PENDAHULUAN
lebih luas tersebar di seluruh wilayah kepulauan indonesia, daripada sebaran lokasi
kejadian bencana geologi yang lain, (Karnawati, 2005).
Desa Ngandong, kecamatan gantiwarno, klaten, jawa tengah terletak di lereng
perbukitan yang merupakan perbatasan antara Kabupaten Klaten dengan Kabupaten
Gunung kidul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kemiringan lereng yang terjal dan
rentan akan bencana gerakan massa penyusun lereng. Dinding Penahan lereng atau
talud yang terletak di dekat permukiman warga desa Ngandong telah mengalami
kerusakan dan di beberapa titik sudah terjadi longsoran. Hal tersebut membuat warga
desa yang berada di bawah dinding penahan lereng khawatir terjadi longsoran. Oleh
karena itu, untuk meminimalisir risiko bencana Gerakan Massa di wilayah
penelitian , perlu dilakukan pengkajian secara komprehensif mengenai analisis risiko
bencana Gerakan Massa di wilayah penelitian, sebagai salah satu bentuk
penanggulangan risiko bencana untuk mengurangi risiko yang timbul. Berdasarkan
uraian di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul Analisis
Risiko Bencana Gerakan Massa di Desa Ngandong, kecamatan gantiwarno,
Kabupaten klaten, Jawa Tengah .
1.2. Perumusan Masalah
Potensi Bencana Gerakan Massa Tanah dan Batuan yang terdapat di daerah
penelitian disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi antara lain yaitu :
faktor faktor pengontrol seperti geomorfologi, geologi, tanah, hidrologi dan tata guna
lahan. Selain faktor pengontrol, gerakan massa tanah juga dipicu oleh faktor pemicu
antara lain : Infiltrasi, getaran dan aktivitas manusia. Letak desa Ngandong,
kecamatan gantiwarno, Kabupaten klaten, jawa tengah yang berada di lereng
perbukitan dengan kemiringan lereng yang terjal dan rentan akan bencana gerakan
No
Peneliti dan
tahun
penelitian
Jenis
penelitian
Lokasi
Judul
Tujuan
Yohanes Otto
H. ( 2015)
Skripsi Teknik
Lingkungan,
Universitas
Pembangunan
Nasional
Veteran
Yogyakarta
Kecamatan
Candipuro,
Kabupaten
Lumajang, Propinsi
Jawa Timur.
Analisis Risiko
Lingkungan dan
Bencana di
Kecamatan
Candipuro,
Kabupaten
Lumajang,
Propinsi Jawa
Timur
Evita
Pramudianti
dan Danang
Sri Hadmoko
( 2012)
Jurnal Ilmiah
Jurusan
Fakultas
Geografi UGM
Yogyakarta
Kecamatan Loano
dan Kaligesing
Kabupaten
Purworejo.
Analisis stabilitas
lereng
menggunakan
model lereng
deterministik
untuk zonasi
rawan longsor
lahan di sub-das
gintung, kabupaten
purworejo.
Aulia Hidayat
B. (2013)
Skripsi
Universitas
Gadjah Mada
Fakultas Teknik
Jurusan Teknik
Geologi
Kecamatan
Girimulyo,
Kabupaten
Kulonprogo,
Yogyakarta .
Pemetaan
kerentanan
gerakan massa
tanah dan batuan
Mengetahui
ancaman, kapasita
kerentanan dan
tingkat risiko
bencana, serta
memberikan
rekomendasi
penanggulangan di
Kec. Candipuro,
Kab. Lumajang,
Jawa Timur
untuk mengetahui
tingkat akurasi model
determistik dalam
memetakan daerah
rawan longsorlahan d
Sub DAS Gintung.
1. Mengetahui
parameter
pengontrol utama
daerah penelitian
2. Rekomendasi
pencegahan dan
penanganan gerak
massa tanah dan
batuan
Peneliti dan
tahun
penelitian
4
Ali Akbar
(2010)
Baroro
Mahardini
Muis
(2012)
Peneliti dan
No
tahun
penelitian
6
Shahreza R.
Sasmita
(2014)
Jenis
penelitian
Skripsi Teknik
Lingkungan,
Universitas
Pembangunan
Nasional
Veteran
Yogyakarta
Tesis Fakultas
Geografi
Universitas
Gajah Mada
Yogyakarta
Jenis
penelitian
Usulan
Penelitian untuk
Skripsi Teknik
Lingkungan
Universitas
Pembangunan
Nasional
Veteran
Yogyakarta
Lokasi
Ds. Hargomulyo,
Kec. Gedangsari,
Kab. Gunung
Kidul, DIY.
DI DAS Tinalah,
Kabupaten
Kulonprogo,
Provinsi Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Judul
Identifikasi gerakan
Massa Tanah/Batuan
di Kawasan
Permukiman
Tingkat Risiko
Bencana Longsor
Lahan Berdasarkan
Aspek Kerentanan
dan Kapasitas
Masyarakat di DAS
Tinalah, Kabupaten
Kulonprogo,
Provinso Daerah
Istimewa Yogyakarta
Lokasi
Judul
Desa Ngandong,
Kecamatan
Gantiwarno, Kab.
Klaten, Jawa
Tengah
Analisis Risiko
Lingkungan dan
Bencana Gerakan
Massa Tanah dan /
Batuan di Desa
Ngandong,
Kecamatan
Gantiwarno, Kab.
Klaten, Jawa Tengah
Tujuan
1. Menentukan tingk
kerentanan geraka
massa tanah untuk
daerah permukima
2. Menentukan arah
pengelolaannya.
1. Mengidentifikasi
kerawanan longso
lahan
2. Mengidentifikasi
tingkat kerentanan
elemen risiko
(masyarakat),
3. Mengidentifikasi
tingkat pengetahu
dan cara masyarak
dalam menghadap
bencana longsor la
(kapasitas)
Tujuan
Mengetahui ancaman
kapasitas, kerentanan
tingkat risiko bencana
serta memberikan
rekomendasi
penanggulangan di D
Ngandong, Kecamata
Gantiwarno, Kab. Kla
Jawa Tengah
Peraturan
Undang-undang Republik Indonesia :
a. Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pasal 1.
b. Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pasal 34.
c. Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pasal 36, ayat (1).
2.
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia :
a. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan
Uraian singkat
a. Tentang
definisi
bencana,
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana, pencegahan, kesiapsiagaan,
peringatan dini, mitigasi, risiko bencana.
Sebagai acuan dalam penamaan istilahistilah kebencanaan.
b. Penyelenggaraan
penanggulangan
bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana dan dalam situasi terdapat
potensi terjadinya bencana. Sebagai
acuan dalam melakukan penelitian secara
umum. Sebagai dasar acuan dalam
melakukan penelitian secara umum.
c. Perencanaan penanggulangan bencana
dilakukan melalui penyusunan data
tentang risiko bencana pada suatu
wilayah dalam waktu tertentu. Sebagai
acuan dalam melakukan penelitian secara
umum.
a. Perencanaan penanggulangan bencana
disusun berdasarkan hasil analisis risiko
bencana dan upaya penanggulangan
bencana.
b. Persyaratan analisis risiko bencana
3.
4.
5.
keseluruhan.
1.6.2. Bencana
Bencana merupakan suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
10
No.
24
tahun
2007
tentang
Pengelolaan
Bencana
11
Risiko =
1.6.4.
Ancaman Kerentanan
Kapasitas
bencana yang saling berhubungan dan terdiri dari risiko, ancaman, kerentanan dan
kapasitas.
1.6.4.1. Ancaman
Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa (berpotensi)
menimbulkan
bencana.
Jenis
ancaman
dapat
berupa
ancaman
geologi,
12
13
ekonomi diantaranya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan
dan persentase rumah tangga miskin.
1.6.4.3. Kapasitas
Kapasitas merupakan penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang
dimiliki oleh masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan
mempersiapkan diri untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan diri dari
dampak bencana (United Nations International Strategy for Disaster Reduction,
2004).
dalam
Peraturan
Kepala
Badan
Nasional
14
longsoran atau gerakan lain sampai tercapai keadaan keseimbangan yang baru.
Sedangkan Brunsden (1984) mengusulkan gerakan massa (Mass Movement) yang
lebih tepat dipakai dalam mengidentifikasi proses gerakan massa penyusun lereng,
daripada istilah longsoran (landslide) yang lebih populer dikenal masyarakat. Selby
(1993) lebih lanjut menjelaskan bahwa longsoran (landslide) hanya tepat diterapkan
pada proses pergerakan massa yang melalui suatu bidang gelincir (bidang luncur)
yang jelas (Karnawati,2005)
1.6.6.1.
macam material yang bergerak, dan kecepatan gerakan. Dari dasar klasifikasi
tersebut, Varnes (1978) membagi gerakan tanah menjadi:
1. Jatuhan (Rockfall)
Gerakan atau perpindahan jatuh bebas material-material lepas dari berbagai
ukuran dari kelerengan sangat terjal. Jenis gerakan tanah ini banyak dijumpai
di daerah perbukitan atau pegunungan terjal. Gerak jatuh bebas tersebut tidak
menuruti jalur atau permukaan perlapisan tertentu. Gerak jatuh bebas material
ini umumnya terkait dengan keberadaan lereng atau tebing curam. Material
hasil rockfall ini akan terakumulasi di dasar tebing atau lereng yang biasa
disebut talus.
2. Robohan (Topples)
Tipe robohan adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak melalui
bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus) yang sangat
tegak pada lereng. Seperti halnya pada runtuhan, bidang-bidang diskontinuitas
15
ini berupa bidang-bidang kekar atau retakan pada batuan. Robohan ini
biasanya terjadi pada batuan dengan kelerengan sangat terjal sampai tegak dan
dapat dipengaruhi oleh tekanan cairan (misalnya tekanan air) yang mengisi
bidang-bidang retakan atau kekar.
3. Luncuran (Slide)
Tipe luncuran ini lebih sering dikenal orang awam dengan bencana tanah
longsor. Gerakan massa tanah dan/atau batuan seperi inilah yang sering
menimbulkan korban jiwa. Secara umum luncuran batuan dapat diartikan
sebagai perpindahan material permukaan bumi menuruni lereng dengan cepat.
Berdasar bidang luncurannya maka tipe perpindahan masa batuan ini dapat
dibedakan menjadi transisional dan rotasional. Untuk luncuran yang memiliki
bidang luncur lurus disebut dengan transitional slide, sedangkan luncuran
yang memiliki bidang luncur melengkung disebut sebagai rotational slide.
4. Aliran Rombakan (Debris Flow)
Aliran rombakan merupakan jenis pergerakan massa yang terdiri dari fragmen
batuan, tanah, dan lumpur dengan komposisi 70-90 persen terdiri dari material
sedimen, sedangkan sisanya berupa fluida. Jenis gerakan tanah ini bergerak
antara beberapa kaki per tahun sampai 100 mil per jam. Komposisi umum
debris flows terdiri dari lumpur, pasir dan fragmen batuan dengan ukuran
berkisar antara fine gravel sampai boulder. Istilah earthflow digunakan untuk
pergerakan perlahan material menuruni bukit dan terakumulasi di kaki bukit
membentuk morfologi daun telinga atau kipas (lobe-shaped). Sedangkan
mudflows digunakan untuk tipe pergerakan material yang terdiri sebagian
besar atas material berukuran halus dan bergerak dalam bentuk cair atau semi
cair (high degree of fluidity).
5. Rayapan (Creep)
Pergerakan material pada gerakan massa tanah tipe rayapan sangat lambat.
Pada gerakan massa tanah tipe rayapan terdapat kontrol gaya gravitasi
16
mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak, meskipun pada saat
ini lereng tersebut masih stabil (belum longsor). Lereng yang berpotensi untuk
bergerak ini baru akan bergerak apabila ada gangguan yang memicu terjadinya
gerakan. Faktor-faktor penyebab ini umumnya merupakan fenomena alam (meskipun
ada yang bersifat non alamiah), sedangkan gangguan pada lereng atau faktor
penyebab dapat berupa proses alamiah atau pengaruh dari aktivitas manusia ataupun
kombinasi antara keduanya.
Mengacu pula pada Varnes (1978), mengidentifikasi faktor-faktor pengontrol
terjadinya gerakan massa sebagai berikut:
1. Kondisi Geomorfologi (kemiringan lereng)
Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan wilayah perbukitan dan
pegunungan, sehingga banyak dijumpai lahan yang miring. Lereng atau lahan
17
yang miring ini berpotensi untuk mengalami gerakan massa tanah dan/atau
batuan. Semakin besar kemiringan suatu lereng dapat mengakibatkan semakin
besarnya gaya penggerak massa tanah dan/atau batuan penyusun lereng.
2. Kondisi Tanah dan/atau Batuan Penyusun Lereng
Kondisi tanah dan/atau batuan penyusun lereng sangat berperan dalam
mengontrol terjadinya gerakan massa tanah dan/atau batuan. Meskipun suatu
lereng cukup curam, namun gerakan massa tanah dan/atau batuan belum tentu
terjadi apabila kondisi tanah dan/atau batuan penyusun lereng tersebut cukup
kompak dan kuat. Perlapisan batuan yang miring ke arah luar lereng dapat
menyebabkan terjadinya longsoran atau gerakan massa tanah dan/atau batuan,
misalnya perlapisan pada batubara, napal dan batulempung. Batuan-batuan
tersebut umumnya terpotong-potong oleh kekar-kekar (retakan-retakan),
sehingga sangat labil atau berpotensi untuk meluncur/bergerak di sepanjang
bidang perlapisan atau bidang kekar tersebut. Penggalian-penggalian pada
lereng batuan sangat berpotensi untuk memicu terjadinya luncuran/gerakan
batuan-batuan tersebut.
3. Kondisi Iklim
Kondisi iklim sangat berperan dalam mengontrol terjadinya gerakan massa
tanah dan/atau batuan. Temperatur dan curah hujan yang tinggi sangat
mendukung terjadinya proses pelapukan batuan pada lereng (proses
pembentukan tanah). Akibatnya adalah sangat sering dijumpai lereng yang
tersusun oleh tumpukan tanah yang ketebalannya dapat mencapai lebih dari 10
meter. Curah hujan yang tinggi atau curah hujan tidak terlalu tinggi tetapi
berlangsung lama, sangat berperan dalam memicu terjadinya gerakan massa
tanah dan/atau batuan. Air hujan yang meresap kedalam lereng dapat
meningkatkan penjenuhan tanah pada lereng sehingga tekanan air yang
18
19
Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan
penting dalam memicu terjadinya gerakan massa tanah dan/atau batuan,
Pembukaan hutan secara sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu
berat dengan jarak tanam terlalu rapat, pemotongan tebing/lereng untuk jalan
dan pemukiman merupakan pola penggunaan lahan yang dijumpai di daerah
terjadi gerakan massa tanah dan/atau batuan.
1.6.6.3.
alamiah atau non alam ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat
proses hilangnya kestabilan suatu lereng. Jadi pemicu ini dapat berperan dalam
mempercepat peningkatan gaya penggerak/peluncur, mempercepat pengurangan gaya
penahan gerakan, ataupun sekaligus mengakibatkan keduanya.
Secara umum proses pemicu dapat berupa :
a. Infiltrasi air ke dalam lereng
b. Getaran
c. Aktifitas manusia
Infiltrasi air ke dalam lereng yang paling sering terjadi adalah infiltrasi oleh
air hujan. Air hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran getaran dapat
bersifat alamiah (misalnya gempa bumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau
getaran lalu lintas). Aktifitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada
lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah. Berikut
adalah proses pemicu terjadinya gerakan massa.
1) Gerakan Massa yang dipicu oleh infiltrasi hujan
Hujan pemicu gerakan tanah adalah hujan yang mempunyai curah hujan
tertentu dan berlangsung dalam periode tertentu, sehingga air yang dicurahkan
dapat meresap ke dalam lereng dan mendorong massa tanah untuk longsor.
Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia, yaitu tipe
deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama.
20
Tipe hujan deras misalnya adalah hujan yang dapat mencapai 70 mm per
jam atau lebih dari 100 mm per hari. Tipe hujan deras hanya akan efektif
memicu longsoran pada lereng yang tanahnya mudah menyerap air, (Karnawati,
2005).
2) Gerakan Massa yang dipicu oleh getaran
Getaran memicu longsoran dengan cara melemahkan atau memutuskan
hubungan antara butir butir partikel penyusun tanah atau batuan pada lereng.
Jadi getaran berperan dalam menambah daya penggerak dan sekaligus
mengurangi daya penahan. Contoh getaran yang memicu longsoran adalah
getaran gempa bumi yang kadang kadang diikuti dengan peristiwa liquefaction.
Liquefaction adalah fenomena berkurangnya kekuatan tanah atau batuan akibat
adanya gempa atau getaran periodik. Umumnya terjadi pada tanah jenuh air
(saturated soil) atau pada lapisan lanau pasir jenuh air. Pengaruh getaran akan
menyebabkan butiran-butiran pada tanah akan saling menekan dan kandungan
air akan mempunyai tekanan yang besar terhadap lapisan diatasnya.
Meningkatnya tekanan air pori ini menyebabkan gaya kontak diantara butiran
butiran penyusun tanah berkurang. Akibat peristiwa tersebut lapisan diatasnya
akan seperti mengembang dan tidak mempunyai kekuatan sehingga dengan
adanya getaran tersebut dapat mengakibatkan perpindahan massa di atasnya
dengan cepat.
3) Gerakan Massa yang dipicu oleh aktivitas manusia
Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan
penting dalam memicu terjadinya longsoran. Pembukaan hutan secara
sembarangan, penanaman pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam terlalu
rapat, penambangan tidak berwawasan lingkungan, pemotongan tebing/lereng
untuk jalan, permukiman merupakan pola penggunaan lahan yang dijumpai di
daerah longsor. Pemotongan lereng untuk jalan dan permukiman dapat
21
mengakibatkan hilangnya peneguh lereng dari arah lateral. Hal ini selanjutnya
mengakibatkan kekuatan geser lereng untuk melawan pergerakan massa tanah
terlampaui oleh tegangan penggerak massa tanah. Akhirnya longsoran tanah
pada lereng akan terjadi.
1.6.6.4.
22
serangkaian
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
23
Perencanaan
Rekonstruksi
Pencegahan
Rehabilitasi
Mitigasi
Tahap Darurat
Kesiapsiagaan
1.6.8. Mitigasi
24