Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit yang ditandai oleh obstruksi jalan napas
obstruksi jalan napas variable, kambuhan dan reversible dengan episode
intermitten mengi dan dispnea. Asma dikaitkan dengan hipersensivitas bronchial
dan inflamasi yang di sebabkan oleh berbagai rangsangan. Asma adalah penyakit
kronis paling umum pada anak-anak, dengan 5% sampai 10 % anak usia sekolah
menunjukkan gejala asma. Asma terdapat pada bayi, tetapi biasanya terjadi setelah
usia 3 tahun. Asma lebih umum pada orang Amerika-Afrika karena lingkungan
urban.
Asma diklasifikasikan ke dalam 6 tipe utama: asma ekstrinsik,disebabkan
oleh allergen inhalasi (mis., debu, embun berdebu, jamur, serbuk, bulu, dan
rontokan bulu binatang) dan diobati dengan immunoglobulin E (IgE); asma
instrinsik, disebabkan oleh infeksi (sering virus) dan rangsangan lingkungan
(seperti polusi udara), tanpa alergi yang menimbulkan gatal; asma campuran, di
man areaktivitas tipe 1 (segera) tanpa dikombinasi dengan faktor instrinsik; asma
akibat aspirin, disebabkan oleh konsumsi aspirin dan zat yang sejenis; asma
akibat latihan, dimana gejala pernapasan terjadi dalam5 sampai 20 menit setelah
latihan; dan asma okupasi, di sebabkan oleh asap industry, debu, dan gas.
Asma akut dan berat yang gagal berespons pada bronkodilator di sebut
status asmatikus dan adalah kedaruratan medis. Komplikasi lain meliputi
pneumonia, atelektasis, dehidrasi, disritmia,kor pulmonal, gagal napas, dan
kematian.
Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas
yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko
perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.

Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan


peningkatan kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian
akibat status asmatikus. Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada
kelompok dengan sosialekonomi yang rendah, karena mereka jarang kontrol ke dr.
spesialis, yang meningkatkan resiko status asmatikus.
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia
seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus
asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun,
baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Asma merupakan
sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar
dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan
asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersamasama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar
5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000,
dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada
anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study
of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma
(gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya
mempunyai gejala klasik.
Yang pertama dan utama bagian dari penilaian pasien pada saat prehospital dengan trauma disebut survei primer. Tahap pertama dari survei utama
adalah sebagai berikut : 1)Untuk menilai jalan napas. Jika pasien mampu
berbicara, jalan napas cenderung jelas. Jika pasien tidak sadar, pasien mungkin
tidak dapat mempertahankan jalan napas sendiri. Untuk mempertahankan jalan
napas, dapat menggunakan teknik head tilt- chin lift atau jaw thrust. Airway
tambahan berarti diperlukan. Jika jalan nafas tersumbat (misalnya, dengan darah
atau muntah atau lidah yang jatuh ke belakang), cairan harus dibersihkan dari

mulut pasien dengan bantuan alat penyedotan (suction). 2)Pemeriksaan dadathorak bisa dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Identifikasi jika ada Emphysema Subkutan dan deviasi trakea. Selama survei
3)utama dilakukan, dibuat penilaian neurologis dasar, dikenal dengan AVPU
(alert, verbal stimuli response, painful stimuli response, unresponsive). Sebuah
evaluasi neurologis cepat dan tepat dilakukan pada akhir survei primer. Ini
menetapkan tingkat kesadaran pasien. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah cara
cepat untuk menentukan tingkat kesadaran pasien. Jika tidak dilakukan dalam
survei primer, hal itu harus dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan neurologis
yang lebih rinci dalam survei sekunder. Tingkat kesadaran yang berubah
mengindikasikan perlunya segera re-evaluasi oksigenasi pasien, ventilasi, dan
status perfusi. 4)Memotong pakaian pasien jika perlu. Kemudian selimuti pasien
untuk mencegah hipotermi pada saat dilakukan rujukan dan agar privasi pasien
tetap terjaga. 5)Ketika survei primer selesai, upaya resusitasi, dan tanda-tanda
vital mulai normal, survei sekunder dapat dilakukan. Survei sekunder merupakan
evaluasi head-to-toe dari pasien trauma, termasuk riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik, kemudian dilakukan penilaian ulang terhadap semua tandatanda vital. Setiap bagian tubuh harus diperiksa sepenuhnya.
Penatalaksanaan status asmatikus semua penderita yang dirawat inap di
rumah sakit menunjukkan keadaan obstruktif jalan napas yang berat. Perhatian
khusus harus diberikan di dalam perawatannya, sedapat mungkin dirawat oleh
dokter dan perawat yang berpengalaman. Pemantauan harus dilakukan secara
ketat, berpedoman pada klinis, uji faal paru (APE) untuk dapat menilai respon
pengobatan apakah membaik atau justru memburuk. Perburukan mungkin saja
terjadi baik oleh karena konstriksi bronkus yang lebih hebat lagi maupun sebagai
akibat terjadinya komplikasi seperti infeksi, pneumothoraks, pneumomediastinum
yang sudah barang tentu memerlukan pengobatan yang lainnya. Efek samping
obat yang berbahaya dapat terjadi pada pemberian drip aminofilin. Dokter yang
merawat harus mampu juga dengan akurat menentukan kapan penderita mesti
dikirim ke Unit Perawatan Intensif.

Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim


dari UGD dilakukan penatalaksanaan sebagai berikut : 1)Pemberian oksigen
diteruskan. 2)Agonis 2. Dilanjutkan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis setiap
jam, kemudian dapat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada
perbaikan yang jelas. Sebagai alternatif lain dapat diberikan dalam bentuk inhalasi
dengan nebuhaler/volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi perburukan, diberikan
drip salbutamol atau terbutalin. 3)Aminofilin. Diberikan melalui infuse atau drip
dengan dosis 0,5-0,9 mg/kgBB/jam. Pemberian per drip didahului dengan
pemberian secara bolus apabila belum diberikan. Dosis drip aminofilin
direndahkan pada penderita dengan penyakit hati, gagal jantung atau bila
penderita menggunakan simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis tinggi
diberikan pada perokok. Gejala toksik pemberian aminofilin perlu diperhatikan.
Bila terjadi mual,muntah atau anoreksia dosis harus diturunkan. Bila terjadi
konvulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera dihentikan karena terjadi gejala
toksik yang berbahaya. 4)Kortikosteroid. Kortikosteroid dosis tinggi intravena
diberikan setiap 2-8 jam tergantung beratnya keadaan serta kecepatan respon.
Preparat pilihan adalah hidrokortison 200-400mg dengan dosis keseluruhan 1-4
gr/24 jam. Sediaan lain yang juga dapat diberikan sebagai alternatif adalah
triamisinolon 40-80 mg, deksametason/betametason 5-10 mg. dalam tersedianya
kortikosteroid intravena, dapat diberikan kortikosteroid peroral yaitu prednisone
atau prednisolon 30-60 mg/hari. 5)Antikolinergik. Iptropium bromide dapat
diberikan baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan agonis 2 secara inhalasi
nebulisasi, penambahan ini tidak diperlukan bial pemberian agonis 2 sudah
memberikan hasil yang baik. 6)Pengobatan lainnya; a. Hidrasi dan keseimbangan
elektrolit. Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan
elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis metabolic. Ringer laktat dapat
diberikan sebagai terapi awal untuk rehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolic
diberikan natrium bikarbonat.; b. Mukolitik dan ekspektorans
Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan obstruksi jalan napas
berat, ekspektoran seperti obat batuk hitam dan gliseril guaikolat dapat diberikan,
demikian juga mukolitik bromeksin maupun N-asetilsistein.; c. Fisioterapi dada.

Drainase postural, vibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi lainnya hanya
dilakukan pada penderita dengan hipersekresi mucus sebagai penyebab utama
eksaserbasi akut yang terjadi.; d. Antibiotic. Diberikan kalau jelas ada tanda-tanda
infeksi seperti demam, sputum purulen dengan neutrofil leukositosis.; e. Sedasi
dan antihistamin. Obat-obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di ruang
perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti bermanfaat dalam
pengobatan asma akut berat, malahan dapat menyebabkan pengeringan dahak
yang mengakibatkan sumbatan bronkus.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari asma?
2. Apa pengertian dari status asmatikus?
3. Apa etiologi dari asma?
4. Apa etiologi dari status asmatikus?
5. Apa saja jenis-jenis asma?
6. Bagaimana patofisiologi dari asma?
7. Bagaimana patofisiologi dari status asmatikus?
8. Bagaimana manifestasi klinis dari asma?
9. Bagaimana manifestasi klinis dari status asmatikus?
10. Bagaimana evaluasi diagnostic dari asma?
11. Bagaimana evaluasi diagnostic dari status asmatikus?
12. Apa komplikasi dari status asmatikus?
13. Bagaimana penatalaksanaan dari asma?
14. Bagaimana penatalaksanaan dari status asmatikus?
15. Bagaimana proses keperawatan dari satatus asmatikus?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah mempelajari makalah Keperawatan Gawat Darurat pada
Status Asmatikus diharapkan mahasiswa mampu mengerti dan memahami
tentang penyakit asmatikus.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Dapat menjelaskan pengertian dari asma
2. Dapat menjelaskan dari status asmatikus
3. Dapat menyebutkan etiologi dari asma
4. Dapat menyebutkan dari status asmatikus
5. Dapat menyebutkan jenis-jenis asma
6. Dapat menjelaskan dari asma
7. Dapat menjelaskan dari status asmatikus
8. Dapat menjelaskan manifestasi klinis dari asma
9. Dapat menjelaskan manifestasi klinis dari status asmatikus

10. Dapat menjelaskan evaluasi diagnostic dari asma


11. Dapat menjelaskan evaluasi diagnostic dari status asmatikus
12. Dapat menjelaskan komplikasi dari status asmatikus
13. Dapat menjelaskan penatalaksanaan dari asma
14. Dapat menjelaskan penatalaksanaan dari status asmatikus
15. Dapat menjelaskan proses keperawatan dari status asmatikus
1.4 Manfaat
Setelah mempelajari makalah Keperawatan Gawat Darurat pada
Status Asmatikus diharapkan pembaca khususnya mahasiswa dapat
mengetahui tentang penyakit asmatikus dan mampu mengaplikasikan
asuhan keperawatan sesuai rencana keperawatan secara komprehensif pada
pasien yang mengalami penyakit asmatikus.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
2.1.1 Pengertian Asma
Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel
dimana trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli
tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang
mengakibatkan dipsneu, batuk dan mengi. Tingkat peningkatan jalan napas dapat
berubah baik secara spontan atau karena terapi. Asma berbeda dengan penyakit
paru obstruktif dalam hal bahwa asma adalah proses reversibel. Eksaserbasi akut

dapat saja terjadi, yang berlangsung dari beberapa menit dari jam, diselingi oleh
periode bebas gejala. Jika asma dan bronchitis terjadi bersamaan, obstruksi yang
diakibatkan menjadi gabungan dan disebut bronchitis asmatik kronik.
2.1.2 Pengertian Status Asmatikus
Status Asmatikus merupakan asma yang berat dan persisten yang tidak
berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24
jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan
nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergik, dan iritan non spesifik dapat
menunjang episode ini. Episode akut mungkin di cetuskan oleh hipersensitivitas
terhadap penisilin.
2.2 ETIOLOGI
2.2.1 Etiologi Asma
Penyebab asma masih belum jelas.diduga yang memegang peranan utama
ialah reaksi berlebihan dari trakea dan broncus (hiperreaktivitas broncus).

Faktor pencetusnya adalah :


1. Faktor Instrinsik
Alergen. Setiap macam zat yang dapat menimbulkan (menyebabkan)
reaksi munologik bisa menimbulkan keadaan hypersensitivitas. Pada
umumnya antigen (alegen). Penting pada asma anak adalah bentuk
tertentu extrak protein. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas
berhubungan dengan bahan alegen, misal : debu rumah, bulu binatang.
Berhubungan dengan umur, misal: semakin bertambahnya umur makin
banyak alegen pencetusnya.
2. Faktor Ekstrinsik
1) Infeksi
Virus yang menyebabkan ialah respiratory syncytial virus (RSV) dan
virus prainfluenza. Kadang-kadang karena bakteri misalnya perfusis
dan streptokokus.Jamur misalnya aspergillius dan parasut seprti
askaris.
2) Iritan
Hairspray, minyak wangi, obat semprot, asap rokok, bau tajam dari
cat, SO2, dan polutan udara lainnya dapat memacu serangan asama.

Iritasi hidung dan batuk sendiri dapat menimbulkan reflek


bronkokontriksi.
3) Cuaca
Perubahan tekanan udara, perubahan suhu udara, angin dan
kelembapan udara di hubungkan dengan Percepatan dan terjadinya
serangan asma.
4) Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani berat misalnya berlari atau naik sepeda dapat
memicu serangan asma, bahkan tertawa dan menangis yang
berlebihan dapat merupakan pencetus. Pasien dengan faal paru
dibawah optimal amat rentan terhadap kegiatan jasmani.
5) Infeksi saluran napas
Infeksin virus pada sinusitis, baik sinusitis akut maupun kronikdapat
memudahkan terjadinya asma pada anak. Rinitis alergika dapat
memberatkan asma melalui mekanisme iritasi atau reflek.
3. Faktor Psikis
Tidak adanya perhatian dan / atau tidak mau mengakui persoalan yang
berhubungan dengan asma oleh anak sendiri / keluarganya akan
menggagalkan usaha pencegahan,sebaliknya terlalu takut terhadap
adanya serangan atau hari depan anak juga dapat memperberat serangan
asma.
2.2.2 Etiologi Status Asmatikus
1) Mekanisme pemacu serangan akut terjadi bermacam-macam: allergen,
kerja fisik, infeksi firus pada jalan napas, ketegangan emosional,
perubahan iklim danbeberapa jenis obat seperti aspirin.
2) Ketikseimbangan modulasi adrenergic dan kolinergic dari bronkus.
3) Sering terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, anak laki-laki sering
terkena dari pada anak perempuan.
4) Biasanya mempunyai alergi dengan kadar IgE meninggi (asma
atopic/aksentrik berkaitan dengan keadaan alergi lain seperti eksema
fifer).
5) Asma instrinsik terjadi pada penderita non atopic yang lebih tua

2.3 Jenis-Jenis Asma

Asma sering dicirikan sebagai alergi, idiopatik, non-alergi atau


gabungan. Berikut adalah klasifikasi dari asma:
2.3.1 Asma Alergi disebabkan oleh allergen atau alergen-alergen yang dikenal
(misalnya., serbuk sari, binatang, amarah, makanan dan jamur). Kebanyakan
allergen terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan asma alergi biasanya
mempunyai riwayat keluarga yang alergi dan riwayat medis masa lalu
eczema atau rhinitis alergi. Pemajanan terhadap allergen mencetuskan
serangan asma. Anak-anak dengan asma alergi sering dapat mengatasi
kondisi sampai remaja.
2.3.2 Asma Idiopatik atau Non-Alergi tidak berhubungan dengan allergen
spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi traktus respiratorius,
latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan.
Beberapa agen farmakologi seperti aspirin dan agen anti inflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta adrenergic, dan agen sulfit
(pengawet makanan), juga mungkin menjadi faktor. Serangan asma
idiopatik atau non alergi menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis kronis dan
amfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
2.3.3 Asma Gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini
mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun bentuk idiopatik atau
non alergi
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Patofisiologi Asma
Asma adalah obstruksi jalan napas difus reversible. Obstruksi disebabkan
oleh satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kontraksi otot-otot yang mengelilingi
jantung, yang menyempitka jalan napas; 2) pemebengkakan membrane yang
melapisi bronchi; 3) pengisian bronchi dengan mucus yang kental. Selain itu, otototot bronchial dan kelenjar mukosa membesar; sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiper inflasi, dengan udara terperangkap di dalam
jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa
yang paling diketahui adalah keterlibatan system imunologis dan system saraf
otonom.

Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk


terhadap lingkungan mereka. Antibody yang dihasilkan (IgE) kemudian
menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen
mengakibatkan ikatan antigen dan antibody, menyebabkan pelepasan produk selsel mast (disebut mediator) seperti histamine, bradikinin, dan prostaglandin serta
anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini
dalam jaringan parut mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membrane mukosa dan pembentuka
mucus yang sangat banyak.
System saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronchial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui system saraf parasimpatis. Pada asma idiopatik atau
non-alergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetil kolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetil kolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentuka mediator kimiawi yang dibahas di
atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis.
Selain itu, reseptor - dan -adrenergic dari system saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor -adrenergic dirangsang, terjadi bronkokonstriksi;
brokodilatasi terjadi ketika reseptor -adrenergic yang dirangsang. Keseimbangan
anatar reseptor - dan -adrenergic dikendalikan terutama oleh siklik adenosine
monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cAMP,
yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel
mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan
tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan -adrenergic terjadi
pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan
pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos.
2.4.2 Patofisiologi Status Asmatikus
Karakteristik dasar dari asma (konstriksi otot polos bronkial, pembengkakan
mukosa bronchial, dan pengentalan sekresi) mengurangi diameter bronchial dan

10

nyata pada status asmatikus. Abnormalitas ventilasi-perfusi yang mengakibatkan


hipoksemia dan respirasi alkalosis pada awalnya, di ikuti oleh respirasi asidosis.
Terdapat penurunan PaO2 dan respirasi alkalosis dengan penurunan PaCO2
dan peningkatan pH. Dengan meningkatnya keparahan status asmatikus, PaCO 2
meningkat dan pH turun, mencerminkan respirasi asidosis.
2.5 Manifestasi Klinis
2.5.1 Manifestasi Klinis Asma
Tiga gejala umum asma adalah batuk, dipsneu dan mengi. Pada beberapa
keadaan, batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala. Serangan asma
seringkali terjadi pada malam hari. Penyebabnya tidak dimengerti dengan jelas,
tetapi mungkin berhubungan dengan variasi sirkadian, yang mempengaruhi
ambang reseptor jalan napas.
Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak
dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi, laborious. Ekspirasi selalu
lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk
tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori pernapasan. Jalan napas yang
tersumbat menyebabkan dipsneu. Batuk pada awalnya susah dan kering tetapi
segera menjadi lebih kuat. Sputum, yang terdiri atas sedikit mucus mengandung
masa gelatinosa bulat, kecil yang dibatukkan dengan susah payah. Tanda
selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, dan gejala-gejala
retensi karbondioksida, termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan
nadi.
Serangan asma dapat berlangsung dari tiga puluh menit sampai beberapa
jam dan dapat hilang secara spontan. Meski serangan asma jarang yang fatal,
kadang terjadi reaksi kardio yang lebih berat, yang disebut status asmatikus.
Kondisi ini merupakan keadaan yang mengancam hidup.
Reaksi yang Berhubungan. Kemungkinan reaksi alergi lainnya yang dapat
menyertai asma termasuk eczema, ruam dan edema temporer. Serangan asmatik
dapat terjadi secara periodic setelah pemajanan terhadap allergen spesifik, obatobat tertentu, latihan fisik dan kegairahan emosional.
2.5.2 Manifestasi Klinis Status Asmatikus
Manifestasi klinis status asmatikus adalah sama dengan manifestasi yang
terdapat pada asma hebat-pernapasan labored, perpanjangan ekshalasi, perbesaran
vena leher, mengi. Namun, lamanya mengi tidak mengindikasikan keparahan

11

serangan. Dengan makin besarnya obstruksi, mengi dapat hilang, yang sering kali
menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan.
2.6 Evaluasi Diagnostik
2.6.1 Evaluasi Diagnostik Asma
Tidak ada satu tes yang dapat menegakkan diagnosis asma. Riwayat
kesehatan yang lengkap, termasuk keluarga, lingkungan dan riwayat pekerjaan,
dapat mengungkapkan faktor-faktor atau substansi yang mencetuskan serangan
asma. Tes kulit positif yang menyebabkan reaksi lepuh dan hebat mengidentifikasi
allergen spesifik.
Riwayat positif keluarga seringkali berkaitan dengan asma alergi. Faktorfaktor lingkungan, termasuk perubahan musim, jumlah serbuk sari yang tinggi,
dan jamur juga berkaitan dengan asma. Perubahan iklim, khususnya dingin dan
polusi udara terutama sekali berkaitan dengan asma non alergi. Berbagai bahan
kimia dan senyawaan yang berkaitan dengan pekerjaan telah menunjukkan
hubungan terjadinya asma, termasuk garam logam, debu kayu dan debu sayuran,
obat-obatan (mis., aspirin, antibiotic, piperazin dan simetidin), bahan kimiawi dan
plastic industry enzim biologic, (mis., detergen untuk laundry), debu binatang dan
serangga, dan sekresi.
Selama episode aktif, rontgen dada dapat menunjukkan hiperinflasi dan
pendataran diafragma. Pemeriksaan sputum dan darah dapat menunjukkan
eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil). Terjadi peningkatan kadar serum IgE pada
masa alergik.
Sputum dapat jernih atau berbusa (alergik) atau kental dan putih (nonalergik) dan berserabut (non-alergik).
Gas darah arteri menunjukkan hipoksik selama serangan akut. Awalnya
terdapat hipokapneu dan respirasi alkalosis dan tekanan parsial karbondioksida
(PCO2) yang rendah. Dengan memburuknya kondisi dan pasien menjadi lebih
letih, PCO2 dapat meningkat. PCO2 yang normal dapat menunjukkan gagal napas
yang mengancam. Karena PCO2 20kali lebih dapat berdifusi dibanding dengan
oksigen, adalah sangat jarang bagi PCO2 untuk normal atau meningkat pada
individu yang bernapas dengan sangat cepat.
Fungsi pulmonary biasanya normal antar serangan. Selama serangan akut,
terdapat suatu peningkatan kapasitas paru normal (TLC) dan volume residual

12

fungsional (FRV) sekunder terhadap terjebaknya udara. FEV dan kapasitas vital
kuat (FVC) sangat menurun.
2.6.2 Evaluasi Diagnostik Status Asmatikus
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji
obstruksi jalan napas akut. Pemeriksaan gas darah arteri di lakukan jika pasien
tidak mampu melakukan manuver fungsi pernapasan karena obstruksi berat atau
keletihan, atau bila pasien tidak berespons terhadap tindakan. Respirasi alkalosis
(CO2 rendah) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik.
Peningkatan PCO2 (ke kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi
asidosis) seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal napas.
2.7 Komplikasi
Komplikasi dari status asmatikus adalah gagal napas. (Brunner&Suddart,
2002)
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1Penatalaksanaan Asma
Terdapat lima kategori pengobatan yang digunakan dalam mengobati asma,
yaitu:
1) Agonis Beta. Agonis beta (agen -adrenergik) adalah medikasi awal
yang digunakan dalam mengobati asma karena agen ini mendilatasi otototot polos bronchial. Agen adrenergic juga meningkatkan gerakan
siliaris, menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan dapat menguatkan
efek bronkodilatasi dari kortikosteroid. Agen adrenergic yang paling
umum

digunakan

adalah

epinefrin,

albuterol,

metaproterenol,

isoproterenol, isoetarin dan terbutarin. Obat-obat tersebut biasanya


digunakan secara parenteral atua melalui inhalasi. Jalur inhalasi adalah
jalur pilihan karena cara ini mempengaruhi bronkeolus secara langsung
dan mempunyai efek samping yang lebih sedikit.
2) Metilsantin. Metilsantin, seperti aminofilin dan teofilin, digunakan
karena mempunyai efek bronkodilatasi. Agen ini merilekskan otot-otot
polos bronkus, meningkatkan gerakan mucus dalam jalan napas, dan
meningkatkan kontraksi diafragma. Aminofilin (bentuk IV teofilin)
diberikan secara intravena. Teofilin diberikan per oral. Metilsantin tidak
digunakan dalam serangan akut karena awitannya lebih lambat dibanding
13

agonis beta. Ada beberapa faktor yang dapat mengganggu metabolism


metilsantin, terutama teofilin, termasuk merokok, gagal jantung, penyakit
hepar kronis, kontraseptif oral, eritromisin dan simetidin. Harus sangat
hati-hati ketika memberikan medikasi ini secara intravena. Jika obat ini
diberikan terlalu cepat, dapat terjadi takikardia atau disritmia jantung.
3) Antikolinergik. Antikolinergik, seperti atropine, tidak pernah dalam
riwayatnya digunakan untuk pengobatan rutin asma karena efek samping
sistemiknya, seperti kekeringan pada mulut, penglihatan mengabur,
berkemih anyang-anyangan, palpitasi dan flusing. Bagaimanapun,
derifatif ammonium kuaternari, seperti atropine metilnitrat, dan
ipratropium bromide (atroven), telah menunjukkan efek bronkodilator
yang sangat baik dengan efek samping sistemik minimal. Agen ini
diberikan melalui inhalasi. Antikolinergik secara khusus mungkin
bermanfaat terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk agonis beta dan
metilsantin karena penyakit jantung yang mendasari.
4) Kortikosteroid. Kortikosteroid penting dalam pengobatan

asma.

Medikasi ini mungkin di berikan secara intravena (hidrokortison), secara


oral

(prednisone,prednisolon)

(beklometason,deksametason).

atau

Mekanisme

melalui
kerjanya

belum

inhalasi
jelas;

bagaimanapun, medikasi ini di duga mengurangi inflamasi dan


bronkokonstriktor. Kortikosteroid (tidak melalui inhalasi) mungkin di
berikan untuk serangan asmatik akut yang tidak memberikan respons
terhadap terapi bronkodilator. Koertikosteroid telah terbukti efektif dalam
pengobatan asma dan PPOM. Penggunaan kortikosteroid berkepanjangan
dapat mengakibatkan terjadinya efek samping yang serius, termasuk
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan
katarak.
Kortikosteroid yang di hirup mungkin efektif dalam mengobati
pasien dengan asma tergantung steroid. Keuntungan utama dari metoda
pemberian ini adalah mengurangi efek kortikosteroid pada system tubuh
lainnya. Iritasi tenggorok, batuk, mulut kering, suara parau, dan infeksi
jamur pada mulut dan tenggorok dapat terjadi. Pasien di instruksikan

14

untuk membilas mulut dan berkumur segera setelah menghirup


kortikosteroid

untuk

mengurangi

insiden

infeksi

jamur. Pasien

diinstruksikan untuk melaporkan insiden kemerahan atau adanya bercak


keputihan dalam mulut.penukaran dari kortikosteroid sistemik menjadi
hirup membuat pasien beresiko terhadap infusiensi adrenal. Oleh karena
itu, prosesnya harus dilakukan secara bertahap dan dibawah supervise
yang ketat.
5) Inhibitor sel mast. Natrium kromolin, suatu inhibitor sel mast, adalah
bagian integral dari pengobatan asma. Medikasi ini diberikan melalui
inhalasi. Medikasi ini mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik,
dengan demikian mengakibatkan bronkodilatasi dan penurunan inflamasi
jalan napas. Natrium kromolin sangat bermanfaat diberikan antar
serangan atau sementara asma dalam remisi. Obat ini dapat
mengakibatkan pengurangan penggunaan medikasi lain dan perbaikan
menyeluruh dalam gejala.
2.8.2Penatalaksanaan Status Asmatikus
Dalam lingkungan kedaruratan, pasien mula-mula di obati dengan agonis
beta (mis., metaproterenol, terbutalin, dan albuterol) dan kortikosteroid. Pasien
mungkin juga membutuhkan oksigen suplemental dan cairan intravena untuk
hidrasi.
Terapi oksigen di lakukan mengatasi dispnea, sianosis, dan hipoksemia.
Oksigen aliran rendahyang di lembabkan baik dengan masker Venturi atau kateter
hidung di berikan. Aliran oksigen yang di berikan di dasarkan pada nilai-nilai gas
darah. PaO2 di perhatikan antara 65 dan 85 mm Hg. Pemberian sedative
merupakan kontraindikasi. Jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan
berulang, di butuhkan perawatan di rumah sakit.
Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah
(respirasi asidosis), mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan
membutuhkan ventilasi mekanis, adalah kriteria lain yang menandakan kebutuhan
akan keperawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak
membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini di gunakan bila pasien dalam
keadaan gagal napas atau pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh

15

upaya bernapas atau mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap


pengobatan awal.
2.9 Proses Keperawatan Status Asmatikus
2.9.1
1)

Pengkajian
Mencakup nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, agama

dan alamat.
2)

Keluhan Utama
Sesak nafas.

3)

Riwayat Penyakit Sekarang


Apakah ada keluhan nyeri dada, sesak, takinardi, berkeringat, malaise,
konstipasi.

4)

Riwayat Penyakit Dahulu


Kadang kadang ada hypertensi, apakah pernah demam, reumatik, bedah
jantung, penyakit katup janung dan penyakit jantung bawaan.

5)

Riwayat Penyakit Keluarga


Apakah ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama, penyakit
jantung, lainnya dan DM.

6)

Tingkat Pengetahuan Pasien dan Keluarga.


Ditanya tentang seberapa jauh pengetahuan pasien dan keluarga tentang
penyakitnya.

7)

Faktor Resiko
Apakah penderita merokok atau minum minuman keras, kebiasaan
makan makanan berlemak atau sering mengkonsumsi daging.

8)

Riwayat Sosial Ekonomi


Tanyakan tentang profesi pasien dan usaha pertolongan bila ada keluarga
yang sakit

9)

Riwayat spiritual
Tanyakan tentang kepercayaan yang dianut, hal ini penting karena untuk
memberikan asuhan keperawatan kita dapat menyesuaikan kekuasaan yang

16

dianut pasien sepanjang hal tersebut tidak bertentangan denga terapi yang
harus ditaati
10)

Riwayat alergi
Tanyakan apakah anda alergi makanan, obat hal ini berhubungan dengan
diit dan obat-obatan

11)

Kebiasaan hidup sehari-hari


Menyangkut cairan, makanan, eliminasi, kebersihan diri, aktivitas dan
istirahat

12)

Pemeriksaan Fisik
(1)
(2)

Airway
: jalan napas tidak paten, suara napas stridor
Breathing : gerakan dada asimetris, irama napas cepat, pola napas
cepat, dan pasien mengalami sesak napas, terdapat pernapasan cuping

(3)
(4)
(5)

hidung, bunyi napas wheezing


Circulation : nadi radialis teraba, tidak ada sianosis, CRT >2dtk
Disability : Respon Alert, kesadaran compos mentis, GCS: 456
Exposure : -

2.9.2

Diagnosis Keperawatan

Pola napas tidak efektif berhungan dengan ekspansi paru tidak maksimal
2.9.3

Intervensi Keperawatan

Pola napas tidak efektif berhungan dengan ekspansi paru tidak maksimal
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pola napas pasien
kembali efektif
Kriteria Hasil : tanda-tanda vital stabil, RR:16-20 x/menit, Nadi:60100x/menit, tidak ada suara napas tambahan wheezing, irama napas
eupneu, pergerakan dada simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung.
Intervensi Keperawatan :
Kaji usaha dan frekuensi napas pasien
Rasional: mengetahui tingkat usaha napas pasien
Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung
pasien serta pipi ke mulut pasien
Rasional: mengetahui masih adanya usaha napas pasien
Pantau ekspansi dada pasien
Rasional: mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien
17

2.9.4

Implementasi

Pada tahap pelaksanaan merupakan kelanjutan dari rencana keperawatan


yang telah ditetapkan dengan lanjut untuk memenuhi kebutuhan klien secara
optimal, pelaksanaan tindakan keperawatan pada prinsipnya adalah: 1)
Meningkatkan curah jantung, 2) Memenuhi kebutuhan O 2, 3) Mencegah
terjadinya hipoksia, 4) Mempertahankan integritas kulit, 5) Meningkatkan
pengetahuan keluarga tentang perawatan dirumah dan kebutuhan evaluasi.
2.9.5

Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap dimana proses keperawatan menyangkut


pengumpulan dan obyektif dan subyektif yang dapat menunjang, masalah apa
yang terselesikan apa yang perlu dikaji dan direncanakan, dilaksanakan dan
dinilai apakahtujuan keperawatan telah tercapai atau belum, sebagian tercapai
atau timbul masalah baru.
Dalam evaluasi menggunakan format SOAP, yaitu:
S: Data yang diperoleh dari wawancara langsung dengan klien.
O: Data yang diperoleh dari hasil observasi dan pemeriksaan.
A: Pernyataan yang terjadi atas data subyektif dan data obyektif.
P: Perencanaan yang ditetukan sesuai dengan masalah.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA Nn.B
DENGAN PENYAKIT ASMATIKUS
3.1 Kasus Semu
Nn.B 18 thn, Agama Islam, dan nama walinya adalah Tn.E. Datang ke
rumah sakit pada tanggal 27 april 2011 pukul 20.00. Nn. B mengeluh sesak
pada saat ia bernapas, batuk kering dan nyeri pada dada dan abdomen. Klien
juga mengatakan lemah, lemas dan hanya bisa berbaring saja karena susah
bernapas jika beraktifitas. Aktivitas sehari-hari klien dibantu oleh
18

keluarganya. Skala nyeri klien adalah 5. Klien mengatakan 3 tahun yang lalu
pernah dirawat di rumah sakit dengan sakit yang sama, dan dokter saat itu
mengatakan bahwa dia sakit asma. Nn.B tampak lelah, dan mengatakan
adanya alergi pada debu, dan sangat rentan terkena asma pada udara malam.
Nn.B menggunakan otot bantu pernapasan, tampak adanya pernapasan cuping
hidung. Pada saat pengkajian klien tampak susah bernapas dan ketika
ekspirasi terdengar bunyi wheezing. Dari hasil pemeriksaan fisik klien
didapatkan TD : 120/80, RR : 29 x/mnt , Nadi : 113x/mnt, klien tampak
lemah dan letih, wajah klien tampak pucat. Hasil pemeriksaan radiologi paru
Nn.B, didapati hiperinflasi pada parunya.
3.2 Asuhan Keperawatan
3.2.1 Pengkajian
1. Primary Survey
1) Airway
: jalan napas tidak paten, suara napas stridor
2) Breathing
: gerakan dada asimetris, irama napas cepat, pola
napas cepat, dan pasien mengalami sesak napas, terdapat pernapasan
cuping hidung, bunyi napas wheezing
3) Circulation
: nadi radialis teraba, tidak ada sianosis, CRT >2dtk
4) Disability
: Respon Alert, kesadaran compos mentis, GCS: 456
5) Exposure
:2. Secondary Survey
1. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama

: Pasien mengeluh sesak napas

(1) Riwayat kesehatan sekarang

: Klien mengeluh sesak pada

saat ia bernapas, batuk kering dan nyeri pada dada dan


abdomen. Klien juga mengatakan lemah, lemas dan hanya
bisa berbaring saja karena susah bernapas jika beraktifitas.
Aktivitas sehari-hari klien dibantu oleh keluarganya. Skala
nyeri klien adalah 5. Klien juga mengatakan adanya alergi
pada debu, dan sangat rentan terkena asma pada udara
malam.
(2) Riwayat kesehatan dahulu

: Klien mengatakan 3 tahun

yang lalu pernah dirawat di rumah sakit dengan sakit yang


sama, dan dokter saat itu mengatakan bahwa dia sakit asma
19

2) Pemeriksaan Fisik
(1) Keadaan umum : Lemah dan lemas
(2) TTV : TD : 100/70
Nadi : 110x/menit

Suhu : 37,7oc

RR : 26x/menit
(3) Pernapasan
: gerakan dada asimetris, irama napas cepat,
pola napas cepat, dan pasien mengalami sesak napas, terdapat
pernapasan cuping hidung, bunyi napas wheezing, RR :
26x/menit
(4) Kardiovaskuler : Hipertensi, nadi aritmia, TD :100/700 Nadi :
110x/menit
(5) Persarafan
: Lemah
(6) Gastrointestinal : (7) Integumen
:(8) Muskuloskeletal : Kelelahan, kelemahan
(9) Integritas Ego : Gelisah, pucat
(10) Eliminasi
: Diare
(11) Sensori
:
Mata
mengecil/membesar,
pupil miosis.
(12) Kepala (IPPA) : bentuk kepala klien mesochepal, tidak
terdapat lesi, tidak ada hematom, rambut klien bersih tidak
rontok. Pemeriksaan muka : muka klien tampak pucat,
berkeringat, tidak ada lesi pada muka klien. Sklera klien
berwarna putih bersih, terdapat sekret pada mata, konjunctiva
anemis. Hidung klien simetris, tidak ada septum deviasi,
tidak ada lesi juga tidak ada epistaksis, tidak ada polip. Pada
pemeriksaan bibir klien didapatkan bibir klien kering, tidak
ada stomatitis. Pada telinga klien bentuknya simetris, telinga
klien sedikit kotor.
(13) Leher
: leher

klien

simetris

tidak

ada

penyimpangan, tidak ada pembesaran kelenjar tyhroid, saat


dilakukan pengukuran JVP didapatkan nilai 2 cm, tidak ada
kaku kuduk, tidak terjadi kesusahan dalam menelan.
(14) Dada :
1. Pulmonal/Paru :

20

Inpeksi : bentuk tulang dada simetris, tetapi saat


bernapas klien terlihat pengembangan dada yang tidak

simetris.
Palpasi : pada saat dilakukan palpasi volal fremitus

dapat terasa getaran yang berat.


Perkusi : suara perkusi yang dapat dihasilkan dari paruparu klien terdapat pekak yang menunjukkan banyak

sekret.
Auskultasi : saat dilakukan auskultasi terdapat suara

whweezing pada pernapasan klien.


2. Coroner/Jantung :
- Auskultasi : Terdapat suara bunyi jantung S1 dan S2
(15) Abdomen :
1. Inspeksi

: bentuk abdomen klien simetris, tidak asites

ataupun kemerahan
2. Auskultasi : bising usus 12x/menit
3. Palpasi
: saat dilakukan palpasi terdapat nyeri tekan,
karena adanya pengaruh otot pada abdomen.
4. Perkusi
: bunyi tympani pada seluruh perut
(16) Genetalia
: warnanya sama dengan warna kulit, tidak
terdapat lesi pada vulva, tidak terdapat nyeri.
(17) Ekstremitas : kekuatannya otot melemah.
3.2.2 Analisa Data
No Data
1.

Etiologi

Ds : klien mengatakan Ekspansi


sesak

pada

saat

ia maksimal

bernapas, batuk kering


dan nyeri pada dada dan
abdomen. Adanya alergi
pada debu
DO:
-TD : 120/80
-RR : 29 x/mnt

21

Masalah
paru

Keperawatan
tidak Pola napas tidak
efektif

-Nadi : 113x/mnt.
-Suara napas tambahan
wheezing
-pernapasan

cuping

hidung
-pergerakan

dada

asimetris
-Irama takipneu
-Hasil
pemeriksaan
radiologi

paru

Nn.B,

didapati hiperinflasi pada


paru
3.2.1

Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhungan dengan ekspansi paru tidak
maksimal

3.2.2

Intervensi Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhungan dengan ekspansi paru tidak
maksimal
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pola napas
pasien kembali efektif
Kriteria Hasil : tanda-tanda vital stabil, RR:16-20 x/menit, Nadi:60100x/menit, tidak ada suara napas tambahan wheezing, irama napas
eupneu, pergerakan dada simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung
Intervensi Keperawatan :

No
1
2

Intervensi Keperawatan

Rasional

Kaji

mengetahui tingkat usaha napas

usaha

dan

napas pasien
Auskultasi
bunyi

frekuensi
napas

dengan mendekatkan telinga

pasien
mengetahui

masih

adanya

usaha napas pasien

pada hidung pasien serta pipi

ke mulut pasien
Pantau ekspansi dada pasien

mengetahui

masih

adanya

pengembangan dada pasien

22

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.1.1
Status Asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak
berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih
dari 24 jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan,
penyalahgunaan nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergik, dan
iritan non spesifik dapat menunjang episode ini. Episode akut mungkin di
cetuskan oleh hipersensitivitas terhadap penisilin.
4.1.2
Etiologi asmatikus ada 2 yaitu faktor intrinsic dan ekstrinsik.
4.1.3
Jenis-jenis asma ada tiga yaitu, asma allergic, idiopatik atau non
idiopatik, dan gabungan.
4.1.4
Karakteristik dasar dari asma (konstriksi otot polos bronkial,
pembengkakan mukosa bronchial, dan pengentalan sekresi) mengurangi
diameter bronchial dan nyata pada status asmatikus. Abnormalitas
ventilasi-perfusi yang mengakibatkan hipoksemia dan respirasi alkalosis
pada awalnya, di ikuti oleh respirasi asidosis. Terdapat penurunan PaO 2
dan respirasi alkalosis dengan penurunan PaCO 2 dan peningkatan pH.
Dengan meningkatnya keparahan status asmatikus, PaCO2 meningkat dan
pH turun, mencerminkan respirasi asidosis.
4.1.5
Manifestasi klinis status asmatikus adalah sama dengan manifestasi
yang terdapat pada asma hebat-pernapasan labored, perpanjangan
ekshalasi, perbesaran vena leher, mengi. Namun, lamanya mengi tidak
mengindikasikan keparahan serangan. Dengan makin besarnya obstruksi,
mengi dapat hilang, yang sering kali menjadi pertanda bahaya gagal
pernapasan.
4.1.6
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam
mengkaji obstruksi jalan napas akut. Pemeriksaan gas darah arteri di
lakukan jika pasien tidak mampu melakukan manuver fungsi pernapasan

23

karena obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespons
terhadap tindakan. Respirasi alkalosis (CO2 rendah) adalah temuan yang
paling umum pada pasien asmatik. Peningkatan PCO2 (ke kadar normal
atau kadar yang menandakan respirasi asidosis) seringkali merupakan
tanda bahaya serangan gagal napas.
4.1.7
Komplikasi dari status asmatikus adalah gagal napas.
4.1.8
Terdapat lima kategori pengobatan yang digunakan dalam
mengobati

asma,

yaitu:

agonis

beta,

metilsantin,

antikolinergik,

kortikosteroid, dan inhibitor sel mast.


4.1.9
Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas
darah (respirasi asidosis), mungkin menandakan bahwa pasien menjadi
lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis, adalah kriteria lain yang
menandakan kebutuhan akan keperawatan di rumah sakit. Meskipun
kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini di
gunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau pada mereka yang
kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau mereka yang
kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.
4.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa penulisan makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik
dan saran kepada para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta: EGC

24

Brunner, Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC
https://www.scribd.com/doc/183174587/AsKep-GADAR-ASMATIKUS-docx.
diakses pada 24 Februari 2016 pukul 11.30
https://www.scribd.com/doc/57757849/ASMATikus. diakses pada 24 Februari
2016 pukul 11.00
Nettina, Sandra M. 2002. Pedoman Praktik Keperawatan. Jankarta: EGC

25

Anda mungkin juga menyukai