Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Bencana merupakan suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat
berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi,
kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No. 24,
2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Bencana gerakan massa tanah ( yang lebih dikenal dengan istilah bencana
longsoran ) merupakan salah satu jenis bencana yang sering terjadi di Indonesia,
terutama selama musim hujan. Bencana ini telah menelan banyak korban jiwa dan
Harta, sangat mungkin di musim musim hujan yang akan datang bencana ini akan
terus terjadi, (Karnawati, 2005).
Apabila dibandingkan dengan kerugian jiwa dan ekonomi akibat bencana
geologi lain, seperti akibat bencana letusan gunungapi, gempa bumi atau tsunami,
kerugian akibat gerakan massa tanah relatif jauh lebih kecil daripada kerugian akibat
bencana geologi lain. Namun frekuensi kejadian atau kemungkinan terjadi gerakan
massa tanah dan/batuan relatif jauh lebih besar daripada frekuensi kejadian bencana
geologi lain. Frekuensi kemungkinan kejadian gerakan massa tanah dan/batuan juga

lebih luas tersebar di seluruh wilayah kepulauan indonesia, daripada sebaran lokasi
kejadian bencana geologi yang lain, (Karnawati, 2005).
Desa Ngandong, kecamatan gantiwarno, klaten, jawa tengah terletak di lereng
perbukitan yang merupakan perbatasan antara Kabupaten Klaten dengan Kabupaten
Gunung kidul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kemiringan lereng yang terjal dan
rentan akan bencana gerakan massa penyusun lereng. Dinding Penahan lereng atau
talud yang terletak di dekat permukiman warga desa Ngandong telah mengalami
kerusakan dan di beberapa titik sudah terjadi longsoran. Hal tersebut membuat warga
desa yang berada di bawah dinding penahan lereng khawatir terjadi longsoran. Oleh
karena itu, untuk meminimalisir risiko bencana Gerakan Massa di wilayah
penelitian , perlu dilakukan pengkajian secara komprehensif mengenai analisis risiko
bencana Gerakan Massa di wilayah penelitian, sebagai salah satu bentuk
penanggulangan risiko bencana untuk mengurangi risiko yang timbul. Berdasarkan
uraian di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul Analisis
Risiko Bencana Gerakan Massa di Desa Ngandong, kecamatan gantiwarno,
Kabupaten klaten, Jawa Tengah .
1.2. Perumusan Masalah
Potensi Bencana Gerakan Massa Tanah dan Batuan yang terdapat di daerah
penelitian disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi antara lain yaitu :
faktor faktor pengontrol seperti geomorfologi, geologi, tanah, hidrologi dan tata guna
lahan. Selain faktor pengontrol, gerakan massa tanah juga dipicu oleh faktor pemicu
antara lain : Infiltrasi, getaran dan aktivitas manusia. Letak desa Ngandong,
kecamatan gantiwarno, Kabupaten klaten, jawa tengah yang berada di lereng
perbukitan dengan kemiringan lereng yang terjal dan rentan akan bencana gerakan

massa tanah, sehingga menimbulkan potensi bencana kebumian (geohazard) yang


akan mengakibatkan kerusakan ataupun kehancuran lingkungan dan masyarakat yang
ada di sekitarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukanya analisis risiko bencana yang
mungkin akan terjadi agar dapat menentukan penanggulangan yang tepat untuk
mengurangi risiko yang ada. Daerah penelitian yang akan dilakukan meliputi
keseluruhan desa Ngandong, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, Provinsi
Jawa Tengah.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat ancaman, kapasitas dan kerentanan Bencana Gerakan
Massa Tanah di wilayah penelitian sebagai faktor-faktor penilaian risiko?
2. Seberapa besar tingkat risiko bencana Gerakan Massa di wilayah penelitian?
3. Bagaimana bentuk rekomendasi penanggulangan Gerakan Massa di wilayah
penelitian?

1.3. Keaslian Penelitian


Berkaitan dengan judul mengenai analisis risiko bencana di desa Ngandong,
kecamatan gantiwarno, Kabupaten klaten, peneliti telah membandingkan dengan
beberapa penelitian terdahulu, sebagai pembanding dan referensi dalam melakukan
penelitian. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1.1. Daftar Perbandingan Penelitian Sebelum

No

Peneliti dan
tahun
penelitian

Jenis
penelitian

Lokasi

Judul

Tujuan

Yohanes Otto
H. ( 2015)

Skripsi Teknik
Lingkungan,
Universitas
Pembangunan
Nasional
Veteran
Yogyakarta

Kecamatan
Candipuro,
Kabupaten
Lumajang, Propinsi
Jawa Timur.

Analisis Risiko
Lingkungan dan
Bencana di
Kecamatan
Candipuro,
Kabupaten
Lumajang,
Propinsi Jawa
Timur

Evita
Pramudianti
dan Danang
Sri Hadmoko
( 2012)

Jurnal Ilmiah
Jurusan
Fakultas
Geografi UGM
Yogyakarta

Kecamatan Loano
dan Kaligesing
Kabupaten
Purworejo.

Analisis stabilitas
lereng
menggunakan
model lereng
deterministik
untuk zonasi
rawan longsor
lahan di sub-das
gintung, kabupaten
purworejo.

Aulia Hidayat
B. (2013)

Skripsi
Universitas
Gadjah Mada
Fakultas Teknik
Jurusan Teknik
Geologi

Kecamatan
Girimulyo,
Kabupaten
Kulonprogo,
Yogyakarta .

Pemetaan
kerentanan
gerakan massa
tanah dan batuan

Lanjutan Tabel 1.1

Mengetahui
ancaman, kapasita
kerentanan dan
tingkat risiko
bencana, serta
memberikan
rekomendasi
penanggulangan di
Kec. Candipuro,
Kab. Lumajang,
Jawa Timur

untuk mengetahui
tingkat akurasi model
determistik dalam
memetakan daerah
rawan longsorlahan d
Sub DAS Gintung.

1. Mengetahui
parameter
pengontrol utama
daerah penelitian
2. Rekomendasi
pencegahan dan
penanganan gerak
massa tanah dan
batuan

Peneliti dan
tahun
penelitian
4

Ali Akbar
(2010)

Baroro
Mahardini
Muis
(2012)

Peneliti dan
No
tahun
penelitian
6

Shahreza R.
Sasmita
(2014)

Jenis
penelitian
Skripsi Teknik
Lingkungan,
Universitas
Pembangunan
Nasional
Veteran
Yogyakarta
Tesis Fakultas
Geografi
Universitas
Gajah Mada
Yogyakarta

Jenis
penelitian
Usulan
Penelitian untuk
Skripsi Teknik
Lingkungan
Universitas
Pembangunan
Nasional
Veteran
Yogyakarta

Lokasi

Ds. Hargomulyo,
Kec. Gedangsari,
Kab. Gunung
Kidul, DIY.

DI DAS Tinalah,
Kabupaten
Kulonprogo,
Provinsi Daerah
Istimewa
Yogyakarta

Judul

Identifikasi gerakan
Massa Tanah/Batuan
di Kawasan
Permukiman

Tingkat Risiko
Bencana Longsor
Lahan Berdasarkan
Aspek Kerentanan
dan Kapasitas
Masyarakat di DAS
Tinalah, Kabupaten
Kulonprogo,
Provinso Daerah
Istimewa Yogyakarta

Lokasi

Judul

Desa Ngandong,
Kecamatan
Gantiwarno, Kab.
Klaten, Jawa
Tengah

Analisis Risiko
Lingkungan dan
Bencana Gerakan
Massa Tanah dan /
Batuan di Desa
Ngandong,
Kecamatan
Gantiwarno, Kab.
Klaten, Jawa Tengah

Tujuan

1. Menentukan tingk
kerentanan geraka
massa tanah untuk
daerah permukima
2. Menentukan arah
pengelolaannya.

1. Mengidentifikasi
kerawanan longso
lahan
2. Mengidentifikasi
tingkat kerentanan
elemen risiko
(masyarakat),
3. Mengidentifikasi
tingkat pengetahu
dan cara masyarak
dalam menghadap
bencana longsor la
(kapasitas)

Tujuan

Mengetahui ancaman
kapasitas, kerentanan
tingkat risiko bencana
serta memberikan
rekomendasi
penanggulangan di D
Ngandong, Kecamata
Gantiwarno, Kab. Kla
Jawa Tengah

Lanjutan Tabel 1.1

1.4. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.4.1. Maksud Penelitian
1. Menilai tingkat risiko bencana, sehingga dapat memberikan rekomendasi
penanggulangan yang tepat kepada masyarakat untuk mengurangi risiko
bencana yang ada di Desa Ngandong, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten.
Klaten, Provinsi Jawa Tengah
2. Memberikan rekomendasi yang tepat dalam menanggulangi risiko bencana
yang ada di Desa Ngandong, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten. Klaten,
Provinsi Jawa Tengah
3. Sebagai bentuk aplikasi dari

teori yang didapat di bangku kuliah, yang

dituangkan dalam bentuk skripsi.

1.4.2. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
1.
Mengetahui nilai ancaman, kapasitas dan kerentanan pada daerah penelitian
2.
Mengetahui tingkat risiko bencana yang ada pada daerah penelitian
3.
Merekomendasikan bentuk penanggulangan untuk mengurangi risiko bencana
kepada Pemerintah setempat dan terutama bagi masyarakat Desa Ngandong,
Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten. Klaten, Jawa Tengah

1.4.3. Manfaat Penelitian


1. Memberikan sumbangan pemikiran dibidang ilmu pengetahuan terutama
lingkungan dalam menganalisis risiko bencana di Desa Ngandong,
Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten. Klaten, Jawa Tengah

2. Sebagai informasi bagi masyarakat Desa Ngandong mengenai tingkat risiko


bencana yang ada di wilayahnya dan dapat menjadi acuan dalam
penanggulangan risiko bencana.
3. Sebagai salah satu bentuk penanggulangan bencana guna meminimalisir
risiko bencana yang ditimbulkan.

1.5. Peraturan Perundang-undangan


No
1.

Peraturan
Undang-undang Republik Indonesia :
a. Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pasal 1.
b. Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pasal 34.
c. Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pasal 36, ayat (1).

2.

Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia :
a. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan

Uraian singkat
a. Tentang
definisi
bencana,
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana, pencegahan, kesiapsiagaan,
peringatan dini, mitigasi, risiko bencana.
Sebagai acuan dalam penamaan istilahistilah kebencanaan.
b. Penyelenggaraan
penanggulangan
bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana dan dalam situasi terdapat
potensi terjadinya bencana. Sebagai
acuan dalam melakukan penelitian secara
umum. Sebagai dasar acuan dalam
melakukan penelitian secara umum.
c. Perencanaan penanggulangan bencana
dilakukan melalui penyusunan data
tentang risiko bencana pada suatu
wilayah dalam waktu tertentu. Sebagai
acuan dalam melakukan penelitian secara
umum.
a. Perencanaan penanggulangan bencana
disusun berdasarkan hasil analisis risiko
bencana dan upaya penanggulangan
bencana.
b. Persyaratan analisis risiko bencana

3.

4.

5.

Penanggulangan Bencana, pasal


6, ayat (2).
b. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, pasal
11, ayat (1).
Peraturan Menteri :
a. Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor
15
Tahun
2011
tentang
Pedoman Mitigasi Bencana
Gunungapi, Gerakan Tanah,
Gempa Bumi, dan Tsunami,
lampiran II.
Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 4
Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyusunan
Rencana
Penanggulangan Bencana.
Peraturan Daerah :
a. Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Timur Nomor 3 Tahun 2010
tentang
Penanggulangan
Bencana di Provinsi Jawa
Timur, pasal 22.

ditujukan untuk mengetahui dan menilai


tingkat risiko dari suatu kondisi atau
kegiatan yang dapat menimbulkan
bencana. Sebagai pedoman dalam
mencari informasi dan menilai tingkat
risiko dari suatu kondisi atau kegiatan
yang ada dalam penelitian.
a. Kegiatan prabencana dilakukan dalam
situasi sebelum terjadi bencana dan dalam
situasi terdapat potensi terjadinya
bencana gerakan tanah. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana baik
melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam
bencana. Sebagai pedoman dalam
melakukan penelitian yang terkait dengan
kegiatan prabencana.
Pedoman atau panduan penyusunan rencana
penanggulangan bencana yang menyeluruh,
terarah
dan
terpadu
di
tingkat
Propinsi/Kabupaten/Kota.
Sebagai
dasar
dalam penentuan parameter penelitian.
a. Penyelenggaraan
penanggulangan
bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana
meliputi
perencanaan
penanggulangan, pengurangan risiko,
pencegahan, dan persyaratan analisis
risiko bencana. Sebagai acuan dalam
melakukan penelitian secara lebih
spesifik, yang menyesuaikan dengan
keadaan daerah penelitian.

1.6. Tinjauan Pustaka


1.6.1. Analisis
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, analisis adalah penguraian suatu
pokok atas berbagai bagianya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta hubungan
antar bagian

untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti

keseluruhan.
1.6.2. Bencana
Bencana merupakan suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

10

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian


harta benda, dan dampak psikologis ( pasal 1, ayat 17, UU no.24/2007 )
Undang-undang

No.

24

tahun

2007

tentang

Pengelolaan

Bencana

mengelompokkan bencana menjadi 3 jenis yaitu :


1. Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung
berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan karena
faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan
kejadian antariksa/benda-benda angkasa.
2. Bencana nonalam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh
manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak
industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan.
3. Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam
masyarakat yang sering terjadi.
1.6.3. Risiko Bencana
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru 2009, risiko adalah
akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu
perbuatan atau tindakan. Risiko dapat diartikan juga sebagai kemungkinan terjadinya
peristiwa yang membawa akibat yang tidak diinginkan atas tujuan yang ingin diraih.
Risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan
ancaman bahaya (hazard) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam
bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau
pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal,
sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi. Sehingga kemampuan dalam
menghadapi ancaman tersebut dapat meningkat.
Secara umum untuk mengetahui tingkat risiko suatu bencana dapat
menggunakan suatu rumus yaitu :

11

Risiko =

1.6.4.

Ancaman Kerentanan
Kapasitas

Komponen Risiko Bencana


Komponen risiko bencana menurut Paripurno, (2009) yaitu komponen

bencana yang saling berhubungan dan terdiri dari risiko, ancaman, kerentanan dan
kapasitas.

1.6.4.1. Ancaman
Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa (berpotensi)
menimbulkan

bencana.

Jenis

ancaman

dapat

berupa

ancaman

geologi,

hidrometeorologi, biologi, teknologi, lingkungan, dan sosial. Ancaman memiliki


karakter yaitu sumber ancaman berasal, kekuatan ancaman, kecepatan ancaman
(datang, pergi dan dampak ancaman), frekuensi ancaman (pola perulangan), durasi
ancaman (lama waktu kejadian), sebaran (luas/cakupan ancaman), dan posisi
(kedudukan aset berisiko terhadap ancaman).
Berdasarkan United Nations-International Strategy for Disaster Reduction
(UN-ISDR, 2004), Ancaman bahaya dapat dibedakan menjadi lima kelompok,
yaitu:
1. Bahaya beraspek geologi antara lain gempa bumi, tsunami, gunungapi, longsor.
2. Bahaya beraspek hidrometerologi antara lain : banjir, kekeringan, angin topan,
gelombang pasang.
3. Bahaya beraspek biologi antara lain : wabah penyakit, hama, dan penyakit
tanaman.
4. Bahaya beraspek teknologi, antara lain : kecelakaan transportasi, kecelakaan
industri, kegagalan teknologi.

12

5. Bahaya beraspek lingkungan antara lain : kebakaran hutan, kerusakan


lingkungan, pencemaran limbah.
1.6.4.2. Kerentanan
Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang
mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman
bahaya. Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena menurut
Awotoma (1997) bencana baru akan terjadi bila bahaya terjadi pada kondisi
yang rentan (dikutip dalam Widiatmoko Indrayana, Geologi dan Zona
Kerentanan Gerakan Tanah Ruas Jalan Daerah Plaosan dan Sekitarnya, Kabupaten
Magetan, Jawa Timur, 2011).
Kerentanan fisik menggambarkan suatu kondisi fisik yang rawan terhadap
faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai
indikator seperti persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase
bangunan konstruksi darurat jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan
telekomunikasi, jaringan PDAM, dan jalan KA.
Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam
menghadapi bahaya. Pada kondisi sosial yang rentan jika terjadi bencana dapat
dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikator
kerentanan sosial antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk,
persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita.
Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan
ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan

13

ekonomi diantaranya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan
dan persentase rumah tangga miskin.

1.6.4.3. Kapasitas
Kapasitas merupakan penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang
dimiliki oleh masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan
mempersiapkan diri untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan diri dari
dampak bencana (United Nations International Strategy for Disaster Reduction,
2004).

1.6.5. Analisis Risiko Bencana


Berdasarkan peristilahan

dalam

Peraturan

Kepala

Badan

Nasional

Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman pengkajian Risiko


Bencana, Analisis Risiko Bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan
gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis
tingkat Ancaman, Tingkat Kerugian dan Kapasitas daerah.
1.6.6. Gerakan Massa (Mass Movement)
Gerakan massa adalah perpindahan material pembentuk lereng, berupa batuan,
bahan timbunan, tanah atau material campuran tersebut, bergerak ke arah bawah dan
keluar lereng (Varnes, 1978). Dalam keadaan tidak terganggu (alamiah), tanah atau
batuan umumnya berada dalam keadaan seimbang terhadap gaya-gaya yang timbul
dari dalam. Apabila mengalami perubahan keseimbangan, maka tanah atau batuan itu
akan berusaha untuk mencapai keadaan keseimbangan yang baru secara alamiah.
Cara ini berupa proses degradasi atau pengurangan beban, terutama dalam bentuk

14

longsoran atau gerakan lain sampai tercapai keadaan keseimbangan yang baru.
Sedangkan Brunsden (1984) mengusulkan gerakan massa (Mass Movement) yang
lebih tepat dipakai dalam mengidentifikasi proses gerakan massa penyusun lereng,
daripada istilah longsoran (landslide) yang lebih populer dikenal masyarakat. Selby
(1993) lebih lanjut menjelaskan bahwa longsoran (landslide) hanya tepat diterapkan
pada proses pergerakan massa yang melalui suatu bidang gelincir (bidang luncur)
yang jelas (Karnawati,2005)

1.6.6.1.

Jenis-jenis Gerakan Massa


Gerakan massa diklasifikasikan berdasarkan macam atau tipe gerakan,

macam material yang bergerak, dan kecepatan gerakan. Dari dasar klasifikasi
tersebut, Varnes (1978) membagi gerakan tanah menjadi:
1. Jatuhan (Rockfall)
Gerakan atau perpindahan jatuh bebas material-material lepas dari berbagai
ukuran dari kelerengan sangat terjal. Jenis gerakan tanah ini banyak dijumpai
di daerah perbukitan atau pegunungan terjal. Gerak jatuh bebas tersebut tidak
menuruti jalur atau permukaan perlapisan tertentu. Gerak jatuh bebas material
ini umumnya terkait dengan keberadaan lereng atau tebing curam. Material
hasil rockfall ini akan terakumulasi di dasar tebing atau lereng yang biasa
disebut talus.
2. Robohan (Topples)
Tipe robohan adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak melalui
bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus) yang sangat
tegak pada lereng. Seperti halnya pada runtuhan, bidang-bidang diskontinuitas

15

ini berupa bidang-bidang kekar atau retakan pada batuan. Robohan ini
biasanya terjadi pada batuan dengan kelerengan sangat terjal sampai tegak dan
dapat dipengaruhi oleh tekanan cairan (misalnya tekanan air) yang mengisi
bidang-bidang retakan atau kekar.
3. Luncuran (Slide)
Tipe luncuran ini lebih sering dikenal orang awam dengan bencana tanah
longsor. Gerakan massa tanah dan/atau batuan seperi inilah yang sering
menimbulkan korban jiwa. Secara umum luncuran batuan dapat diartikan
sebagai perpindahan material permukaan bumi menuruni lereng dengan cepat.
Berdasar bidang luncurannya maka tipe perpindahan masa batuan ini dapat
dibedakan menjadi transisional dan rotasional. Untuk luncuran yang memiliki
bidang luncur lurus disebut dengan transitional slide, sedangkan luncuran
yang memiliki bidang luncur melengkung disebut sebagai rotational slide.
4. Aliran Rombakan (Debris Flow)
Aliran rombakan merupakan jenis pergerakan massa yang terdiri dari fragmen
batuan, tanah, dan lumpur dengan komposisi 70-90 persen terdiri dari material
sedimen, sedangkan sisanya berupa fluida. Jenis gerakan tanah ini bergerak
antara beberapa kaki per tahun sampai 100 mil per jam. Komposisi umum
debris flows terdiri dari lumpur, pasir dan fragmen batuan dengan ukuran
berkisar antara fine gravel sampai boulder. Istilah earthflow digunakan untuk
pergerakan perlahan material menuruni bukit dan terakumulasi di kaki bukit
membentuk morfologi daun telinga atau kipas (lobe-shaped). Sedangkan
mudflows digunakan untuk tipe pergerakan material yang terdiri sebagian
besar atas material berukuran halus dan bergerak dalam bentuk cair atau semi
cair (high degree of fluidity).
5. Rayapan (Creep)
Pergerakan material pada gerakan massa tanah tipe rayapan sangat lambat.
Pada gerakan massa tanah tipe rayapan terdapat kontrol gaya gravitasi

16

sehingga material bergerak turun ke tempat yang lebih rendah. Adanya


gerakan tipe rayapan ini ditandai oleh adanya kemiringan pohon-pohon ke
arah gerakan rayapan material tersebut. Gerakan massa tanah (material) tipe
rayapan banyak dijumpai di daerah lereng perbukitan dan merupakan
penyebab rusaknya pipa bawah tanah, fondasi bangunan, jalan dan
infrastruktur di daerah perbukitan.
6. Kombinasi (Complex)
Tipe gerakan massa tanah dan/atau batuan dapat terjadi silih berganti
sepanjang waktu. Pada suatu waktu tipe gerakan massa tanah dan/atau batuan
yang terjadi mungkin berbeda dengan tipe gerakan massa tanah dan/atau
batuan yang terjadi saat ini pada satu titik tempat yang sama. Hal yang sama
juga dapat terjadi pada daerah yang luas pada saat yang bersamaan.
1.6.6.2.

Faktor Pengontrol Gerakan Massa


Faktor-faktor Pengontrol gerakan massa merupakan fenomena yang

mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak, meskipun pada saat
ini lereng tersebut masih stabil (belum longsor). Lereng yang berpotensi untuk
bergerak ini baru akan bergerak apabila ada gangguan yang memicu terjadinya
gerakan. Faktor-faktor penyebab ini umumnya merupakan fenomena alam (meskipun
ada yang bersifat non alamiah), sedangkan gangguan pada lereng atau faktor
penyebab dapat berupa proses alamiah atau pengaruh dari aktivitas manusia ataupun
kombinasi antara keduanya.
Mengacu pula pada Varnes (1978), mengidentifikasi faktor-faktor pengontrol
terjadinya gerakan massa sebagai berikut:
1. Kondisi Geomorfologi (kemiringan lereng)
Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan wilayah perbukitan dan
pegunungan, sehingga banyak dijumpai lahan yang miring. Lereng atau lahan

17

yang miring ini berpotensi untuk mengalami gerakan massa tanah dan/atau
batuan. Semakin besar kemiringan suatu lereng dapat mengakibatkan semakin
besarnya gaya penggerak massa tanah dan/atau batuan penyusun lereng.
2. Kondisi Tanah dan/atau Batuan Penyusun Lereng
Kondisi tanah dan/atau batuan penyusun lereng sangat berperan dalam
mengontrol terjadinya gerakan massa tanah dan/atau batuan. Meskipun suatu
lereng cukup curam, namun gerakan massa tanah dan/atau batuan belum tentu
terjadi apabila kondisi tanah dan/atau batuan penyusun lereng tersebut cukup
kompak dan kuat. Perlapisan batuan yang miring ke arah luar lereng dapat
menyebabkan terjadinya longsoran atau gerakan massa tanah dan/atau batuan,
misalnya perlapisan pada batubara, napal dan batulempung. Batuan-batuan
tersebut umumnya terpotong-potong oleh kekar-kekar (retakan-retakan),
sehingga sangat labil atau berpotensi untuk meluncur/bergerak di sepanjang
bidang perlapisan atau bidang kekar tersebut. Penggalian-penggalian pada
lereng batuan sangat berpotensi untuk memicu terjadinya luncuran/gerakan
batuan-batuan tersebut.
3. Kondisi Iklim
Kondisi iklim sangat berperan dalam mengontrol terjadinya gerakan massa
tanah dan/atau batuan. Temperatur dan curah hujan yang tinggi sangat
mendukung terjadinya proses pelapukan batuan pada lereng (proses
pembentukan tanah). Akibatnya adalah sangat sering dijumpai lereng yang
tersusun oleh tumpukan tanah yang ketebalannya dapat mencapai lebih dari 10
meter. Curah hujan yang tinggi atau curah hujan tidak terlalu tinggi tetapi
berlangsung lama, sangat berperan dalam memicu terjadinya gerakan massa
tanah dan/atau batuan. Air hujan yang meresap kedalam lereng dapat
meningkatkan penjenuhan tanah pada lereng sehingga tekanan air yang

18

merenggangkan ikatan antar butir tanah meningkat, akhirnya massa tanah


tersebut bergerak.
4. Kondisi Hidrologi Lereng
Kondisi hidrologi dalam lereng berperan dalam hal meningkatkan tekanan
hidrostatis air dalam tanah dan/atau batuan sehingga kuat geser tanah dan/atau
batuan akan sangat berkurang dan gerakan massa tanah dan/atau batuan dapat
terjadi. Lereng yang muka air tanahnya dangkal atau lereng dengan akuifer
menggantung, sangat sensitif mengalami kenaikan tekanan hidrostatis apabila
air permukaan meresap ke dalam lereng. Selain itu, retakan batuan sering pula
menjadi tempat masuknya air ke dalam lereng. Apabila semakin banyak air
yang masuk melewati jalur tersebut, tekanan air juga akan semakin meningkat.
Mengingat jalur-jalur tersebut merupakan bidang yang kuat gesernya lemah
(umumnya kohesi dan sudut gesekan dalamnya rendah), maka kenaikan
tekanan air ini akan sangat mudah menggerakkan lereng melalui jalur tersebut.
5. Erosi
Gerakan massa tanah dan/atau batuan akibat erosi umumnya terjadi pada
kelokan sungai. Hal ini terjadi karena pada bagian bawah lereng tererosi
sehingga lereng menjadi tidak stabil.
6. Getaran
Getaran memicu gerakan dengan cara melemahkan atau memutuskan
hubungan antar butir partikel-partikel penyusun tanah dan/atau batuan pada
lereng. Jadi getaran berperan dalam menambah gaya penggerak dan sekaligus
mengurangi gaya penahan. Pengaruh getaran tersebut akan menyebabkan
butiran-butiran pada lapisan akan saling menekan dan kandungan airnya akan
mempunyai tekanan yang besar terhadap lapisan di atasnya. Akibat peristiwa
tersebut lapisan di atasnya akan seperti mengambang, karena getaran tersebut
dapat mengakibatkan perpindahan massa di atasnya dengan cepat.
7. Aktivitas Manusia

19

Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan
penting dalam memicu terjadinya gerakan massa tanah dan/atau batuan,
Pembukaan hutan secara sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu
berat dengan jarak tanam terlalu rapat, pemotongan tebing/lereng untuk jalan
dan pemukiman merupakan pola penggunaan lahan yang dijumpai di daerah
terjadi gerakan massa tanah dan/atau batuan.
1.6.6.3.

Faktor Pemicu Gerakan Massa


Gangguan yang merupakan pemicu gerakan massa merupakan proses

alamiah atau non alam ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat
proses hilangnya kestabilan suatu lereng. Jadi pemicu ini dapat berperan dalam
mempercepat peningkatan gaya penggerak/peluncur, mempercepat pengurangan gaya
penahan gerakan, ataupun sekaligus mengakibatkan keduanya.
Secara umum proses pemicu dapat berupa :
a. Infiltrasi air ke dalam lereng
b. Getaran
c. Aktifitas manusia
Infiltrasi air ke dalam lereng yang paling sering terjadi adalah infiltrasi oleh
air hujan. Air hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran getaran dapat
bersifat alamiah (misalnya gempa bumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau
getaran lalu lintas). Aktifitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada
lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah. Berikut
adalah proses pemicu terjadinya gerakan massa.
1) Gerakan Massa yang dipicu oleh infiltrasi hujan
Hujan pemicu gerakan tanah adalah hujan yang mempunyai curah hujan
tertentu dan berlangsung dalam periode tertentu, sehingga air yang dicurahkan
dapat meresap ke dalam lereng dan mendorong massa tanah untuk longsor.
Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia, yaitu tipe
deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama.

20

Tipe hujan deras misalnya adalah hujan yang dapat mencapai 70 mm per
jam atau lebih dari 100 mm per hari. Tipe hujan deras hanya akan efektif
memicu longsoran pada lereng yang tanahnya mudah menyerap air, (Karnawati,
2005).
2) Gerakan Massa yang dipicu oleh getaran
Getaran memicu longsoran dengan cara melemahkan atau memutuskan
hubungan antara butir butir partikel penyusun tanah atau batuan pada lereng.
Jadi getaran berperan dalam menambah daya penggerak dan sekaligus
mengurangi daya penahan. Contoh getaran yang memicu longsoran adalah
getaran gempa bumi yang kadang kadang diikuti dengan peristiwa liquefaction.
Liquefaction adalah fenomena berkurangnya kekuatan tanah atau batuan akibat
adanya gempa atau getaran periodik. Umumnya terjadi pada tanah jenuh air
(saturated soil) atau pada lapisan lanau pasir jenuh air. Pengaruh getaran akan
menyebabkan butiran-butiran pada tanah akan saling menekan dan kandungan
air akan mempunyai tekanan yang besar terhadap lapisan diatasnya.
Meningkatnya tekanan air pori ini menyebabkan gaya kontak diantara butiran
butiran penyusun tanah berkurang. Akibat peristiwa tersebut lapisan diatasnya
akan seperti mengembang dan tidak mempunyai kekuatan sehingga dengan
adanya getaran tersebut dapat mengakibatkan perpindahan massa di atasnya
dengan cepat.
3) Gerakan Massa yang dipicu oleh aktivitas manusia
Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan
penting dalam memicu terjadinya longsoran. Pembukaan hutan secara
sembarangan, penanaman pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam terlalu
rapat, penambangan tidak berwawasan lingkungan, pemotongan tebing/lereng
untuk jalan, permukiman merupakan pola penggunaan lahan yang dijumpai di
daerah longsor. Pemotongan lereng untuk jalan dan permukiman dapat

21

mengakibatkan hilangnya peneguh lereng dari arah lateral. Hal ini selanjutnya
mengakibatkan kekuatan geser lereng untuk melawan pergerakan massa tanah
terlampaui oleh tegangan penggerak massa tanah. Akhirnya longsoran tanah
pada lereng akan terjadi.
1.6.6.4.

Proses dan Tahapan Gerakan Massa


Pergerakan massa pada lereng dapat terjadi akibat pengaruh interaksi antara

beberapa kondisi yang meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi,


hidroogi dan tata guna lahan. Kondisi-kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga
mewujudkan suatu kondisi lereng yang mempunyai kecenderungan atau berpotensi
untuk bergerak (Karnawati,2002a). Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai
kondisi rentan untuk bergerak. Jadi pengertian rentan disini berarti berpotensi
(berbakat) atau berkecenderungan untuk bergerak, namun belum mengalami gerakan.
Lereng yang telah dikategorikan sebagai lereng yang rentan bergerak merupakan
suatu lereng dengan massa tanah dan/atau batuan penyusun yang sudah siap
bergerak, nemun belum dapat dipastikan kapan gerakan itu terjadi (Karnawati, 2002).
Gerakan pada lereng baru benar benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan.
Pemicu gerakan merupakan proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat
merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak. Pemicu
ini umumnya berupa hujan, getaran getaran atau aktivitas manusia pada lereng,
seperti penggalian dan dan pemotongan atau peledakan lereng, pembebanan yang
berlebihan, ataupun proses masuknya air ke dalam lereng melalui kebocoran pada
saluran/ kolam dan sebagainya.
1.6.7.

Siklus Pengelolaan Bencana


Dengan adanya dampak yang ditimbulkan oleh bencana, maka siklus .

pengelolaan bencana sangat penting untuk dilakukan. Siklus pengelolaan bencana


berdasarkan UU No. 24 tahun 2007 yaitu :

22

1. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan


sebagai upaya untuk menghilangkan dan/ atau mengurangi ancaman bencana,
(pasal 1 ayat 6).
2. Kesiapsiagaan adalah

serangkaian

kegiatan

yang

dilakukan

untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang


tepat guna dan daya guna, ( pasal 1 ayat 7 ).
3. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberi peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat atau lembaga yang berwenang, ( pasal 1 ayat 8 ).
4. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana, (pasal 1 ayat 9 ).
5. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kuburan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan serta pemulihan sarana dan prasarana, ( pasal 1 ayat 10 ).
6. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalanya secar wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan, masyarakat pada wilayah pasca bencana,
( pasal 1 ayat 11).
7. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan

23

bermasyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah


pasca bencana, ( pasal 1 ayat 12).

Perencanaan
Rekonstruksi

Pencegahan

Rehabilitasi

Mitigasi

Tahap Darurat

Kesiapsiagaan

1.6.8. Mitigasi

Gambar 1.1 Siklus Manajemen


Kebencanaan ( Paripurno 2009 )
Perencanaan

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik


melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi bencana alam dilakukan secara struktural dan non struktural. Secara
struktural yaitu dengan melakukan upaya teknis, baik secara alami maupun buatan
mengenai sarana dan prasarana mitigasi. Secara non struktural adalah upaya non
teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar
sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya.
Untuk mengatasi masalah bencana perlu dilakukan upaya mitigasi yang
komprehensif yaitu kombinasi upaya struktur (pembuatan prasarana dan sarana
pengendali) dan non struktur yang pelaksanaannya harus melibatkan instansi terkait.
Seberapa besarpun upaya tersebut tidak akan dapat membebaskan terhadap masalah
bencana alam secara mutlak. Oleh karena itu kunci keberhasilan sebenarnya adalah
keharmonisan manusia/masyarakat dengan alam lingkungannya.

24

Anda mungkin juga menyukai