PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan kulit. Kurangnya pemahaman dan
kepercayaan yang keliru mengenai penyakit kusta dan deformitas yang ditimbulkan
menyebabkan ketakutan bagi masyarakat. Masyarakat awam menganggap kusta sebagai
penyakit keturunan dan menyebabkan kecacatan.
Gejala klinis dari penyakit kusta meliputi lesi kulit hipopigmentasi, rasa nyeri pada
persarafan dan mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu. Gejala-gejala ini
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan dengan
ditemukannya 3 tanda kardinal, yaitu : adanya lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi,
dan ditemukannya bakteri tahan asam (BTA).
Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu keadaan eksaserbasi yang
ditandai dengan peningkatan aktivitas penyakit secara tiba-tiba. Reaksi kusta sering terjadi
sebagai komplikasi pengobatan, tetapi dapat juga terjadi sebelum pengobatan atau sesudah
pengobatan selesai dengan obat kusta. Reaksi kusta dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu reaksi kusta
tipe I, reaksi kusta tipe II dan reaksi kusta tipe III (Fenomena Lucio). Reaksi kusta
meningkatkan morbiditas dari penyakit kusta dan dapat menimbulkan kecacatan bagi
penderitanya.
Penyakit kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Menurut WHO,
diperkirakan jumlah penderita kusta baru di dunia pada tahun 2012 adalah sekitar 232.857
orang. Dari jumlah tersebut terbanyak terdapat di regional Asia Tenggara : 116.445 kasus
(71%), diikuti regional regional Amerika : 36.178 kasus(16%), Afrika : 20.599 kasus (9%),
dan sisanya berada pada regional lain di dunia (4%). Pada awal tahun 2013, di dunia terdapat
189.018 kasus dengan perincian regional Asia Tenggara 125.167 kasus, regional Amerika :
33.926 kasus, dan regional Afrika 17.540 kasus, sedangkan sisanya berada di regional
lainnya.
Pada tahun 2012, di Indonesia tercatat 22.390 penderita kusta terdaftar. Jumlah kasus
baru sebanyak 18.994 penderita, 15.703 penderita menderita kusta tipe multibasiler, 2.131
mengalami cacat tingkat 2 serta 194 penderita di antaranya adalah kasus relaps. Menurut data
kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita mengalami reaksi kusta.
Reaksi kusta yang terjadi pada penderita kusta diharapkan dapat diketahui sedini
mungkin, sehingga penderita secepatnya mendapat penanganan dan kecacatan akibat reaksi
Presentasi kasus
Page 1
dapat dihindari. Menurut Depkes (2006), faktor pencetus reaksi kusta antara lain : penderita
dalam kondisi stres fisik, kehamilan, sesudah melahirkan, sesudah mendapat imunisasi,
penyakit malaria, kecacingan, karies gigi, penderita stres mental dan efek pemakaian obat
untuk kekebalan tubuh.
Banyaknya jumlah penderita kusta di Indonesia serta pentingnya penatalaksanaan saat reaksi
kusta menjadi landasan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini. Pengenalan dan
penatalaksanaan reaksi kusta yang adekuat diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas
dan kecacatan yang terjadi.
Presentasi kasus
Page 2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama
No. RM
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Status Marital
Alamat
Tanggal Pemeriksaan
: Ny. Y
: 901068
: Perempuan
: 18 tahun
: Islam
: SMA
: Pelajar
: Jawa
: Belum Menikah
: Jatisawit
: 15 Desember 2015
Presentasi kasus
Page 3
6. Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang pelajar kelas 3 SMA. Bertempat tinggal di lingkungan padat
penduduk. Pasien seorang pelajar yang aktif, suka berinteraksi pada semua orang dan
ikut organisasi di sekolah, namun kepercayaan diri pasien berkurang karena ada
kelainan pada jari kangan pasien.
2.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Composmentis
TTV
: TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu
: 36,3 C
Kepala / Leher : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pembesaran KGB
Thorax
regional (-/-)
: simetris, ikut gerak napas, suara napas vesikuler, ronkhi (-/-),
Abdomen
Ekstermitas
Genitalia
b. Status Dermatologis
Presentasi kasus
Page 4
Pada regio tangan kiri, terdapat plak hipopigmentasi, multipel, berukuran numular, bentuk
bulat dan oval, berbatas kurang jelas, dan persebarannya diskret.
Motorik
Pada pemeriksaan kekuatan otot dari keempat ekstremitas dalam batas normal.
Pembesaran saraf
Saraf Tepi
Hasil Pemeriksaan
N. Aurikularis Magnus
N. Ulnaris
N. Tibialis Posterior
N. Peroneus Lateralis
Komunis
2.5 Resume
Seorang perempuan usia 29 tahun datang ke poliklinik penyakit kulit dan kelamin
RSUD Arjawinangun pada tanggal 15 Desember 2015 dengan keluhan, timbul bercakbercak putih pada badan. Bercak pertama timbul di tangan sekitar 4 Tahun yang lalu,
bercak putih awalnya timbul kecil, semakin lama bercak putih tersebut semakin
meluas dan menyebar ke leher dan wajah. Terdapat kelaianan pada bagian daerah pada
tangan kanan yang mati rasa tidak bisa mengenali rasa raba maupun nyeri. Terdapat
kelainan bentuk jari tangan kanan yang semakin bengkok dan mengecil. Saat pertama
kali timbul keputihan di tangan pasien hanya membeli obat berupa salep di apotek
tanpa berbobat ke dokter. Namun keluhan tersebut semakin meyebar ke daerah tubuh
lainnya dan menyebabkan kelainan sensorik dan motorik tangannya.
Presentasi kasus
Page 5
2.9 Penatalaksanaan
Biopsi
2.10 Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad fungtionam
Quo ad sanationam
: Ad bonam.
: Dubia ad bonam.
: Dubia ad bonam.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Mycobacterium leprae merupakan bakteri tahan
asam penyebab penyakit kusta atau sering juga disebut dengan lepra. Berbentuk batang,
bakteri tahan asam dan tahan alcohol, bakteri gram positif, tidak berspora, tidak bergerak,
hidup didalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan.Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Bagian tubuh yang dingin merupakan predileksi seperti saluran nafas, testis, ruang anterior
mata, kulit terutama cuping telinga dan jari-jari.
Reaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu
interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah
tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
Presentasi kasus
Page 6
EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh
dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh
orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri
ternyata berbeda-beda. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir
diluar manusia . Belum ditemukan medium artifisial , mempersulit dalam mempelajari sifatsifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan
adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per
gram jaringan, penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita
yang mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar
keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung banyak
M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada
Presentasi kasus
Page 7
kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar
negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat
213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008
baru tercatat 249.0007. Di Indonesia, distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di
Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk
adalah 0,73.
3
ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan dalam media
artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um, tahan asam dan
alkohol serta Gram-positif. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media
buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.Masa
belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman
lain,yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 2 5 tahun.
M. Leprae merupakan parasit intraselular obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media
buatan.
Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
Presentasi kasus
Page 8
Dihydroxyphenylalanin).
M. Leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh
Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih yang
datar.Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-
sarafnya.
Pada lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar dengan
berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis dan bulu mata.
Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran
kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra tuberkuloid; jika
kaeadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa.
Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi reaksi
kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf tepi dan
kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata.Pengobatan yang diberikan
tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan kortikosteroid atau talidomid.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir
semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf
tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.Kemampuan untuk merasakan
sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan
Presentasi kasus
Page 9
saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya
sendiri.Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari
tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai.Karena itu penderita lepra menjadi tampak
mengerikan.
Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya.Kerusakan pada saluran udara di hidung
bisa menyebabkan hidung tersumbat.Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
4
FAKTOR RESIKO
Imunitas tubuh yang rendah. Telah disebutkan bahwa penyakit kusta dapat dikatakan
juga penyakit imunologik. Artinya daya tahan sangat berpengaruh dalam manifestasi
penyakit ini. Saat daya tahan tubuh penderita turun dan saat itu juga terpajan bakteri
M. leprae maka orang tersebut akan mudah terserang penyakit ini. Penggunaan obat
obat immunosuoresor juga dapat menjadi salah satu penyebab dari penyakit ini
Usia. Dapat menyerang semua umur tapi sangat rentan terjadi pada anak anak.
Kebersihan. Berganti ganti handuk dan pakaian dengan penderita dapat pula
menyebabkan seseorang tertular penyakit ini. Seseorang yang kurang menjaga
kebersihan kulitnya misalnya jarang mandi juga dapat tertular penyakit ini.
Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan
seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.Selain manusia, hewan yang dapat
tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat bukti bahwa
tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor
genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu.Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta
yang berbeda pada setiap individu.Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor
penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang
yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi
Presentasi kasus
Page 10
untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina
hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa
hidung.Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah organisme
di dermis kulit.Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit.Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan
asam di epiteldeskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis.Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratinsuperfisial kulit di penderita kusta
lepromatosa.Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar
melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada 1898.Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga
10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.Davey dan Rees mengindikasi
bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per
hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini
diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya
bakteri.Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit
yang ditekan sistem imunnya.Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan
pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.Banyak ilmuwan yang
mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi
gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat
disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi maksimum dilaporkan
selama 30 tahun.Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik.Secara umum,
telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
6
PATOGENESIS
Lepra merupakan
penyakit
infeksius
kronik
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium leprae. M. leprae memiliki tiga target utama dalam tubuh manusia:
jaringan saraf perifer (sel Schwann), pembuluh darah kecil (sel endotel dan perisit), serta
Presentasi kasus
Page 11
system monosit-makrofag. Basil tersebut dapat tetap bertahan hidup dan melakukan
replikasi di dalam sel Schwann dan selanjutnya dapat pula melakukan penetrasi ke
jaringan perineural serta dapat pula berkembang dalam sel endotel dan perisit untuk
kemudian dapat menyebabkan bakteremi.
Banyak percobaan dan penelitian telah dilakukan untuk menerangkan spektrum
kliniko-patologi dari lepra. Faktor resistensi alami dan kelemahan istem imunitas selular
merupakan salah satu teori yang dipostulasikan secara umum.
Penyakit ini dapat menimbulkan bipolaritas penyakit berdasarkan reaksi mitsuda
yang terjadi pada manusia yang terinfeksi. Pada reaksi mitsuda positif, kemungkinan
terjadi resistensi dengan sedikit atau bahkan tanpa proliferasi basiler dan dapat
menimbulkan granuloma epiteloid yang dimediasi oleh mekanisme imunitas seluler.
Pada manusia dengan reaksi mitsuda negative terjadi proliferasi basiler dan terbentuk
granuloma lepromatosa atau virchowsitik. Bipolaritas tersebut terjadi karena adanya dua
respon monosit dan makrofag terhadap M. leprae.
Pada kasus yang terletak pada hemispher tuberkuloid dengan hasil mitsuda
positif, fagositosis terhadap M. leprae mampu menimbulkan lisis bakteri secara utuh,
makrofag dapat bertransformasi menjadi Antigen Presenting Cells (APC) dengan
presentasi lengkap antigen basil di permukaan sel bersama MHC II sehingga dapat
menginduksi sintesis IL-12 yang kemudian dapat merangsang Limfosit T CD4+ (Th-1)
untuk memproduksi IL-2 dan IFN-gamma. Berbagai sitokin tersebut juga dapat
mengaktivasi makrofag lain dan membantu proses lisis bakteri hingga terbentuk sel
epiteloid dan sel langhans. Secara structural, sitoplasma dari sel epiteloid menunjukkan
Presentasi kasus
Page 12
lisosom dan apparatus golgi yang normal, degenerasi mitokondria, dengan tanpa struktur
gabus (Virchowsit). Perbesaran mitokondria menunjukkan aktivitas metabolic yang
tinggi dari makrofag tersebut.Limfosit T CD4+ dapat berperan melalui produksi IL-2
dan IFN-gamma. Bersama dengan MHC I, APC yang sama dapat merangsang limfosit T
CD8+ walaupun tidak sebesar efek pada lepromatos lepra.
Pada tipe lain dari lepra, hemisphere lepromatosa dengan hasil mitsuda negative
terjadi overproduksi radikal bebas sehingga menyebabkan efek inhibisi terhadap
fosfolipase lisosom dan menimbulkan bentukan sel lepra (Virchowsit) karena fosfolipid
basil yang persisten. Hal tersebut menyebabkan hilangnya stimulasi imunologis (APC)
sehingga imunitas seluler tubuh tak terstimulasi. Pada tahapan lanjut dari lepromatos
lepra, makrofag lain akan memfagosit sel lepra (virchowsit) dan menimbulkan ekspresi
dari MHC II, pelepasan IL-4 akan merangsang imunitas humoral (CD4+ Th-2 dan
Limfosit T CD8+, limfosit B, IL-1, sintesis TNF alfa) dengan produksi antibody antilepra dan memfasilitasi reaksi lepra tipe 2 (ENL) dan tipe 3 (fenomena Lucio).
Presentasi kasus
Page 13
Page 14
matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya
ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu satunya yang diekspresikan oleh DC
matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1 heterodimer dan
diasumsikan melalui
Lepraeakan berinteraksi
dengan
antibodi
Presentasi kasus
Page 15
berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim
lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.
7
KLASIFIKASI KUSTA
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit
lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
TI: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline
bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
LI: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Klasifikasi
TT
Madrid
Tuberkuloid
WHO
Pausibasilar (PB)
Multibasilar (MB)
Puskesmas
PB
MB
BT
BB
BL
Borderline
LL
Lepromatosa
Presentasi kasus
Page 16
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I danTT menurut klasifikasi Madrid.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan
Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetap diobati sebagai MB apapun hasil
Presentasi kasus
Page 17
MANIFESTASI KLINIS
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru
muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala
dan tanda yang muncul tergantung pada respon imun penderita.Jenis lepra menentukan
prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan antibiotic yang
diberikan.
Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih
yang datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah
merusak saraf-sarafnya.
Lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar
dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, seperti alis
dan
Page 18
Presentasi kasus
Page 19
bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa Dimulai
makula, bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula,
nodul serta plakaL awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan
gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf
yang dapat teraba pada tempat prediteksi.Kelainan saraf ringan.Hasil
pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks
bakteriologis 4+ sampai 5+.Tes lepromin negatif.
Presentasi kasus
Page 20
Presentasi kasus
Page 21
dan
kaki
terkulai.Karena
itu
penderita
lepra
menjadi
tampak
Page 22
Page 23
pada 3 area umum: lesi kutaneus, neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai
jumlah dan distribusi lesi pada kulit.Makula hipopigmentasi dengan tepian yang
menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali muncul.Sering juga berupa
plak.Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi hipoesthetik.Lesi pada pantat sering
sebagai indikasi tipe borderline.
Berkenaan dengan neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia ( sentuhan
ringan, pinprick, suhu dan anhidrosis), terutama cabang saraf perifer dan saraf kutaneus.
Saraf yang paling sering terkena adalah saraf tibia posterior.Saraf lainnya yang pada
umumnya mengalami kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan saraf
facial.Disamping kehilangan sensoris, pasien dapat juga mengalami kelemahan dan
kehilangan gerak.
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra:
Neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
Mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
Neuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:
Anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang
menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
kerusakan motoris dan sensoris
Deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul
kelemahan otot)
Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia
dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek
atau diregangkan
lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya
sensoris
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi:
Reaksi reversal onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya
lesi-lesi kulit yang baru
reaksi ENL nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
mata merah
Presentasi kasus
Page 24
nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.
Gejala-gejala kerusakan saraf :
N. ulnaris
anestesia
pada
ujung
jari
anterior
N. radialis
lateral
- anestesia dorsum manus serta ujung
proksimal jari telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
-
N. poplitea lateralis
tak
mampu
ekstensi
jari-jari
atau
pergelangan tangan
- anestesia tungkai bawah, bagian lateral
dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
N. tibialis posterior
N. Fasialis
arkus pedis
- cabang
zigomatik
dan
temporal
menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
N. Trigeminus
Presentasi kasus
dan
konjugtiva mata
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralysis N. orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus
lainnya.Secara
yang
selanjutnya
sendiri-sendiri
menyebabkan
atau
bergabung
kerusakan
akhirnya
bagian-bagian
dapat
mata
menyebabkan
kebutaan.Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.Pada tipe
Lepromatosa dapat timbul Ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan
oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian
atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan. Kerusakan pada mata lebih sering
terlihat dengan adanya lesi fasial.Lagophthalmos (ketidakmampuan menutup mata),
ditemukan terakhir pada orang dengan LL, hasil keterlibatan dari zigomatik dan cabangcabang temporal dari saraf fasial (nervus cranialis VII).Keterlibatan dari cabang
ophthalmic dari saraf trigeminal (nervus kranialis V) dapat menyebabkan reflek kornea
berkurang, mata kering, dan kurang berkedip.
9
DIAGNOSIS KRITERIA
Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis
dansymptom.Hal ini mudah diamati dan diperoleh oleh petugas kesehatan sesudah
latihan dalam periode yang singkat.Dalam prakteknya, seringnya orang yang memiliki
beberapa keluhan datang sendiri ke pusat kesehatan. Hanya pada beberapa contoh kasus
yang jarang memerlukan laboratorium dan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk
menyatakan diagnose lepra. Dalam daerah atau negara endemis, seorang individu harus
dicurigai mengidap lepra jika dia menunjukkan satu dari tanda-tanda kardinal berikut:
Lesi kulit pada tipe karakteristik lepra dengan penurunan atau kehilangan sensasi
(anestesi), penebalan saraf perifer
Presentasi kasus
Page 26
Ditemukan M. Lepra biasanya pada kulit. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau
multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit dibandingkan kulit normal
yang mengelilingi.
Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna tembaga.Beberapa variasi lesi
kulit mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau
nodul.Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin
menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal,
terutama cabang saraf perifer merupakan ciri-ciri lepra.Saraf yang menebal biasanya
disertai oleh tanda-tanda lain sebagai hasil dari kerusakan saraf.Ini dapat mengakibatkan
berkurangnya sensasi pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf
yang terserang.Pada ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa
berkurangnya sensori dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi
lepra. Smear pada kulit dengan hasil positif: pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk
batang, basil lepra tercat merah, dimana merupakan diagnostic dari penyakit, dapat
terlihat pada sediaan yang diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah
mikroskop sesudah mengalami pengecatan yang tepat.
Seseorang
yang
menunjukkan
kelainan
kulit
atau
dengan
symptom
yangmengarah kepada kerusakan saraf, dimana pada dirinya tanda kardinal tidak
didapatkan atau diragukan sebaiknya disebut suspek kasus dalam ketidak hadiran dari
diagnosis alternative lain yang dengan segera dapat diterima.Individu dengan hal
tersebut sebaiknya diberitahu tentang fakta-fakta dasar dari lepra dan disarankan untuk
kembali ke pusat kesehatan jika gejala tetap ada selama lebih dari enam bulan atau jika
ditemukan gejala makin memburuk. Suspek kasus dapat dikirim ke klinik rujukan
dengan fasilitas yang lebih baik untuk diagnose.
Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk
menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni:
1
2
3
kulit (skin smear).Dalam klasifikasi yang berdasar pada kerokan kulit, pasien yang
menunjukkan kerokan negative pada segala tempat dikelompokkan sebagai paucibasiler
lepra (PB), sedang pasien yang menunjukkan hasil positif dikelompokkan dalam
multibasiler lepra (MB). Meskipun demikian, pada prakteknya, sebagian besar programPresentasi kasus
Page 27
adalah eritema
atau
dan hipopigmentasi di
Page 28
Anamnesis
-
Keluhan pasien
Inspeksi
Dengan penerangan yang baik.lesi kulit harus diperhatikan dan jugakerusakan kulit.
Palpasi
-
Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan
kaki
Kelainan saraf :
Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. Aurikularis magnus, N.
ulnaris, dan N. peroneus. Petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan
saraf.harus diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu
saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian
rupa jangan sampai menyakiti atau pasien mendapatkesan kurang baik.
Pemeriksaan saraf :
Presentasi kasus
Page 29
N. aurikularis magnus :
-
N. ulnaris :
-
Tangan yang dlperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di
atas satu tangan pemeriksa.
-Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi
ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak.
N. paroneus lateralis :
-
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitclum fibulae, biasanya sedikit ke posterior.
Bila saraf yang dicari tensentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan
seperti terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut.
Pada keadaan neuritis akut sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri
yang hebat.
Tes sensoris .
Gunakan kapas.jarum. serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
Presentasi kasus
Page 30
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit.Pasien yang
diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan.Terlebih dahulu petugas
menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan
kapas.ia harus rnenunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta
menutup rnatanya, kalau perlu matanya ditiutup dengan sepotong kain/karton.
Lesi di kulit dan bagian kulit lain yang dicurigai, perlu diperiksa sensibilitasnya.
Harus diperiksa sensibilitas kulit yang sehat dan kulit yang tersangka diserang
kusta.Bercak-bercak di kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya, jangan di
pinggimya.
Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum.Petugas menusuk kulit dengan ujung
jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus
mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
Rasa suhu
-
mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk
memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.
bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah
menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disirnpulkan
bahwa sensasi suhu di daerah terssbut terganggu.
b Tes otonom
Presentasi kasus
Page 31
Tes pilocarpin
-
Tes motoris
Voluntary muscle test (VMT) Cara memeriksa
1
Bandingkan selalu kaki dan tangan kanan pasien dengan yang sebelah kiri.
Pemeriksaan Laboratorium
1
2
3
4
5
Presentasi kasus
Page 32
Pemeriksaan Bakterioskopik
Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL
NEELSEN.Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung M. leprae.
Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat
tersebut, dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling eritomatosa dan paling
infiltratif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular
bentuk mati. Bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembangbiak dan dapat
menularkan ke orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (I.B) dengan nilai dari 0 sampai 6+
menurut Ridley.0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
2+
1-10 dalam 10 LP
3+
1-10 dalam 1 LP
4+
11-100 dalam 1 LP
5+
101-1000 dalam 1 LP
6+
>1000 dalam 1 LP
Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada Tipe
Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati
Presentasi kasus
Page 33
sel virchow dengan banyak basil. Pada Tipe Borderline terdapat campuran unsur3
unsur tersebut.
Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra,
tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae.0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari (Reaksi
Fernandez), atau 3-4 minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif, bila
terdapat indurasi dan erytema, yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap
M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti Mantoux test (PPD) pada M.
tuberculosis.
Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :
0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+1 : Papul berdiameter 4-6 mm
+2 : Papul berdiameter 7-10 mm +3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau
papul dengan ulserasi.
Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang bernilai
prognosis. Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi mitsuda memiliki
kemungkinan klinis lebih baik daripada histologi dari lesi kulit lepra itu sendiri.
Tes Serologi
1 Pemeriksaan serologi, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium
2
(PAA).
Tes serologi yang penting adalah FLA-ABS test dan PGL-1 ELISA, dimana sudah
disederhanakan lebih lanjut sebagai dot ELISA dan dipstick ELISA. Estimasi dari
Presentasi kasus
Page 34
reaksi positif palsu, terutama pada negara tropis, menurunkan nilai prediksi positif
dari aktivitas penyakit ini.
Presentasi kasus
Page 35
SIFAT
1
PB
-
Lesi Kulit
(Makula datar,
papul yang
meninggi, nodus)
MB
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang
> 5 lesi
Distribusi
lebih simetris
Hilangnya
jelas
sensasi
kurang jelas
Kerusakan Saraf
(menyebabkan
Banyak
cabang saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang
terkena)
10 KOMPLIKASI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan bersifat intraseluler
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta
merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi,
mutilasi, dan deformitas.
Defomitas pada kusta ini sesuai dengan patofisiologinya, dan dibagi dalam
deformitas primer dan deformitas sekunder.Deformitas primer sebagai akibat langsung
oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendasak dan
merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit, traktus mukosa respiratorius atas, tulang jarijari, dan wajah.Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya
deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Kerusakan
mata
pada
kusta
dapat
primer
dan
sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
Presentasi kasus
Page 36
yang
selanjutnya
mengakibatkan
kerusakan
bagian-bagian
mata
Iridosiklitis
Neuritis Akut
Limfadenitis
Arthritis
Orkitis, dan
Nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.
M. lepare menyerang syaraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan
urat syaraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi syaraf tepi : Sensorik, motorik, dan
otonom.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena
kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan Reaksi
Lepra.
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anestesi).Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka.
Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek
kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat
menimbulkan infeksi mata dan akhirnya kebutaan.
Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) oleh karena tidak dipergunakan.Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok (claw hand/claw toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada
sendinya (kontraktur).Bila terjadi kelemahan/kelumpuhan pada otot kelopak mata maka
kelopak mata tidak dapat dirapatkan(lagophtalmos).
Kerusakan Fungsi Otonom
Presentasi kasus
Page 37
Reaksi Kusta
Reaksi kusta : suatu keadaan gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta
yang terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yang diduga disebabkan hipersensitivitas
akut terhadap Ag basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah
ada. Ada dua tipe reaksi berdasarkan hipersensitivitas yang menyebabkannya ;
Hipersensitivitas terhadap antigen m.leprae karena ketidakseimbangan imunologis:
1
Reaksi tipe 1
Hipersensitivitas tipe IV, antigen m.leprae dgn T limfosit Karena perubahan cepat dr
imunitas seluler. Timbul pd kusta tipe borderline ( BT, BB, BL ). Gejala klinis lesi
macula eritematus,menebal,panas dan nyeri.
Reaksi tipe 2
Reaksi antigen-antibodi yg melibatkan komplemen. Terjadi pd 50% tipe LL dan
25% tipe BL. Gejala utama Eritema Nodusum Leprosum (ENL) nodul kemerahan
yg nyeri
Fenomena Lucio
Merupakan reaksi kusta yang sangat berat, terjadi pada kusta tipe lepromatosa non
nodular difus.Terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah.
Klinis berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tak teratur dan
nyeri.Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan
ulserasi yang nyeri.Lesi lambat menyembuh dan terbentuk jaringan parut.
Histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik, edema, proliferasi
endotelial pembuluh darah dan banyak basil M. Leprae di endotel kapiler.
Presentasi kasus
Page 38
11 PENATALAKSANAAN
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan
untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT)
untuk kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk ,
mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat
pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan
antara lain: efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan
penerapannya.
a
perifer,
sindrom
DDS,
nekrolisis
epidermal
toksik,
hepatitis,
Rifampicin
Presentasi kasus
Page 39
Minosiklin
Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari
klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek
sampingnya
adalah
pewarnaan
gigi
bayi
dan
anak-anak,
kadang-kadang
Klaritromicin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan
diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.
Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat
bakterioskopis harus negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan
dilanjutkan sampai bakterioskopis negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan
secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan
Presentasi kasus
Page 40
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap egative
dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control (RFC).
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan
lesi 2-5 buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar
pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa
pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan
pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi
tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja
langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak
Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati
dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf
diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
Dewasa
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
600 mg
400 mg
100 mg
(50-70 kg)
Presentasi kasus
Page 41
Anak
300 mg
200 mg
50 mg
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu
berhenti minum obat.
Tabel Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Dewasa
Rifampicin
Dapson
600 mg/bulan
Diminum
di
depan
petugas kesehatan
Anak-anak
450 mg/bulan
(10-14 th)
Diminum
50 mg/hari diminum di
rumah
di
depan
petugas kesehatan
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah
RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun
Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Rifampicin
Dewasa
600
diminum
Dapson
Lamprene
depandi rumah
petugas kesehatan
diminum
petugas
dilanjutkan
mg/bulan
di
depan
kesehatan
dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Presentasi kasus
Page 42
Anak-anak
450
diminum
(10-14 th)
depandi rumah
petugas
diminum
petugas
mg/bulan
di
depan
kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang
sehari
diminum di rumah
Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita
MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga
hanya bisa mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi
klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan
dan lagi selama 8 bulan.
Pengobatan Reaksi Kusta
a
Pengobatan ENL
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan
dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan pada
penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat
perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu dapat
diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap.
Thalidomide merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek teratogenik.
Pada saat ini , obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin
dengan dosis 200-300mg/ hari dapat dipakai untuk pengobatan ENL. Klofazimin
dapat dipakai untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid.
Presentasi kasus
Page 43
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan
berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan
kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5
hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat
anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan
dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang
diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon
jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita
(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan
(tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
Gambar : Regimen MDT
Pencegahan Cacat
Presentasi kasus
Page 44
Presentasi kasus
Page 45
Tingkat 2
12 PROGNOSIS
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.
Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang
pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien
menurun.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen
merupakan
penyakit
granulomatosa
kronik
yang
disebabkan
oleh
infeksi
Mycobacterium leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di
Norwegia, bakteri ini berukuran 3-8 m x 0,2-0,5 m, bersifat tahan asam, berbentuk
batang, tidak bergerak dan berspora, serta merupakan bakteri Gram positif. M. leprae
dapat berkembang biak dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit, namun hingga saat
ini belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.
Presentasi kasus
Page 46
pemeriksaan sistem saraf tepi dengan pemeriksaan funsi sensorik pada rasa raba, nyeri
ditemukan hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal dan tidak terdapat pembesaran
saraf pada nerves ulnaris dextra pada lengan kanan. Pada pemeriksaan penunjang
dengan pemeriksaan BTA ditemukan bakteri index dan morfologi index
Adanya gejala keterlibatan saraf dengan gangguan sesibilitas, munculnya plak,
makula, dan pemeriksaan BTA dengan hasil maka diagnosis kerja sementara adalah
Morbus Hansen.
DAFTAR PUSTAKA
Smith
D.S.
Leprosy.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/220455-
Chaitra
dan
Bhat
R.M.
Leprosy:
An
overview
of
pathophysiology.
Page 47
Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67
WHO. Leprosy elimination: Classification of leprosy.
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html diakses pada 22 Desember 2015
Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at
http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm. Diakseds pada
22 Desember 2015
WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html diakses pada 22 Desember 2015
Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall diakses pada 22
Desember 2015
Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-126
Presentasi kasus
Page 48