Anda di halaman 1dari 14

Konsensus Ekspansi Austronesia di Masa Lalu

Sebelum membongkar perjalanan penanda genetik populasi penutur Austronesia,


kita perlu melihat kembali konsensus ekspansi Austronesia di masa lalu, dan saat
ini.
Penyebaran pengembara lautan dalam tempo relatif singkat, dengan keterbatasan
interaksi dengan penduduk pribumi di sepanjang perjalanan mereka, adalah konsep
inti dari Taiwan Homeland yang saat ini mulai dipandang terlalu ekstrim, dan tidak
sesuai lagi dengan kenyataan berdasarkan bukti-bukti baru berbagai disiplin ilmu.
Model Slow Boat yang diusulkan Kayser et al. (2000) masih mempertimbangkan
adanya interaksi penutur Austronesia dengan populasi pribumi di wilayah sepanjang
perjalanan menuju Pasifik; dalam hal ini populasi Wallacea dan Papua. Bukti yang
disediakan Kayser berasal dari kronologi arkeologi, bahasa dan beberapa data
organisme komensal. Data dari genetika banyak mendukung model ini.
Model dari Oppenheimer Eden of the East berpendapat bahwa populasi penutur
Austronesia berasal dari benua Asia, menyebar melalui paparan Sunda dan
kemudian 'terjebak' di kepulauan Nusantara ketika permukaan air laut naik di awal
era Holocene. Selanjutnya migrasi penutur Austronesia terjadi dengan beberapa
skenario seperti Slow Boat atau Slow Train (dari Melanesia vs. dari Kepulauan
Asia Tenggara, dan seterusnya). Model ini sangat dipengaruhi oleh interpretasi
terhadap data genetika dimana garis keturunan pria dan wanita dilihat secara
terpisah. Kekuatan persuasif dari model ini adalah bahwa model ini bermuara pada
hipotetis kausalitas geologi dan iklim. Argumen yang paling keras menentang model
ini adalah bahwa model ini terlalu memaksakan Taiwan sebagai ujung pangkal
migrasi dengan budaya yang terisolasi. Hal ini kontra dengan mereka yang
berpendapat bahwa populasi pribumi Taiwan yang tinggal di perbukitan dan
pegunungan sebagai pewaris utama keragaman bahasa Austronesia, dan juga
kontra dengan umur arkeologi situs di Taiwan, Filipina dan Kepulauan Batan yang
berada di antara keduanya.
Konsep Taiwan Homeland memiliki masalah lain, karena jejak-jejak leluhur mereka
mulai menghilang disebabkan adanya ekspansi populasi Han dari daratan China.
Situasi tersebut diperburuk oleh hal-hal yang mengalihkan perhatian dari masalah
pokok, seperti bangsa Champa yang pernah mendominasi kerajaan Champa di
Vietnam dan Kamboja yang bahkan saat ini adalah penutur Austronesia. Namun
demikian, bukti genetika menunjukkan bahwa leluhur populasi Taiwan mengalami
pergeseran bahasa (Peng et al., 2010). Komponen populasi Daic yang belum
teridentifikasi adalah kandidat utama leluhur penutur Austronesia yang berasal dari
daratan Asia Tenggara (Li et al., 2008). Banyak peneliti, termasuk Bellwood, juga
secara kritis mulai mempertanyakan berbagai aspek tentang diaspora bangsa
Austronesia. Untuk merekonstruksi pergerakan manusia sangat penting
berdasarkan pada bukti arkeologi seperti sejarah artefak dan dukungan dari data-

data genetika, bahasa dan budaya. Hal tersebut memerlukan informasi dari
berbagai disiplin akademis.
Konsensus saat ini masih mendeskripsikan jalur ekspansi bangsa Austronesia secara
rumit dan kontroversial. Para peneliti mencoba mencari sebab situasi pelik ini.
Pertama, banyak kajian dilakukan dengan fokus yang terlalu sempit; satu disiplin
atau satu target. Contohnya, sebagian besar peneliti sepakat bahwa garis
keturunan maternal bangsa Austronesia (mtDNA) bisa ditelusuri asalnya dari Taiwan
dan/atau kepulauan Asia Tenggara (Sunda/Wallacea), sedangkan garis keturunan
paternal (NRY) bisa ditelusuri asalnya dari Melanesia/kepulauan Asia Tenggara
(Sunda/Wallacea), sebuah dikotomi yang kecil kemungkinannya terjadi.
Hal ini terjadi karena pergerakan Polynesian motif yang diasumsikan berasal
dari Taiwan, bersama dengan garis keturunan RPS4Y* (C-M38, C-M208, CP33) yang diasumsikan berasal dari Melanesia. PM mulai terbentuk di
Wallacea, dan C-M208 juga mendominasi pegunungan Papua (populasi Dani
dan Lani), serta sebagian besar bergerak ke pegunungan timur PNG seperti
Koinambe. Jadi sangat tidak berdasar jika C-M208 diasumsikan sebagai
populasi Melanesia.
Contoh nyata dari kesalahan asumsi tersebut adalah ketika beberapa peneliti
mengkaji struktur populasi Indonesia Timur berdasarkan genome populasi
saat ini, ketidaktepatan mengasumsikan asal garis keturunan maternal (PM)
dan paternal (C-M208) menghasilkan perdebatan yang tidak perlu antara Xu
et al. dan Denham & Donohue tentang percampuran antara keturunan Asia
dan Papua di Indonesia Timur.

Kedua, beberapa model tidak lengkap dalam mengkaji aspek diaspora. Beberapa,
seperti contoh sebelumnya hanya mengkaji pola sebaran genetik marker,
sementara yang lain mengkaji mekanisme kausal dan prosesnya. Karena itu, konflik
yang sangat kentara antara data mtDNA dan NRY populasi Polynesia dapat
dijelaskan akibat adanya aliran gen dari populasi berkarakter Mongoloid penutur
Austronesia dan populasi berkarakter Australoid penutur Papua seperti dijabarkan
Bellwood dan didukung oleh Chambers dan Edinur (2013).
Ketiga, di beberapa kasus tampaknya kurangnya pengakuan tentang adanya
percampuran genetik antar populasi dan pemisahan gen, dari berbagai unsur
budaya. Percampuran genetik antar populasi bisa mengganggu rekonstruksi dan
umur pohon kekerabatan populasi, sedangkan pemisahan gen bisa salah
menempatkan estimasi dalam menarik kesimpulan secara keseluruhan. Sehingga,
data dari berbagai organisme seperti ayam, babi, anjing, dengan derajat keyakinan
yang tinggi, menyatakan bahwa kesemuanya dibawa oleh bangsa Austronesia dari
kepulauan Asia Tenggara. Hal ini tidak harus diartikan bahwa bangsa Austronesia
berasal dari Asia Tenggara, hanya saja pada masa tertentu mereka berada di

kepulauan Asia Tenggara. Dengan kata lain, mereka bisa saja membawa segala
sesuatu yang ditemui di perjalanan menuju Pasifik namun berasal dari tempat lain.
Yang terakhir, terdapat masalah klasik pemakaian asumsi yang kurang tepat
berkenaan dengan asal geografi dan populasi pada masing-masing model yang ada.
Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan populasi Melanesia adalah mereka
dengan gen pribumi 100% berasal dari Papua, khususnya pedalaman Papua dan
Papua Nugini, serta keturunan dari populasi pendahulu penutur Austronesia yang
berada di sebelah timur Papua Nugini. Beberapa penutur Austronesia ini bisa
disebut dengan populasi proto-Malayo-Polynesia (pMP) memiliki lebih dari 70% gen
Austronesia dan bermukim di pesisir utara Papua Nugini dan kepulauan kecil
disekitarnya di Kepulauan Bismarcks. Keturunan campuran lainnya adalah populasi
Melanesia yang berkerabat dekat dengan genome Papua/Austronesia yang hidup di
wilayah pesisir Papua Nugini dan desa-desa di bagian tengah dari kepulauan kecil
disekitarnya (Friedlaender 2007).
Perbedaan signifikan antara permasalahan di atas adalah misteri pertanyaan,
apakah penutur Austronesia migrasi ke arah Taiwan seperti klaim Oppenheimer,
atau migrasi dari Taiwan ke arah selatan seperti klaim Tabbada et al., 2010?
Menurut Chambers kedua alternatif tersebut bisa direkonsiliasi jika salah satu
memberikan keleluasaan adanya perkawinan antara penutur Austronesia dari
Taiwan dengan populasi pribumi lokal kepulauan Asia Tenggara, seperti yang
diusulan Jinam et al., 2012, dan juga diusulkan oleh Bellwood et al. (2011),
Chambers (2006), Norhalifah et al. (2015), dan Chambers & Edinur (2013). Kedua
pandangan tentang sejarah penduduk pribumi sepakat bahwa penutur Austronesia
bukanlah populasi pertama yang mendiami wilayah pribumi termasuk Taiwan.
Pendahulu mereka termasuk populasi aborigin dan kelompok Negrito yang
menyebar di seantero kepulauan Asia Tenggara. Chambers kemudian mengusulkan
model baru dengan gambaran yang lebih luas yang dinamakan Synthetic Total
Evidence Model, dan mengikutsertakan elemen proses yang lebih mendalam
seperti natural selection, founder effects dan genetic bottlenecks.
Banyak peneliti yang ingin mengungkap misteri ekspansi Austronesia dihadapkan
pada bukti-bukti yang saling kontradiksi, karena sebagian besar mereka tidak
melihat pokok permasalahan dari berbagai perspektif disiplin ilmu. Ahli genetika
akan melihat data-data uniparental markers (garis keturunan kedua orang tuanya),
analisis genome untuk mencari dari mana mereka berasal, atau data-data genetika
lainnya seperti gen HLA dan KIR, untuk memastikan populasi mana yang
berekspansi ke Pasifik. Ahli bahasa hanya akan membandingkan kata-kata yang ada
di berbagai populasi dan dengan perhitungan statistik mereka menentukan
kedekatan satu sama lain. Arkeolog hanya akan menghitung umur artefak, dan
dibandingkan
dengan
daerah
lainnya,
kronologi
akhir
tidak
akan
mempertimbangkan data-data dari disiplin lain, ini bisa menjadi suatu hal uang fatal
hanya karena tidak semua artefak berhasil ditemukan. Paleoantropolog, dengan
data-data fosil berusaha menggandeng genetika dan arkeolog untuk memastikan

umur yang dihasilkan dari berbagai disiplin ilmu memiliki ketidakpastian yang
rendah. Namun itu semua belum cukup. Kadang kita harus mengikuti jejak
perjalanan binatang dan tumbuhan, seperti ayam, anjing, babi, tikus, mulberi,
pisang, kelapa, bahkan bakteri hingga penyakit tertentu. Kadang kala, data catatan
sejarah, cerita rakyat, legenda, mitos, bisa menunjuk ke titik di mana kita harus
mencari. Dan hanya sebagai data pembanding, bukan sebagai fakta yang harus
dipakai untuk menarik kesimpulan. Pelajaran penting yang saya dapat selama
menelusuri sejarah populasi dari berbagai disiplin ilmu, adalah bahwa jika disiplin
ilmu tidak menghasilkan waktu yang sama, maka lihatlah dari perspektif yang lain,
cari jalan memutar untuk menyatukan kronologi. Karena ekspansi Austronesia
terjadi dalam kurun waktu 4000 tahun terakhir, maka segala catatan sejarah, cerita
rakyat, legenda, mitos, tradisi lokal, bisa menjadi petunjuk arah di mana kita harus
mencari.
Mungkin untuk ekspansi Austronesia, kita harus melihat segala perspektif lebih
rinci. Langkah pertama mungkin paling efektif adalah memetakan temuan
arkeologi. Sekali merengkuh dayung dua tiga ekspansi bisa diungkap. Kenapa harus
berawal dari temuan-temuan arkeologi? Sebelum ekspansi Austronesia, ada
hipotesis bahwa populasi yang mendahului mereka, yang dikenal dengan protoMelayu-Polynesia (pMP) lebih dahulu melanglang lautan. Hal ini ditandai dengan
sebaran populasi leluhur penutur Austronesia yang terjadi paska mencairnya es di
kutub utara pada awal era Holocene, dengan genetik marker mtDNA E, dan
mungkin juga B4a1. Karena kedua marker tersebut tersebar luas dari daratan Asia
Tenggara sampai Pasifik, maka temuan arkeologi berupa tembikar dan mungkin
peralatan mencari ikan akan sangat membantu. Bahkan sisa-sisa pembakaran masa
lalu pun bisa menjadi petunjuk keberadaan manusia pendahulu di pulau-pulau kecil
di Pasifik. Keakuratan penanggalan karbon yang dilakukan arkeolog bisa
mempersempit rentang waktu populasi yang sedang ditelusuri. Hasil penting dari
data-data arkeologi bisa menjadi kalibrator bagi disiplin lain yang melakukan
penanggalan berdasarkan biologi molekuler maupun berdasarkan catatan masa lalu
yang masih tergantung dengan asumsi yang dipakai. Namun sekarang kita bisa
memakai analisis ancient DNA sebagai interface antara arkeologi dan genetika.
Setidaknya, data genetika populasi bisa dikalibrasi dengan data aDNA, sehingga
diskrepansi antara umur fosil dan umur genetik marker bisa dipersempit.
Meskipun analisis genetika telah menyumbangkan kontribusi yang cukup signifikan
terhadap rekonstruksi sejarah penutur Austronesia, namun perlu diwaspadai bahwa
perlu pendalaman atas kesimpulan yang diambil dari masing-masing data genetika
populasi penutur Austronesia. Tidak sesederhana yang dijabarkan oleh para peneliti
genetika populasi, ada beberapa hal kecil yang sering diabaikan, sehingga apa yang
dipaparkan tidak seperti kenyataan yang ada. Di bagian lain, saya akan tunjukkan
perihal genetic markers penutur Austronesia yang kurang tepat disimpulkan karena
ketidaksesuaian dengan realitas yang ada. Analisis genome populasi saat ini
memang memberi gambaran tentang struktur dan komposisi populasi penutur

Austronesia dari Madagascar sampai Rapanui, namun detail dan mekanisme


sebaran tidak mudah seperti analisis genome. Secara umum, metode pemetaan
populasi berdasarkan sample populasi saat ini sangat tergantung dengan panel
yang dipakai. Banyak asumsi yang mendasari metode tersebut, seperti penempatan
genetik marker tertentu berdasarkan lokasi asalnya. Jika kita tidak menginvestigasi
secara detail, maka satu marker yang berasal dari Sunda/Wallacea bisa
ditempatkan sebagai marker yang berasal dari Taiwan/Filipina/China Selatan.
Masing-masing metode akan menghasilkan pohon kekerabatan yang berbeda, jika
asumsi yang dipakai tidak tepat. Sehingga, pohon kekerabatan berdasarkan target
populasi tertentu tidak akan menggambarkan pohon kekerabatan secara
keseluruhan, dan bisa menimbulkan konflik dengan pohon kekerabatan dengan
target populasi yang lainnya. Namun tidak berarti data molekuler tidak terpercaya,
namun hanya memberi gambaran umum, memberi arah di mana harus meneliti
lebih rinci.
Atau, kita bisa memakai metode-metode tersebut sebagai kerangka hipotesis yang
perlu diuji lebih mendalam, dan tidak memperlakukan sebagai fakta di lapangan.
Dan metode rekonstruksi pohon kekerabatan juga harus diuji kembali dengan
proses evolusi yang terlibat di sana. Karena sampai saat ini kita tidak tahu apakah
suatu populasi mengalami drift sejak Paleolitikum, atau terjadi perkawinan dengan
manusia purba, karena perilaku SNP netral yang mengalami genetic drift tidak beda
dengan SNP hasil seleksi alam. Konsekuensinya, kita tidak bisa membedakan
populasi yang melakukan migrasi dan kemudian terisolasi, dengan migran yang
kawin dengan penduduk pribumi sejak era Pleistocene, dan populasi yang kawin
dengan populasi pribumi kemudian bermigrasi ke tempat baru. Tidak sesederhana
yang kita bayangkan.
Lalu bagaimana meminimalisasi ketidakakuratan yang mungkin terjadi dalam
merekonstruksi sejarah populasi? Pertama, misalnya, berdasarkan percabangan
dalam sebuah pohon kekerabatan, kita bisa menelusuri lokasi hunian baru dengan
peninggalan artefak. Kemudian, jika percabangan lain tidak memiliki artefak, maka
kedua cabang bisa dibandingkan umurnya berdasarkan panjang percabangan, tentu
saja dengan metode statistik. Kedua, percabangan kadang terkait dengan
perubahan geologis. Misalnya, jika sebuah wilayah berada di bawah permukaan air
laut pada waktu tertentu, maka bisa diasumsikan bahwa manusia akan tiba di
wilayah tersebut kemudian hari ketika air mulai surut. Terakhir, jika tidak ada bukti
artefak, maka penanggalan dilakukan berdasarkan waktu divergensi populasi yang
sedang diteliti. Meskipun cara terakhir ini mengandung ketidakpastian yang cukup
tinggi, sangat tergantung asumsi-asumsi yang digunakan, bahkan peneliti dalam
negeri menolak menggunakan metode tersebut, seperti Tumonggor et al. 2014.
Nanti kita pelajari data Tumonggor et al. dalam menginterpretasikan data genetika
populasi Indonesia. Intinya, penolakan tersebut didasarkan atas umur yang
dihasilkan oleh metode analisis molekuler seringkali tidak cukup membatasi
kerangka berpikir terkait sejarah manusia saat ini.

Dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut di atas, data genetika populasi hasil


genotype-ing sangat membantu dalam menelusuri ekspansi penutur Austronesia.
Khususnya analisis garis keturunan maternal (mtDNA dan garis keturunan paternal
(NRY). Kedua penanda genetik tersebut sangat berguna dalam menelusuri relasi
leluhur-keturunan karena keduanya diwariskan dalam kondisi tidak terjadi
rekombinasi. Anak laki-laki akan mewarisi NRY dari ayah, dan mtDNA dari ibu.
Sedangkan anak perempuan akan mewarisi mtDNA dari ibu. Kemudian sebaran
mereka yang berkerabat lebih mudah dengan pemetaan populasi dengan
haplogroup yang sama.
Dalam menelusuri jejak penutur Austronesia, perhatian khusus ditujukan kepada
mereka dengan haplogroup B, lebih spesifik garis keturunan B4a1. Haplogroup B4a1
banyak ditemukan di Asia sehingga disimpulkan berasal dari Asia, dan dengan
penanda genetik tertentu, merupakan leluhur dari Polynesian motif (B4a1a1a)
dengan ciri khusus adanya mutasi COII/tRNALys intergenic 9-bp deletion. Penanda
genetik tersebut tersebar di seantero Pasifik dan berperan sangat penting untuk
mengungkap sejarah penutur Austronesia. Namun ada sedikit kendala, bahwa
mutasi tersebut sangat labil, dan sering kali terdeteksi sering terjadi mutasi balik,
back-mutation, yang bisa menyebabkan terjadinya homoplasy di pohon
kekerabatan haplogroup B, karena terjadi konvergen evolusi molekuler (Duggan &
Stoneking, 2013). Meskipun hasil pengurutan mtDNA haplogroup B secara
keseluruhan mengarah kembali ke populasi pribumi pegunungan Taiwan (Benton et
al., 2012; Duggan & Stoneking, 2014), namun prasyarat bahwa PM motif baru
terbentuk secara sempurna di wilayah Wallacea, dan mengalami fiksasi di
kepulauan Bismarcks, tidak serta merta menempatkan Taiwan sebagai daerah asal
Polynesian motif. Karena B4a1 juga merupakan marker yang sangat umum dijumpai
di populasi Wallacea. Mungkin perlu meneliti B4 di Taiwan apakah mengalami
mutasi di np 16261, karena mutasi tersebut yang membedakan populasi
B4a dengan B4bde. Yang penting juga, penelitian mendalam tentang garis
paternal (NRY) yang dilakukan Lippold et al. (2014) dan Posnik et al. (2013) bisa
membantu memetakan uniparental markers dari populasi dengan Polynesian motif.
Mari kita lihat hasil penelitian single nucleotide polymorphism (SNP) terakhir yang
diduga diwarisi penurut Austronesia, penelitian yang dilakukan oleh Wollstein et al.
(2010), Kimura et al. (2008), dan HUGO Pan-Asian SNP Consortium (2009).
Dilanjutkan oleh Lipson et al. (2014) yang mencoba merekonstruksi populasi
Austronesia di kepulauan Asia Tenggara, yang kemudian diulas dan didukung oleh
Duggan & Stoneking (2014). Dengan menggunakan SNP sebanyak 18.412 dari lebih
dari 1000 individu dari 56 populasi yang berbeda, dengan menggunakan metode
MixMapper untuk melihat fraksi leluhur populasi dan menelusuri pergerakan
populasi masa lalu. Hasilnya, bahwa terjadi percampuran populasi Austronesia
dengan Negrito di Filipina dan Borneo, termasuk Austronesia/Negrito dengan
populasi Austroasiatik, yang mendiami Malaysia dan Indonesia sekitar ~10.000
tahun yang lalu. Namun hasil tersebut masih penelitian kasar, karena populasi

Austroasiatik, dengan marker tertentu, telah memasuki Indonesia setidaknya 650


generasi yang lalu, setara dengan awal LGM, sekitar ~21.000 tahun yang lalu. Jadi,
masih perlu diinvestigasi status dan posisi populasi Austroasiatik tersebut,
utamanya genetic marker unik populasi Austroasiatik.
Pendekatan-pendekatan genetika molekuler yang sama dilakukan pada bakteri dan
virus yang dianggap model yang relevan karena mengikuti migrasi penutur
Austronesia bersama ayam, anjing, babi dan tikus, tanaman pangan seperti
dilakukan Seelenfreund et al. (1999), cacing pita dan virus hepatitis B.
Konsekuensinya, mereka harus bisa menyediakan parameter independen sendiri
untuk mengkalibrasi pohon kekerabatan yang khusus disusun dari data genetika
manusia. Mereka cukup terbantu dengan temuan-temuan mereka yang
mengandung aDNA, serta artefak yang masih dalam kondisi bagus.
Disiplin bahasa lebih banyak memiliki kesamaan dengan disiplin genetika.
Pengucapan, kosakata dan struktur kalimat mulai berbeda ketika populasi
menyebar, terpisah satu sama lain, meskipun tidak dalam proses perubahan yang
sama. Jadi sangat mungkin para ahli bahasa merekonstruksi kekerabatan bahasa
berdasarkan kata asal dan meneliti tingkat perubahannya dari bahasa Austronesia
yang satu terhadap yang lain. Data-data tersebut kemudian disusun dalam sebuah
pohon kekerabatan bahasa. Namun interpretasi sebuah pohon kekerabatan tidak
seharusnya mencerminkan hubungan induk-anak bahasa, namun harus dipahami
sebagai variasi, kerabat dekat, margin lokasi bahasa dari bahasa induk. Jika banyak
ahli bahasa menginterpretasikan bahasa Formosan sebagai bahasa induk
Austronesia, saya lebih menginterpretasikan sebagai variasi bahasa Austronesia
bagian utara, sebagai bagian dari proto-Melayu-Polynesia. Karena tidak semua
bahasa Formosan memiliki kekerabatan dengan bahasa Austronesia yang lain
dalam rumpun yang sama, namun pengaruh dari bahasa dari daratan China harus
diperhatikan juga.
Kemudian, data lintas budaya dari disiplin antropologi juga bisa dimanfaatkan
dengan cara yang tidak jauh berbeda. Karakter yang diobservasi bisa dipetakan
dalam sebuah pohon kekerabatan. Namun, lebih banyak peneliti menggunakan
pendekatan terbalik dalam hal ini, seperti dimulai dengan peta penanda genetik
dan kekerabatan bahasa, kemudian dipetakan fitur budaya sesuai dengan pohon
kekerabatan yang dihasilkan disiplin genetika dan bahasa. Dengan demikian bisa
diperlihatkan secara langsung perubahan kultural yang terjadi. Dengan metode ini,
banyak sekali fitur kultural yang berhasil dipetakan, namun tetap harus diperhatikan
aspek-aspek rinci dari fitur tersebut untuk menghindari homoplasy dari fitur wilayah
sekitarnya, yang bisa jadi tidak terkait secara dekat. Tradisi kultural selalu berubah
dan bisa berpindah tempat, seperti tradisi tembikar dari populasi Lapita.
Evaluasi menyeluruh terhadap bukti-bukti dari berbagai disiplin ilmu

Konsensus yang tidak terbantahkan, bahwa kepulauan Asia Tenggara, dalam hal ini
Sundaland dan Wallacea, lebih jauh lagi Sahul, telah dihuni manusia jauh sebelum
budaya Austronesia berkembang. Garis keturunan dari populasi pendahulu tersebut
diantaranya Orang Asli di Semenanjung Malaysia, suku pedalaman Papua dan PNG,
beberapa populasi Negrito seperti pribumi Andaman, Mamanwa dan Manobo di
Filipina, serta suku aborigin di Australia. Meskipun masih banyak yang belum
terungkap, seperti manusia tertua di China selatan, Daoxian, kemudian manusia
Tam Pa Ling di Laos, manusia di Maros Sulawesi Selatan, Flores, dan lain-lain, bukti
paleoantropologi baru menemukan fosil di Gua Niah di Serawak, Kepulauan
Bismarcks bagian utara, dan Gua Callao di Filipina. Salah satu dari populasi
pendahulu selanjutnya menghuni kepulauan Bismarcks, di mana bukti tembikar
khas Lapita tertua ditemukan (red-slipped pottery). Disimpulkannya Lapita berasal
dari kepulauan Bismarcks mengabaikan tembikar yang juga berbahan tanah merah
namun tanpa dekorasi yang sudah tersebar di masa sebelumnya di Borneo,
Sulawesi dan Maluku. Sebelum sampai pada bentuk tembikar Lapita yang menjadi
khas budaya Lapita, mereka juga mengalami fase yang dinamakan tembikar praLapita. Ini yang jarang diteliti oleh para ahli genetika populasi. Jika perbandingan
fase budaya Lapita dengan penanda genetik populasi, mungkin akan semakin jelas
kenapa bentuk awal tembikar dari tanah liat juga tersebar di Wallacea dan Borneo.
Populasi Melanesia yang berbahasa Austronesia diasumsikan mengikuti bangsa
Lapita ke Pasifik dan kemudian pada akhirnya menggantikan mereka di sekitar
Bismarcks sampai Fiji dan Tonga. Kedatangan mereka terkait dengan punahnya
budaya Lapita, karena mereka mengadopsi budaya tembikar yang lebih sederhana.
Sebaran bahasa dalam rumpun Austronesia juga bisa dibilang sebuah paradoks.
Para suku aborigin Taiwan berbahasa sembilan dari sepuluh bahasa induk
Austronesia (Formosan), namun bahasa induk ke sepuluh, Malayo-Polynesian, yang
berisi semua bahasa-bahasa Austronesia terdapat diluar Taiwan. Jika semua bahasa
Austronesia dari Madagascar sampai Pasifik lebih berkerabat dekat dengan MalayoPolynesia, kenapa harus Taiwan yang menjadi daerah asal dan pusat keragaman
bahasa Austronesia? Kenapa tidak diinterpretasikan bahwa terjadi irisan antara
Formosan dan Malayo-Polynesia di beberapa suku aborigin Taiwan, mareka mereka
merupakan margin utara dari sebaran bahasa Malayo-Polynesia? Kesimpulan
berdasarkan hipotesis bahwa sembilan dari sepuluh bahasa induk Austronesia
berada di Taiwan, menjadikan Taiwan sebagai asal-usul bahasa Austronesia adalah
kesimpulan yang kurang komprehensif. Dari empat belas suku aborigin Taiwan yang
ada saat ini, tidak mewakili semua bangsa Austronesia yang pernah hidup di
Taiwan. Setidaknya delapan suku di dataran rendah bagian barat sudah punah, dan
mengadopsi budaya bangsa Han yang datang setidaknya 300 tahun yang lalu. Para
ahli bahasa menduga setidaknya dulu pernah ada suku penutur Malayo Polynesia
dan menjadi leluhur populasi penutur Malayo-Polynesia saat ini. Dugaan yang tidak
mengindahkan adanya populasi dengan garis keturunan E1a1 yang pada dasarnya
merupakan kerabat dekat populasi penutur Malayo-Polynesia, dan secara umum
adalah penutur proto-Malayo-Polynesia (pMP). Para ahli genetika punya argumen

sendiri, dengan menetapkan populasi penutur Malayo-Polynesia adalah suku


Paiwan, Puyuma, dan Saisiyat (Mirabel et al., 2013) serta suku Ami (Benton et al.,
2012). Untuk menguji kedua kubu sebagai populasi asal penutur Austronesia, perlu
menguji komposisi dan struktur mtDNA haplogroup B4a1 dan E di keempat suku
tersebut. Atau kita bisa menguji dengan disiplin bahasa untuk membandingkan
beberapa kata dasar pMP dan PAN terhadap bahasa Formosan.
Misal kata rumah: Paiwan (umaq), Puyuma (rumaq, aruma, ruma, rumah),
Saisiyat (tawan, tawaen, taloeaen), Amis (lumaq, luma). Sedangkan pMP
adalah rumaq.
Kita coba kata air: Paiwan (zalum), Puyuma (zanum, ane, nnai, a-tuei),
Saisiyat (ralom, dalum) dan Amis (nanum). Proto-MP untuk air adalah danum
dan waHir.
Untuk kata satu: Paiwan (ita), Puyuma (isa, sha, sa, itu), Saisiyat (aha,
aehae), Amis (cecai, ccaj, cecaj, cicay, cay, cacay). Proto-MP untuk satu
adalah esa. PWMP, PCEMP, PCMP, PEMP, PSHWNG, dan proto Oceania juga
esa.
Kandidat paling dekat adalah Puyuma
Mari kita lihat struktur genetik marker Puyuma: B4a2, B4c1, D5, E1a1, F1a,
F1a1, F1b, F4b, M7c3c. Tidak ada B4a1a, apalagi Polynesian motif, yang
hanya terdeteksi cukup tinggi di populasi Amis namun tanpa mutasi np
16247.
Jika berdasarkan rekonstruksi filogenetik bahasa Austronesia memang para ahli
menetapkan Taiwan sebagai pusat sebaran, seperti Bellwood et al. (2006), dan
diikuti oleh Gourjon et al. (2011), Orkasson et al. (2012), dan Edinur et al. (2013).
Tapi apakah interpretasi tersebut tepat?
Beruntung, saat ini tersedia data genetika populasi penutur Austronesia dalam
jumlah cukup besar. Dan, perdebatan serta kontroversi masih berlangsung sampai
saat ini. Perdebatan membelah dua kubu besar, mereka yang berasal dari Malaysia
dan Indonesia lebih mendukung hipotesis Out of ISEA vs Slow Boat, sedangkan
mereka yang melakukan riset di Taiwan dan Pasifik cenderung mendukung hipotesis
Out of Taiwan. Tumonggor et al. (2013) yang meneliti populasi Indonesia, mencoba
membandingkan jalur migrasi Indonesia ke Pasifik vs. sebaran melalui jalur antara
Indonesia dan Taiwan (Tabbada et al. 2010). Pengaruh aliran genetik antara
keduanya terdeteksi di PNG dan dengan hanya membandingkan pola sebaran
populasi leluhur berdasarkan mtDNA dan NRY. Paradoks bisa diselesaikan dengan
menciptakan proses dengan elemen yang baru, yaitu aliran genetik berdasarkan
gender, ke dalam model yang dipakai. Model ini diharapkan menyatukan pola
kontradiksi dari garis maternal dan paternal. Oleh karena itu, praktis perkawinan
matrilokal memerlukan wanita penutur Austronesia menetap dengan keluarganya

dan menerima pasangan pria keturunan Papua untuk tinggal bersama. Mungkinkah
wanita penutur Austronesia juga merupakan migran dari luar dalam sistem
matrilokal? Konsekuensi dari praktik tersebut, menjelaskan kenapa penanda genetik
paternal populasi Pasifik mendominasi PNG dan Asia.
Kontradisi lain, sudah didebat bahwa terjadi percampuran antara penutur
Austronesia dan Papua di sekitar pesisir utara PNG ~4500 tahun yang lalu. Jika
dilihat berdasarkan analisis autosomal SNP dan STR, efek tersebut terlihat. Dan
tentu saja tergantung dari panel yang dipakai. Penetapan mana yang berasal dari
Asia dan mana yang asli Papua perlu dikaji ulang. Bahkan Wollstein (2010) dan
Kimura (2008) mencatat setidaknya 20-30% genepool penutur Austronesia masuk
ke Pasifik karena proses admixture. Sedangkan populasi Melanesia masih tercatat di
angka 50%. Peneliti lain mencatat admixture antara penutur Austronesia
berperawakan Mongoloid dengan Orang Asli (Norhalifah et al., 2015a; Lipson et al.,
2014), kemudian disempurnakan dengan kesimpulan bahwa admixture antara
penutur Austronesia dan proto-Melayu menghasilkan populasi Melayu saat ini (Deng
et al. 2015).
Populasi penutur Austronesia dengan minimal admixture dengan populasi Papua
dipandang sebagai kandidat leluhur populasi Polynesia, yang sebagian mereka
mendiami kepulauan Bismarcks dan sekitarnya, dan kemudian migrasi sampai
Rapanui dan Selandia Baru. Mereka menghasilkan keturunan dengan karakter yang
kompleks, dengan ketidakcocokan antara penampilan fisik, gen, bahasa dan budaya
(Friedlaender 2007). Bangsa Polynesia mendiami seantero Pasifik dengan sebagian
budaya Lapita masih diwarisinya. Harga yang harus dibayar oleh proses mendiami
Pasifik adalah keragaman genetik yang semakin berkurang. Berkurangnya
keragaman genetik dari Barat ke Timur di seantero Pasifik karena peristiwa founder
effect yang berulang, kadang diinterpretasikan sebagai bottleneck genetik di
Polynesia, meskipun istilah tersebut kurang tepat. Sedangkan pada suku Maori di
Selandia Baru, berkurangnya variabilitas hanya berkisar antara 5-10%. Dan peneliti
meyakini hanya berdasarkan data populasi paling ujung dari ekspansi Austronesia,
dengan resiko bahwa migrasi yang terjadi karena direncanakan, dan dalam jumlah
besar, seperti yang diteliti Storey et al. (2013). Banyak populasi penutur
Austronesia saat ini mengalami episode baru admixture, seperti suku Maori dan
Hawaii, dengan populasi Eropa, dan hal tersebut dibarengi dengan pergeseran
bahasa menjadi bahasa Inggris dengan dialek lokal.
Di Indonesia, setidaknya para ahli genetika mencatat ada empat sumber populasi
utama. Pertama, pribumi Sundaland yang terkait dengan Negrito/Orang Asli,
kemudian Austroasiatik setidaknya masuk pada awal era glasial (perlu mengkaji
kembali penelitian Jinam et al. (2012), utamanya garis paternal). Hal ini bisa
dipandang sebagai episode lain terjadinya aliran gen antara populasi Austroasiatik
dengan Austronesia, sebagai populasi ketiga yang datang kemudian, tercermin
dalam perkembangan tradisi budaya lokal (Tumonggor et al. 2013). Episode terakhir
adalah migrasi dari populasi Arab, China dan India, para saudagar yang masuk

Indonesia selama 2000 tahun terakhir. Di Semenanjung Melayu, terdapat komponen


kelima yang kemudian dikenal dengan kelompok etnis Melayu, yang juga menghuni
Sumatra dan Borneo. Dalam genetika, populasi imigran terakhir tersebut hampir
semuanya dikategorikan sebagai bagian dari komponen Austronesia, kecuali
beberapa yang memiliki kekerabatan genetik dengan garis keturunan Austroasiatik
(Callister et al. 2015). Untuk itu, kita harus menguji ulang apakah komponen
Austroasiatik di Indonesia sebenarnya adalah proto-Melayu, karena hal tersebut
yang terbaca dalam analisis struktur genetik yang dilakukan oleh Deng et al.
(2015).
Data-data genetika dan bahasa menunjukkan bahwa sebaran penutur Austronesia
telah menembus batas-batas benua Asia, merambah Samudra India, seperti
Comoros dan Madagascar. Migrasi tersebut melibatkan episode admixture yang lain,
menghasilkan genome campuran yang lebih kompleks, utamanya Comoros di mana
populasinya lebih merepresentasikan campuran Afrika, Timur Tengah dan Asia
Tenggara dengan proporsi 70:20:10 secara genetik, namun dengan proporsi garis
paternal Arab dan garis maternal Asia yang relatif tinggi. Di Madagascar sendiri
terjadi percampuran dengan populasi Bantu, dari daratan Afrika.
Jika kita menelusuri ekspansi Austronesia dari tanaman dan hewan yang dibawa
para migran, maka jejaknya akan kembali ke Kepulauan Asia Tenggara, bukan
Taiwan. Misalnya, dari jejak anjing Polynesia, Taiwan jelas terlempar dari kandidat
tempat asal (Oskarsson et al. 2012). Hal ini sebagai bukti tambahan bahwasanya
sejarah populasi Polynesia sangat kompleks. Marker H. pylori sangat jelas mengikuti
garis maternal, atau Polynesian motif.
Model STEM
Chambers
(2006)
berpendapat
adalah
tidak
pada
tempatnya
untuk
membandingkan teori yang satu dengan yang lain secara langsung, karena hanya
akan membingungkan dalam menjelaskan pola dan proses sebaran penutur
Austronesia. Kompetisi alternatif sebaran Austronesia secara eksklusif diantaranya
oleh Kayser et al. (2000) dan Mathisoo-Smith & Robins (2004).
Keduanya berbeda dalam memandang derajat interaksi antara penutur Austronesia
dengan pribumi proto-Melanesia. Model-model pendahulu dengan segala jargonnya
seperti Jared Diamond (1998) dengan Express Train to Polynesia, Oppenheimer
(1998) dengan Slow Boat, Terrell (1998) dengan Entangled Bank, Green (2003)
dengan Voyaging Corridor Triple I, serta Oppenheimer & Richards (2001) dengan
Eden of the East, semuanya berpendapat bahwa bangsa Polynesia secara eksklusif
berasal dari kepulauan Melanesia tanpa aliran gen dari pendatang baru baik dari
dari utara dan barat.
Dalam perspektif genetika, Polynesian motif (PM) dalam perjalanannya
diinterpretasikan sebagai bukti yang mendukung teori bahwa tanah air PM dari
Taiwan. Namun, jika diteliti secara seksama, bukti ini ambigu, terbuka terhadap

interpretasi yang berbeda. Chambers berpendapat bahwa keragaman bahasa


pribumi Taiwan masih memberikan bukti yang kuat dalam hal ini. Dia tidak
sependapat dengan Oppenheimer & Richards yang mengekstrapolasi kajian
arkeologi Meacham (1984-5) .. bahwa Taiwan merupakan area penutur Austronesia
yang terisolasi. Dalam konteks ini, Taiwan merupakan tempat di mana bahasa
Austronesia tidak mengalami perkembangan, alias stagnan. Karena hal ini kontra
dengan pendapat lain seperti Blust (1999); Gray & Jordan (2000). Karena itu, harus
diperhatikan juga bahwa sekitar 15% mtDNA yang terdeteksi di Polynesia mengarah
pada asalnya di Melanesia (Merriwether, 1999; Skykes, 1995). Ini merupakan bukti
adanya pertukaran gen antara penutur Austronesia dengan pribumi Melanesia yang
di kemudian hari menjadi populasi Polynesia. Dengan analogi yang sama, populasi
Melanesia saat ini berasal dari introgresi dari geenpool leluhur penutur Austronesia
untuk melahirkan penutur Papua selama pengembaraannya. Sehingga, dalam
perspektif genetika, Melanesia dan Polynesia lebih tepat diinterpretasikan sebagai
hasil akhir dari perkawinan prasejarah antara penutur Papua dan Austronesia.
The Synthetic Total Evidence Model (STEM):
1. Asal bangsa Austronesia adalah benua Asia.
2. Posisi Taiwan hanya sebagai salah satu lokasi pertama bangsa Austronesia
3. Jejak Genetika menghubungkan Taiwan dengan Pasifik melalui Filipina,
Indonesia, PNG dan Melanesia
4. Ada kemungkinan pendatang berikutnya dari benua Asia melalui Indonesia
5. Pria proto-Melanesia lebih banyak menjadi proto-Polynesia yang berbahasa
Austronesia dibandingkan wanita
6. Perjalanan dari pulau satu ke pulau lain mengakibatkan variasi genetik
populasi keturunan berkurang, khususnya di wilayah segitiga Polynesia
7. Ada hubungan dagang dengan bangsa pribumi Amerika Selatan
8. Migrasi terencana ke Aotearoa sekitar 650 tahun yang lalu adalah chapter
terakhir pengembaraan penutur Austronesia
Model Chambers & Edinur The STEM merupakan perspektif berdasarkan berbagai
data tersebut di atas, dengan menambahkan data gen metabolisme alkohol, dan
penanda sistem kekebalan tubuh populasi Selandia Baru dan Malaysia, yang
menunjukkan bahwa percampuran antara Austronesia dan Papua, melalui proses
seleksi telah membentuk genepool kedua populasi lokal. Dari STEM bisa diketahui
bahwa proses yang terjadi mendahului Out of Taiwan bahkan mendahului model
Slow Boat. Hal ini terjadi karena STEM tidak mengakomonasi proses founder effect
secara berulang. Apakah model ini reliable? Ketika dicoba pada populasi Filipina dan
Indonesia, STEM menunjukkan hasil bahwa percampuran penutur Austronesia dan

Negrito di Filipina, serta Austronesian dan Austroasiatik di Indonesia memang


terbukti.
Namun STEM berangkat dari populasi Taiwan yang belum teridentifikasi, bukan
Paiwan, Puyuma, Saisiyat ataupun Amis. Populasi misterius tersebut migrasi ke
Filipina melalui kepulauan Batan, mewariskan hubungan leluhur-keturunan di kedua
wilayah. Jika kita amati secara rinci penelitian Loo et al. (2011), hubungan leluhurketurunan tersebut adalah proses dua-arah antara populasi Ivatan di kepulauan
Batan dan suku Yami di Pulau Orchid. Adanya aliran gen dari Filipina ke arah Taiwan
bisa diduga karena suku Yami dan Ivatan sama-sama penutur bahasa WesternMalayo-Polynesian, yang bukan bahasa keseharian di Taiwan. Dan hanya sedikit
aliran gen antara suku Yami dan Ivatan, yang terindikasi dari mtDNA haplogroup
B4a1a4 dan NRY O1a1*. Ingat, B4a1a4 bukanlah Polynesian motif. Hubungan kedua
populasi adalah hubungan dagang, dan difusi bahasa Malayo Polynesian tak
terhindarkan. Artefak yang ditemukan di Pulau Orchid (terkait dengan budaya
Peinan, Fine Corded Ware Culture), berumur 4000 tahun mendahului data variasi
DNA yang berada dalam rentang waktu 100-3000 tahun yang lalu. Sedangkan umur
red-slipped pottery dari Kepulauan Batan di situs Torongan dan Reranum berumur
4500 sampai 3200 tahun yang lalu, tembikar khas Lapita yang lebih tua dari artefak
di Pulau Orchid. Tidak ada temuan serupa di Taiwan yang mendahului situs Torongan
dan Reranum, namun Hung (2005, 2008) mencatat bahwa tembikar fine corded
ware mulai menghilang sekitar 3500 tahun yang lalu.
Kemudian, yang diduga sebagai pelaut ulung Taiwan, beberapa peneliti
berpendapat bahwa mereka berasal dari populasi Daic, di area sekitar Teluk Tonkin,
perbatasan daratan Asia Tenggara/China Selatan. Garis paternal yang mendominasi
suku Ami dan Atayal, yang sering dijadikan sebagai referensi komponen
Austronesia, NRY O1a-M119 dan keturunannya (total 95%), sebenarnya adalah garis
keturunan O1 populasi Daic, berbeda dengan O1a yang menuju Semenanjung
Melayu, dan kemudian mendominasi bagian barat Indonesia, utamanya suku Nias.
Adalah kurang tepat jika populasi O1a tersebut hanya migrasi dari Teluk Tonkin ke
Taiwan. Ada migrasi lain ke arah selatan, yang pada akhirnya sampai ke pulau Nias
dan Mentawai, dimana keragaman genetik O1a sangat tinggi (Li et al. 2008).
Kemudian komponen Austronesia suku Ami dari garis maternal didominasi oleh
B4a1a tanpa mutasi np 15247 (45%), disusul E1a1 (13%), M7c3c (10%), D5 (8%)
dan N9a (7%). Tetap tidak menempatkan Taiwan sebagai asal Polynesian motif. Ini
yang tidak didalami oleh STEM, sehingga hanya menguji pergerakan dari Taiwan ke
Filipina, yang selanjutnya diasumsikan menuju Wallacea. Untuk menguji pergerakan
berdasarkan STEM, kita bisa menguji masing-masing marker yang ada di Wallacea.
Dengan tidak memperhatikan siapa bergerak kemana, STEM berkesimpulan bahwa
budaya dan bahasa Austronesia berakar kuat di wilayah Taiwan, Filipina, Malaysia
dan Indonesia, bahkan populasi Negrito di Malaysia dan Filipina secara genetika
sangat berbeda dari populasi Austronesia.

Kemudian, menurut model STEM, satu cabang bangsa Austronesia dari kepulauan
Nusantara migrasi ke arah timur, melalui pesisir utara PNG, dan kemudian ke
Pasifik. Satu cabang lagi menuju ke arah barat, dari Borneo, Sumatra dan Jawa,
menembus Samudra India dan menuju Madagascar. Untuk fraksi yang ke arah
Madagascar, kita perlu melihat penelitian P. Kusuma (2015). Sedangkan fraksi yang
ke arah Pasifik kita perlu meneliti struktur populasi masing-masing pulau di Pasifik.
Sehingga kita tidak salah dalam menginterpretasikan marker yang ada. Terdapat
jeda antara Lapita fase akhir (2900 tahun yang lalu) dengan masa pendudukan
wilayah Segitiga Polynesia. Sehingga disimpulkan founder effect terjadi di segitiga
tersebut, Pulau Paskah, Hawaii dan Selandia Baru, terjadi dalam rentang waktu
1200 sampai 750 tahun yang lalu. Jika kita lihat satu contoh dari disiplin bahasa,
kata yang berarti wanita dalam bahasa Madura bine, di Pulau Paskah menjadi
b(ah)ine, dan di Hawaii menjadi w(ah)ine. Kita harus mempertimbangkan kesamaan
dari ketiga wilayah tersebut adalah Polynesian motif, yang tidak kita temukan di
Taiwan.
Bersambung.

Anda mungkin juga menyukai