular takikardi pada kasus-kasus yang tidak memberikan
respon dengan adenosin. 6
4) Agen Lain
a) Beta Blocker
Memiliki efek antiaritmia karena secara selektif menghambat
adrenoreseptor beta. Tujuan terapi untuk memperlambat denyut
ventrikel

bukan

meniadakan

aritmia.

Efek

sampingnya,

menyebabkan hipotensi pada gagal jantung dan penghentian


mendadak pada angina pectoris memperberat angina dan aritmia
jantung dan menimbulkan infark miokard akut. 6
b) Amiodaron
Memperpanjang refraktori pada

serat atrium

dan ventrikel,

menunda repolarisasi dengan menghambat kanal kalsium. 6

c) Digoksin
Golongan glikosida jantung yang berkerja meningkatkan daya
kontraksi otot jantung (inotropik positif) pada penderita gagal
jantung. Kerja digoksin adalah memperkuat otot jantung dalam
memompa darah, mempertahankan ritme normal jantung dan
memperlancar aliran darah. Digoksin efektif memperlambat
aliran ventrikel pada fibrilasi atrium, gagal jantung. Dosis
besar dapat menimbulkan anoreksia, mual, muntah, diare, sakit
perut, gangguan penglihatan, sakit

kepala, pusing, letih,

mengantuk, bingung, penurunan kesadaran, halusinasi, depresi,


gagal jantung, jarang terjadi ruam kulit.

b. Terapi jangka panjang


Untuk pasien dengan episode berulang, pilihan terapi jangka panjang
termasuk terapi medikasi dan ablasi. Namun, tidak semua pasien dengan
takikardi supraventrikular berulang membutuhkan terapi, tergantung
pada keparahan. 3,6
1) Terapi Farmakologi
Pasien takikardi supraventrikular dengan episode berulang
tanpa preeksitasi bisa diterapi dengan agen antiaritmia profilaksis.
Pasien dengan takikiardi re-entry nodus AV dan takikardi re-entry
AV yang dimediasi oleh jalur aksesoris harus menerima agen blok
nodus AV seperti verapamil, beta bloker, atau digoksin. Pengalaman
klinis membuktikan agen-agen ini menurunkan frekuensi episode
dan keparahan gejala sebanyak 30-60%, tetapi supresi total takikardi
supraventrikular jarang terjadi. Jika terapi dengan agen tersebut
gagal, maka pilihan berikutnya adalah kombinasi dari dua agen blok

nodus AV atau obat antiaritmia golongan Ic atau III (propafenon,


sotalol atau amiodaron). Kombinasi ini

mencegah takikardi

supraventrikular berulang sebesar 80%. Namun, terapi jangka


panjang dengan obat antiaritmia golongan Ic tidak direkomendasikan
karena efek sampingnya. Ablasi kateter lebih dipilih jika pasien
setuju. Untuk takikardi atrial, beta bloker, calcium-channel block,
dan obat antiaritmia golongan I atau III dapat meredakan gejala. 6
2) Pendekatan Pil dalam Saku (Pill-in-the Pocket)
Untuk pasien dengan episode takikardi yang jarang tetapi
memanjang (1-2 jam) dengan hemodinamik stabil, atau pasien yang
hanya mengalami satu episode takikardi supraventrikular, pilihannya
adalah meresepkan obat single-dose (Pill-in-the Pocket) untuk
diminum ketika mengalami takikardi. Obat-obatannya yaitu CCB
(verapamil 40-60 mg)

untuk pasien tanpa

preeksitasi, beta

bloker(flecainid 100-300 mg), dan propafenon 150-450 mg.


Berdasarkan penelitian, 80% episode takikardi supraventrikular
berhenti dalam 2 jam dengan kombinasi diltiazem dan propanolol
atau flecainid. 6
3) Takikardi Supraventrikular dengan Sindrom Wollf-Parkinson-White
Verapamil dan digoksin dikontraindikasikan pada

pasien

dengan sindom WPW karena obat ini meningkatkan resiko respon


ventrikel cepat, menyebabkan fibrilasi ventrikel pada pasien fibrilasi
atrium.

3,6

Pasien sindrom WPW lebih rentan terhadap timbulnya

fibrilasi atrium atau flutter, sehingga pemberian digoksin berisiko


menimbulkan konduksi 1:1 pada ventrikel dan dan menimbulkkan
takikardia dan fibrilasi ventrikel.2
Kriteria diagnosis sindrom WPW ditegakkan berdasarkan : 2
a) Pemendekan interval PR, di bawah batas normal sesuai usia, yaitu
< 3 tahun : 0,08 detik
3-16 tahun : 0,10 detik
> 16 tahun : 0,12 detik

b) Gelombang delta (slurred awal kompleks QRS)


c) Durasi QRS melebar lebih dari batas normal
4) Ablasi Kateter
Ablasi kateter pertama sekali diperkenalkan oleh Gallagher
dkk tahun 1982. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan
dengan sumber energi arus langsung yang tinggi berupa DC Shock
menggunakan kateter elektroda

multipolar yang diletakkan di

jantung. Karena pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak


terlokalisasi maka banyak

timbul komplikasi. Saat ini

dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50

ablasi

watt yang

diberikan sekiatr 30-60 detik. Energi tersebut diberikan dalam


bentuk gelombang sinusoid dengan frekuensi 500.000 siklus per
detik (hertz). Sejak awal tahun 1990-an, penggunaan ablasi kateter
meningkat. Angka keberhasilan rata-rata ARF pada TSV adalah 9098% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka penyulit
sekitar 1%.6
Selama

prosedur

ablasi

radiofrekuensi

(ARF)

timbul

pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di


bawah kateter ablasi yang menjadi sumber energi panas, bukan
kateter itu sendiri. Thermal injury

adalah mekanisme

utama

kerusakan jaringan selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu


jaringan menyebabkan

denaturasi dan evaporasi cairan yang

kemudian menimbulkan kerusakan

jaringan lebih lanjut dan

koagulasi jaringan dan darah. Kerusakan jaringan permanen timbul


pada temperatur sekitar 50 derajat celsius. 3,6
Prosedur ARF

adalah prosedur invasif minimal dengan

memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya


ke jantung kanan) dengan panduan sinar X. Biasanya prosedur ini
bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi. Selanjutnya kateter
ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting dalam mempertahankan
kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan konduksi normal. Bila

lokasi yang tepat sudah ditemukan, maka energi radiofrekuensi


diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan
adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga dirasakan adanya
rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pada pasien, hanya perlu
dirawat selama 1 hari bahkan bisa pulang hari. 3,6
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama
dan frekuensi takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan
toleransi terhadap obat anti aritmia, dan ada tidaknya kelainan
struktur jantung. Untuk TSV yang teratur, banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada obat dalam aspek
peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya daripada
obat anti aritmia. 6

Satu sampai 4 elektroda kateter dimasukkan ke jantung melalui vena femoralis (atau jugular internal
atau subklavia) dengan anestesi lokal. Radiofrekuensi voltase rendah- frekuensi tinggi (500 kHz)
membentuk energi listrik yang digunakan dalam operasi elektrokauter-dikirimkan melalui alektroda
kateter untuk membuat lesi kecil melalui thermal injury di jaringan miokardium., sistem konduksi,
atau keduanya yang diidentifikasi sebagai titik kritis aritmia jantung. Prosedur ablasi biasanya
memakan waktu 1-3 jam. Terapi dengan aspirin sering direkomendasikan selama beberapa minggu
setelah ablasi pada jantung kiri untuk menurunkan risiko emboli.

2. 1.10 Prognosis
Prognosis jangka panjang, dengan adanya jaras tambahan sangat
bervariasi. Bila sindrom WPW simptomatik terjadi pada bayi, maka dapat
mengalami kekambuhan. Insidens kematian jantung mendadak pada pasien
sindrom WPW berkisar antara 0.15 hingga 0.39% pada observasi selama 3
sampai 10 tahun. insidens kematian mendadak sindrom WPW berkisar
antara 1-2/1000 kasus tiap tahun. Biasanya henti jantung bukan merupakan
manisfestasi gejala pertama pada sindrom WPW. Faktor risiko kematian
jantung mendadak pada sindrom WPW antara lain interval RR preeksitasi
kurang dari 250 mdet saat fibrilasi atrium spontan maupun diinduksi,
riwayat takikardia simtomatik, jaras tambahan multipel, anomaly Ebstein
dan sindrom WPW familial. 5

BAB III
KESIMPULAN

Takikardi

supraventrikular

merupakan

kegawatdaruratan

kardiovaskular yang sering ditemukan pada bayi dan anak. Penyebab TSV
adalah idiopatik, sindrom Wolf Parkinson White (WPW) dan beberapa

SHQ\DNLW MDQWXQJ EDZDDQ EDQRPDOL EEVWHLQV, single ventricle, L-TGA).


Gejala klinis lain TSV dapat berupa gelisah, irritabel, diaforesis,
tidak mau menetek atau minum susu. Kadang-kadang orangtua membawa
bayinya karena bernafas cepat dan tampak pucat. Dapat pula terjadi
muntah-muntah. Laju nadi sangat cepat sekitar 200-300 per menit, tidak
jarang disertai gagal jantung atau kegagalan sirkulasi yang nyata, palpitasi,
lightheadness, mudah lelah, hoyong, nyeri dada, nafas pendek dan bahkan
penurunan kesadaran. Pasien juga mengeluh lemah, nyeri kepala dan rasa
tidak enak di tenggorokan. Risiko terjadinya gagal jantung sangat rendah
pada anak dan remaja dengan TSV tapi risikonya meningkat pada
neonatus dengan TSV, neonatus dengan WPW dan pada anak dengan
penyakit jantung.
Diagnosis TSV berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan EKG.
Penatalaksanaan TSV berupa penatalaksanaan segera dan jangka panjang
yaitu medikamentosa, DC shock, ablasi kateter, pemakaian alat pacu
jantung dan tindakan bedah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lukman H. Makmun 2009. Aritmia Supraventrikular. Buku Ajar Penyakit


Dalam Jilid II. Edisi V. Ed. Bambang,S, dkk. Jakarta: InternaPublishing.
2. Rahayuningsih, Sri Endah. 2005. Sindrom Wolff Parkinson White. Sari
Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 73 - 76
3. Lundqvist, Carina B., Etienne M. Aliot, Joseph A. Alpert, et al. 2003.
ACC/AHA/ESC Guidelines for The Management of
Patients with
Supraventricular Arrhytmias- Executive Summary. European Heart Jurnal
2003 (24) : 1857-1897
4. Aslinar.
2010.
Takikardi
Supraventrikular- Sebuah Referat.
(http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/en/index.html,
diakses 3 Agustus 2012)

5. Yuniadi, Yoga. 2011. Takikardia Iregular Dengan Kompleks QRS Lebar:


Mekanisme dan Tatalaksana. J Kardiologi Indonesia. 2011;32:66-68
6. Delacretaz, Etienne. 2006. Supraventricular Tachychardia. New England
Journal of Medicine (NEJM) 2006;354:1039-1051
7. Fox, David J., Tischenko, Alexander, et al. 2008. Supraventricular
Tachycardia: Diagnosis and Management. Mayo Clinic Proceedings,
December 2008;83(12):1400-1411

Anda mungkin juga menyukai