data genetika, bahasa dan budaya. Hal tersebut memerlukan informasi dari
berbagai disiplin akademis.
Konsensus saat ini masih mendeskripsikan jalur ekspansi bangsa Austronesia secara
rumit dan kontroversial. Para peneliti mencoba mencari sebab situasi pelik ini.
Pertama, banyak kajian dilakukan dengan fokus yang terlalu sempit; satu disiplin
atau satu target. Contohnya, sebagian besar peneliti sepakat bahwa garis
keturunan maternal bangsa Austronesia (mtDNA) bisa ditelusuri asalnya dari Taiwan
dan/atau kepulauan Asia Tenggara (Sunda/Wallacea), sedangkan garis keturunan
paternal (NRY) bisa ditelusuri asalnya dari Melanesia/kepulauan Asia Tenggara
(Sunda/Wallacea), sebuah dikotomi yang kecil kemungkinannya terjadi.
Hal ini terjadi karena pergerakan Polynesian motif yang diasumsikan berasal
dari Taiwan, bersama dengan garis keturunan RPS4Y* (C-M38, C-M208, CP33) yang diasumsikan berasal dari Melanesia. PM mulai terbentuk di
Wallacea, dan C-M208 juga mendominasi pegunungan Papua (populasi Dani
dan Lani), serta sebagian besar bergerak ke pegunungan timur PNG seperti
Koinambe. Jadi sangat tidak berdasar jika C-M208 diasumsikan sebagai
populasi Melanesia.
Contoh nyata dari kesalahan asumsi tersebut adalah ketika beberapa peneliti
mengkaji struktur populasi Indonesia Timur berdasarkan genome populasi
saat ini, ketidaktepatan mengasumsikan asal garis keturunan maternal (PM)
dan paternal (C-M208) menghasilkan perdebatan yang tidak perlu antara Xu
et al. dan Denham & Donohue tentang percampuran antara keturunan Asia
dan Papua di Indonesia Timur.
Kedua, beberapa model tidak lengkap dalam mengkaji aspek diaspora. Beberapa,
seperti contoh sebelumnya hanya mengkaji pola sebaran genetik marker,
sementara yang lain mengkaji mekanisme kausal dan prosesnya. Karena itu, konflik
yang sangat kentara antara data mtDNA dan NRY populasi Polynesia dapat
dijelaskan akibat adanya aliran gen dari populasi berkarakter Mongoloid penutur
Austronesia dan populasi berkarakter Australoid penutur Papua seperti dijabarkan
Bellwood dan didukung oleh Chambers dan Edinur (2013).
Ketiga, di beberapa kasus tampaknya kurangnya pengakuan tentang adanya
percampuran genetik antar populasi dan pemisahan gen, dari berbagai unsur
budaya. Percampuran genetik antar populasi bisa mengganggu rekonstruksi dan
umur pohon kekerabatan populasi, sedangkan pemisahan gen bisa salah
menempatkan estimasi dalam menarik kesimpulan secara keseluruhan. Sehingga,
data dari berbagai organisme seperti ayam, babi, anjing, dengan derajat keyakinan
yang tinggi, menyatakan bahwa kesemuanya dibawa oleh bangsa Austronesia dari
kepulauan Asia Tenggara. Hal ini tidak harus diartikan bahwa bangsa Austronesia
berasal dari Asia Tenggara, hanya saja pada masa tertentu mereka berada di
kepulauan Asia Tenggara. Dengan kata lain, mereka bisa saja membawa segala
sesuatu yang ditemui di perjalanan menuju Pasifik namun berasal dari tempat lain.
Yang terakhir, terdapat masalah klasik pemakaian asumsi yang kurang tepat
berkenaan dengan asal geografi dan populasi pada masing-masing model yang ada.
Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan populasi Melanesia adalah mereka
dengan gen pribumi 100% berasal dari Papua, khususnya pedalaman Papua dan
Papua Nugini, serta keturunan dari populasi pendahulu penutur Austronesia yang
berada di sebelah timur Papua Nugini. Beberapa penutur Austronesia ini bisa
disebut dengan populasi proto-Malayo-Polynesia (pMP) memiliki lebih dari 70% gen
Austronesia dan bermukim di pesisir utara Papua Nugini dan kepulauan kecil
disekitarnya di Kepulauan Bismarcks. Keturunan campuran lainnya adalah populasi
Melanesia yang berkerabat dekat dengan genome Papua/Austronesia yang hidup di
wilayah pesisir Papua Nugini dan desa-desa di bagian tengah dari kepulauan kecil
disekitarnya (Friedlaender 2007).
Perbedaan signifikan antara permasalahan di atas adalah misteri pertanyaan,
apakah penutur Austronesia migrasi ke arah Taiwan seperti klaim Oppenheimer,
atau migrasi dari Taiwan ke arah selatan seperti klaim Tabbada et al., 2010?
Menurut Chambers kedua alternatif tersebut bisa direkonsiliasi jika salah satu
memberikan keleluasaan adanya perkawinan antara penutur Austronesia dari
Taiwan dengan populasi pribumi lokal kepulauan Asia Tenggara, seperti yang
diusulan Jinam et al., 2012, dan juga diusulkan oleh Bellwood et al. (2011),
Chambers (2006), Norhalifah et al. (2015), dan Chambers & Edinur (2013). Kedua
pandangan tentang sejarah penduduk pribumi sepakat bahwa penutur Austronesia
bukanlah populasi pertama yang mendiami wilayah pribumi termasuk Taiwan.
Pendahulu mereka termasuk populasi aborigin dan kelompok Negrito yang
menyebar di seantero kepulauan Asia Tenggara. Chambers kemudian mengusulkan
model baru dengan gambaran yang lebih luas yang dinamakan Synthetic Total
Evidence Model, dan mengikutsertakan elemen proses yang lebih mendalam
seperti natural selection, founder effects dan genetic bottlenecks.
Banyak peneliti yang ingin mengungkap misteri ekspansi Austronesia dihadapkan
pada bukti-bukti yang saling kontradiksi, karena sebagian besar mereka tidak
melihat pokok permasalahan dari berbagai perspektif disiplin ilmu. Ahli genetika
akan melihat data-data uniparental markers (garis keturunan kedua orang tuanya),
analisis genome untuk mencari dari mana mereka berasal, atau data-data genetika
lainnya seperti gen HLA dan KIR, untuk memastikan populasi mana yang
berekspansi ke Pasifik. Ahli bahasa hanya akan membandingkan kata-kata yang ada
di berbagai populasi dan dengan perhitungan statistik mereka menentukan
kedekatan satu sama lain. Arkeolog hanya akan menghitung umur artefak, dan
dibandingkan
dengan
daerah
lainnya,
kronologi
akhir
tidak
akan
mempertimbangkan data-data dari disiplin lain, ini bisa menjadi suatu hal uang fatal
hanya karena tidak semua artefak berhasil ditemukan. Paleoantropolog, dengan
data-data fosil berusaha menggandeng genetika dan arkeolog untuk memastikan
umur yang dihasilkan dari berbagai disiplin ilmu memiliki ketidakpastian yang
rendah. Namun itu semua belum cukup. Kadang kita harus mengikuti jejak
perjalanan binatang dan tumbuhan, seperti ayam, anjing, babi, tikus, mulberi,
pisang, kelapa, bahkan bakteri hingga penyakit tertentu. Kadang kala, data catatan
sejarah, cerita rakyat, legenda, mitos, bisa menunjuk ke titik di mana kita harus
mencari. Dan hanya sebagai data pembanding, bukan sebagai fakta yang harus
dipakai untuk menarik kesimpulan. Pelajaran penting yang saya dapat selama
menelusuri sejarah populasi dari berbagai disiplin ilmu, adalah bahwa jika disiplin
ilmu tidak menghasilkan waktu yang sama, maka lihatlah dari perspektif yang lain,
cari jalan memutar untuk menyatukan kronologi. Karena ekspansi Austronesia
terjadi dalam kurun waktu 4000 tahun terakhir, maka segala catatan sejarah, cerita
rakyat, legenda, mitos, tradisi lokal, bisa menjadi petunjuk arah di mana kita harus
mencari.
Mungkin untuk ekspansi Austronesia, kita harus melihat segala perspektif lebih
rinci. Langkah pertama mungkin paling efektif adalah memetakan temuan
arkeologi. Sekali merengkuh dayung dua tiga ekspansi bisa diungkap. Kenapa harus
berawal dari temuan-temuan arkeologi? Sebelum ekspansi Austronesia, ada
hipotesis bahwa populasi yang mendahului mereka, yang dikenal dengan protoMelayu-Polynesia (pMP) lebih dahulu melanglang lautan. Hal ini ditandai dengan
sebaran populasi leluhur penutur Austronesia yang terjadi paska mencairnya es di
kutub utara pada awal era Holocene, dengan genetik marker mtDNA E, dan
mungkin juga B4a1. Karena kedua marker tersebut tersebar luas dari daratan Asia
Tenggara sampai Pasifik, maka temuan arkeologi berupa tembikar dan mungkin
peralatan mencari ikan akan sangat membantu. Bahkan sisa-sisa pembakaran masa
lalu pun bisa menjadi petunjuk keberadaan manusia pendahulu di pulau-pulau kecil
di Pasifik. Keakuratan penanggalan karbon yang dilakukan arkeolog bisa
mempersempit rentang waktu populasi yang sedang ditelusuri. Hasil penting dari
data-data arkeologi bisa menjadi kalibrator bagi disiplin lain yang melakukan
penanggalan berdasarkan biologi molekuler maupun berdasarkan catatan masa lalu
yang masih tergantung dengan asumsi yang dipakai. Namun sekarang kita bisa
memakai analisis ancient DNA sebagai interface antara arkeologi dan genetika.
Setidaknya, data genetika populasi bisa dikalibrasi dengan data aDNA, sehingga
diskrepansi antara umur fosil dan umur genetik marker bisa dipersempit.
Meskipun analisis genetika telah menyumbangkan kontribusi yang cukup signifikan
terhadap rekonstruksi sejarah penutur Austronesia, namun perlu diwaspadai bahwa
perlu pendalaman atas kesimpulan yang diambil dari masing-masing data genetika
populasi penutur Austronesia. Tidak sesederhana yang dijabarkan oleh para peneliti
genetika populasi, ada beberapa hal kecil yang sering diabaikan, sehingga apa yang
dipaparkan tidak seperti kenyataan yang ada. Di bagian lain, saya akan tunjukkan
perihal genetic markers penutur Austronesia yang kurang tepat disimpulkan karena
ketidaksesuaian dengan realitas yang ada. Analisis genome populasi saat ini
memang memberi gambaran tentang struktur dan komposisi populasi penutur
Konsensus yang tidak terbantahkan, bahwa kepulauan Asia Tenggara, dalam hal ini
Sundaland dan Wallacea, lebih jauh lagi Sahul, telah dihuni manusia jauh sebelum
budaya Austronesia berkembang. Garis keturunan dari populasi pendahulu tersebut
diantaranya Orang Asli di Semenanjung Malaysia, suku pedalaman Papua dan PNG,
beberapa populasi Negrito seperti pribumi Andaman, Mamanwa dan Manobo di
Filipina, serta suku aborigin di Australia. Meskipun masih banyak yang belum
terungkap, seperti manusia tertua di China selatan, Daoxian, kemudian manusia
Tam Pa Ling di Laos, manusia di Maros Sulawesi Selatan, Flores, dan lain-lain, bukti
paleoantropologi baru menemukan fosil di Gua Niah di Serawak, Kepulauan
Bismarcks bagian utara, dan Gua Callao di Filipina. Salah satu dari populasi
pendahulu selanjutnya menghuni kepulauan Bismarcks, di mana bukti tembikar
khas Lapita tertua ditemukan (red-slipped pottery). Disimpulkannya Lapita berasal
dari kepulauan Bismarcks mengabaikan tembikar yang juga berbahan tanah merah
namun tanpa dekorasi yang sudah tersebar di masa sebelumnya di Borneo,
Sulawesi dan Maluku. Sebelum sampai pada bentuk tembikar Lapita yang menjadi
khas budaya Lapita, mereka juga mengalami fase yang dinamakan tembikar praLapita. Ini yang jarang diteliti oleh para ahli genetika populasi. Jika perbandingan
fase budaya Lapita dengan penanda genetik populasi, mungkin akan semakin jelas
kenapa bentuk awal tembikar dari tanah liat juga tersebar di Wallacea dan Borneo.
Populasi Melanesia yang berbahasa Austronesia diasumsikan mengikuti bangsa
Lapita ke Pasifik dan kemudian pada akhirnya menggantikan mereka di sekitar
Bismarcks sampai Fiji dan Tonga. Kedatangan mereka terkait dengan punahnya
budaya Lapita, karena mereka mengadopsi budaya tembikar yang lebih sederhana.
Sebaran bahasa dalam rumpun Austronesia juga bisa dibilang sebuah paradoks.
Para suku aborigin Taiwan berbahasa sembilan dari sepuluh bahasa induk
Austronesia (Formosan), namun bahasa induk ke sepuluh, Malayo-Polynesian, yang
berisi semua bahasa-bahasa Austronesia terdapat diluar Taiwan. Jika semua bahasa
Austronesia dari Madagascar sampai Pasifik lebih berkerabat dekat dengan MalayoPolynesia, kenapa harus Taiwan yang menjadi daerah asal dan pusat keragaman
bahasa Austronesia? Kenapa tidak diinterpretasikan bahwa terjadi irisan antara
Formosan dan Malayo-Polynesia di beberapa suku aborigin Taiwan, mareka mereka
merupakan margin utara dari sebaran bahasa Malayo-Polynesia? Kesimpulan
berdasarkan hipotesis bahwa sembilan dari sepuluh bahasa induk Austronesia
berada di Taiwan, menjadikan Taiwan sebagai asal-usul bahasa Austronesia adalah
kesimpulan yang kurang komprehensif. Dari empat belas suku aborigin Taiwan yang
ada saat ini, tidak mewakili semua bangsa Austronesia yang pernah hidup di
Taiwan. Setidaknya delapan suku di dataran rendah bagian barat sudah punah, dan
mengadopsi budaya bangsa Han yang datang setidaknya 300 tahun yang lalu. Para
ahli bahasa menduga setidaknya dulu pernah ada suku penutur Malayo Polynesia
dan menjadi leluhur populasi penutur Malayo-Polynesia saat ini. Dugaan yang tidak
mengindahkan adanya populasi dengan garis keturunan E1a1 yang pada dasarnya
merupakan kerabat dekat populasi penutur Malayo-Polynesia, dan secara umum
adalah penutur proto-Malayo-Polynesia (pMP). Para ahli genetika punya argumen
dan menerima pasangan pria keturunan Papua untuk tinggal bersama. Mungkinkah
wanita penutur Austronesia juga merupakan migran dari luar dalam sistem
matrilokal? Konsekuensi dari praktik tersebut, menjelaskan kenapa penanda genetik
paternal populasi Pasifik mendominasi PNG dan Asia.
Kontradisi lain, sudah didebat bahwa terjadi percampuran antara penutur
Austronesia dan Papua di sekitar pesisir utara PNG ~4500 tahun yang lalu. Jika
dilihat berdasarkan analisis autosomal SNP dan STR, efek tersebut terlihat. Dan
tentu saja tergantung dari panel yang dipakai. Penetapan mana yang berasal dari
Asia dan mana yang asli Papua perlu dikaji ulang. Bahkan Wollstein (2010) dan
Kimura (2008) mencatat setidaknya 20-30% genepool penutur Austronesia masuk
ke Pasifik karena proses admixture. Sedangkan populasi Melanesia masih tercatat di
angka 50%. Peneliti lain mencatat admixture antara penutur Austronesia
berperawakan Mongoloid dengan Orang Asli (Norhalifah et al., 2015a; Lipson et al.,
2014), kemudian disempurnakan dengan kesimpulan bahwa admixture antara
penutur Austronesia dan proto-Melayu menghasilkan populasi Melayu saat ini (Deng
et al. 2015).
Populasi penutur Austronesia dengan minimal admixture dengan populasi Papua
dipandang sebagai kandidat leluhur populasi Polynesia, yang sebagian mereka
mendiami kepulauan Bismarcks dan sekitarnya, dan kemudian migrasi sampai
Rapanui dan Selandia Baru. Mereka menghasilkan keturunan dengan karakter yang
kompleks, dengan ketidakcocokan antara penampilan fisik, gen, bahasa dan budaya
(Friedlaender 2007). Bangsa Polynesia mendiami seantero Pasifik dengan sebagian
budaya Lapita masih diwarisinya. Harga yang harus dibayar oleh proses mendiami
Pasifik adalah keragaman genetik yang semakin berkurang. Berkurangnya
keragaman genetik dari Barat ke Timur di seantero Pasifik karena peristiwa founder
effect yang berulang, kadang diinterpretasikan sebagai bottleneck genetik di
Polynesia, meskipun istilah tersebut kurang tepat. Sedangkan pada suku Maori di
Selandia Baru, berkurangnya variabilitas hanya berkisar antara 5-10%. Dan peneliti
meyakini hanya berdasarkan data populasi paling ujung dari ekspansi Austronesia,
dengan resiko bahwa migrasi yang terjadi karena direncanakan, dan dalam jumlah
besar, seperti yang diteliti Storey et al. (2013). Banyak populasi penutur
Austronesia saat ini mengalami episode baru admixture, seperti suku Maori dan
Hawaii, dengan populasi Eropa, dan hal tersebut dibarengi dengan pergeseran
bahasa menjadi bahasa Inggris dengan dialek lokal.
Di Indonesia, setidaknya para ahli genetika mencatat ada empat sumber populasi
utama. Pertama, pribumi Sundaland yang terkait dengan Negrito/Orang Asli,
kemudian Austroasiatik setidaknya masuk pada awal era glasial (perlu mengkaji
kembali penelitian Jinam et al. (2012), utamanya garis paternal). Hal ini bisa
dipandang sebagai episode lain terjadinya aliran gen antara populasi Austroasiatik
dengan Austronesia, sebagai populasi ketiga yang datang kemudian, tercermin
dalam perkembangan tradisi budaya lokal (Tumonggor et al. 2013). Episode terakhir
adalah migrasi dari populasi Arab, China dan India, para saudagar yang masuk
Kemudian, menurut model STEM, satu cabang bangsa Austronesia dari kepulauan
Nusantara migrasi ke arah timur, melalui pesisir utara PNG, dan kemudian ke
Pasifik. Satu cabang lagi menuju ke arah barat, dari Borneo, Sumatra dan Jawa,
menembus Samudra India dan menuju Madagascar. Untuk fraksi yang ke arah
Madagascar, kita perlu melihat penelitian P. Kusuma (2015). Sedangkan fraksi yang
ke arah Pasifik kita perlu meneliti struktur populasi masing-masing pulau di Pasifik.
Sehingga kita tidak salah dalam menginterpretasikan marker yang ada. Terdapat
jeda antara Lapita fase akhir (2900 tahun yang lalu) dengan masa pendudukan
wilayah Segitiga Polynesia. Sehingga disimpulkan founder effect terjadi di segitiga
tersebut, Pulau Paskah, Hawaii dan Selandia Baru, terjadi dalam rentang waktu
1200 sampai 750 tahun yang lalu. Jika kita lihat satu contoh dari disiplin bahasa,
kata yang berarti wanita dalam bahasa Madura bine, di Pulau Paskah menjadi
b(ah)ine, dan di Hawaii menjadi w(ah)ine. Kita harus mempertimbangkan kesamaan
dari ketiga wilayah tersebut adalah Polynesian motif, yang tidak kita temukan di
Taiwan.
Bersambung.