Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
RINGKASAN
KHULFI MUHAMMAD KHALWANI. Penilaian Kerugian dan Efektivitas
Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus di Taman
Nasional Sebangau). Dibimbing oleh BAHRUNI dan LAILAN SYAUFINA.
Salah satu lokasi ekosistem gambut di Indonesia yang memiliki resiko
kebakaran hutan yang cukup tinggi adalah kawasan Taman Nasional Sebangau
(TNS) yang terletak di antara sungai Katingan dan sungai Sebangau, Pulau
Kalimantan. Kawasan ini ditunjuk melalui SK Menhut No. 423/Menhut-II/2004
tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas 568 700 ha dan secara administratif
termasuk dalam wilayah Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota
Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah.
Kegiatan pencegahan kebakaran hutan merupakan bagian dari kegiatan
pengendalian hutan, yaitu semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan
untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan.
Kegiatan pencegahan kebakaran hutan gambut di TNS merupakan salah satu dari
beberapa kegiatan yang direncanakan dan dianggarkan oleh Balai TNS selaku
pengelola kawasan disetiap tahun melalui Rencana Kerja Tahunan. Meskipun
demikian, kebakaran hutan ternyata masih terjadi di dalam kawasan TNS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah penyebab kebakaran
hutan gambut di kawasan TNS tahun 2014; mengidentifikasi dan menilai berbagai
jenis kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut di TNS pada
tahun 2014; dan menganalisis efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan di
TNS.
Kegiatan penelitian dilakukan selama 6 bulan yaitu pada bulan Oktober
2014 Maret 2015 yang berlokasi di TNS. Metoda pengumpulan data pada
penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu: studi literatur (desk study) dan
pencatatan, survey dampak biofisik, dan survey dampak sosial ekonomi.
Penilaian kerugian dari kerusakan sumberdaya hutan dapat diperoleh
berdasarkan pendekatan nilai total ekonomi atau Total Economic Value (TEV)
yang hilang akibat kerusakan yang terjadi dan timbulnya biaya akibat dampak.
Nilai kerugian total merupakan penjumlahan nilai kerusakan kayu potensial; nilai
kerugian hasil hutan non kayu; nilai kerugian sektor perikanan; nilai kerugian
sektor transportasi; nilai kerugian kesehatan masyarakat; nilai kerusakan habitat
tumbuhan dan satwa liar; nilai karbon yang hilang; nilai kegiatan pemadaman
kebakaran.
Analisis dilakukan terhadap efektivitas dan kendala-kendala permasalahan
kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS. Tingkat efektifitas diukur dan
dianalisis dengan cara membandingkan pencapaian sasaran atau tujuan kegiatan
dengan apa yang direncanakan. Kemudian membandingkan realisasi anggaran
belanja dengan target anggaran belanja.
Dari hasil valuasi yang dilakukan diperoleh total nilai estimasi kerugian
ekonomi yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut pada tahun 2014 di
dalam kawasan TNS seluas 4364 ha adalah mencapai Rp134 405 786 127,Nilai kerugian terbesar diakibatkan oleh kehilangan dan kerusakan biofisik
diantaranya nilai dari emisi karbon yang terjadi, nilai potensial kayu yang ada dan
nilai potensial hasil hutan non kayu berupa rotan, jelutung dan kulit gemor.
SUMMARY
KHULFI MUHAMMAD KHALWANI. Valuation of Fire Losses and
Effectiveness of Fire Prevention in Peat Forest Ecosystem (Case Study in
Sebangau National Park). Supervised by BAHRUNI and LAILAN SYAUFINA.
One location of peat ecosystem in Indonesia which has the high risk of
forest fires is Sebangau National Park (TNS). This area is designated by the
Minister of Forestry decree No. 423 / Menhut-II / 2004 dated October 19th, 2004
with an area of 568 700 ha and administratively included in the Katingan
Regency, Pulang Pisau Regency and city of Palangkaraya, Central Kalimantan
Province.
Peatland fire prevention activities in Sebangau National Park is one of the
annual activities planned by Sebangau National Park manager. Nonetheless, forest
fires still continue to occur in this area.
This study aimed to identify the cause of the problem of peat fires in the
TNS 2014; identify and assess the various types of loss caused by peat fires in
TNS in 2014; and analyze the effectiveness of forest fire prevention activities.
Research carried out for 6 months on October 2014 March 2015 located at
TNS. The method of data collection in this study were divided into three, among
which: literature review (desk study) and recording, survey the impact of
biophysical and socio-economic impact survey.
Assessment of losses from damage to forest resources can be obtained based
on the Total Economic Value (TEV) approach that lost due to damage that
occurred and the incurrence of costs due to the impact. Total loss value is the sum
value of the damage potential of wood; loss value of non-timber forest products;
loss value of the fisheries sector; loss value of the transport sector; loss value of
public health; the value of damage to plants and wildlife habitat; carbon lost
value; the value of fire fighting activities.
Analysis conducted on the effectiveness and constraints of the problem of
forest fire prevention activities at TNS. The level of effectiveness is measured and
analyzed by comparing the achievement of the goals or objectives of the activity
with what is planned. Then compare actual expenditure with the budget targets.
The total estimated value of the economic losses caused by peat fires in
2014 in the area of TNS of 4364 ha was reached Rp134 405 786 127, - The
biggest loss value caused by the loss and damage to the biophysical including the
value of the carbon emissions, potential value of timber and potential value of
non-timber forest products such as rattan, jelutung and gemor leather.
The level of cost-effectiveness of forest fire prevention by Sebangau
National Park in 2014 seems to be effective from the point of view budget
realization, that reached about 96.96%. However, by considering the realization of
the targeted activity, namely a reduction in the number of hotspots and reduction
of forest fires, the activities of fire control Sebangau National forests apparently
ineffective. Forest fire prevention activities in thea area need to be improved and
more focus on the root causes of the peat land fire problem.
Keywords : fire losses, budget effectiveness, fire prevention, fire causes, Sebangau
forest
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Tesis
Nama
NIM
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah kerugian kebakaran hutan dengan judul
Penilaian Kerugian dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan
Gambut (Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau).
Proses penulisan tesis ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Bahruni, MS
dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir
Hardjanto, MS selaku dosen penguji dan juga khususnya untuk keluarga (Elintia,
SE, Arkana AK dan Al-Khalifi AK). Penghargaan juga penulis sampaikan kepada
teman-teman di Balai TNS yang telah membantu selama pengumpulan data..
Semoga penelitian ini bermanfaat dan terima kasih atas semua saran,
dukungan serta nasehat-nasehatnya.
Bogor, Januari 2016
DAFTAR ISI
DAFTARTABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan Penelitian
Jenis Data
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebab Kebakaran di TNS
Nilai Kerugian Kebakaran Hutan Gambut
Efektivitas Kegiatan Pencegahan Kebakaran Hutan
4 SIMPULAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Riwayat hidup
ii
iii
iv
1
1
3
4
4
5
6
6
7
7
8
10
20
20
24
42
49
49
49
50
52
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
6
7
9
10
22
25
26
28
30
31
11
12
13
14
15
16
17
18
32
35
36
14
39
42
44
45
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
1
4
5
8
17
18
19
21
24
25
27
28
29
32
32
34
37
19
20
21
22
38
40
41
43
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/98 telah dianggap
sebagai salah satu bencana lingkungan terburuk sepanjang abad karena dampak
kerusakan hutan dan jumlah emisi karbon yang dihasilkan sangatlah besar (Glover
dan Jessup 2002). Walau demikian, hingga saat ini kebakaran masih menjadi
ancaman khususnya pada musim kemarau.
Kebakaran bisa terjadi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan,
baik pada tanah mineral maupun gambut (Saharjo 1997; Page et al 2002; Syaufina
2008). Kebakaran hutan pada tipe tanah gambut jauh lebih sulit dipadamkan
karena api bisa menyebar pada vegetasi dan bahan bakar lainnya di atas
permukaan serta di dalam lapisan tanah gambut melalui proses pembaraan
(Sumantri 2007). Proses pembaraan ini sulit diketahui penyebarannya secara
visual namun besar dampaknya untuk kerusakan selanjutnya (Rein et al 2008).
Salah satu lokasi ekosistem gambut di Indonesia yang masih memiliki resiko
kebakaran hutan yang cukup tinggi adalah kawasan Taman Nasional Sebangau
(TNS) yang terletak di antara sungai Katingan dan sungai Sebangau, Pulau
Kalimantan. Kawasan ini ditunjuk melalui SK Menhut No.423/Menhut-II/2004
tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas 568 700 ha dan secara administratif
termasuk dalam wilayah Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota
Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 1). Sebelumnya kawasan
TNS merupakan kawasan hutan produksi dimana terdapat 13 konsesi HPH yang
beroperasi dari 19701995 dan setelah itu menjadi open acces (WWF 2012).
Pembuatan kanal/parit untuk jalur transportasi dan ekstraksi kayu dari hutan
menuju sungai menjadikan kandungan air gambut berfluktuasi sangat nyata dan
mengakibatkan keringnya gambut pada musim kemarau sehingga menjadi mudah
terbakar (Jaenicke et al 2010).
Secara umum kawasan TNS masih memiliki kondisi yang relatif lebih baik
sebagai habitat flora dan fauna yang unik dan endemik, jika dibandingkan dengan
wilayah disekitarnya yang telah banyak dikonversi seperti pada Proyek exPLG
(BTNS 2008). Luas lahan gambut di Pulau Kalimantan adalah 5 769 246 ha dan
lebih dari 50% berada di Provinsi Kalimantan Tengah (Wahyunto et al 2005). Jika
dilihat dari segi luas kawasan, upaya konservasi gambut di TNS seluas 568 700
ha tentunya memiliki proporsi yang cukup penting bagi pelestarian hutan gambut
yang masih tersisa di Indonesia.
Kawasan Sebangau memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
Pada kawasan ini terdapat sekitar 792 jenis flora tumbuh yang termasuk ke dalam
128 suku (Wardani et al 2006). Suku yang terbanyak adalah Rubiaceae,
Myrtaceae dan Euphorbiaceae. Suku lainnya yang masih cukup banyak adalah
Moraceae, Fabaceae, Clusiaceae, Cyperaceae, Annonaceae dan Lauraceae. Tiga
suku diantaranya merupakan pakan utama orangutan di TNS. Kawasan ini
merupakan habitat terbesar populasi satwa langka Orangutan borneo (Pongo
pygmaeus) yaitu sekitar 62006900 individu (Husson et al 2003) dan juga habitat
terbesar pupulasi owa (Hylobates agilis albibarbis), yaitu 19 000 individu. Dari
hasil observasi mamalia diketahui bahwa di dalam kawasan ini dapat dijumpai 35
jenis mamalia dan 13 diantaranya merupakan jenis yang terancam punah. Selain
jenis mamalia juga terdapat 106 jenis burung dan 36 jenis ikan yang telah
teridentifikasi serta berbagai jenis reptilia (BTNS 2008).
Selain sebagai habitat flora fauna, ekosistem gambut Sebangau juga
berperan sebagai gudang penyimpanan karbon yaitu sekitar 2500 ton/ha (Page et
al 2002). Kawasan ini juga berfungsi sebagai pengatur tata air di Kabupaten
Katingan Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya. Antara 8090%
volume gambut akan menjadi penampung air pada musim hujan dan
melepaskannya secara bertahap pada musim kemarau (BTNS 2008). Dari aspek
sosial ekonomi, hingga saat ini kawasan Sebangau masih menjadi tumpuan
masyarakat karena dapat memberikan nilai ekonomiekologi yang sangat penting
bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu kestabilan ekosistem
ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik di tingkat
lokal, regional, nasional maupun global.
Menurut Suhud et al (2007) dalam kurun waktu 19972006, Provinsi
Kalimantan Tengah menempati urutan pertama dalam jumlah titik panas
(hotspot), yang berarti sebagai daerah dengan potensi intensitas kebakaran hutan
dan lahan terbesar di Indonesia. Kawasan konservasi TNS termasuk salah satu
kawasan yang berpotensi turut terbakar dalam kurun waktu tersebut. Hingga saat
ini, terutama saat musim kemarau, kebakaran terkadang masih terjadi di dalam
dan sekitar kawasan konservasi TNS (BTNS 2013).
Kebakaran hutan akan berdampak terhadap kerusakan biofisik dan
penurunan kuantitas sumber daya hutan maupun sumber daya manusia akibat
perubahan kualitas lingkungan karena polusi asap yang ditimbulkan (Brown dan
Davis 1973). Kehilangan keanekaragaman hayati akibat kebakaran hutan
memberikan konsekuensi hilangnya nilai ekonomis potensial dari hutan (Barbier
1995). Selanjutnya menurut Pearce dan Moran (1994), kerugian ekonomi akibat
kebakaran hutan dapat berupa kerusakan biofisik dan perubahan produktifitas
serta timbulnya biaya akibat dampak kebakaran hutan terhadap perubahan kualitas
lingkungan yang disetarakan dengan istilah biaya oportunitas dalam ilmu
ekonomi. Selain itu kerusakan hutan ini akan menimbulkan risiko dan
ketidakpastian pulihnya kondisi ekosistem hutan tersebut. Hal ini berimplikasi
pada dua hal, yaitu kehilangan nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu dimasa
akan datang akibat pemanfaatan yang tidak lestari saat kini user cost dan
kehilangan nilai guna harapan dimasa akan datang dari keanekaragaman hayati
yang saat kini belum dimanfaatkan option values (Bahruni et al 2007).
Valuasi terhadap nilai kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di TNS
dapat menjadi bahan masukan kepada pihak pengelola dan stakeholders. Dengan
mengetahui nilai kerugian ini dapat ditentukan strategi untuk tindakan
preventifnya dalam kaitannya dengan rencana alokasi anggaran pencegahan
kebakaran hutan. Selanjutnya akan diketahui apakah anggaran bidang pencegahan
kebakaran hutan yang telah direncanakan dan direalisasikan selama kurun waktu
tersebut sudah cukup sesuai dan efektif apabila dibandingkan dengan nilai
kerugian yang bisa dihindari jika tidak terjadi kebakaran hutan.
Perumusan Masalah
Penilaian ekonomi terhadap dampak kebakaran hutan di kawasan TNS
belum pernah dilakukan. Kaitannya dengan manajemen pengelolaan kawasan
hutan konservasi TNS, penilaian terhadap dampak kebakaran hutan dapat
memberikan bahan masukan dan pertimbangan bagi para stakeholders yang
berkepentingan dengan kawasan ini khususnya bagi pengelola kawasan yaitu
Balai TNS.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 03/Menhut-II/2007
tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Taman Nasional, Balai TNS mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan
pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku. Dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi tersebut, salah
satu kegiatan pentingnya adalah penyusunan rencana, program dan evaluasi di
bidang perlindungan hutan, termasuk didalamnya kegiatan pengendalian
kebakaran hutan.
Pengendalian kebakaran hutan adalah semua usaha yang meliputi
pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran hutan dan penyelamatan
(Permenhut P.12/Menhut-II/2009). Kegiatan pencegahan kebakaran hutan
merupakan bagian dari kegiatan pengendalian hutan, yaitu semua usaha, tindakan
atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan
terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan gambut di
TNS merupakan salah satu dari beberapa kegiatan yang direncanakan dan
dianggarkan oleh Balai TNS disetiap tahun melalui Rencana Kinerja Tahunan.
Meskipun demikian kebakaran hutan ternyata masih terjadi di dalam kawasan
TNS.
Tacconi (2003) menyatakan untuk kasus kebakaran hutan di Indonesia, tiga
masalah kebijakan utama yang diidentifikasi diantaranya : 1) Pencemaran kabut
asap, emisi karbon dan dampak-dampak terkait lainnya; 2) Degradasi hutan dan
deforestasi, hilangnya hasil hutan dan berbagai jasa lingkungan yang diberikan
hutan, termasuk kayu dan non kayu, erosi tanah dan lenyapnya fungsi pengendali
Anggaran Bidang
Pencegahan Kebakaran
Hutan Gambut
Berapa ?
(Belum ada yang mengukur)
Berapa ?
(Apakah cukup efektif)
lebih lengkap dan akurat dari suatu upaya kebijakan atau proyek, 2) penilaian
dapat menjelaskan kepada kita tingkat kepentingan relatif dari perbaikan atau
perusakan lingkungan, dan bagaimana dampaknya terhadap penduduk, dan 3)
penilaian dapat menarik perhatian berbagai pihak pada permasalahan lingkungan
dan membuat arti pentingnya menjadi jelas.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan untuk melakukan penilaian kerugian kebakaran
hutan di dalam kawasan TNS pada tahun 2014 dan menilai efektivitas kegiatan
pencegahan kebakaran hutan selama periode lima tahun terakhir, dengan
melakukan analisis kualitatif terhadap kesesuaian 1) jenis kegiatan yang
direncanakan, 2) rencana dan realisasi anggaran; 3) tata waktu dan lokasi
kegiatan; dengan masalah penyebab kebakaran hutan di TNS. Tahapan penelitian
terdiri dari identifikasi jenis dampak; identifikasi wilayah dampak; kuantifikasi
dampak dan kemudian diperoleh nilai kerugian. Dalam praktek valuasi ekonomi,
tidak begitu mudah memisahkan antara berbagai komponen nilai yang berbedabeda, namun karena berbagai keterbatasan cukup menghitung nilai dari beberapa
komponen penggunaan sumber daya hutan yang dominan.
Adapun kerangka pikir penelitian ini dijelaskan seperti pada Gambar 3.
Konservasi Gambut di Indonesia
(REDD+, RAMSAR, Mitigasi &
Adaptasi dll.)
Anggaran Pencegahan
- Jenis kegiatan
- Rencana & realisasi
- Waktu dan lokasi
Dampak
Asap
Penurunan SDH
Biaya Pemadaman
Pendekatan
pengeluaran biaya
Intangible
Tangible
Kesehatan
masyarakat
Transportasi
Perikanan
Hasil Hutan
Non Kayu
Kayu
Karbon
Pendekatan
biaya berobat
Metode
harga pasar
Metode
harga pasar
Metode
harga pasar
Pendekatan
Harga Pasar
Metode
harga Pasar
Habitat
Pendekatan
Biaya Restorasi
2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan selama 6 bulan yaitu pada bulan Oktober
2014 Maret 2015 yang berlokasi di TNS (113o 18 114o 03 BT dan 010 55
03o 07 LS). Valuasi kerugian terhadap kerusakan biofisik dilakukan pada lokasi
bekas kebakaran hutan tahun 2014 dan sedangkan valuasi kerugian dampak sosial
dilakukan terhadap masyarakat desa sekitar lokasi kebakaran yang termasuk
wilayah dampak.
Berdasarkan hasil kegiatan pengukuran langsung dan digitasi luas
kebakaran hutan oleh Balai TNS diketahui bahwa luas kebakaran di dalam
kawasan TNS pada tahun 2014 mencapai 4364 ha sebagaimana dijelaskan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Lokasi dan luas kebakaran di TNS tahun 2014
No
Luas
(ha)
Tutupan
vegetasi
Hutan rawa
sekunder
Hutan rawa
sekunder
Hutan rawa
sekunder
Hutan rawa
sekunder
Hutan rawa
sekunder
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Belukar rawa
Jenis data
Data sekunder
1. Kejadian kebakaran
hutan
2. Kinerja Anggaran
BTNS
3. Kegiatan pencegahan
karhut
4. Kerawanan kebakaran
hutan
5. Potensi flora fauna
dan hasil hutan non
kayu
6. Potensi karbon
7. Kegiatan rehabilitasi
ekosistem
8. Sosial ekonomi
masyarakat
9. Pemadaman
kebakaran hutan
Data primer
1. Fire severity dan
burning efficiency
2. Potensi kayu
3. Potensi HHNK
4. Perikanan
sungai&rawa gambut
5. Dampak asap bagi
sector transportasi
6. Dampak asap bagi
kesehatan masyarakat
7. Karakteristik
kebakaran hutan
gambut di TNS
Variabel
Pengumpulan data
Wawancara pengusaha
transportasi pada wilayah
dampak
Wawancara dokter, bidan
desa atau kepala
Puskesmas, Masyarakat
desa
Penyebab kebakaran&kendala- Wawancara BTNS,
kendala bidang PKH
masyarakat, WWF-Kalteng
dan BKSDA-Kalteng.
Pengumpulan Data
Metoda pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Studi literatur (desk study) dan pencatatan
2) Survey dampak biofisik, dan
3) Survey dampak sosial ekonomi
Studi literatur (desk study) dan pencatatan dilakukan terhadap semua
dokumen laporan terkait potensi kawasan konservasi, habitat flora fauna dan
prilaku satwa liar di kawasan TNS, laporan tahunan dan laporan kinerja terkait
rencana dan realisasi anggaran pencegahan kebakaran hutan, laporan
penanggulangan kebakaran hutan, laporan/ data kesehatan di Puskesmas wilayah
dampak kebakaran hutan dan laporan atau hasil penelitian terkait lainnya.
Survey biofisik meliputi 3 (tiga) kegiatan yaitu pengukuran fire severity
(tingkat keparahan) berdasarkan derajat kerusakan pohon pada area bekas terbakar
dan efisiensi kebakaran berdasarkan persentase rata-rata ketebalan gambut yang
terbakar; kemudian dilakukan analisis vegetasi pada lokasi yang tidak terbakar
pada satu hamparan yang sama atau memiliki strata (sub tipe ekosistem) yang
sama dengan area kebakaran.
Pengukuran derajat kerusakan tegakan pohon dilakukan pada area bekas
kebakaran dengan cara menghitung semua jumlah pohon yang dijumpai dalam
satu jalur pengamatan dan melakukan skoring terhadap tingkat kerusakan masingmasing pohon dengan skor sebagai berikut : pohon tidak terbakar = 0; terbakar
basah (masih bertunas) = 1; terbakar kering (merana) = 2; dan terbakar hangus = 3
(Pawirosoemardjo 1979 dalam Yunus 2005).
Metode yang digunakan dalam analisis vegetasi pada setiap petak contoh
terpilih (stratified random sampling), dengan kombinasi antara metode jalur dan
metode garis berpetak (Gambar 4). Risalah pohon dilakukan dengan metode jalur
dan permudaan dengan metode garis berpetak ukuran lebar 20 m panjang 100 m
(petak ukur pohon 20x20 m2, tiang 10x10 m2, pancang 5x5 m2, semai 2x2 m2 dan
serasah 1x1 m2).
Gambar 4 Desain plot analisis vegetasi dan pengukuran derajat kerusakan pohon
Penentuan lokasi petak penelitian kerugian kebakaran hutan on site
(kerusakan biofisik) didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : 1) Luas
kebakaran hutan di TNS pada tahun 2014 mencapai 4364 ha dan tersebar pada
beberapa titik di setiap wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) yaitu
di SPTN I wilayah Kota Palangka Raya, SPTN II wilayah Kabupaten Pulang
Pisau dan SPTN III wilayah Kabupaten Katingan. 2) Kebakaran sebagian besar
terjadi pada lokasi bekas terbakar pada tahun-tahun sebelumnya dan merupakan
daerah belukar rawa dengan tingkat kerapatan vegetasi yang rendah dan sebagian
kecil pada hutan rawa sekunder; 3) Pengukuran kerusakan pada lokasi bekas
terbakar idealnya dilakukan saat masih musim kemarau (setelah kebakaran
padam) sehingga kondisi tapak tidak tergenang; 4) Aksesibilitas menuju beberapa
lokasi kebakaran hutan cukup sulit dan jauh.
Survey dampak sosial ekonomi dilakukan dengan metode wawancara
terhadap responden terpilih pada wilayah cakupan dampak kebakaran hutan.
Pemilihan lokasi (desa) untuk valuasi dampak sosial dilakukan dengan metode
purposive sampling. Untuk penentuan lokasi penelitian dampak asap (off site)
hanya dibatasi pada desa-desa penyangga kawasan TNS mengingat karena pada
tahun 2014 lokasi kebakaran hutan di TNS sebagian besar jauh dari pemukiman
masyarakat dan kejadian kebakaran hutan tidak hanya terjadi di dalam kawasan
TNS. Dari desa-desa penyangga tersebut dipilih sebanyak 15 kelurahan/desa
berdasarkan survey pendahuluan dan pertimbangan jarak terdekat dari lokasi
kebakaran hutan di kawasan TNS. Khusus untuk responden nelayan dibatasi pada
desa-desa yang nelayannya secara rutin mengakses ikan di sekitar lokasi
kebakaran hutan.
Adapun lokasi petak penelitian untuk kerusakan biofisik (on site) dan
lokasi penilaian dampak sosial (off site) akibat kebakaran hutan di TNS tahun
2014 diuraikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Lokasi petak penelitian nilai kerusakan hutan dan valuasi nilai dampak
sosial
Lokasi penelitian on site
Lokasi kebakaran
Luas kebakaran
1. Resort Sebangau Hulu,
23,55 ha
Palangka Raya
2. S. Musang, Resort
1.291 ha
Muara Bulan, Katingan
Lokasi penelitian off site
Lokasi kebakaran
Desa terpapar
1. SPTN I Palangka Raya - Kereng Bengkirai
- Habaring Hurung
- Banturung
Tipe hutan
Hutan rawa
sekunder
Belukar rawa
Jumlah penduduk *)
7517
917
3367
Wilayah administrasi
Palangka Raya
Katingan
Wilayah Resort
- Resort Sebangau
Hulu
- Resort Habaring
Hurung
- Resort Mangkok
- Resort Bangah
- Resort Paduran
1338
- Sebangau Permai
1065
- Mekar Jaya
408
- Sebangau Jaya
516
- Paduran Mulya
1234
- Sebangau Mulya
- Resort Baun Bango
748
3. SPTN III Katingan
- Baun Bango
- Resort Muara Bulan
490
- Keruing
- Resort Mendawai
1613
- Galinggang
503
- Tumbang Bulan
470
- Perigi
975
- Mendawai
712
- Mekartani
*)
Sumber : Statistik BTNS 2014, Kecamatan Sebangau Kuala 2014, Kecamatan Mendawai dalam
angka 2014
2. SPTN II Pulang Pisau
10
Sampling
Objek Wawancara
Responden
Masyarakat pencari ikan/
nelayan
Pengumpul HHNK (jelutung,
gemor, rotan)
Ibu Rumah Tangga
Purposive
Purposive
Aparat Desa
Purposive
B
1
Random
Random
Random
Purposive
Purposive
Purposive
Tujuan
Memperoleh informasi terkait nilai
kerugian perikanan
Memperoleh informasi terkait nilai
kerugian HHNK
Memperoleh informasi biaya
pengobatan sendiri akibat asap
Memperoleh informasi kerugian
kesehatan masyarakat
Memperoleh informasi kerugian
transportasi
Memperoleh informasi rencana,
realisasi dan kendala pengendalian
serta penyebab kebakaran hutan di TN
Sebangau
Memperoleh informasi jenis program
kerjasama dan nilainya
Informasi penyebab kebakaran dan
kendala-kendala permasalahan.
Informasi penyebab kebakaran dan
Jenis bantuan sosial yang diberikan
11
Keterangan :
NEK
= Nilai Ekonomi Kerugian kebakaran hutan TN Sebangau
NKP
= Nilai Kerusakan Kayu Potensial
NHHNK = Nilai Kerugian Hasil Hutan Non Kayu
NI
= Nilai Kerugian Sektor Perikanan
NT
= Nilai Kerugian Sektor Transportasi
NKM
= Nilai Kerugian Kesehatan Masyarakat
NHTSL = Nilai Kerusakan Habitat Tumbuhan dan Satwa Liar
NKH
= Nilai Karbon yang Hilang
NPK
= Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran
a. Nilai Kerugian Kayu Potensial (NKP)
Pengukuran potensi kayu pada masing-masing areal terbakar didekati
dengan potensi kayu pada areal hutan yang terbakar dan tidak terbakar.
Perhitungan potensi volume kayu dibatasi terhadap pohon dengan diameter di atas
10 cm dan kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas diameter.
Penghitungan volume pohon dilakukan dengan formula sebagai berikut :
1
=
4
Keterangan :
V = Volume kayu (m3)
t = tinggi pohon bebas cabang (m)
d = Diameter pohon (m)
f = angka bentuk (0,7)
Pengukuran derajat kerusakan tegakan pohon dapat diformulasikan dengan
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh (Pawirosoemardjo 1979 dalam
Yunus 2005).
=
100 %
Keterangan :
I
= derajat kerusakan hutan akibat kebakaran
Jsp = Jumlah nilai dari n pohon yang ada dalam plot.
3
= Nilai tertinggi dari kempat klasifikasi akibat kebakaran,
n
= Jumlah pohon dalam tiap plot.
(Skoring : pohon tidak terbakar = 0; terbakar basah/masih bertunas = 1; terbakar
kering/merana = 2; dan terbakar hangus = 3)
Penilaian kerugian akibat kayu potensial yang hilang dilakukan dengan
cara pendekatan nilai pasar kayu yang potensial atau harga patokan untuk hasil
hutan kayu yang ditetapkan Menteri Perdagangan. Dengan formula penghitungan
sebagai berikut :
=
Keterangan :
NKP
= Nilai Kayu Potensial (m3)
VKP ij = Volume Kayu Potensial jenis ke i di lokasi j (m3/ha)
LA j
= Luas areal kebakaran lokasi ke j (ha)
HKP i = Harga kayu potensial jenis ke i (Rp/m3)
12
b.
Keterangan :
NHHNK
= Nilai Hasil Hutan Non Kayu
PHHNK ij = Potensi HHNK jenis ke i di lokasi j (unit/ha)
LA j
= Luas areal kebakaran lokasi ke j (ha)
HHHNK i = Harga HHNK jenis ke i (Rp/unit)
c. Nilai Kerugian Perikanan (NI)
Kerugian terhadap sektor perikanan dihitung dengan
produktivitas masyarakat pengumpul ikan di wilayah dampak.
=
pendekatan
2 )
Keterangan :
KPI 1ij = Kemampuan responden pengumpul ikan jenis i di wilayah dampak j
pada saat tidak terjadi kebakaran (unit/orang/bulan)
KPI 2ij = Kemampuan responden pengumpul ikan jenis i di wilayah dampak j
pada saat periode kebakaran (unit/orang/bulan)
HIi
= Harga ikan jenis i (Rp/unit)
JPI j = Jumlah masyarakat pengumpul ikan di wilayah dampak ke-j (orang)
Tij
= waktu periode/ lama dampak di wilayah ke-j (bulan)
d. Nilai Kerugian Sektor Transportasi (NT)
Kerugian terhadap sektor transportasi diprediksi dialami oleh pengusaha
transportasi sungai dan udara sehingga kerugian total merupakan penjumlahan
dari masing-masing kerugian tidak beroperasinya moda transportasi tersebut dan
penurunan jumlah penumpang. Nilai kerugian tersebut dihitung dengan
pendekatan produktivitas pengusaha transportasi pada wilayah terkena dampak
selama periode dampak dengan formula sebagai berikut :
NT = NTair + NTudara
=
)+ (
Keterangan :
= Jumlah Angkutan tidak Operasi dari perusahaan i di sungai j (unit)
selama periode dampak asap (unit)
= Jumlah penumpang per angkutan dari perusahaan i di sungai j
(orang/unit)
HTij
= Harga tiket angkutan -i di sungai j (rupiah/orang)
13
JAOij
JPKij
JPBi
JPPi
HTi
) +(
;
=
=
)+
=
Keterangan :
NKM = Nilai Kerugian Kesehatan Masyarakat
BPI1j = Biaya pengobatan rawat inap di wilayah j selama waktu dampak (Rp)
BPI2j = Rata-rata biaya pengobatan rawat inap diluar waktu dampak (Rp)
BPTI1j = Biaya pengobatan tanpa inap di wilayah dampak j (Rp)
BPTI1j = Rata-rata biaya pengobatan rawat tanpa inap di wilayah j diluar waktu
dampak (Rp)
= Biaya pengobatan sendiri oleh masyarakat di lokasi j (Rp)
JPI1j = Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak j selama waktu dampak
JPI2j = Rata-rata jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak j di luar waktu
dampak
JPTI1j = Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak j selama waktu dampak
JPI2j = Rata-rata Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak j di luar waktu
dampak
HPI = Rata-rata biaya pengobatan dengan rawat inap/dirujuk
HPTI = Biaya pengobatan pada puskesmas, dokter/ bidan praktek di wilayah j
JPOj = Jumlah penduduk yang membeli obat sendiri di lokasi-j
14
HO
= Rata-rata harga / biaya pembelian obat sendiri (Rp)
f. Nilai Kerusakan Habitat Tumbuhan dan Satwa Liar (NHTSL)
Dampak kebakaran hutan terhadap satwaliar diperkirakan dari mulai
sangat dramatis sampai berpengaruh positif. Misalnya dampak kebakaran
terhadap banyak herbivora dikatakan justru akan memberikan jumlah makanan
yang lebih banyak bagi kelompok ini, sehingga populasinya di hutan bekas
kebakaran meningkat. Bagi satwaliar dengan daerah jelajah kecil dan kemampuan
mobilitas yang rendah, kebakaran akan memberikan dampak negatif.
Dampak terhadap satwa liar dapat berupa: 1) Perubahan komposisi jenis
2) Perubahan struktur populasi (kematian tingkat bayi, remaja dan sebagainya), 3)
Perubahan kerapatan, 4) Pengecilan ruang gerak atau homerange, 5) Perubahan
biomassa (penurunan berat badan satwa liar). Selain itu kebakaran hutan
menjadikan perubahan yang begitu nyata terhadap iklim mikro, sehingga
menjadikannya tempat yang tidak lagi cocok untuk banyak jenis binatang.
Kehilangan vegetasi setelah kebakaran menjadikan hutan terbuka, sehingga
memudahkan predator mendapatkan mangsanya. Kehilangan vegetasi penutup
(escape cover) sejalan juga dengan kehilangan makanan satwa.
Untuk menghitung kerugian terhadap satwa liar yang mati di lokasi
kebakaran hutan sangat sulit dilakukan karena saat terjadi kebakaran hutan
diprediksi satwa liar yang ada akan migrasi ke lokasi lainnya. Dengan kata lain
dapat dikatakan, bahwa dampak kebakaran terhadap satwaliar adalah secara tidak
langsung, yaitu terhadap habitatnya. Penghitungan kerugian terhadap kerusakan
habitat yaitu dengan pendekatan biaya yang diperlukan untuk membangun habitat
TSL tersebut melalui kegiatan restorasi habitat atau kegiatan rehabilitasi.
=
)
(
(1 + )
Keterangan :
NHTSL = Nilai Kerusakan Habitat Satwa Liar
NTR
= Nilai total kegiatan restorasi dan rehabilitasi (Rp/ha)
i
= tingkat inflasi; t = tahun kegiatan
LA
= Luas areal terbakar (ha)
g. Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran (NPK)
Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dianggap sebagai nilai kerugian
yang muncul akibat adanya kebakaran hutan. Pemadaman dimaksudkan agar api
tidak menjalar secara liar sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih
besar. Nilai biaya pemadaman dilakukan dengan mendata seluruh nilai anggaran
pemadaman dari Balai TN Sebangau maupun anggaran bantuan dari Direktorat
PHKA, BKSDA, Pemda ataupun mitra kerja.
=
Keterangan :
NPK
= Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran tahun 2014
BPKHj
= Biaya kegiatan pemadaman oleh Balai TNS
BBPKH j = Biaya kegiatan pemadaman oleh instansi lain/ mitra (Rp)
15
16
Efektivitas output =
Capaian sasaran
x 100%;
Keterangan :
1. Pencapaian > 100%
2. Pencapaian 90% - 100%
3. Pencapaian 80% - 90%
4. Pencapaian 60% - 80%
5. Pencapaian < 60%
x 100%
= sangat efektif
= efektif
= cukup efektif
= kurang efektif
= tidak efektif
17
18
19
20
21
Gambar 8 Lokasi kebakaran yang terlihat dari peta citralandsat tahun 2006 di
TNS Propinsi Kalimantan Tengah.
b. Penyebab Kebakaran di TNS tahun 2014
Berdasarkan hasil kegiatan pengukuran langsung (groundchek) dan digitasi
luas kebakaran hutan oleh BTNS diketahui bahwa luas kebakaran di dalam
kawasan TNS pada tahun 2014 mencapai 4364 ha yang terjadi pada bulan
Agustus hingga Oktober. Dari hasil pencermatan terhadap historikal kebakaran,
22
Luas (ha)
Jumlah
Hotspot
Penyebab kebakaran
2
1
3
1
1
2
7
Sub total
2148.18
C SPTN Wilayah III Katingan
1 Sungai Bulan (Sept), Resort Muara
88.97
1
Penjalaran api dari
Bulan (X:113.501 Y :-2.528)
aktifitas nelayan
2 Sungai Bulan (Sept), Resort Muara
55.62
1
Bulan (X:113.467 Y:-2.544)
3 Sungai Musang, Resort Muara Bulan
1291.00
116.38
4 Sungai Landabung, Resort Muara
3
Bulan (X:113.211 Y:-2.462; X:113.213
Y:-2.455;
X:113.213
Y:-2.455;
X:113.214 Y:-2.464)
5 Sungai Lewang, Resort Muara Bulan
34,65
1
(X : 113.254 Y : -2.346)
449.12
6 Kanal Bukit Kaki, Resort Mendawai
1
Penjalaran api dari
(X:113,184 Y:-2.590; X:113.185 Y:aktifitas nelayan,
2.575; X:113.192 Y:-2.574; X:113.193
pembukaan ladang
Y:-2.585 X:113.193 Y:-2.1585)
dan pencari HHNK
Sub total
2 035.74
Total luas kebakaran
4 364.24
Sumber : data kebakaran dari Evlap BTNS (Surat nomor: S.38/BTNS-1/PH/2015)
23
Aktifitas pencarian ikan (melauk) di dalam dan sekitar kawasan TNS atau di
bagian DAS Sebangau dan DAS Katingan yang meliputi belasan anak sungai dan
ratusan kanal ex-HPH, sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat
nelayan di sekitar kawasan. Alat tangkap yang digunakan umumnya bersifat
tradisional seperti pancing/banjur, tampirai, rengge, rawai, pangilar, kabam, haup
dan bubu (kawat dan bambu). Namun pernah juga ditemukan nelayan yang secara
illegal menggunakan strum listrik.
Fakta yang ditemukan ialah masih ada nelayan yang sengaja membakar
vegetasi di tepi sungai dan kanal yang didominasi oleh tumbuhan semak seperti
Rasau (Pandanus atrocarpus) dan kelakai (Stenochlaena palustris). Tumbuhan
rasau memiliki tipe akar serabut. Saat musim kemarau atau saat sungai dan rawa
Sebangau surut, akar tumbuhan ini akan banyak menyebar di atas permukaan
tanah dan sangat mudah sekali terbakar.
Tujuan pembakaran adalah pertama untuk membersihkan akses bagi jalur
klotok/perahu kecil saat mencari ikan di awal musim kemarau, dan kedua untuk
menciptakan ruang terbuka baru sebagai tempat ikan bermain dan berkumpul saat
awal musim hujan. Bekas kebakaran hutan akan meninggalkan lebak-lebak/
cerukan yang ditumbuhi rumput-rumput yang baru. Cerukan ini merupakan
tempat ideal untuk memasang alat tangkap berupa tempirai, rawai dan sebagainya
pada awal musim hujan. Ikan tertentu seperti patung dan biawan menyukai tempat
yang agak terbuka dan mengundang ikan-ikan predator lainnya ke tempat ini,
sehingga saat awal musim hujan nelayan bisa mendapatkan tangkapan yang lebih
banyak. Menurut nelayan hasil tangkapan ikan terbanyak didapat saat musim ikan
yaitu awal musim kemarau (saat air mulai menyurut) dan awal musim hujan (saat
air mulai naik).
Fakta lain yang ditemukan di lapangan ialah adanya aktifitas pembukaan
lahan untuk kebun sawit oleh masyarakat dengan cara pembakaran lahan yang
lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan TNS, tepatnya di wilayah
Palangkaraya. Menurut masyarakat, pengurus desa dan petugas resort,
pembakaran ini memang sengaja dilakukan. Api yang tidak bisa dikendalikan
menjalar ke dalam kawasan TNS, bahkan ke ladang/kebun milik orang lain yang
sudah ditanami.
Pada desa-desa transmigrasi yang masyarakatnya mayoritas bertani, seperti
di Kecamatan Sebangau Kuala, Pulang Pisau dan Kecamatan Mendawai,
Katingan, diketahui bahwa pembakaran juga dilakukan sebagai teknik untuk
membersihkan alang-alang, perdu, rumput dan tumbuhan liar/semak belukar
dalam tahap penyiapan ladang untuk selanjutnya ditugal guna ditaburi benih padi.
Aktifitas ini dilakukan saat bulan Juli s.d September dengan cara melakukan
pembakaran secara gotong royong. Lokasi ladang biasanya jauh dari pusat
pemukiman namun dekat dengan kawasan TNS. Kondisi hutan rawa sekunder dan
semak belukar yang kering akan mudah terbakar jika ada lompatan api yang tidak
disadari oleh pelaku pembakaran.
Serasah dari tumbuhan, sisa cabang, ranting dan daun yang mati termasuk
rumput-rumput kering di dalam kawasan TNS akan meningkatkan ketersediaan
bahan bakar yang telah ada. Pada saat musim kering, bahan bakar yang
menumpuk ini akan menurun kadar airnya dan menjadi mudah terbakar. Namun
apabila kelembaban bahan bakar tinggi, kebakaran hutan dapat dikurangi, akan
tetapi aktivitas manusia yang berhubungan dengan api menjadi pemicu utama
24
Gambar 9 Kebun sawit rakyat dan sawah tadah hujan di sekitar kawasan TNS
(atas); Tumbuhan rasau dan perakaran rasau yang sangat mudah
terbakar saat musim kering (bawah)
Nilai kerugian kebakaran hutan gambut
Menurut Pearce dan Moran (1994), nilai ekonomi total yang didapat dari
formula yang ada sebenarnya tidaklah benar-benar nilai ekonomi total dan
mungkin nilai sebenarnya masih jauh lebih besar lagi. Alasannya adalah : 1). nilai
tersebut masih belum mencakup seluruh nilai konservasi hutan dan 2). banyak ahli
ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total tidak dapat dihitung dengan
formula sederhana karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat
sinergis sehingga nilainya jauh lebih besar dari nilai fungsi tunggal. Dalam
kaitannya dengan kerugian akibat kebakaran ekosistem gambut khususnya di
TNS, nilai tersebut minimal dapat menunjukkan betapa pentingnya upaya
pencegahan kebakaran guna menghindari nilai kerugian berupa kerusakan sumber
25
daya yang ada dan biaya lain yang ditimbulkan akibat dampak kebakaran
ekosistem gambut di TNS.
Dari hasil valuasi yang dilakukan diperoleh total nilai estimasi kerugian
ekonomi yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut pada tahun 2014 di
dalam kawasan TNS seluas 4364 ha adalah mencapai Rp134 405 786 127,(Seratus Tiga Puluh Empat Milyar Empat Ratus Lima Juta Tujuh Ratus Delapan
Puluh Enam Ribu Seratus Dua Puluh Tujuh Rupiah). Adapun uraian dan
pembahasannnya dijelaskan sebagai berikut.
Tabel 6 Kerugian total kebakaran ekosistem hutan gambut Sebangau tahun 2014
No.
Jenis kerugian
55.58
2
3
4
5
6
16.64
12.95
0.78
Total
12.02
0.97
0.08
0.93
Kerapatan (N / ha)
100
103
59
47
12
10-20
20-29
30-39
40-49
50 up
diameter
26
Kelompok kayu
Kelompok meranti/ komersial 1
Jenis
1. Belangiran Shorea belangeran
2. Meranti lanan Shorea leprosula
3. Keruing Dipterocarpus grandiflorus
4. Meranti merah Shorea parvifolia
5. Meranti batu Shorea teysmanniana
6. Nyatoh Palaquium sp
7. Jelutung Dyera lowii
1. Asam asam Dicryoneura acumonata
2. Banitan/ terepis Polyalthia glauca
3. Bintangur Palaquium rostratum
4. Pasir pasir Stemonurus scorpioides
5. Galam tikus Eugenia spicata
6. Gerunggang Cratoxylum glaucum
7. Jambu jambu Eugenia sp.
8. Malam malam Diospyros bantamense
9. Kempas Koompassia malaccensis
10. Ketiau Madhuca mottleyana
11. Mendarahan Myristica sp
12. Pisang pisang Mazzetia sp
13. Simpur Dillenie excelsa
14. Terentang Campnospermum macrophyllum
15. Tumih Combretocarpus rotundus
Semua jenis pohon dengan diameter < 30 cm
kecuali Ramin
1. Ramin Gonystylus bancanus
27
Gambar 11 Trubusan atau tunas baru yang muncul di bawah pohon yang terbakar
dan merana di lokasi bekas kebakaran hutan
Secara ekonomi, tegakan pohon di alam yang sudah rusak atau cacat akibat
terbakar tidak memiliki nilai kayu lagi karena tidak memiliki nilai pasar. Sehingga
kerugian yang timbul akibat kebakaran hutan yang terjadi sudah cukup besar jika
dilihat dari nilai kayu saja. Meskipun demikian tidak berarti pohon-pohon yang
rusak tersebut sudah tidak bernilai lagi karena masih ada nilai lain yang tersimpan
seperti stok karbon yang tersisa, habitat satwa liar dan lain sebagainya.
Nilai kerugian akibat kebakaran hutan di TNS pada tahun 2014 berdasarkan
penghitungan kerusakan tegakan pohon yang memiliki nilai kayu potensial secara
28
ekonomis saat ini, mencapai Rp 74.5 Milyar (Tabel 9). Potensi tegakan pohon
yang terparah terjadi pada lokasi kebakaran di SPTN I wilayah Palangka Raya
sedangkan pada wilayah SPTN II Pulang Pisau dan SPTN III Katingan
merupakan areal yang pernah terbakar namun masih memiliki potensi kayu
dengan diameter rata-rata dibawah 30 cm.
Tabel 8 Estimasi nilai kerugian kayu potensial akibat kebakaran hutan di TNS
tahun 2014
No
Lokasi
kebakaran
Luas
kebakaran
(Ha)
Derajat
kerusakan
Komersial 2
1 270 000/m3
953 000/m3
KBK
Ramin
Estimasi
kerugian (Rp)
SPTN Wil I
Palangkaraya
180.32
0.46
65.62
71.07
50.51
1.32
SPTN Wil II
Pulang Pisau
2148.18
0.46
50.51
1.32
2035.74
0.46
50.51
1.32
Total
29
30
terhadap pengumpul kulit gemor di desa Baun Bango, Katingan dan desa
Sebangau Permai, Pulang Pisau pada tahun 2014 harga gemor mencapai
Rp12000/kg.
Dari hasil wawancara terhadap pengumpul kulit gemor diketahui untuk
luas lahan 1 hektar bisa diperoleh kulit gemor sebanyak ton apabila
pengambilan dilakukan dengan cara menguliti sebagian batang pohon gemor.
Namun terkadang para pengumpul kulit gemor melakukan pemanenan dengan
cara menebang batang pohon gemor tersebut sehingga hal ini harus menjadi
perhatian bagi pengelola kawasan.
Jenis Rotan yang banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar kawasan TNS
diantaranya adalah rotan taman/sega Calamus caesius, rotan irit Calamus
trachycoleus, rotan semambu Calamus scipionum, rotan buyung, rotan bulu, dan
rotan marau/manau dengan harga rata-rata Rp4 500 /kg. Dari hasil wawancara
dengan pengumpul rotan di Desa Mendawai, Kabupaten Katingan diketahui
bahwa potensi rotan yang bisa dipanen dari kawasan hutan oleh mereka kurang
lebih sebesar 1 ton per hektar setiap tahunnya.
Adapun nilai yang diperoleh dari kerugian akibat kebakaran hutan
terhadap 3 jenis hasil hutan non kayu setelah memperhitungkan tingkat keparahan
kerusakan kebakaran tahun 2014 di TNS adalah sebesar Rp22 328 979 324/tahun.
Tabel 9 Estimasi nilai kerugian Hasil Hutan Non Kayu potensial akibat
kebakaran hutan di TNS tahun 2014
No
Lokasi
kebakaran
Luas
Potensi nilai di alam (Rp/tahun)
Derajat
kebakaran
Getah pantung Kulit gemor
Rotan
kerusakan
(Rp 4 150/kg) (Rp 12 000/kg) (Rp 4 500/kg)
(Ha)
Estimasi
kerugian
(Rp/tahun)
SPTN Wil I
Palangkaraya
180.32
0.46
SPTN Wil II
Pulang Pisau
2148.18
0.46
2035.74
0.46
Total
31
DAS Katingan
1. Keruing
- Sub DAS Bulan
2. Galinggang
- Sub DAS Musang
3. Tumbang Bulan
- Sub DAS
4. Perigi
Landabung
5. Mendawai
- Kanal Bukit Kaki
Jumlah nelayan wilayah dampak
Jumlah
nelayan
332
5
4
6
3
3
35
49
43
36
56
Harga
(Rp/Kg)
2 500
5 500
25 000
27 500
15 000
30 000
30 000
30 000
6 000
6 000
5 000
30 000
27 500
628
32
membuat kinerja mereka menjadi menurun, baik dari segi waktu pencarian ikan
dengan menggunakan alat tangkap jala atau pemasangan perangkap ikan, maupun
dari aspek kesehatan nelayan itu sendiri.
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Gambar 14 Rata-rata tangkapan ikan oleh nelayan di sungai dan rawa TNS
Hasil estimasi terhadap nilai kerugian sektor perikanan tangkap di sekitar
sungai Sebangau dan sungai Katingan akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014
ini mencapai nilai Rp1258 454 000 yang diukur selama 2 bulan waktu dampak
dengan rincian sebagai berikut.
Tabel 11 Estimasi Nilai kerugian sektor perikanan akibat kebakaran hutan TNS
tahun 2014
No
1.
Wilayah dampak
(lokasi nelayan)
DAS Sebangau
- Sub DAS Mangkok
- Sub DAS Bangah
- Sub DAS Bakung
- Sub DAS Sampang
DAS Katingan
- Sub DAS Bulan
- Sub DAS Musang
- Sub DAS Landabung
- Kanal Bukit Kaki
Total
Luas
kebakaran
(ha)
Jumlah
nelayan
(KK)
Rata-rata Penurunan
hasil ikan (Rp/bulan)
Lama
dampak
(bulan)
2328.5
353
984.000
2035.74
275
1.025.000
Kerugian sektor
perikanan
(Rp)
33
34
Gambar 16 Jarak pandang dari dan ke Bandara Tcilik Riwut Palangka Raya pada
dasarian I bulan Agustus s.d dasarian III bulan Oktober 2014
Jarak pandang minimal untuk melakukan lepas landas atau pendaratan di
bandara berbeda-beda pada setiap maskapai namun biasanya di bawah jarak
pandang 500 meter tidak dianjurkan untuk melakukan pendaratan atau lepas
landas. Sebagai contoh dampak asap terhadap tranportasi udara selama periode
dampak dimulai sejak dasarian I Agustus sampai dasarian III bulan Oktober
2014, maskapai Garuda Indonesia tidak beroperasi sebanyak 11 kali; 1 kali
35
Nilai Kerugian
(Rp)
36
Gambar 18 Jumlah pasien ISPA di desa sekitar lokasi kebakaran TNS di bulan
saat tidak ada kebakaran dan saat ada kebakaran hutan
Dari data laporan W2 UPTD Puskesmas Kereng Bengkirai kota Palangka
Raya tahun 2014 pada minggu-minggu selama dan paska kebakaran hutan yaitu
pada bulan September hingga November diketahui bahwa jumlah pasien terkait
37
ISPA dan diare meningkat sebanyak 252 orang yang terdiri dari 173 orang pasien
umur diatas 5 tahun, 44 orang pasien berumur 1-5 tahun dan 21 orang pasien
dibawah umur 1 tahun. Berdasarkan data dari puskesmas Sebangau Kuala
Kabupaten Pulang Pisau bahkan dijumpai pasien berusia di atas 70 tahun dan
dibawah 1 tahun yang meninggal dunia akibat ISPA pada bulan September 2014.
Nilai kerugian kebakaran hutan di kawasan TNS terhadap aspek kesehatan
masyarakat dihitung berdasarkan peningkatan jumlah pasien ISPA dan Diare ke
Puskesmas, bidan /mantri dan dokter praktek serta jumlah masyarakat yang
mengeluarkan biaya untuk membeli obat dan masker secara pribadi di desa yang
terpapar asap selama periode dampak yaitu bulan September November 2014.
Adapun nilainya adalah sebesar Rp115 325 000 dan diuraikan sebagai berikut.
Tabel 13 Nilai kerugian kesehatan masyarakat akibat asap dari kebakaran hutan di
kawasan TNS tahun 2014
No
1
Habaring Hurung
Banturung
Jumlah
penduduk
7517
Jumlah KK
2036
Peningkatan
Pasien ISPA &
Diare
538
Jumlah KK
berobat sendiri
1425
Nilai kerugian
(Rp)
41 093 000
917
241
67
153
4 704 500
3367
1074
197
609
16 277 500
Sebangau Permai
1338
378
104
202
6 700 000
Mekar Jaya
1065
318
82
233
6 455 000
Sebangau Jaya
408
180
37
90
2 720 000
Paduran Mulya
516
156
36
88
2.610.000
1234
401
92
267
7 255 000
748
238
65
111
3 865 000
Sebangau Mulya
Baun Bango
10
Keruing
11
Galinggang
12
13
490
156
43
73
2 545 000
1613
514
71
308
6 665 000
Tumbang Bulan
503
186
34
118
2.910.000
Perigi
470
137
44
59
2 455 000
14
Mendawai
975
292
69
146
4 485 000
15
Mekartani
712
264
53
185
4 585 000
Total
Meskipun luas kebakaran hutan di TNS pada tahun 2014 terbilang cukup
luas, namun berdasarkan hasil wawancara pada puskesmas dan masyarakat di
desa-desa penyangga kawasan menunjukkan bahwa nilai kerugian terhadap aspek
kesehatan masyarakat tidak terlalu besar. Hal ini bisa disebabkan jumlah
penduduk yang ada di sekitar kawasan TNS memang tidak terlalu padat dan
lokasi kebakaran jauh dari pemukiman. Populasi tertinggi ada di kelurahan
Kereng Bengkirai yang terletak di kota Palangka Raya sedangkan kebakaran
terluas terjadi di SPTN II Pulang Pisau dan SPTN III Katingan.
6. Nilai kerugian kerusakan habitat Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL)
Kawasan TNS merupakan habitat terbesar populasi satwa langka
orangutan borneo (Pongo pygmaeus) yaitu sekitar 62006900 individu (Husson
2004) dan juga habitat terbesar pupulasi owa (Hylobates agilis albibarbis), yaitu
19 000 individu (Buckely 2006). Dari hasil observasi mamalia oleh CIMTROP
38
UNPAR (2002), diketahui bahwa di dalam kawasan ini dijumpai 35 jenis mamalia
dan 13 diantaranya merupakan jenis yang terancam punah.
Dampak kebakaran hutan terhadap satwaliar diperkirakan dari mulai
sangat dramatis sampai berpengaruh positif. Misalnya dampak kebakaran
terhadap beberapa jenis herbivora dikatakan justru akan memberikan jumlah
makanan yang lebih banyak bagi kelompok ini, sehingga populasi satwa pemakan
daun ini di hutan-hutan bekas kebakaran meningkat. Dampak api terhadap
satwaliar dengan daerah jelajah yang kecil atau kemampuan mobilitasnya yang
rendah, dikatakan banyak terpengaruh. Kebakaran hutan menjadikan perubahan
yang begitu banyak terhadap iklim mikro, sehingga menjadikannya tempat yang
tidak lagi cocok untuk banyak jenis satwa (Gambar 19). Kehilangan vegetasi
setelah kebakaran menjadikan hutan terbuka, sehingga memudahkan predator
mendapatkan mangsanya. Kehilangan vegetasi penutup (escape cover) sejalan
juga dengan kehilangan makanan satwa.
Tersedianya makanan adalah hal utama yang membatasi kehadiran satwa
di dalam hutan. Untuk menghitung kerugian terhadap satwa liar yang mati di
lokasi kebakaran hutan sangat sulit dilakukan karena saat terjadi kebakaran hutan
diprediksi satwa liar yang ada akan migrasi ke lokasi lainnya. Dengan kata lain
dapat dikatakan, bahwa dampak kebakaran terhadap satwaliar adalah secara tidak
langsung, yaitu perubahan terhadap habitatnya.
Penghitungan nilai kerugian minimal akibat kebakaran hutan terhadap
kerusakan habitat TSL di kawasan TNS dilakukan dengan menghitung total biaya
yang diperlukan untuk membangun habitat TSL tersebut melalui kegiatan
restorasi habitat atau kegiatan rehabilitasi (pengkayaan jenis) yang diperlukan.
Gambar 19 Sarang orangutan yang ditemukan pada pohon bekas terbakar (atas);
bekas kebakaran pada lokasi RHL di dalam kawasan (bawah)
39
Nilai
Rp/blok1)
Rp/ Ha
73 750 000
295 000
Jenis Kegiatan
1
2
Nilai (Rp)
243 910 000
38 235 000
WWF Kalteng
BNPB
Total
Rincian kegiatan
4 kali pemadaman pendahuluan dan 1 kali pemadaman
lanjutan bersama masyarakat RPK
3 kali operasi pemadaman diantaranya :
- 1 regu pada bulan Agustus 2014 di resort Habaring
Hurung
- 2 regu bulan September 2014 di sungai koran resort
Sebangau Hulu
- 2 regu pada bulan September di resort Bangah
Pemadaman dilakukan dengan melibatkan masyarakat RPK
pada 11 cluster
Pemadaman dengan helicopter sikorsy di resort Bangah dan
resort Paduran, Pulang Pisau
Sumber : Wawancara BTNS (Bpk Dayat), BKSDA (Bpk Dody), WWF (Koordinator karhut), dan posko siaga
kebakaran hutan dan lahan Badan Nasional Penanggulangan
40
Berdasarkan data pada Kertas Kerja Anggaran & Kegiatan (DIPA) Balai
TNS 2014, nilai rencana kegiatan pemadaman pendahuluan kebakaran hutan ialah
sebesar Rp40 080 000/kegiatan untuk 4 kali kegiatan masing-masing 5 hari per
kegiatan dan pemadaman lanjutan sebesar Rp32 000 000/kegiatan untuk 2 kali
kegiatan masing 10 hari per kegiatan.
Dari hasil wawancara terhadap kepala SPTN Wilayah pengelolaan,
besaran dana ini masih sangat kurang cukup untuk kegiatan pemadaman
mengingat pada tahun 2014 kejadian kebakaran merata di setiap wilayah seksi.
Masalah utamanya ialah akses untuk mobilisasi personil dan peralatan sangat sulit
saat musim kemarau. Terbatasnya nilai anggaran yang direncanakan membuat
kegiatan pemadaman tidak berjalan optimal meskipun ada bantuan dana dari mitra
kerja dan tambahan SDM dari DAOPS Manggala Agni BKSDA Kalimantan
Tengah.
Gambar 20 Kegiatan pemadaman kebakaran hutan gambut dilakukan melalui udara dan
pemadaman langsung di lokasi api SPTN I Palangka Raya (Foto Lakip 2014)
41
42
Faktor
pembakaran
(Cf)
Emisi CO2
(ton/Ha)
Harga
karbon
(Rp/ ton)
Nilai kerugian
(Rp/ha)
0.1
7,88
63800
503 254.4
0.32
54,54
63800
3 480 030
464 1)
1490 1)
Total
1)
IPCC 2006
2)
62,42
3 983 284
Toriyama et al 2014
43
4364,24
4000
3000
2000
1090,72
1000
520,57
0
2010
2009
5,4
180,06
2011
2012
2013
2014
100
50
37
23
30
27
0
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Jumlah Hotspot
(x Rp 1 juta)
1,985.22
2,000
1,500
1,000
1,309.43
499.90
670.62
500
422.53
Rencana anggaran
bidang PKH
Realisasi Anggaran
bidang PKH
478.54
0
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Gambar 22 Trend jumlah hotspot dan luas kebakaran (ha) serta trend rencana dan
realisasi anggaran pencegahan kebakaran Tahun 20092014 di TNS
44
Rencana
Anggaran DIPA
Tahunan (Rp)
Rencana
Anggaran
bidang PKH (Rp)
Persentase
dari
anggaran
tahunan
Realisasi
Anggaran
bidang PKH
(Rp)
Persentase
dari
rencana
bidang PKH
Tingkat
efektivitas
2009
10.01 %
91.71 %
2010
8.02 %
82.04 %
2011
5.65 %
40.17 %
efektif
Cukup
efektif
Tidak efektif
2012
4.50 %
42.22 %
Tidak efektif
2013
10.22 %
93.43 %
efektif
2014
18.09 %
96.96 %
efektif
45
46
Jenis kegiatan
Nilai (Rp)
93 830 000
19 326 000
74 271 000
5
6
Pemadaman kebakaran
Pembangunan markas DAOP & Sapras
12
73
Permasalahan
Groundchek masih kurang cepat
dilakukan karena keterbatasan SDM &
tidak adanya dana siap pakai
Hanya bisa dilakukan di satu desa dan
waktu pelaksanaannya di akhir tahun
Frekuensinya masing kurang, untuk 8 wil.
resort masing-masing hanya 2 kali dan
tidak ada kegiatan penjagaan di daerah
rawan kebakaran
Kurang menyentuh stakeholders di
tingkat tapak
Anggaran yang direncanakan sedikit
Belum ada kegiatan peningkatan kapasitas
SDM (MPA)
47
48
tinggi pula resiko bahaya kebakaran jika kurang mendapat perhatian dari
pengelola. Hal ini ditandai dengan masih adanya aktifitas masyarakat di dalam
maupun di sekitar kawasan TNS seperti mencari ikan atau memungut hasil hutan
non kayu. Ini juga merupakan potensi sekaligus tantangan bagi pemangku
kawasan untuk terus berupaya melakukan sosialisasi sosialisasi dan membangun
kesetaraan dalam upaya mewujudkan kawasan koservasi yang lestari dan
memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat yang ada disekitarnya
TNS secara geografis terletak di antara dua sungai besar dan sekitar 46
(empat puluh enam) desa pada 7 (tujuh) kecamatan yang berbatasan langsung
dengan kawasan. Dari 7 (tujuh) kecamatan tersebut mayoritas masyarakat di
sekitar kawasan TNS bermatapencaharian utama dari hasil perikanan dan
pertanian. Desa-desa tersebut sebagian besar merupakan desa tradisional dan desa
transmigrasi. Bentuk desa tradisional umumnya memanjang di pinggiran dan
mengikuti aliran sungai. Untuk mencapai desa-desa tersebut hanya dapat
ditempuh dengan menggunakan perahu motor atau klotok dan speed boat.
Sedangkan desa transmigrasi berpola mengumpul dan sudah mengembangkan
pertanian intensif.
Hasil pencermatan terhadap laporan kegiatan pemberdayaan masyarakat,
Model Desa Konservasi (MDK) dan pemberian bantuan sosial, menunjukkan
bahwa tekanan terhadap kawasan TNS di sekitar desa-desa tersebut (lokasi
kegiatan pemberdayaan masyarakat) tetap masih ada, khususnya terkait jumlah
hotspot tidak berpengaruh signifikan. Sehingga pengkajian mendalam terhadap
strategi kegiatan pemberdayaan masyarakat yang lebih tepat di sekitar lokasilokasi yang rawan kejadian kebakaran hutan sebaiknya dilakukan dan
ditindaklanjuti. Selain itu sinergisitas kegiatan terhadap stakeholders lain (mitra
yang sudah ada) harus tetap dijaga dan ditingkatkan khususnya saat puncak
periode hotspot.
49
50
DAFTAR PUSTAKA
Bahruni, Suhendang E, Darusman D, Alikodra HS. 2007. A System Approach to
Estimate Total Economic Value of Forest Ecosystem : Use Value of Timber
and Non Timber Forest Products. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan. 4 (3) : 369378.
Barbier E. 1995. The Economics of Forestry and Concervation : Economic Values
and Polities. Commonwealth Forestry Review. 74 (1) : 128-140
Brauer M. 2007. Health impact of biomass air pollution. New York (USA) :
World Health Organization.
Brown A, Davis K. 1973 Forest Fire : Control and Use. New York (USA):
McGraw Hill Book Company, Inc.
[BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau. 2008. Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Sebangau. Palangka Raya (ID : BTNS
[BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau. 2013. Laporan Tahunan Balai Taman
Nasional Sebangau tahun 2013. Palangka Raya (ID) : BTNS
Carmenta R, Parry L, Blackburn A, Vermeylen S, Barlow J. 2011. Understanding
human-fire interactions in tropical forest regions: a case for interdisciplinary
research across the natural and social sciences. Ecology and Society 16 (1) :
53. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol16/iss1/art53/
Glover D, Jessup T. 2002. Indonesias Fire and Haze. Institute of Southeast Asia
Studies. Manila : International Development Research Centre.
[IPCC] Intergovernmental Mental Panel On Climate Change. 2013. Supplement
to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories:
Wetlands. Methodological Guidance on Lands with Wet and Drained Soils,
and Constructed Wetlands for Wastewater Treatment. IPCC.
Jaenicke J, Wsten H, Budiman A, Siegert F. 2010. Planning hydrological
restoration of peatlands in Indonesia to mitigate carbon dioxide emissions.
Mitigation Adaptation Strategy Global Change. 15 : 223239.
Husson S, Page SE, Rieley JO. 2003. Population Status of the Borneon
Orangutan (Pongo pygmaeus) in the Sebangau Peat Swamp Forest, Central
Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation. 110 : 141152.
Matthew B, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif : buku sumber tentang
metode-metode baru. Jakarta (ID): UI pr.
Murdiyarso D, Rosalina U, Hairiah K, Muslihat L, Suryadiputra NN, Jaya A.
2004. Petunjuk Lapangan : Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan
Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia.
Wetlands International Indonesia Programmed an Wildlife Habitat
Canada. Bogor (ID) : CIFOR
Page SE, Siegert S, Rieley J, Boehm H, Jaya A, Limin SH. 2002. The amount of
carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature.
420:61-65
Pearce, D. 2001.The Economic Value of Forest Ecosystems. Ecosystem Health. 7
(4) Blackwell Science, Inc.
Pearce D, Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. London (ENG) :
IUCN Earthscan Publications Ltd.
51
52
53
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Nama lokal
Asam-asam
Banitan/ terepis
Belangiran
Bintangur
Pasir pasir
Galam tikus
Gerunggang
Jambu-jambu
Malam malam
Kempas
Ketiau
Mendarahan
Meranti/lanan
Keruing
Meranti merah
Jelutung/ pantung
Meranti rawa/ putih
Nyatoh
Pisang-Pisang
Ramin
Simpur
Terentang
Tumih
Nama latin
Dicryoneura acumonata
Polyalthia glauca
Shorea belangeran
Palaquium rostratum
Stemonurus scorpioides
Eugenia spicata
Cratoxylum glaucum
Eugenia sp.
Diospyros bantamense
Koompassia malaccensis
Madhuca mottleyana
Myristica sp
Shorea leprosula
Dipterocarpus grandiflorus
Shorea parvifolia
Dyera lowii
Shorea teysmanniana
Palaquium sp
Mazzetia sp
Gonystylus bancanus
Dillenie excelsa
Campnospermum macrophyllum
Combretocarpus rotundus
Suku
Sapindaceae
Annonaceae
Dipterocarpaceae
Sapotaceae
Icacinaceae
Myrtaceae
Hypericaceae
Myrtaceae
Ebenaceae
Leguminaceae
Sapotaceae
Myristicaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Apocynaceae
Dipterocarpaceae
Sapotaceae
Annonaceae
Thymelaeaceae
Dilleniaceae
Anacardiaceae
Rhizoporaceae
54
55
Process
Burning
(first fire)
Burning
(Second
fire)
Loss of fuel
after
burning
Time for
loss of fuel
(years)
<1
<1
<1
<1
<1
<1
12
-
Fuel mass
Before land
After land
cover
cover
change (Mg
change
ha-1)
(Mg ha-1)
319.7
235.8 83.3
21.2
439.4
136.4 44.0
56.8
205.6
136.4 44.0
55.6
-
Loss of fuel
(Mg ha-1)
Emission factor of
Combution
GHG emission
CO2 equivalence
factor
(Mg CO2 ha-1)
(g CO2 kg-1)
Source
83.9 86.0
0.26
1810
151.8 155.5
(Toriyama et al 2014)
303.2
72.0
69.2 71.0
0.69
1810
548.7 130.3
0.34
1810
125.2 128.5
0.50
1810
290.3 21.4
0.32
1810
77.0 55.2
(Toriyama et al 2014)
(IPCC 2006)
131.5
17.1
-
89.0 25.2
160.4
11.8
42.6 30.5
46.4 8.0
0.50
1810
84.0 14.5
235.8
83.3
89.0 25.2
131.5 17.1
104.3
85.0
73.3 25.4
1723
179.6 146.5
(Toriyama et al 2014)
1723
126.2 43.8
(Toriyama et al 2014;
Hergpualch and Verchot
2011)
15.7 2.8
56
Jenis kegiatan
Upah
1
biaya total
HOK
350
45000
15750000
HOK
1000
45000
45000000
HOK
350
45000
15750000
HOK
280
45000
12600000
HOK
1200
45000
54000000
HOK
10
45000
450000
HOK
40
45000
1800000
HOK
80
45000
3600000
HOK
200
45000
9000000
HOK
1120
45000
50400000
HOK
320
45000
14400000
HOK
440
45000
19800000
HOK
1250
45000
56250000
30
1500000
45000000
Pengawasan/supervisi
OB
Bahan
a. Pengadaaan patok arah larikan
patok
25000
500
12500000
b. Pengadaan ajir
batang
100000
150
15000000
unit
750000
750000
unit
10
250000
2500000
unit
15000000
15000000
unit
2500000
12500000
a. parang
buah
50
65000
3250000
b. ganco/tugal
buah
50
50000
2500000
paket
21875000
21875000
Pengadaan alat
IV
biaya satuan
III
volume
Pelaksanaan (T-0)
satuan
pembibitan
bibit tanaman + 10% penyulaman
Jelutung (40%)
batang
44000
2500
110000000
Belangiran (60%)
batang
66000
1800
118800000
JUMLAH (I)
658475000
57
Lampiran 3 lanjutan
Kebutuhan biaya rehabilitasi untuk 1 blok/ 250 Ha (T+1)
No
Jenis kegiatan
satuan
volume
biaya satuan
biaya total
Upah
1
300
45000
13500000
b. upah penyulaman
HOK
1000
45000
45000000
HOK
1250
45000
56250000
20
1500000
30000000
18900000
Pengawasan/supervisi
a. pengawasan/supervisi (5 orang x 4 bulan)
II
HOK
OB
Pembibitan
Bibit tanaman sulaman (30%)
Belangiran (30%)
batang
9000
2100
Ubar (70%)
batang
21000
2100
JUMLAH (II)
44100000
207750000
Jenis kegiatan
satuan
volume
biaya satuan
biaya total
1400
45000
63000000
20
1500000
30000000
Upah
1
HOK
Pengawasan
Pengawasan/supervisi (5 orang x 4 bulan)
OB
JUMLAH (III)
93000000
Satuan
Patok
100
2. Pengadaan ajir
Batang
400
Unit
Unit
10
Unit
Unit
- Parang
Buah
50
- Ganco/Tugal
Buah
50
7. Pengadaan alat
58
Lampiran 3 lanjutan
Kebutuhan tenaga kerja
Kebutuhan tenaga kerja
satuan
volume/ha
Jumlah HOK
HOK
1.4
HOK
1.4
350
HOK
1000
HOK
1.4
350
HOK
4.8
1500
350
HOK
0.04
10
HOK
0.16
40
HOK
0.32
80
9. Upah penanaman
HOK
4.6
1150
HOK
1.28
320
HOK
1.76
440
4.6
1150
0.12
30
HOK
OB
59
Tanggal
Koordinat
Lat
Long
Lokasi
(desa,kec,kab)
Groundcheck Lapangan
Indikasi kebakaran*
Luas
Terbakar
Tdk
terbakar
Terbakar
11
12
13
V
Status
Kawasan/
Keterangan
Lahan
14
15
TNS
Walaupun telah dilakukan penyisiran
dengan radius 1 km dari koordinat hotspot,
tidak ditemukan lokasi kebakaran.
Kondisi sekitar HS merupakan hutan
sekunder
TNS
Walaupun telah dilakukan penyisiran
dengan radius 1 km dari koordinat hotspot,
tidak ditemukan lokasi kebakaran.
Kondisi sekitar HS merupakan hutan
sekunder
TNS
Tidak dapat dilakukan groundcheck karena
ke lokasi hotspot tidak dapat diakses.
Kondisi sekitar HS merupakan hutan
sekunder
2
NOAA
18
3
04/02/
2014
4
-2.108
5
6
7
8
113.69 Hiang Bana, Tasik 06/02/ 2014 -2.108
Payawan,
Katingan
9
113.69
10
Hiang Bana,
Tasik Payawan,
Katingan
NOAA
18
04/02/
2014
-1.977
113.637
Tangkiling,
Bukit Batu,
Palangka Raya
NOAA
18
25/02/
2014
-2.36
113.72 Jahanjang,
Kamipang,
Katingan
113.72
Jahanjang,
Kamipang,
Katingan
NOAA
18
7/03/
2014
-2.32
113.821
Kereng
Bangkirai,
Sabangau,
Palangka Raya
TNS
NOAA
18
27/03/
2014
-2.12
113.6
113.6
Talingke, Tasik
Payawan,
Katingan
TNS
Talingke, Tasik
Payawan,
Katingan
-2.312
60
NOAA
18
27/03/
2014
-2.2
113.72
Asam
Kumbang,
Kamipang,
Katingan
TNS
NOAA
18
18/04/
2014
-2.12
113.76
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
TNS
NOAA
18
10/05/
2014
-2.33
113.63
Tumbang
Bulan,
Mendawai,
Katingan
TNS
NOAA
18
10/05/
2014
-2.52
113.97 Paduran
Sebangau,
sebangau Kuala,
P Pisau
113.97
Paduran
Sebangau,
sebangau
Kuala, P Pisau
TNS
10
NOAA
18
17/05/
2014
-2.13
113.7
113.7
Talingke, Tasik
Payawan,
Katingan
TNS
11
NOAA
18
22/06/
2014
-2.265
113.725
S. Simpang Kiri,
Kereng
Bangkirai,
Palangka Raya
TNS
Talingke, Tasik
Payawan,
Katingan
61
12
NOAA
18
18/07/
2014
-2.065
113.695
Tumbang Tahai,
Bukit Batu P.
Raya
TNS
13
NOAA
18
25/07/
2014
-2.13
113.74 Habaring
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
113.74
Habaring
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
TNS
14
NOAA
18
27/07/
2014
-2.15
113.745
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
TNS
15
NOAA
18
30/07/
2014
-2.173
113.752
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
TNS
16
NOAA
18
30/07/
2014
-2.15
113.745 Habaring
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
113.745
Habaring
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
17
NOAA
1/08/
-2.12
05/08/2014
TNS
0,02 ha
TNS
62
18
2014
Batu, Palangka
Raya
18
NOAA
18
2/08/
2014
-2.11
TNS
19
NOAA
18
2/08/
2014
-2.35
TNS
20
NOAA
18
2/08/
2014
-2.35
TNS
21
NOAA
18
5/08/
2014
-2.125
TNS
22
NOAA
18
13/08/
2014
-2.31
113.99 Paduran
3/08/ 2014 -2.348
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.77 Marang, Bukit
6/08/ 2014 -2.175
Batu, Palangka
Raya
113.81 Kereng Bangkirai, 14/08/ 2014 -2.31
Sabangau,
Palangka Raya
TNS
23
NOAA
18
14/08/
2014
-2.3
TNS
113.89
Batu, Palangka
Raya
Paduran
Sebangau,
Sebangau
Kuala, P Pisau
113.678 Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
113.81
Kereng
Bangkirai,
Sabangau,
Palangka Raya
113.8221 Kereng
Bangkirai,
Sabangau,
63
Palangka Raya
24
NOAA
18
14/08/
2014
-2.3
25
NOAA
18
26/08/
2014
-2.15
26
NOAA
18
30/08/
2014
-2
27
NOAA
18
1/09/
2014
-1.995
28
NOAA
18
3/09/
2014
-1.97
29
NOAA
3/09/
-2.12
113.555 Petak
Bahandang, Tasik
payawan,
Katingan
113.552 Petak
Bahandang, Tasik
payawan,
Katingan
113.635 Tangkiling, Bukit 4/09/ 2014
Batu, Palangka
Raya
113.7
Asam Kumbang,
113,772
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
TNS
75,55
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
-1.97
113.635
Tangkiling,
Bukit Batu,
Palangka Raya
-
64
18
2014
30
NOAA
18
3/09/
2014
-2.11
31
NOAA
18
4/09/
2014
-2.14
32
NOAA
18
6/09/
2014
-1.97
33
NOAA
18
6/09/
2014
-1.998
34
NOAA
18
6/09/
2014
-2.099
35
NOAA
18
6/09/
2014
-2.165
36
NOAA
18
7/09/
2014
-2.195
37
NOAA
18
7/09/
2014
-2.78
38
NOAA
18
14/09/
2014
-1.965
39
NOAA
14/09/
-2.04
Kamipang,
Katingan
113.72 Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
-2.0973
TNS
5/09/ 2014
-2.1387
TNS
7/09/ 2014
-1.972
113.52
7/09/ 2014
-1.987
113.686
7/09/ 2014
-2.177
113.723
8/09/ 2014
-2.186
113.71
113.622
113.69
Tangkiling,
Bukit Batu,
Palangka Raya
Banturung,
Bukit Batu,
Palangka Raya
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
Bukit Tunggal,
Jekan Raya P.
Raya
-
Tangkiling,
Bukit Batu,
Palangka Raya
Habaring
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
65
18
2014
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
40
NOAA
18
14/09/
2014
-2.04
41
NOAA
18
14/09/
2014
-2.19
42
NOAA
18
15/09/
2014
-1.95
43
NOAA
18
15/09/
2014
-2.48
44
NOAA
18
16/09/
2014
-1.94
45
NOAA
18
16/09/
2014
-1.983
46
NOAA
18
16/09/
2014
-2.104
47
NOAA
18
23/09/
2014
-1.99
48
NOAA
18
23/09/
2014
-2.015
49
NOAA
18
23/09/
2014
-2.78
113.71 Habaring
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
113.755 Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
113.65 Tangkiling, Bukit
Batu, Palangka
Raya
113.37 Tampelas,
Mendawai,
Katingan
113.6 Tangkiling, Bukit
Batu, Palangka
Raya
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
15/09/ 2014 -2.04
113.71
113.701
113.55
Habaring
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
Tangkiling,
Bukit Batu,
Palangka Raya
-
TNS
TNS
TNS
TNS
113.56
Tangkiling,
Bukit Batu,
Palangka Raya
TNS
113.61
Tangkiling,
Bukit Batu,
Palangka Raya
Tahai, Bukit
Batu, Palangka
Raya
TNS
TNS
113.51
TNS
113.71
Banturung,
Bukit Batu,
Palangka Raya
Banturung,
Bukit Batu,
Palangka Raya
-
TNS
TNS
113.671
66
50
NOAA
18
24/09/
2014
-1.997
113.626
51
NOAA
18
24/09/
2014
-2.04
52
NOAA
18
24/09/
2014
53
NOAA
18
54
Banturung,
Bukit Batu,
Palangka Raya
Habaring
Hurung, Bukit
Batu P. Raya
TNS
113.58
-2.127
24/09/
2014
-2.29
NOAA
18
24/09/
2014
-2.3
55
NOAA
18
24/09/
2014
-2.717
TNS
113.711
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
TNS
113.79
TNS
113.82
Kereng
Bangkirai,
Sabangau,
Palangka Raya
Kereng
Bangkirai,
Sabangau,
Palangka Raya
TNS
113.997 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.625 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.655 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.455 Tumbang Bulan,
Mendawai,
113.817
TNS
56
NOAA
18
24/09/
2014
-2.77
TNS
57
NOAA
18
24/09/
2014
-2.85
TNS
58
NOAA
18
24/09/
2014
-2.56
TNS
113.455
Paduran
Sebangau,
Sebangau
Kuala, P Pisau
-
Tumbang
Bulan,
67
Katingan
59
NOAA
18
25/09/
2014
-2.77
113.63 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.78 Kereng Bangkirai,
Sabangau,
Palangka Raya
60
NOAA
18
1/10/
2014
-2.37
61
NOAA
18
1/10/
2014
-2.7
114
62
NOAA
18
1/10/
2014
-2.69
113.365
63
NOAA
18
1/10/
2014
-2.37
113.45
64
NOAA
18
1/10/
2014
-2.21
113.56
65
NOAA
18
2/10/
2014
-2.007
113.698
66
NOAA
18
2/10/
2014
-2.143
113.757
67
NOAA
18
2/10/
2014
-2.18
113.76
68
NOAA
18
2/10/
2014
-2.37
Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
Tumbang Bulan,
Mendawai,
Katingan
Jahanjang,
Kamipang,
Katingan
Asam Kumbang,
Kamipang,
Katingan
Banturung, Bukit
Batu, Palangka
Raya
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
Mendawai,
Katingan
-
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
3/10/ 2014
-2.09
4/10/ 2014
-2.143
4/10/ 2014
-2.18
113.698 Banturung,
Bukit Batu,
Palangka Raya
113.757 Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
113.76 Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
-
68
69
NOAA
18
2/10/
2014
-2.36
70
NOAA
18
2/10/
2014
-2.4
71
NOAA
18
2/10/
2014
-2.69
72
NOAA
18
2/10/
2014
-2.76
73
NOAA
18
2/10/
2014
-2.85
74
NOAA
18
3/10/
2014
-1.96
75
NOAA
18
3/10/
2014
-1.973
76
NOAA
18
3/10/
2014
-2
77
NOAA
18
3/10/
2014
-2.02
78
NOAA
3/10/
-2.153
113.99 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.95 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
114.06 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.63 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.67 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.615 Tangkiling, Bukit
Batu, Palangka
Raya
113.687 Tangkiling, Bukit
Batu, Palangka
Raya
3/10/ 2014
113.977 Paduran
Sebangau,
Sebangau
Kuala, P Pisau
-
TNS
TNS
-2.71
114.17
TNS
TNS
TNS
TNS
3/10/ 2014
-2.387
Paduran
Sebangau,
Sebangau
Kuala, P Pisau
-
4/10/ 2014
-1.968
113.617 Tangkiling,
Bukit Batu,
Palangka Raya
TNS
5/10/ 2014
-2,12
113.58
Banturung,
Bukit Batu,
Palangka Raya
TNS
5/10/ 2014
-2.02
113.68
TNS
5/10/ 2014
-2.153
Banturung,
Bukit Batu,
Palangka Raya
113.747 Marang, Bukit
TNS
69
18
2014
79
NOAA
18
3/10/
2014
-2.19
80
NOAA
18
3/10/
2014
-2.765
81
NOAA
18
3/10/
2014
-2.2
82
NOAA
18
4/10/
2014
-2.2
113.625 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.565 Asam Kumbang,
Kamipang,
Katingan
113.75 Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
83
NOAA
18
8/10/
2014
-2.28
84
NOAA
18
9/10/
2014
-2.37
113.8
85
NOAA
18
9/10/
2014
-2.57
113.38
86
NOAA
18
9/10/
2014
-2.25
113.56
87
NOAA
18
NOAA
18
9/10/
2014
10/10/
2014
-2.18
113.57
-2.38
113.785
88
Batu, Palangka
Raya
Batu, Palangka
Raya
-2.19
113.75
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
TNS
TNS
TNS
6/10/ 2014
-2.22
113.79
Marang, Bukit
Batu, Palangka
Raya
TNS
-2.268
113.81
TNS
Kereng
Bangkirai,
Sabangau,
Palangka Raya
-
TNS
TNS
11/10/ 2014
-2.57
TNS
TNS
TNS
Sabaru,
Sabangau,
Palangka Raya
Galinggang,
Mendawai,
Katingan
Baun Bango,
Kamipang,
Katingan
Asam Kumbang,
Kamipang,
Sabaru,
Sabangau,
5/10/ 2014
70
89
NOAA
18
10/10/
2014
-2.78
90
NOAA
18
11/10/
2014
-2.55
91
NOAA
18
11/10/
2014
-2.352
92
NOAA
18
11/10/
2014
-2.23
93
NOAA
18
11/10/
2014
-2.24
94
NOAA
18
12/10/
2014
-2.39
95
NOAA
18
18/10/
2014
-2.405
96
NOAA
18
19/10/
2014
-2.404
97
NOAA
18
27/10/
2014
-2.542
98
NOAA
18
NOAA
18
28/10/
2014
28/10/
2014
-2.205
99
-2.97
Palangka Raya
113.36 Perigi,
Mendawai,
Katingan
113.375 Galinggang,
Mendawai,
Katingan
113.78 Sabaru,
Sabangau,
Palangka Raya
113.55 Baun Bango,
Kamipang,
Katingan
113.68 Baun Bango,
Kamipang,
Katingan
113.755 Sabaru,
Sabangau,
Palangka Raya
113.8 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.776 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
113.375 Galinggang,
Mendawai,
Katingan
113.56 Asam Kumbang,
Kamipang,
113.32 Mekartani,
Mendawai,
Katingan
TNS
TNS
TNS
13/10/ 2014
-2.234
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
29/10/ 2014
-2.97
113.32
TNS
Mekartani,
Mendawai,
Katingan
71
100
NOAA
18
29/10/
2014
-2.97
113.32 Mekartani,
Mendawai,
Katingan
113.325 Perigi,
Mendawai,
Katingan
113.392 Tumbang Bulan,
Mendawai,
Katingan
30/10/ 2014
-2.97
113.32
101
NOAA
18
29/10/
2014
-2.78
102
NOAA
18
1/11/
2014
-2.644
103
NOAA
18
3/11/
2014
104
NOAA
18
3/11/ 2014
-2.644
-2.6
4/11/ 2014
-2.59
6/11/
2014
-2.52
NOAA
18
6/11/
2014
-2.615
105
106
NOAA
18
8/11/
2014
-2.39
107
NOAA
18
9/11/
2014
-2.422
113.795 Sabaru,
Sabangau,
Palangka Raya
113.717 Paduran
Sebangau,
Sebangau Kuala,
P Pisau
8/11/ 2014
Mekartani,
Mendawai,
Katingan
-
TNS
TNS
113.392 Tumbang
Bulan,
Mendawai,
Katingan
113.31 Tumbang
Bulan,
Mendawai,
Katingan
-
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
TNS
-2.615
113.4
Tumbang
Bulan,
Mendawai,
Katingan
-
72
Lampiran 4 Rekapitulasi pengukuran luas kebakaran hutan kawasan Taman Nasional Sebangau tahun 2014
I. SPTN WILAYAH I
No
Tanggal Pengukuran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Koordinat
X : 113.640552
X : 113.640857
X : 113.706596
X : 113.707921
X : 113.706714
X : 113.704443
X : 113.716007
X : 113.767946
X : 113.71600
X : 113.838176
Lokasi Kejadian
Y : -1.963295
Y : -1.958907
Y : -2.012184
Y : -2.006057
Y : -2.006105
Y : -2.001752
Y : -2.012184
Y : -2.142517
Y : -2.097214
Y : -2.299949
Koordinat
X : 114.004
Y : -2.706
X : 114.048
Y : -2.685
X : 114.015
Y : -2.693
X : 114.042
Y : -2.643
X : 113.636
Y : -2.778
Lokasi Kejadian
Sungai Bangah Resort Bangah
Sungai Bangah Resort Bangah
Sungai Bangah Resort Bangah
Sungai Mangkok Resort Mangkok
Sungai Sampang Resort Sebangau
Kuala
TOTAL LUAS AREAL TERBAKAR DI SPTN WILAYAH II
73
Koordinat
X : 113.501
Y : -2.528
Lokasi Kejadian
Sungai Bulan - Resort Muara Bulan
27 September 2014
X : 113.467
Y : -2.544
55.62
11 November 2014
X : 113.244598
Y : -2.384661
1291
X : 113.211150
Y : -2.462968
40.15
X : 113.213402
Y : -2.455215
27.88
X : 113.213883
Y : -2.455687
18.25
X : 113.214226
Y : -2.464703
30.10
X : 113.211150
Y : -2.462972
80.50
X : 113.211150
Y : -2.462973
90.39
X : 113.211150
Y : -2.462974
64.12
X : 113.211150
Y : -2.462975
21.11
X : 113.211150
Y : -2.462976
34.90
X : 113.211150
Y : -2462977
193
5
6
7
8
9
10
11
12
13
2035.74
4364.24
74