SejarahMoneterPeriode19831997 PDF
SejarahMoneterPeriode19831997 PDF
Cakupan :
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
(BUMN) pada perbankan untuk ditempatkan pada SBI. Tindakan yang dikenal
dengan Gebrakan Sumarlin I ini - karena dilakukan oleh Menteri Keuangan adinterim Sumarlin - mengakibatkan terjadinya kontraksi moneter secara drastis.
Selanjutnya dalam Pelita V perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan
yang membaik dengan angka pertumbuhan 5,7% dalam 1988 yang melebihi target
rata-rata pertumbuhan 5%. Untuk menjaga kelangsungan pembangunan selain dari
sumber penghasilan minyak, maka dirasakan perlu digali sumber dana dari dalam
negeri dengan meningkatkan ekspor non-migas. Guna mendukung hal itu,
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi di Bidang Moneter, Keuangan
dan Perbankan pada 27 Oktober 1988 (Pakto 1988). Sebagai kelanjutan dari Pakto
1988 dikeluarkan kebijakan Paket Maret 1989 dan Paket Januari 1990 guna
mendukung pengendalian inflasi dan memperkuat struktur perkreditan. Kebebasan
yang diberikan oleh Pakto 1988 telah menyebabkan ekspansi kredit perbankan yang
berlebihan dan kurang selektif. Untuk menahan situasi tersebut pada Maret 1991
pemerintah mengambil langkah Pengetatan Moneter II yang dikenal dengan
Gebrakan Sumarlin II. Pengetatan moneter pada 1987 dan 1991 mengekang laju
inflasi hingga secara berangsur turun menjadi 4,9% pada 1992. Tetapi suku bunga
deposito naik menjadi rata-rata 27% per tahun dan menyebabkan cost of fund
perbankan dalam negeri menjadi mahal, sehingga banyak pengusaha dalam negeri
mencari dana ke luar negeri yang relatif lebih murah. Untuk mengatasi beban Debt
Service Ratio (DSR) akibat meningkatnya pinjaman komersial tersebut dilakukan
pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN)
dengan BI sebagai koordinator. Namun demikian penerimaan PKLN dapat
mempengaruhi stabilitas moneter sehingga pada 20 Nopember 1991 diambil
kebijakan dalam ketentuan Posisi Devisa Netto, penyempurnaan fasilitas swap dan
pemberian kredit dalam valuta asing.
Pada 1995/1996 kegiatan investasi dan konsumsi di Indonesia semakin marak
sehingga menyebabkan kenaikan pertumbuhan pada beberapa sektor ekonomi
(konstruksi dan industri). Peningkatan itu diikuti dengan memanasnya suhu
perekonomian yang tercermin dalam laju inflasi yang mencapai 8,9%. Untuk
menghadapi hal tersebut, Bank Indonesia segera mengambil beberapa langkah
pengendalian moneter. Di bidang perkreditan diberlakukan pembatasan pemberian
kredit dan pemenuhan SPBU-KUK bagi bank-bank. Sedangkan di bidang devisa,
digariskan kebijakan untuk menahan dampak negatif arus modal jangka pendek.
Sementara guna memenuhi meningkatnya permintaan domestik serta meningkatkan
ekspor non migas, pemerintah bersama Bank Indonesia mengambil langkah-langkah
melalui Deregulasi Juni 1996 yang meliputi peningkatan efisiensi sektor produksi dan
peningkatan ekspor non migas dan pengamanan dalam pinjaman luar negeri.
Akhirnya secara umum pada periode deregulasi ini pinjaman luar negeri sektor
swasta terus meningkat. Sehingga pada Juli 1996 Bank Indonesia menerbitkan
Yankee Bond, untuk menciptakan benchmarking yang dapat membantu memperoleh
syarat pinjaman luar negeri yang lebih lunak. Dengan langkah tersebut beban
pembayaran dan resiko dari pinjaman dapat dikurangi.
Kebijakan devisa bebas yang diterapkan sejak tahun 1970, masih berlanjut pada
periode ini. Sebagaimana telah diberlakukan sejak periode sebelumnya, dalam
periode ini setiap individu dan badan hukum pada prinsipnya dapat melakukan
transaksi dan mengelola devisa.
Kebijakan devisa bebas yang diterapkan sejak tahun 1970, masih berlanjut pada
periode ini. Sebagaimana telah diberlakukan sejak periode sebelumnya, dalam
periode ini setiap individu dan badan hukum pada prinsipnya dapat melakukan
transaksi dan mengelola devisa. Sementara itu kebijakan devisa tetap diarahkan
untuk memelihara kecukupan devisa guna memenuhi kebutuhan pembayaran impor
dan berbagai kewajiban kepada pihak luar negeri.
Guna mendorong masuknya modal asing maka pada tanggal 25 Oktober 1986 pagu
swap ulang ke Bank Indonesia atas pinjaman luar negeri dihapuskan.
Turunnya harga minyak dan gas (migas) di pasaran dunia sejak tahun 1980 an
memberikan tekanan yang berat terhadap cadangan devisa Indonesia Akibat
penurunan harga migas tersebut maka dominasi migas terhadap seluruh ekspor
Indonesia menurun dari 66,8% menjadi 50,9% pada tahun 1986/1987. Bukan itu
saja, proses globalisasi pasar yang ditandai oleh persaingan bebas semakin
memberikan tekanan pada ekspor Indonesia. Tekanan-tekanan dimaksud
mengakibatkan neraca perdagangan non-migas mengalami defisit. Walaupun neraca
pembayaran secara keseluruhan masih surplus namun hal ini lebih disebabkan oleh
masuknya modal asing pada sektor swasta. Untuk tetap dapat mempertahankan
perputaran roda perekonomian maka Pinjaman Luar Negeri ditingkatkan. Pinjaman
luar negeri juga dimaksudkan untuk menjaga kemantapan neraca pembayaran
(pinjaman siaga).
Di akhir periode ini, gejolak nilai tukar mengakibatkan terjadinya pembelian devisa
besar-besaran yang memberikan tekanan berat terhadap pengelolaan devisa.
Kebijakan utang luar negeri yang penting telah diambil dalam periode ini adalah
dengan dibentuknya tim PKLN yang bertugas melakukan pengendalian terhadap
utang luar negeri swasta.
Kebijakan utang luar negeri yang penting telah diambil dalam periode ini adalah
dengan dibentuknya tim PKLN yang bertugas melakukan pengendalian terhadap
utang luar negeri swasta. Inti dari kebijakan tersebut adalah penetapan pagu PKLN
swasta. Berdasarkan pagu tersebut, tim PKLN melakukan seleksi secara ketat
terhadap rencana penggunaan PKLN untuk proyek-proyek BUMN sehingga dapat
memutuskan beberapa proyek ditunda atau dihentikan. Seleksi terhadap PKLN
swasta dilakukan secara ketat oleh Bank Indonesia dengan berpedoman pada
kebijakan yang ditetapkan oleh tim Bank Indonesia.
Keketatan penerapan pagu dan pengelolaan PKLN untuk BUMN dan perbankan telah
mendorong swasta Indonesia melakukan berbagai cara dalam pelaksanaan proyek
dan pencarian PKLN. Proyek-proyek yang semula dilakukan oleh BUMN kemudian
dialihkan statusnya menjadi proyek swasta murni baik dalam bentuk perusahaan
PMA maupun PMDN sehingga menjadi terbesar dari pengaturan oleh tim PKLN.
Besarnya minat investasi yang didorong oleh kegairahan perekonomian yang tinggi
serta besarnya selisih suku bunga dalam dan luar negeri semakin mendorong
maraknya pencarian PKLN ke luar negeri oleh perusahaan swasta. Kepercayaan
investor nasional terhadap perkembangan dan prospek perekonomian tinggi.
Semuanya itu menyebabkan pesatnya peningkatan hutang swasta di luar BUMN dan
perbankan, sedangkan utang Pemerintah, BUMN, dan perbankan lebih terkendali.