Anda di halaman 1dari 26

BAB I

OVERVIEW
1.1. Skenario Kasus
Seorang pria berusia 55 tahun dirujuk ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut dengan keluhan gusi
merah dan sakit yang diderita sejak sekitar 1 tahun yang lalu, sudah diobati berbagai macam obat kumur
tetapi tidak pernah sembuh. Pasien sudah pernah dirawat pembersihan karang gigi beberapa kali tetapi
gusi tetap tidak sembuh juga. Pasien merasa berat badan menurun karena kesulitan/sakit saat makan
terutama makan makanan yang panas dan pedas. Pasien menderita hipertensi sejak sekitar dari 10 tahun
yang lalu dan rutin mengkonsumsi kaptopril setiap hari.
Pada pemeriksaan ekstraoral tidak ditemukan keluhan. Pada pemeriksaan intraoral ditemukan lesi erosif
disertai lesi putih keratotik pada mukosa bukal kiri dan kanan. Gingiva tampak eritem hampir seluruh
regio rahang atas dan bawah. Lesi putih keratotik juga tampak pada dorsal lidah.

Anamnesis: Seorang pria berusia 55 tahun dirujuk ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut dengan keluhan gusi
merah dan sakit yang diderita sejak sekitar 1 tahun yang lalu, sudah diobati berbagai macam
obat kumur tetapi tidak pernah sembuh. Pasien sudah pernah dirawat pembersihan karang
gigi beberapa kali tetapi gusi tetap tidak sembuh juga. Pasien merasa berat badan menurun
karena kesulitan/sakit saat makan terutama makan makanan yang panas dan pedas.
Riwayat kesehatan: Pasien menderita hipertensi sejak sekitar dari 10 tahun yang lalu dan rutin
mengkonsumsi kaptopril setiap hari.
Tanda dan gejala klinis:
Umum: Berat badan menurun

Pemeriksaan ekstra oral: tidak ada kelainan


Pemeriksaan intra oral :

Mukosa bukal kiri dan kanan: lesi erosif disertai lesi putih keratotik
Dorsum lidah: lesi putih keratotik
Gingiva: eritem hampir seluruh regio rahang atas dan rahang bawah

1.2 Diagnosa dan Diagnosa Banding


Diagnosis : Oral Lichen Planus
Diagnosis banding : Oral Lichenoid Reactions, Leukoplakia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada kasus di atas,

dari anamnesa, pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan intra oral dan

pemeriksaan penunjang, dapat ditegakaan diagnosa bahwa pasien menderita Oral Linchen Plannus (OLP),
dengan diagnosa banding Oral Lichenoid Reactions, Leukoplakia.
Penatalaksanaa OLP bergantung pada gejala, perluasan dari keterlibatan oral dan ekstraoral secara
klinis, riwayat medis dan faktor lainnya. Pada kasus pasien dengan linckenoid, semua faktor
presipitasinya harus di eliminasi. Pasien dengan OLP retikular dan asimptomatik lainnya, umumnya tidak
membutuhkan perawatan aktif. Luka mekanis atau iritan seperti tepi restorasi atau gigi tiruan yang tidak
nyaman harus diberi perhatian serius dan perlu dibuat program untuk mengoptimlkan higienitas oral,
terutama pada pasien OLP gingival.
Pasien dengan lesi asimptomatik juga membutuhkan perawatan, biasanya dengan obat-obatan,
tetapi terkadang juga membutuhkan terapi bedah.
Obat-obatan yang dipilih biasanya golongan corticosteroid, baik topikal maupun sistemik, agen
imunosupresan seperti retinoid.
2.1 Corticosteroid
2.1.1. Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar
adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar
hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan
protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan bagian korteks
terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang
lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek
utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini
adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik,
misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap keseimbangan
air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap
3

penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam
terapi. Prototip dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai
khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak
pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu
besar.
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik
dan kortikosteroid topikal.
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma. Korteks
adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan enzim diubah lebih lanjut
menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Sebagian
besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan
basal maupun setelah pemberian ACTH.
2.1.2.

Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon

memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi
dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan
berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi
sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar,
hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel
limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik
terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga disebut
hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolism perantara, fungsi
kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem
saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam
sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol
setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi
normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-a 2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan
sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika
kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah
dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar
dibandingkan CBG.1

Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat
meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat
terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin
sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan
reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi
kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan
protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam
tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat
radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena
inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas
fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi
kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang
besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya
terhadap cytokine dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya.
Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit
kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi
yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh
glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi
neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basophil dalam sirkulasi tersebut
berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam.
Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum
tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada
tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya.
Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap
makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh
mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan
activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi
inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor.
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan sepanjang
penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau struktur-struktur yang
bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi
fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan
5

berhubungan dengan jaringan konektif vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis
(pembentukan jaringan granulasi yang lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang
setempat, anti-proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam
inti sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami
perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan sel-sel
yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses
radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang
dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Efektifitas
kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid
ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan pada
manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara
topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di
kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topical mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun
1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai
adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion,
salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah
pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis larutan hidrokortison yang diberikan pada
lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison
diabsorpsi 0,14kali yang melalui daerah telapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5
kali yang melalui tengkorak kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui
kulit scrotum. Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ;
dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk
penetrasi.
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang terlibat dalam
efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan
pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan kortikosteroid topikal pada terapi
urtikaria pigmentosa. Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang
dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi
pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang turut
memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi
membran lisosom dari sel-sel fagosit.

2.1.3

Klasifikasi
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi

sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan
glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya. Sediaan kortikosteroid sistemik dapat
dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan
potensi mineralokortikoid.

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan deksametason tidak
mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid mempunyai efek
glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling lemah sampai
yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan
waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat
yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang
terjadi. Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi, antiproliferatif,
immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian

superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini
biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai
suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen. Kombinasi ini digunakan untuk membagi
kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan besar, diantaranya Golongan I yang paling kuat daya antiinflamasi dan antimitotiknya (super poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).

2.1.4 Penggunaan Klinik


Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu
penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif terhadap
penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai
kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan
subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik
dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya
pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai dengan harapan
agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya. Dermatosis
yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus eritematousus diskoid, psoriasis di telapak
tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken
planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison
1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid
diberikan secara sistemik.
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah prednisone karena
telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena
prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Kortikosteroid yang memberi banyak efek
mineralkortikoid jangan dipakai pada pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat
dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan
kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah
dapat menelan diganti dengan tablet prednison.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap
pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang singkat. Sedangkan
pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan
fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya
masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta
sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih
tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga
penetrasi steroid topikal meningkat.
Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder karena proses penuaan.
Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang
ketat. Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu atau sesuai
10

oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering digunakan steroid untuk
mempercepat kematangan paru-paru janin (standar pelayanan).
Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan
menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek
pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit
memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu
lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan hubungan yang kecil
tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan bimbing sumbing. Kemungkinannya
1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate saat penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid
sistemik yang biasa digunakan pada saat kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk
topikal biasa digunakan hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan
kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid
topical diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata dosis yang dapat
menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis dibawah 30 mg/hari tidak bersifat
buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang
menggunakan pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental
sedangkan 80% tidak.
2.1.5

Dosis dan Mekanisme Pemberian


Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan

harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan yaitu jenis penyakit kulit,
jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu stadium penyakit, luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan
lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur penderita.
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep (ointments) ialah
bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar
biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk
pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung pelembab. Selain itu juga baik untuk
pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum
korneum sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air.
Krim memiliki komposisi yang bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi
berbeda pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan
secara kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan bahan
pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas
11

campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion mirip
dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah
menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan
propylene glycol. Gel komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit.
Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi
berguna pada pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.2,6 Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari
sampai penyakit tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah
menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang berupa
toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari
efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah
dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.
Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :
1. Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu, sebaiknya jangan lebih
lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari golongan sedang dan bila
perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.
3. Jangan menyangka bahwa kortikosteroid topikal adalah obat mujarab (panacea) untuk semua
dermatosis. Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai kortikosteroid poten
karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis. Tinea dan scabies incognito
adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak khas disebabkan pemakaian
kortikosteroid.
Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular, intravena.
Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana
kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan
adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang. Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari
atau selang sehari. Initial dose yang digunakan untuk mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga
beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa
tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk
meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan
balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah
dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada
malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne
maupun hirsustisme.
12

Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami perbaikan
dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami eksaaserbasi, tidak terjadi
supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal,
penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari dan
kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam
ringan yang jaranng melebihi 39C.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu dilakukan
penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi
adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti
dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal
kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar
kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari
bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian obat.
Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya
pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan
berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.
Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman, tidak bersifat mutlak
karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika
setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.
2.1.6. Monitor
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk mengurangi
potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada
penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang
terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika
dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas
tulang spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau dualenergy x ray absorptiometry (DEXA).
Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi diantaranya
menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan tidur dan efek
psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan terjadinya
efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu dimonitor.
Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan regular.
13

Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut
pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma.
Berikut hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid jangka panjang.

2.1.7 Efek Samping


Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas.
Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak,
maka dalam penggunaannya dibatasi. Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan
wanita saat menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan, buffalo
hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura, dermatosis akneformis
dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri kepala, psedudotumor serebri, impotensi,
hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada anak
memperlambat pertumbuhan.
Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik
Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang serius
jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:

Gangguan tidur
Meningkatkan nafsu makan
Meningkatkan berat badan
Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energy jarang tetapi lebih
mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari kortikosteroids termasuk: mania,
kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis aseptic yang pinggul.

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama

14

Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka kelenjar
adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di bawah otakhypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids
dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau trauma dapat

mengakibatkan sakit parah.


Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang yang
kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah paru-paru.
Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan
sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan
lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari pasien dengan

kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.


Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika steroids

akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).


Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
Kenaikan lemak darah (trigliserida).
Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan dan
gagal jantung.

Kegoyahan dan tremor.


Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak

subcapsular posterior.
Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan,

delirium atau depresi.


Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya

tuberkulosis).
Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.
Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri otot
dan sendi dan depresi.

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping, hendaknya diperiksa
tekanan darah dan berat badan (seminggu sekali) terutama pada usia diatas 40 tahun dan pemeriksaan
laboratorium Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, L.E.D, urin lengkap kadar Na dan K dalam darah, gula
darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah ada tuberkulosis paru (3bulan sekali).
Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila :
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan
sangat oklusif.
15

Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan sifat potensiasinya, tetapi belum
dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari potensi, kecuali mungkin merujuk kepada
supresi dari adrenokortikal sistemik. Dengan ini efek samping hanya bias dielakkan sama ada dengan
bergantung pada steroid yang lebih lemah atau mengetahui dengan pasti tentang cara penggunaan, kapan,
dan dimana harus digunakan jika menggunakan yang lebih paten. Secara umum efek samping dari
kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis,
hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral.
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat yaitu :
Efek Epidermal
Ini termasuk :
1.

Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal,


suatupenurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi
dermoepidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara
konkomitan.
Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini

2.

muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan.


Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini menyebabkan
terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika
terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk
menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata,
yang terlihat seperti usia kulit prematur.
Efek Vaskular
Efek ini termasuk :
1.

Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan vasokontriksi pada

2.

pembuluh darah yang kecil di superfisial.


Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang kecil
mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan
kadang-kadang pustulasi.
Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam kortikosteroid. Pada

pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya pada

16

pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadi efek
tersebut, yaitu :

Diet tinggi protein dan rendah garam


Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi K
Obat anabolik
ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah ACTH sintetik yaitu
synacthen depot sebanyak 1 mg (qoo IU). Pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat

diberikan seminggu sekali


Antibiotik perlu diberikan jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
Antasida

Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang sistemik,
herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan
kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs.
Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberculosis aktif,
gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified derivative, glaucoma, depresi berat,
diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan lichen planus oral belum terdapat terapi definitif atau kuratif. Tujuan terapi
lichen planus oral adalah mengurangi tingkat rekurensi dan keparahan lesi simtomatik oleh karena lichen
planus oral bersifat kronis dengan periode remisi dan relapse. Algoritma penatalaksaan lichen plabus oral
dapat dilihat pada skema 4.1.

17

Skema 4.1. Algoritma penatalaksanaan lichen planus oral (Bagan et al., 2012; Lodi et al., 2012)
Perawatan Linchen Planus bergantung pada gejala, perluasan dari keterlibatan oral dan ekstraoral secara
klinis, riwayat medis dan factor lainnya. Pada kasus pasien dengan reaksi likenoid, factor presipitasinya
harus dieliminasi. Pasien dengan Oral Linchen Planusretikular dan asimptomatik lainnya, umumnya tidak
membutuhkan perawatan aktif. Luka mekanis atau iritasn seperti tepi restorasi atau gigi tiruan yang tidak
nyaman harus diberi perhatian yang serius dan perlu dibuat program untuk mengoptimalkan hiegenitas
oral, terutama pada pasien linchen planus pada gingival.
Pasien dengan lesi simptomatik juga membutuhkan perawatan, biasanya dengan obat terkadang
dibutuhkan terapi bedah.
3.2 Terapi Farmakologis
Untuk keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid, beberapa faktor kunci yang harus
dipertimbangkan adalah diagnosis yang akurat, memilih obat yang benar, mengingat potensi, jenis
sediaan, frekuensi penggunaan obat, durasi pengobatan, efek samping, dan profil pasien yang tepat.
Beberapa jenis penyakit yang responsive terhadap kosticosteroid dapat dilihat pada table dibawah ini :

18

Perawatan dengan agen topical lebih diutamakan untuk mencegah efek samping. Namun, agen
sistemik mungkin dibutuhkan apabila lesi telah meluas, atau terjadi penyakit yang bersifat recalcitrant.
Obat untuk Oral Linchen Planus (OLP) umumnya bersifat imunosupresif dan beberapa dikembangkan
khusus untuk penyakit oral, akan tetapi kurang adanya studi yang mencukupi mengenai penggunaannya.
Pasien harus diberi peringatan mengenai pentingnya mengikuti instruksi obat yangterdapat tulisan,
hanya untuk pemakaian luar.
3.2.1

Kortikosteroid Topikal (KT)


Salep lebih nyaman digunakan pada lesi hiperkeratotik yangkering dan tebal. Salep lebih

meningkat kan potensi dibandingkan dengan kemasan krim, karena salep bersifat lebih oklusif. Salep
tidak dianjurkan pada daerah intertriginosa dan pada daerah berambut karena dapat menimbulkan
maserasi dan folikulitis. Krim lebih disukai terutama jika digunakan pada bagian tubuh yang terbuka,
karena tidak tampak berkilat setelah dioleskan. Selain nyaman, krim tidak iritatif, juga dapat digunakan
pada lesi sedikit basah atau lembap dan di daerah intertriginosa. Krim lebih baik untuk efeknya yang
nonoklusif dan cepat kering. Lotion dan gel paling sedikit berminyak dan oklusif dari semua sediaan
kortikosteroid. Konsistensi lotion lebih ringan, mudah diaplikasikan dan nyaman dipakai di daerah
berambut, misalnya kulit kepala. Vehikulum beralkohol (tingtura) dapat mengeringkan lesi eksudatif,
tetapi terkadang ada rasa seperti tersengat.
Kortikosteroid topical dengan potensi sedang seperti triamcinolone, steroid poten yang
terfluorinasi seperti fluocinolone acetonide dan fluocinonide, dan steroid superpoten terhalohenasi seperti
clobetasol, terbukti efektif pada kebanyakan pasien. Eliksir seperti dexamethasone, triamcinolone dan
clobetasol dapat digunakan sebagai obat kumur pada pasiendengan keterlibatan oral yang difus/menyebar
19

atau pada kondisi dimana sulit untuk mengaplikasikan medikasi pada bagian tertentu di dalam mulut.
Tidak terdapat data yang definitive untuk membuktikan steroid topical dengan bahan adhesive lebih
efektif dibanding untuk preparasi lainnya, walaupun telah digunakan secara luas.
Pasien harus diinstruksikan untuk mengaplikasikan steroid (ointment, spray, obat kumur, atau
bentuk lain) beberapa kali dalam sehari untuk menjaga agar obat tetap berkontak dengan mukosa selama
beberapa menit, dan pasien harus menunda makan atau minum selama satu jam setelahnya.
Untuk menghitung jumlah KT yang diresepkan, sebaiknya menggunakan ukuran fingertip unit yang
dibuat oleh Long dan Finley.1 Satu fi ngertip unit setara dengan 0,5 gram krim atau salep.

Ukuran tersebut berbeda pada orang dewasa dan anak. Pada dewasa dianjurkan pemberian
kortikosteroid poten tidak melebihi 45 gram per minggu atau KT potensi menengah tidak melebihi 100
gram per minggu. Pasien dermatitis kronik, misalnya dermatitis atopik, mungkin menggunakan KT
potensi kuat atau KT potensi lebih rendah dalam jumlah berlebihan atau mengoles KT lebih sering atau
memakai emolien. Sebaliknya, terkadang mereka takut efek samping dan mengoles kan hanya seminggu
sekali, sehingga pemakaian KT di bawah standar dan tidak efektif. Pada laki-laki satu fingertip unit setara
dengan 0,5 gram, sedangkan pada perempuan setara dengan 0,4 gram. Bayi dan anak kira-kira 1/4 atau
1/3 nya. Jumlah krim atau salep yang dibutuhkan per hari dapat dikalkulasi mendekati jumlah yang
seharusnya diresepkan.

Pedoman Finget Trip Unit untuk dewasa

20

Pedoman Finger Trip Unit untuk anak-anak

Pemakaian KT jangka panjang dapat menyebabkan efek takifilaksis, yaitu penurunan respons
efek vasokonstriksi (kulit toleran terhadap efek vasokonstriksi). Takifilaksis dapat terjadi 4 hari setelah
pemakaian KT potensi sedang-kuat 3 kali sehari di wajah, leher, tengkuk, inter triginosa, atau pada
pemakaian secara oklusi.Efek takifilaksis menghilang setelah KT dihentikan selama 4 hari. KT golongan
sangat poten atau poten sebaiknya digunakan tidak lebih dari 2 minggu. Bila digunakan jangka panjang,
turunkan potensi perlahan-lahan, turunkan ke potensi yang lebih rendah setelah digunakan 1 minggu,
kemudian hentikan. Penghentian tiba-tiba potensi kuat menyebabkan rebound symptoms (dermatosis
menjadi lebih buruk). Cara menghindari efek rebound dan memperlambat kekambuhan penyakit kulit
kronis adalah dengan pemberian intermiten.
Mayoritas studi menunjukan bahwa kortikosteroid topical lebih aman diaplikasikan pada
membrane mukosa dalam interval waktu yang pendek, selama 6 bulan, namun terdapat potensi terjadinya
supresi adrenal pada pemakaian dengan jangka waktu lama, terutama pada penyakit yang sudah kronis,
sehingga membutuhkan follow up berkala dan penanganan yang lebih hati-hati. Supresi adrenal lebih
sering terjadi pada pemakaian steroid sebagai obat kumur.
Beberapa efek samping yang serius dapat muncul dari pengggunaan kortikosteroid topical. Pada
pasien OLP yang mengalami candidiasis sekunder, beberapa klinisi memberikan obat antifungal.
3.2.2

Agen Topikal Lainnya


Agen imunosupresan dan imunomodulator yang lebih poten seperti inhibitor calcineurin

(ciclosporin, tacrolimus, atau pimecrolimus) atau retinoid (tretinoin) dapat membantu. Ciclosporin dapat
digunakan sebagai obat kumur, namun mahal, kurang efektif dibanding clobetasol topical dalam
menginduksi perbaikan klinis OLP, walaupun dua jenis obat ini memiliki efek yang hamper sama dalam
mengatasi gejala. Tacrolimus 100 kali lebih poten disbanding ciclosporin, menunjukan efektifitas tanpa
efek samping secara klinis pada beberapa studi klinis tanpa kelompok control, namun mengakserelasi

21

karsinogenesis kulit sehingga Food and Drug Administration (FDA) membatasi penggunaannya. Saat ini,
terdapat laporan yang menunjukan kanker oral pada OLP yang diobati dengan tacrolimus.
Retinoid topical seperti tretinoin atau isotretinoin telah cukup banyak digunakan pada pasien
OLP, terutama bentuk atropik erosive, dengan perbaikan yang memuaskan, namun retinoid memiliki efek
samping dan kurang efektif jika dibandingkan steroid topical.
3.2.3 Obat Sistemik
Beberapa koktikosterid sistemik yang dianggap paling efektif untuk mengobati OLP, namun pada
penelitian terkini menunjukkan tidak adanya perbedaan respon yang signifikan antara prednisone sistemik
(1 mg/kg/hari) dengan clobetasol topical pada bahan adhesive dibandingkan dengan clobetaso saja.
Kortikosteroid sistemik biasanya digunakan pada kasus dimana aplikasi topical tidak berhasil, terdapat
OLP recalcitrant, erosif atau eritrematous, atau pada OLP yang menyebar hingga kulit, genital,
esophafagus, dan kulit kepala. Prednisolone 40-80mg tiap hari biasnya cukup untuk mendaparkan respon
perbaikan, toksisitas yang mungkin timbul membuatnya hanya diresepkan apabila benar-benar
dibutuhkan pada dosis rendah, dan untuk jangka pendek yang paling memungkinkan. Harus diberikan
pada jangka waktu yang mencukupi (5-7 hari) kemudian dihentikan, atau dosisnya dapat dikurangi 5-10
mg/hari secara gradual selama 2-4 minggu. Efek samping dapat diminimalkan apabila pasien dapat
menoleransi total dosis yang sama pada hari yang sama. Proses pengurangan dosis dapat dilakukan
dengan pengurangan sehari (regimen selang sehari) disebut dengan alternate day regimen.
3.2.3.1 Prednison
Tablet Prednison mengandung prednison yang merupakan glukokortikoid. Glukokortikoid adalah steroid
adrenokortikal, dimana kedua-duanya ada yang alami dan sintetik, yang mudah dan siap diserap melalui
traktus gastrointestinalis. Sifat fisiko-kimia dan rumus prednison adalah.
Mekanisme Kerja Obat
Glukokortikoid adalah hormone yang muncul secara alamiah yang mencegah atau menekan
proses radang dan respons imun ketika diberikan dengan dosis farmakologi. Pada tingkat molekuler,
glukokortikoid yang tidak terikat dapat melintasi membran sel dan yang terikat dengan reseptor
sitoplasma yang spesifik, mempunyai ikatan yang afinitas tinggi. Ikatan ini menginduksi respons berupa
perubahan transkripsi dan akhirnya terjadi sintesis protein, untuk mencapai kerja steroid yang sesuai
dengan harapan. Prednison adalah bentuk sintetik dari steroid dimana obat ini merupakan prodrug yang
akan diubah oleh hati menjadi prednisolon yang merupakan bentuk aktif dan steroid. Steroid bekerja

22

dengan cara seperti: inhibisi infiltrasi leukosit pada tempat terjadinya peradangan, ikut bekerja pada
fungsi mediator respons radang, dan penekanan pada respons imun humoral.
Beberapa efek lainnya seperti reduksi edema atau jaringan parut, juga penekanan secara umum
pada respons imun. Kerja anti-inflamasi dari kortikosteroid diperkirakan karena kortikosteroid ikut
melibatkan protein inhibitor Fosfolipase A2, yang disebut dengan lipocortins. Lipocortins mengontrol
biosintesis mediator radang yang poten seperti prostaglandin dan leukotriene dengan cara menghambat
pembentukan asam arakidonat secara tidak langsung melaui mekanisme penghambatan Fosfolipase A2.
Pola ADME
Prednison diabsorbsi dari traktus gastrointestinalis sebesar 50%-90%. Efek puncak sistemik
didapat setelah 1-2 jam konsumsi obat. Obat yang bersirkulasi terikat erat pada protein plasma albumin
dan transcortin, dan hanya bagian tidak terikat dari dosis aktif. Sistemik prednisone didistribusi secara
cepat menuju ginjal, usus, kulit, liver, dan otot. Kortikosteroid terdistribusi pada air susu ibu dan mampu
melintasi plasenta. Prednison dimetabolisme secara aktif di liver menjadi prednisolon oleh hidrogenisasi
grup keton pada posisi 11 di hati, kemudian prednisolon dimetabolisme lagi lebih lanjut menjadi
metabolit biologis inaktif (seperti glukonoride dan sulfat). Prednison diekskresi melalui traktus urinarius
sebesar 3 2% tanpa berubah bentuk menjadi prednisolon. Diekskresi dalam bentuk prednisolone sebesar
15 5% bersama dengan beberapa bagian prednisolon yang tidak berubah menjadi metabolit inaktif.
Prednison mempunyai waktu paruh biologis sekitar 18-36 jam dan waktu paruh eliminasi plasmanya
adalah 3,5 jam. Sedangkan prednisolon sebagai metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh plasma
sekitar 2-4 jam. Dalam distribusinya prednison terikat dengan protein plasma albumin dan transcortin
sebesar 65%-91%. Prednison mempunyai
bioavalibilitas sebesar 80 11%.
Toksisitas
Pada penggunaan prednisone jangka panjang, jika ingin menghentikan pemakaiannya harus
melakukan tapering, karena saat pemberian prednisone jangka panjang, glandula adrenal mengalami
atrofi dan berhenti memproduksi kortikosteroid tubuh alami. Karena itu penggunaan prednison harus
dihentikan secara bertahap sehingga glandula adrenal mempunyai waktu untuk pulih kembali
dan melanjutkan produksi kortisol.
Efek samping paling khas pada penggunaan prednison adalah keadaan yang disebut dengan moon
face (wajah pasien menjadi berisi sehingga terlihat bulat seperti bulan purnama) dan buffalo hump
(timbunan lemak berlebih pada punggung bagian atas sehingga tampak seperti punuk kerbau). Efek
samping prednison lainnya antara lain tekanan darah menjadi tinggi, berkurangnya kadar kalium dalam
plasma, glaukoma, katarak, munculnya ulkus pada usus dua belas jari (duodenum), memburuknya
23

keadaan diabetes, dapat terjadi obesitas tetapi juga mungkin terjadi penurunan berat badan, susah tidur,
pusing, perasaan bahagia yang tidak tepat, bulging eyes, jerawat/acne, kulit menjadi rapuh, garis merah
atau ungu di bawah kulit, proses penyembuhan luka dan jejas yang melambat, pertumbuhan rambut
meningkat, perubahan pendistribusian lemak ke seluruh tubuh (khas: buffalo hump), kelelahan yang
ekstrim, lemah otot, siklus mens yang tidak teratur, penurunan keinginan melakukan aktivitas seksual,
rasa terbakar pada ulu hati, peningkatan pengeluaran keringat, penghambatan pertumbuhan pada anakanak, kejang, dan gangguan psikiatri (termasuk di dalamnya adalah depresi, euforia, insomnia, perubahan
mood mendadak, perubahan kepribadian, dan juga dapat berupa kelakuan psikotik).
Prednison menekan sistem imun sebagai konsekuensinya, meningkatkan frekuensi atau
keparahan dari infeksi oleh mikroorganisme lain dan mengurangi efektivitas dari vaksin dan antibiotik.
Prednison dapat menyebabkan osteoporosis yang mengakibatkan fraktur pada tulang.

24

BAB IV
KESIMPULAN
Sistem imun merupakan struktur dan mekanisme biologis yang berfungsi melindungi organisme
dari berbagai penyakit. Penyakit autoimun merupakan hasil respons imun spesifik terhadap struktur
antigen diri sendiri. Rongga mulut dapat menjadi cermin atau merefleksikan kesehatan jaringan dan
organ tubuh. Lesi penyakit autoimun dapat bermanifestasi oral pada tahap awal penyakit yang dapat
dideteksi atau diagnosis dini oleh dokter gigi dan atau spesialis penyakit mulut sebagai bagian
penatalaksanaan multidisplin dalam mencegah tingkat keparahan maupun rekurensi.
Secara umum, penatalaksanaan terhadap inflamasi terkait penyakit autoimun bersifat serupa
melalui penggunaan glukokortikoid, pengelolaan higienis oral dan atau dengan penggunaan antimikroba
jika terdapat infeksi sekunder.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Agrawal et al. Steroid sparing regimens for management of oral immune-mediated disease. J
Indian Acad Oral Med Radiol. 2014; 26: 55-61.
2. Alves et al. Withdrawal from glucocorticosteroid therapy: clinical practice recommendations. J
Pediatr (Rio J). 2008; 84(3): 192-202.
3. Au et al. Oral Lichen Planus. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 25 (2013) 93100.
4. Aulakh R, Singh S. Strategies for minimazing Corticosteroid Toxicity: A Review. Indian J Pediatr.
2008; 75(10): 1067-1073.
5. Bagewandi A,Bhoweer AK. Oral Lichen Planus and Its Association with Diabetes Mellitus and
Hypertension.J Indian Acad Oral Med Radiol.2011;23(3):S300-303.
6. Baid SK, Nieman LK. Therapeutic doses of glucocorticoids: implications for oral medicine. Oral
Diseases (2006) 12, 436-442.
7. Bascones-Martinez et al. Immunomodulatory drugs: Oral and systemic adverse effects. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal. 2014; 19(1): e24-31.
8. Bascones-Martinez et al. Immune-mediated diseases: what can be found in the oral cavity?
International Journal of Dermatology. 2014; 1-9.
9. Becker DE. Basic and Clinical Pharmacology of Glucocorticosteroids. Anesth Prog. 2013; 60: 2532.
10. Fitzpatrick et al. The malignant transformation of oral lichen planus and oral lichenoid lesions. A
systematic review. JADA 2014; 145(1): 45-46.
11. Jayakaran TG. The Effect of Drugs in the Oral Cavity - A Review. J. Pharm. Sci. & Res.
2014;6(2): 89-96.
12. Johan Reyshian, Penggunaan Kortikosteroid Topikal Yang Tepat. CKD-277 ; 2015 ; 42(4).
13. Ma Q, Lu YH. Pharmacogenetics, Pharmacogenomics, and Individualized Medicine.
Pharmacological Reviews. 2011; 63: 437-459.
14. Manson et al. The cumulative burden of oral corticosteroid side effects and the economic
implications of steroid use. Respiratory Medicine. 2009; 103: 975-994.
15.Tjandra Lusiani. Penggunaan Prednison pada Penderita Asma Bronkiale dikaitkan dengan Kadar
Ig E dan Ig G Penderita. Bagian Farmasi Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

26

Anda mungkin juga menyukai