Anda di halaman 1dari 13

Epistaksis Anterior et causa Trauma

Ozzy Alberto Nainggolan


NIM : 102013255
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
e-mail: ozzysdbs@gmail.com

Pendahuluan
Hidung merupakan organ penting dan merupakan salah satu organ pelindung tubuh
terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kita kaya dengan
pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung
kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada
rongga bagian belakang jugak terdapat banyak cabang- cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar antara lain dari arteri sphenopalatina. Maka dari itu sangat sering terjadi pendarahan pada
hidung atau biasa disebut epistaksis.
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak
maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi
epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat
fatal bila tidak segera ditangani.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai epistaksis
khususnya yang disebabkan oleh trauma.

Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari arteri a.oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya ialahujung a. palatine mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung belakang ujung posterior
konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis cabang cabang a. sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach
(littles area). Pleksus kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.
Vena vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke krannial.
Anamnesis
Anamnesis adalah kegiatan wawancara antara dokter dengan pasien untuk mencari
keterangan tentang penyakitnya. Beberapa pertanyaan yang akan diajukan saat anamnesis adalah
nama, umur, alamat, agama, suku, dan riwayat kesehatan keluarga. Biasanya riwayat medis yang
disampaikan oleh pasien cukup dapat menunjukan lokasi asal pendarahan. Walaupun demikian,
pada pasien yang berada adalam posisi berbaring atau yang pendarahannya berasal dari struktur
posterior, mungkin darahnya tidak mengalir lewat lubang hidung, tetapi mengalir ke dalam
tenggorok. Kita harus mengidentifikasi sumber pendarahannya dengan cermat.

Keluhan utama: pernyataan dalam bahasa pasien tentang permasalahan yang sedang
dihadapinya.Menurut kasus kelompok A, pasien yang berusia 24 tahun yang datang dengan
keluhan keluar darah dari hidung setelah terkena bola 15 menit yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit terdahulu.Dokter akan menanyakan
riwayat penyakit yang pernah dihadapi pasien.6 Antaranya: Lokasi pendarahan pasien. Pada
bagian hidung yang mana, kanan atau kiri? Apakah darah mengalir ke posterior atau keluar dari
hidung bila pasien duduk tegak? Lama perdarahan dan frekuensinya ? Adakah mempunyai
riwayat penyakit lain seperti DM, Hipertensi, penyakit kardoivaskular, dll. Pernahkah
mempunyai riwayat pendarahan sebelumnya? Riwayat gangguan pendarahan dalam keluarga?
Adakah sedang menggunakan obat antikoagulan atau obat lain seperti aspirin atau fenilbutazon?
Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan
alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa. Untuk pemeriksaan yang adekuat
pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja.
Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan
spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam
hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan.1
Pemeriksaan keadaan umum. Tanda vital harus dimonitor. Segeralah pasang infus jika
ada penurunan tanda vital, adanya riwayat perdarahan profus, baru mengalami sakit berat
misalnya serangan jantung, stroke atau pada orang tua.

Pemeriksaan Fisik hidung.2,3 Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu
kepala, speculum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.
-

Inspeksi : Bentuk luar diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung.
Adakah pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal.

Palpasi : krepitasi tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa nyeri tekan pada
peradangan hidung atau sinus paranasal.

Udara melalui kedua lubang hidung lebih kurang sama dan untuk mengujinya dapat
dengan cara meletakkan spatula lidah dari metal di depan kedua lubang hidung dan
membandingkan luas pengembunan udara pada spatula kiri dan kanan.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang

bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa:
Rinoskopi anterior2,4,5
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkaf inferior harus diperiksa
dengan cermat.
Rinoskopi posterior2,4,5
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Radiologi
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali dan mengenal pasti sekiranya
terdapat fraktur dalam, neoplasma atau infeksi. Pemeriksaan radiologi hidung dan sinus
paranasal serta nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut diatasi. Jika perlu pasien dapat
dikonsul ke dokter spesialis penyakit dalam untuk mencari dan mengobati penyebab sistemik.
Pemeriksaan laboratorium.5
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah; pemeriksaan darah tepi lengkap,
fungsi hemostasis, fungsi hati, fungsi ginjal, juga waktu protombin serum.
Working Diagnosis
Epistaksis Anterior
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir
90 % dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat
mengganggu dan dapat mengancam nyawa.
Dilihat dari asal pendarahanya, epistaksis dibagi menjadi dua yaitu epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Epistaksis anterior biasanya berasal dari pleksus Kisselbach di septum
bagian anterior atau dari arteri ethmoidalis anterior. Pendarahan pada septum anterior biasanya
ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis dan sering kali berulang dan dapat berhenti
sendiri.
5

Epistaksis juga biasa terjadi karena trauma ringan seperti mengorek hidung, benturan
ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang hebat
seperti kena pukul, jatuh, atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu bisa juga terjadi akibat adanya
benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Differential Diagnosis
Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan
hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
sfenopalatina. Pada posisi duduk atau setengah tidur, darah mengalir ke arah tenggorokan.1
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan
posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini
dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3
utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.1
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter
karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari
mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik
kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan
bantuan jari telunjuk untuk dapat meliwati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada
perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang
keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan
secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.1
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan
bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior
terpasang di tengah-tengah nasofaring.1
Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhirakhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung
atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop,
6

akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan
endoskop.1
Epistaksis ec Kelainan Kongenital
Pada kelainan kongenital pembuluh darah hidung lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan selselnya lebih sedikit, sehingga mudah terjadi epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik herediter

(hereditary hemorrhagic

teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.1
Sindrom Osler Weber Rendu atau juga disebut teleangiektasi hemoragik herediter,
merupakan suatu sindrom autosomal dominan yang ditandai oleh pembentukan lesi vaskular di
sekitar bibir, rongga mulut dan hidung. Salah satu manifestasi utama yang lazim adalah
epistaksis berulang hingga memerlukan transfusi lebih dari satu kali. Dermoplasti septum adalah
suatu metode yang dirancang untuk mengendalikan epistaksis berulang. Prosedur operatif
meliputi pengangkatan mukosa septum nasi anterior, dasar hidung dan bagian anterior konka
inferior dengan hati-hati, dan mengganti mukosa ini dengan cangkok kulit ketebalan paruh.
Prosedur biasanya dilakukan hanya pada satu sisi, namun dapat diulangi kemudian pada sisi
satunya. Meskipun menimbulkan pembentukan krusta di dalam hidung, namun prosedur ini
mungkin perlu dilakukan pada pasien yang telah mendapat transfusi berulang. Terapi hormonal
telah memberi perbaikan pada sebagian pasien, sehingga intervensi bedah dapat dihindarkan.2
Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit untuk ditentukan karena sebagian besar kejadian dapat
ditangani sendiri, dan oleh karena itu, tidak dilaporkan. Namun, dari beberapa sumber terakhir,
kejadian seumur hidup dari epistaksis pada populasi umum adalah sekitar 60%, dengan lebih
sedikit dari 10% mencari pertolongan medis.6
Distribusi usia bervariasi, dengan puncak pada anak-anak (2-10 tahun) dan orang yang
lebih tua (50-80 tahun). Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%)
daripada perempuan (42%).6

Etiologi
Pada dasarnya, penyebab epistaksis dapat dibedakan menjadi penyebab lokal dan
sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi
lokal, benda asing, tumor, dan pengaruh udara lingkungan. Sedangkan sistemik meliputi penyakit
kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, kelainan hormonal, dan kelainan kongenital.
Pada kebanyakan kasus (90%), tempat perdarahan terdapat di pleksus Kiesselbach, suatu pleksus
pembuluh darah di bagian depan septum hidung. Penyebab tersering adalah manipulasi jari
(mengupil) atau trauma. Yang termasuk dalam trauma antara lain adalah perdarahan ke dalam
rongga hidung akibat fraktur frontobasal, yang merobek a. ethmoidalis anterior. Penyebab lokal
lainnya adalah ruptur pembuluh darah karena hembusan hidung yang kuat, rhinitis sicca, atau
benda asing. Peradangan mukosa hidung, misalnya pada infeksi virus atau pada alergi, juga
meningkatkan kemungkinan epistaksis dengan kerentanan struktur yang memang rentan tersebut.
Akhirnya, kemungkinan neoplasma sebagai penyebab perdarahan juga harus dipikirkan.6
Patofisiologis
Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior
hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang
utamanya.
Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan
bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui
beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa
menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau

pleksus

Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma
fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering.
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar
ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan
posterior.
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan
paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior.
8

Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana

Gambar 6. Epistaksis anterior

2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular

Gambar 7. Epistaksis posterior

Manifestasi Klinis
Pendarahan keluar dari hidung pada saat pasien menegakkan badannya. Pendarahan
biasanya dapat berhenti sendiri.

Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
menghentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Bila
pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan
darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas
dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.1
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah
perdarahan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu
kepala, spekulum hidung dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam
menentukan sebab perdarahan.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar
dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaanya lemah sebaiknya setengah duduk atau
berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke
saluran napas bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi
agar tegak dan tidak bergerak-gerak.1
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah
dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalam
rongga hidung untuk menghentikan per- darahanan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan
tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi
biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.1
Menghentikan perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan.
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil. Bila
sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti
(AgN03) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.1
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau
salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan
10

perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun
dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon ini dipertahankan selama 2x24
jam, setelah itu harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila pendaraan belum
berhenti, dipasang tampon baru.1
Pada perdarahan yang tidak kunjung berhenti, pembuluh darah utama dapat diligasi atau
diembolisasi. Pembuluh yang menerima tindakan tersebut pada perdarahan di atas kerangka
tengah hidung antara lain aa. ethmoidales, sedangkan pada perdarahan di bagian bawah rongga
hidung, a. sphenopalatina atau a. maxillaris. Pada prosedur tersebut, ligasi sebaiknya dilakukan
sedekat mungkin dengan sumber perdarahan.1
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari
usaha penanggulangan epistaksis.1
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah,
juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai
infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau
tranfusi darah harus dilakukan secepatnya.1
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau
toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan
tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut
dipasang tampon baru.1
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd
melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat
menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu
ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras
karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.1

11

Pencegahan
Setelah perdarahan, untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan
sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai
ada kelainan sistemik.1
Prognosis
Sebagian besar kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi
dengan tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya
buruk. Sebagian kecil pasien mungkin memerlukan pengobatan yang lebih agresif.

Kesimpulan
Epistaksis adalah gejala yangsering terjadipada beberapa orang. Emeriksaan fisik dan
penunjang dapat dilakukan untuk membedakan epistaksis anterior dan posterior. Penangan yang
cepat dan tepat dapat mengurangi terjadinya resiko komplikasi.

Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.
131-5

12

2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2013. h. 223-6.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2008. h.1-9.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8. Jakarta:
EGC; 2009. h. 142-3, 162-3.
5. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. h. 7-11, 17-20.
6. Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar ilmu THT. Jakarta: EGC; 2012. H. 34-7, 50-1.

13

Anda mungkin juga menyukai