Anda di halaman 1dari 3

ertama kali, Hierarchy of Effects Model dipopulerkan oleh Lavidge & Steiner pada tahun 1961.

Model ini
diciptakan untuk memperlihatkan proses, atau langkah, yang membuat pengiklan berasumsi bahwa
konsumen melalui proses pembelian secara lebih jelas. Lavidge & Steiner memaparkan bahwa langkahlangkah tersebut harus dilalui secara linier, namun a potential purchaser sometimes may move up
several steps simultanesly.
Menurut Hierarchy of effects model, dari melihat iklan sampai dengan melakukan pembelian, konsumen
selalu mengikuti alur proses yang sangat teratur. Pengambilan keputusan konsumen dalam membeli dan
mengkonsumsi produk/merek tertentu diawali oleh awareness atau pengenalan terhadap produk
tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan pemahaman yang ditindak lanjuti dengan tingkat kesukaan dan
penilaian lebih baik dibandingkan dengan produk lain. Dan akhirnya konsumen memutuskan untuk
mencoba merek tersebut. Model ini menyebutkan bahwa proses selalu berurutan dan selalu berawal dari
proses pengenalan.
Pada fase awal, awareness, berasal dari ditangkapnya informasi tentang merek dan produk oleh
konsumen, baik oleh usaha yang dilakukan oleh konsumen sendiri dalam aktivitasnya (baik sengaja
maupun tidak sengaja mencari) ataupun oleh aktivitas proaktif pengelola produk/merek untuk
mengkomunikasikan produk.
Karena itu, definisi loyalty pada teori hierarchy of effects tidak sebatas awareterhadap produk, tetapi juga
pelanggan perlu mengetahui knowledge dari produk. Artinya, perusahaan perlu membuat pelanggan
mengetahui produk yang ditawarkan, mulai dari functional benefit sampai dengan emotional benefityang
akan diterimanya. Dengan mengetahui semua informasi atau knowledgemengenai produk, maka
pelanggan akan merasa dihargai dan akan lebih menghargai produk tersebut maupun perusahaannya.
Setelah fase tersebut, maka preferensi terhadap produk akan semakin kuat. Pelanggan akan cenderung
memilih produk yang kita tawarkan dibandingkan produk lain. Di sinilah peran komunikasi dan strategi
diferensiasi maupunpositioning diperlukan. Karena pelanggan akan lebih mudah membedakan dan
memahami kelebihan produk.
Pada fase berikutnya, perusahaan perlu membuat pelanggan agar menjadiinterest terhadap produk.
Tahapan ini bertujuan untuk membuat pelanggan merasa tertarik dan berkeinginan kuat untuk
menggunakan produk. Caranya, tentu dengan strategi komunikasi yang tepat, yang mampu merangsang
rasa ingin tahu dan rasa ingin memiliki konsumen terhadap produk.
Setelah konsumen merasa interest, maka secara intensif akan selalu memperhatikan produk. Hal ini
terjadi setelah ada pemahaman terhadap produk, mulai dari manfaat yang bisa didapatkan termasuk
identitas dari produk maupun mereknya. Akibatnya, konsumen telah berada pada tingkat ketertarikan
yang kuat yang menyebabkan konsumen secara intensif tidak dapat melepaskan ketertarikannya dari
produk.
Pada tingkatan berikutnya, berdasarkan perilaku manusia pada umumnya, maka konsumen akan
tergerak untuk mencoba (trial) produk. Di tahap ini, konsumen akan mencari tahu apakah produk yang
dikomunikasikan benar-benar sesuai dengan informasi yang telah diketahui sebelumnya. Dengan
merasakan produk secara langsung, akhirnya konsumen dapat memutuskan apakah ia akan terus
melakukan pembelian atau hanya cukup sekali atau beberapa kali mencoba.

Yang kemudian menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah konsumen yangtrial sudah jadi pelanggan?
Untuk membuktikannya, dibutuhkan waktu untuk melihat hasil sebenarnya. Karena, bisa saja di saatsaat awal intensitas pembelian oleh konsumen sangat banyak dan bervolume besar. Namun, beberapa
bulan kemudian langsung menurun drastis. Ini berarti, konsumen hanya sebatas
melakukan trial. Setelah mengetahui produk yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan informasi yang
diterimanya, atau tidak seperti yang diharapkan, maka konsumen akan langsung beralih ke produk
lainnya.
Tetapi, bila konsumen merasa puas dengan produk yang dikonsumsinya, maka konsumen akan masuk
dalam fase use. Artinya, konsumen telah berada pada fase pembelian produk secara berulang-ulang.
Kalau mengacau pada konsep Oliver, maka konsumen masih berada pada fase conative loyal. Yaitu,
motivasi konsumen terhadap pembelian cukup kuat dan berulang, namun masih ada hambatan
atau gap yang membuat konsumen dapat beralih ke produk lain.
Pada fase tertinggi, ketika konsumen telah makin percaya dan memilikirelationship yang kuat dengan
produsen, maka konsumen telah masuk ke faseadoption. Kembali mengacu pada konsep Oliver, maka
fase ini berada pada kategori action loyal. Artinya, konsumen telah benar-benar loyal bila hambatan
sebesar apapun tidak membuat konsumen beralih ke produk atau merek lain. Pada fase ini, konsumen
telah menjadi sangat fanatik terhadap sebuah merek dari produk.
Untuk membuat konsumen masuk dalam fase adoption, maka perusahaan perlu melakukan sebuah
strategi relationship marketing yang ampuh. Dengan begitu, maka akan tercipta sebuah hubungan yang
erat antara konsumen dengan perusahaan. Hubungan yang terjadi tidak sebatas transaksi, tetapi telah
sampai pada tingkatan tertinggi yaitu partner.
Lalu, ketika konsumen telah berada di fase tertinggi, apakah tidak ada lagi strategi komunikasi yang
perlu dilakukan? Pastinya, strategi komunikasi danrelationship marketing harus selalu dilakukan. Hanya,
strategi yang dilakukan tentu berbeda untuk tiap tahapan, mulai dari strategi komunikasi di fase-fase
awal maupun di fase-fase akhir seperti pada fase adoption. Karena memang tujuan tiap fase berbeda.
Apalagi bila perusahaan bermaksud ingn mengakuisisi konsumen agar beralih dari produk pesaing ke
produknya.
Pada kasus ini, dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang ampuh. Mulai dari bagaimana
mengidentifikasi needs dan wants dari konsumen. Kemudian, mengidentifikasi kelemahan, positioning,
dan differensiasi dari produk pesaing. Sampai dengan membuat strategi komunikasi dan relationship
marketing yang membuat konsumen paham akan product knowledge, interest, dan mau mencoba (trial)
terhadap produknya. Bila konsumen sudah mulai beralih untuk mencoba produknya, maka tinggal
bagaimana membuat konsumen menjadi pelanggan (user) dan masuk pada tahapan tertinggi
yaitu adoption.
Intinya, diperlukan sebuah strategi integrated marketing communication yang mampu membuat
konsumen baru atau mengakuisisi konsumen yang setia terhadap produk lain agar bisa menjadi
pelanggannya. Tentunya, strategi ini perlu mengacu pada tahapan yang ada pada hierarchy of effects
model. Dengan begitu, maka perusahaan dapat dengan tepat mengidentifikasi perilaku konsumen dan
menentukan strategi komunikasi yang tepat pada setiap fasenya.

Akhirnya, perusahaan dapat membawa konsumen sesuai dengan yang diharapkan, yaitu menjadi
pelanggan yang loyal terhadap produknya.
***

Daftar Pustaka
Barry, Thomas E, and Howard, Daniel J. A. (1990). Review and Critique of the Hierarchy of Effects in
Advertising. International Journal of Advertising. Vol. 9.
Belch, G. E. and Belch, M. A. (1998). Advertising and Promotion: An Integrated MarketingCommunications
Perspective. 4th Ed, McGraw-Hill, Boston Colley, Russell H (1961). Defining Advertising Goals for
Measured Advertising Results. New York: Association of National Advertisers.
Griffin, Jill. (1995). Customer Loyalty: How to Earn It and How to Keep It. Lexington Books, New York.
Hackley, C. (2005) Advertising and Promotion: Communicating Brands, SAGE, London.
Karlson, Linda (2007). Advertising Models and Theories.
Lavidge, Robert C, and Steiner, Gary A. (1961). A Model for Predictive Measurements of Advertising
Effectsiveness. Journal of Marketing 25 (Oct): 59-62. Oliver, R.L. (1999). Whence Consumer Loyalty.
Journal of Marketing 63: 33-44.

Anda mungkin juga menyukai