DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
Hasil penelitian RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) tahun
2007 yang dilaksanakan oleh kementerian kesehatan Indonesia. Dari 33
provinsi pada usia 15 tahun atau lebih, dengan asumsi populasi penduduk
Indonesia 230 juta. Terdapat 10 provinsi dengan prevalensi diabetes 10
terbesar, yaitu:
1. Maluku Utara 11.1%
2. Kalimantan Barat 111%
3. Riau 10.4%
4. Bangka Belitung 86%
5. Nangroe Aceh Darussalam 8.5%
6. Sulawesi Utara 8.1%
7. Jawa Tengah 7.8%
8. Gorontalo 7.7%
9. Jawa timur 6.8% , Surabay 7.0%
10. Jakarta 6.6%
III.
KLASIFIKASI
Tipe 1
Tipe 2
Tipe lain
Diabetes
IV.
melitus
gestasional
FAKTOR RESIKO
Kerabat keluarga turunan pertama dengan diabetes
Inaktivitas fisik
Ras/ etnisitas (misalnya orang Amerika keturunan Afrika, Latin,
mg/dl)
Sindrom polikistik ovarii atau akantosis nigrikans
Penyakit jantung koroner.
Usia> 45 tahun
V. PATOFISIOLOGI
a) DM Tipe 1 (Diabetes Melitus Tergantung Insulin = DMT1)
DM tipe 1 merupakan diabetes melitus yang tergantung insulin (DMTI/
IDDM). Pada DMT1 kelainan terletak pada sel beta pankreas baik idiopatik
ataupun imunologi. Pankreas tidak mampu sistesis dan sekresi insulin dalm
kuantitas dan atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak ada
sekresi insulin sama sekali. Jadi pada kasus ini terdapat kekurangan insulin
secara absolut.
Pada DMT1 biasanya reseptor insulin di jaringan perifer kuantitas dan
kualitasnya cukup atau normal (jumlah reseptor insulin DMT1 antara 30.000-
35.000), jumlah reseptor insulin pada orang normal lebih kurang 35.000.
sedang pada DM dengan obesitas lebih kurang 20.000 reseptor insulin.
b) DM Tipe 2 (Diabetes Melitus tidak Tergantung Insulin = DMT2)
Diabetes Melitus Tipe 2 adalah diabetes melitus tidak tergantung
insulin (non isnulin dependent diabetes melitus (NIDDM). Pada tipe ini, pada
awalnya kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan
kemudian disusul dengan disfungsi sel beta pankreas (defek pada fase
pertama sekresi insulin), yaitu sebagai berikut :
1. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang, namun
terdapat keterlambatan sekresi insulin fase 1 (fase cepat) sehingga
glukosa sudah diabsorbsi masuk darah tetapi jumlah insulin yang
efektif belum memadai.
2. Jumlah reseptor di jaringan perifer berkurang (antara 20.000-30.000)
pada obesitas jumlah reseptor bahkan hanya sekitar 20.000.
3. Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek,
sehingga kerja insulin tidak efektif (insulin binding, atau afinitas atau
sensitivitas insulin terganggu)
4. Terdapat kelainan di pasca reseptor, seingga proses glikolisis
intraseluler terganggu.
5. Adanya kelainan campuran di antara 1, 2, 3, dan 4.
Dapatlah disimpulkan bahwa pada DMT2 kelainan patofisiologi awal :
pada jaringan perifer yangpredominan (resistensi insulin), yang kemudian
disusul oleh defek sel beta yang predominan, yang pada akhirnya terjadi
kelainan pada keduanya.
VI.
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Atau
Pada perjalanan penyakitnya, dalam waktu 1 tahun 6-10% pasien TGT akan
menjadi diabetes. Sedangkan pada pasien dengan TGT dan GPT dalam 6
tahun menjadi diabetes sebesar 60%, sedangkan pada individu yang normal
insiden diabetes hanya sekitar 5%
VII.
Manajemen
1. Non Farmakologi
Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis
glulisin juga
merukapan analog insulin yang memiliki karakteristik seperti insulin lispro. Ketiga
insulin tersebut cocok digunakan saat waktu makan.
Kebutuhan insulin basal dapat dicukupi dengan insulin jangka panjang ( NPH
insulin, insulin glargine, insulin detemir). Kombinasi antara insulin NPH dengan
insulin kerja cepat dapat menurunkan absorbsi insulin kerja cepat.
Insulin yang diberikan secara inhalasi dengan menggunakan formulasi bubuk
insulin masih dalam tahap penelitian. Insulin inhalasi adalah insulin kerja cepat yang
mempunyai cara kerja yang sama dengan analog insulin. Insulin inhalasi sebaiknya
dikombinasikan dengan insulin kerja panjang untuk memenuhi kebutuhan insulin
basal. Atau dapat dikombinasikan dengan obat oral untuk pasien DM tipe 2. Insulin
inhalasi tersedia dalam dosis 1 dan 3 mg.
Regimen Insulin
Kebanyakan pasien membutuhkan lebih darisatu injeksi insulin harian.
Namun pemberian injeksi insulin kerja panjang lebih efektif digunakan pada
beberapa pasien. Regimen yang sering digunakan adalah kombinasi antara insulin
kerja cepat dan panjang. Pada beberapa kasus, kombinasi tersebut diberikan saat
pagi hari. Insulin kerja cepat diberikan sebelum makan siang dan sore. Kemudian
Insulin kerja panjang diberikan saat tidur (McGibbon, 2013 ; ADA, 2014, Fauci,
2008).
Management Diabetes MelitusTipe 2 (Non-insulin dependent Diabetes Melitus)
Manajemen yang penting pada penderita diabetes mellitus tipe 2 adalah
terapi diet dan meningkatkan aktivitas pasien. Obat hipoglikemi oral juga diperlukan
untuk menangani hiperglikemia.
Terapi Farmakologis Diabetes Melitus Tipe 2
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan :
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin : metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
E. DPP-IV inhibitor
A. Pemicu sekresi insulin
1. Sulfonilurea
OHO yang masuk kelompok ini antara lain : Sitagliptin, Alogliptin, Saxagliptin,
dan Vildagliptin.
2. Suntikan
1. Insulin
a. Diperlukan pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan OHO dosis optimal
- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM
- Gangguan faal ginjal dan hati yang berat
- Kontra indikasi dan atau alergi terhadap OHO
b. Jenis dan lama kerja insulin
- Insulin kerja cepat (Lispro, Aspart, Glulisine)
- Insulin kerja pendek (Insulin Reguler)
- Insulin kerja menengah (Insulin NPH)
- Insulin kerja panjang (Insulin Glargine)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah
Saat ini tersedia berbagai insulin basal di pasar indonesia yaitu, insulin NPH
manusia (kerja menengah atau intermediate), insulin analog glargine dan detemir
(kerja panjang). Dosis awal insulin basal adalah 10 unit perhari diberikan saat
sebelum tidur. Dosis dapat dinaikan 2 unit setiap 3 hari jika sasaran glukosa darah
puasa belum tercapai.
Kadar glukosa darah puasa (mg/dl)
<70
70 130
>130
>180
Jika pemberian insulin basal dan obat oral gagal mencapai sasaran, dapat
dilakukan penambahan insulin prandial. Insulin ini dapat diberikan 1 3 kali sehari
tergantung jadwal makan dan diberikan dosis 4 unit sehari serta dapat disesuaikan.
VIII.
Komplikasi
Klasifikasi Komplikasi :
I.
Komplikasi Akut
Komplikasi akut terdiri dari :
1. Hipoglikemia
Batasan :
a. Hipoglikemia / Hipoglikemia Murni
True hypoglycemia : gejala hipoglikemia apabila glukosa darah kurang dari
60 mg/dl.
b. Reaksi Hipoglikemia
Hypoglycemic Reaction : gejala hipoglikemia apabila glukosa darah turun
mendadak, misalnya dari 400 mg/dl menjadi 150 mg/dl, meskipun glukosa
darah masih >100mg/dl.
c. Koma Hipoglikemik
Koma akibat glukosa darah turun sampai di bawah 30 mg/dl.
d. Hipoglikemia Reaktif
Reactive Hypoglycemia : gejala hipoglikemia yang terjadi 3-5 jam sesudah
makan. Biasanya pada angota keluarga DM atau orang yang memunyai
bakat DM.
Gejala :
- Lapar, gemetar
- Keringat dingin, berdebar
- Pusing, gelisah > koma
Gejala tersebut akibat dari hiperkathekolaminemia. Apabila terdapat neuropati
otonom, gejala klinik ini berkurang bahkan tidak ada (symptomless
hypoglycemia).
Diagnosis :
Diagnosis ditegakkan apabila ada gejala klinis seperti di atas dan glukosa
darah kurang dari 30-60 mg/dl tergantung pada macam hipoglikemia, maka
diagnosis hioglikemia dapat dibuat.
Penatalaksanaan :
Terapi hipoglikemia :
a. Pisang/roti/karbohidrat lain, bila gagal > nomer 2.
b. Teh gula/tetesi gula kental / madu di bawah lidah / bila gagal > nomer 3.
c. Injeksi glukosa 40% i.v. 25 ml (encerkan dua kali) > infus martos (maltosa
10%) atau glukosa 10%, bila belum sadar dapat diulang 25cc glukosa 40%
setiap jam (sampai sadar), dan dapat diulang sampai 6 kali, bila gagal >
nomer 4.
Injeksi glukosa 40% i.v. 25 ml, harap digunakan rumus 1,2,3 yaitu:
Rumus 1 : diberikan 1 flash bila kadar gula darah 60-90 mg/dl
Rumus 2 : diberikan 2 flash bila kadar gula darah 30-60 mg/dl
Rumus 3 : diberikan 3 flash bila kadar gula darah <30 mg/dl
d. Injeksi metilprednisolon 62,5-125 mg IV dan dapat diulang, serta dapat
dikombinasi dengan injeksi feniltoin 3 x 100 mg IV atau feniltoin oral dengan
dosis 3 x 100 mg sebelum makan.
10
e. Bila perlu, injeksi efedrin (bila tidak ada kontra indikasi : jantung, dan lainlain) 25-50 mg atau injeksi glukagon 1mg i.m.
2. Hiperglikemia
A. Koma Lakto-Asidosis (KLA)
Klasifikasi :
a. Koma asidosis asam laktat (KAAL) Tipe A (Primer : hipoksia)
Asfiksia
Intoksikasi CO.
DM
Neoplasia
RFT/LFT terganggu
Konvulsi
Glukosa-Alkohol
Obat :
- Biguanide
- Salisilat
- Alkohol (Metanol,Etanol)
(Sorbitol)
- Patofisiologi :
Di dalam hepar, ginjal, dan jaringan perifer terdapat reaksi
pembentukan bikarbonat dari asam laktat.
- Asam Laktat + H2O + O2
Bikarbonat
Apabila terdapat gangguan faal hepar dan atau ginjal dan
hipoksia jaringan, asam laktat tidak dapat diubah menjadi bikarbonat.
Akibatnya akan timbul hiperlaktatemia, dan menyebabkan koma laktoasidosis.
Keadaan ini akan lebih parah apabila terdapat angiopati diabetik
-
darah sekitar 250 mg/dl, dan anion gap lebih dari 15-20 mEq/l.
- Penatalaksanaan :
Obat yang digunakan antara lain : Biguanide, Salisilat, Alkohol
(metanol, etanol), glukosa-alkohol (misalnya salbitol) dan lain-lain. Tetapi
dilakukan berdasarkan penyebabkan.
B. Ketoasidosis Diabetik-Koma Diabetik
- Klasifikasi :
- Keto Asidosis Diabetik (KAD) diklasifikasikan menjadi 4 :
- Stadium
- Macam,KAD
- PH darah
- Bikarbonat
- Ringan
- Sedang
- Berat
- Sangat
- KAD Ringan
- Perkoma
- 7,30-7,35
- 7,20-7,30
- 6,90-7,20
- <6,90
darah (BIK)
- 15-20 mEq/l
- 12-15 mEq/l
- 8-12 mEq/l
- <8 mEq/l
Berat
Diabetik
- Koma
Diabetik (KD)
- KD Berat
- Patogenesis :
- Melalui 2 proses yaitu :
A. Hiperglikemia
B. Hiperketogenesis
12
Neurologi, reduksi +++, bau aseton tidak didapatkan, ketonuria tidak ada .
AA. Diagnosis pasti, dikenal dengan sebutan Pentalogi HONK. Diagnosis
ditegakkan apabila terdapat diagnosis dan osmolaritas darah > 325-350
mOSM/l.
AB. OSM darah = 2(Na+K) + glukosa mg/dl + ureum mg/dl
AC.
18
6
AD.
AE.
AF.
AG.
AH.
Diagnosis Banding :
KAD, koma lakto-asidosis.
Penatalaksanaan :
Hampir sama dengan terapi KAD : Fase I + Fase II tanpa infus bikarbonat,
tetapi diberikan :
1. NaCl 0,45%.
2. RI seperti pada terapi KAD.
3. Antibiotika menurut indikasi.
AI. Apabila plasma Na < 150 mEq/l diberi normal saline, namun apabila
plasma Na >150 mEq/l diberi hypotonic saline.
AJ. Prognosis :
AK. K.HONK mempunyai prognosis buruk, yaitu dengan mortalitas 50%.
AL.
II. Komplikasi Kronik
1. Infeksi (furunkel, karbunkel, TBC paru, UTI, mikosis)
2. Mata
- N III, N IV, N II (Neuritis Optica), dan nervi sentralis lain.
- Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (miopia-reversible, tetapi katarak-
irreversible)
Retinopati DM = RD (Non-Proliferative Retinopathy, Maculopathy, dan
Proliferative Retinopathy)
- Glaucoma
- Perdarahan Corpus Vitreum
3. Mulut
- Ludah (kental, mulut kering = Xerostomia Diabetik)
- Gingiva (udematus, merah tua, gingivitis)
- Periodontum (rusak biasanya karena mikroangiopati periodontis DM, semuanya
menyebabkan gigi mudah goyah-lepas)
- Lidah (tebal, rugae, gangguan rasa akibat dari neuropati)
4. Jantung
- Mudah menghidap PJK atau Infark
- Silent infarction 40% (karena neuropati otonom)
- Adanya neuropati otonom menyebakan kenaikan denyut jantung per menit tidak
sesuai sewaktu latihan.
5. Tractus Urogenitalis
AM.
``Nefropati Diabetik, Sindrom Kiemmelstiel Wilson, Pielonefritis,
necrotizing papillitis, UTI, DNVD = Diabetic Neurogenic Vesical Dysfunction =
Diabetic Bladder (dapat menyebabkan retensio / inkontinensia.
AN.
``Impotensi diabetik (biasanya kadar testosteron normal, oleh karena itu
jangan diberi suntikan Testosteron).
AO.
Klasifikasi Impotensi Diabetik (Disfungsi Ereksi Diabetik = DE-D) :
a. DE-D Psikogenik (Tes Ereksi Pagi Positif)
b. DE-D Organik (Tes Ereksi Pagi Negatif)
- Apabila lama <6bulan
reversible
- 6-24 bulan
meragukan sembuh
- >2tahun
biasanya Irreversible
c. Psikogenik dan Organik (prognosis lebih parah)
- Terapi disfungsi ereksi : pada saat ini banyak dilaksanakan injeksi PGE 1 intra
cavernosa jenis sebelum coitus (efek samping : pria pisanus). Selain itu juga
dapat dipakai kapsul VIAGRA (generik : Sildenafril), yang diminum 30-60 menit
sebelum coitus.
6. Saraf
AP. Saraf Perifer (parestesia, anestesia, Gloves Neuropathy, kramp, Nocturnal
pain). Neuropathic Pain disebabkan oleh karena adanya aktivasi C-Fiber
Release of EAA (Excitory Amino Acid)
menyebabkan rasa mual, perut mudah penuh. Sedang pada regio urogenital bisa
terjadi seperti : (DNVD, retensio urinae, UTI, impotensi, vulvitis). Pada kelenjar
keringat : neuropati otonom dapat menyebabkan distribusi keringat tidak merata,
ada yang kering ada yang basah.
7. Kulit
AR. Gatal, shinspot (Dermopati Diabetik), Necrobiosis Lipoidica Diabeticum,
selulitis gangren. Skinspot berupa bercak-bercak hitam di kulit daerah tulang
kering. Necrobiosis Lipodica Diabeticorum berupa luka oval, khronik, tepi
keputihan (biasanya merupakan manifestasi mikroangiopati).
AS.
IX. Sepuluh petunjuk hidup sehat :
AT. G. (Glucose)
AU.
3.
4.
5.
6.
Susu,Santan)
- Budayakan makan sayur dan buah-buahan setiap hari.
O. (Obesity)
AX.
Cegah Kegemukan (usahakan IMT <25, atau BBR <110%)
H. (Hypertension)
AY.
Cegahlah konsumsi garam yang berlebihan
C. (Cigarette)
AZ.
Stop merokok
I. (Inactivity)
BA.
Olahraga teratur, setiap hari 300Kcal, atau 2000Kcal/minggu atau jalan
BB.
Usahakan tidur nyenyak minimal 6 jam sehari untuk meredam stress
8. A. (Alcohol Abuse)
BC.
Stop minum alkohol
9. R. (Regular Check Up)
BD.
Laksanakan check up secara terat
BE.
BF.
BG.
BH.
BI.
BJ.
BK.
BL.
BM.
BN.
BO.
BP.
BQ.
BR.
BS.
BT.
BU.
BV.
BW.
BX.
BY.
BZ.
CA.
CB.
CC.
CD.
CE.
CF.
CG.
CH.
CI.
Refrensi
CJ.
1. Fauci, et al, 2008. Harrisons Principles Of Internal Medicine. 17nd Edition.
United States of America : McGraw-Hills, chapter. 338
2. Khardori, Romesh , 2014 ; Type 2 Diabetes Mellitus medication . Diperoleh 12
Agustus 2014 dari http://emedicine.medscape.com/article/117739-medication
3. McGibbon, Angela et al, 2013 ; Pharmacotherapy in Type 1 Diabetes ; Diperoleh
dari http://guidelines.diabetes.ca/Browse/Chapter12
4. Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G, 2015, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Airlangga University Press, Surabaya
CL.
CK.