Anda di halaman 1dari 30

CANDIDA ALBICANS YANG TERPAPAR DENGAN ASAP ROKOK

MENINGKATKAN PRODUKSI KITIN DAN MEMODULASI RESPON SEL


FIBROBLAS MANUSIA

DISUSUN OLEH:
Vithyaa Devendra Kumar
Vinson
Jesika Andrea S.N.

120100454
120100216
120100280

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
berkat dan anugerah-Nya serta telah memberi kesempatan kepada kelompok kami
untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Candida albicans Yang Terpapar
Dengan Asap Rokok Meningkatkan Produksi Kitin dan Memodulasi Respon Sel
Fibroblas Manusia.
Pada kesempatan ini kami juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada drg. Tresnajaya Koienata selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia membimbing hingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
sebab itu dengan kerendahan hati kami mengharapkan saran dan masukan yang
membangun dari semua pihak di masa yang akan datang.

Medan, Mei 2016


Penyusun

DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Tujuan.............................................................................................................. 2
1.3 Manfaat............................................................................................................ 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................


2.1 Kandidiasis Oral..............................................................................................
2.1.1 Definisi...................................................................................................
2.1.2 Epidemiologi..........................................................................................
2.1.3 Faktor Presdiposisi.................................................................................
2.1.4 Patogenesis.............................................................................................
2.1.5 Klasifikasi...............................................................................................
2.1.6 Tes Diagnostik........................................................................................
2.1.7 Pengobatan.............................................................................................
2.1.8 Prognosis................................................................................................

4
4
4
4
4
5
6
9
10
11

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 12


3.1 Hasil................................................................................................................. 12
3.2 Pembahasan..................................................................................................... 22
BAB 4. KESIMPULAN....................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA

26

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Candida albicans merupakan jamur dimorfik yang merupakan bagian dari

mikrobial flora normal yng ditemukan pada permukaan mukosa seperti pada rongga
mulut, saluran gastrointestinal, dan vagina.1 Candida yang bersifat komensal dapat
berubah menjadi patogen dan dapat menyebabkan kandidiasis penyebab infeksi mulut
dan genital pada manusia bila terjadi gangguan pada keseimbangan flora normal
ataupun adanya faktor presdiposisi.2
Kandidiasis merupakan infeksi akut atau kronik yang disebabkan oleh
Candida, umumnya terbatas pada kulit dan membran mukosa, tetapi bisa
menyebabkan penyakit sistemik yang serius. Beberapa tipe kandidiasis mukokutan
meliputi: region orofaring (di rongga mulut dan faring), dan vulvovaginal (di vagina
dan mukosa vulva). Selain itu juga terdapat kandidiasis kutaneus, invasif, dan
sistemik.3
Oral kandidiasis merupakan infeksi jamur yang paling sering dijumpai pada
manusia. Pada populasi secara general, tingkat karier telah dilaporkan berkisar antara
20% sampai 75% tanpa adanya gejala apapun. Insidensi dari C.albicans yang
diisolasi dari rongga mulut dilaporkan 45% pada neonatus, 45%-65% pada anak-anak
yang sehat, 30%-45% pada orang dewasa sehat, 50%-65% pada orang yang memakai
gigi palsu yang dapat dibuka, 65%-88% pada mereka yang tinggal di fasilitas
perawatan akut dan jangka panjang, 90% pada pasien dengan akut leukemia yang
sedang menjalani kemoterapi, dan 95% pada pasien dengan HIV.4
Beberapa dekade ini tampak adanya peningkatan yang signifikan dari
insidensi seluruh bentuk kandidiasis dan hal ini mencerminkan perubahan-perubahan
pada praktik medis dengan penggunaan yang lebih banyak dari prosedur operasi
invasif, penggunaan terapi imunosupresif yang lebih luas dan juga penggunaan
antibiotik spektrum luas.5 Insidensi dari infeksi jamur yang meningkat ini juga

dipengaruhi oleh faktor presdiposisi lainnya mislanya penggunaan gigi palsu,


xerostomia, terapi antibiotik yang lama, trauma lokal, malnutrisi, kelainan endokrin,
kelainan hematologi, kebersihan oral yang buruk, dan merokok.6
Beberapa studi sebelumnya telah menemukan bahwa merokok baik sendiri
atau dengan kombinasi faktor-faktor lainnya bisa merupakan faktor presdiposisi yang
penting untuk orak kandidiasis, walaupun hubungannya dan pengaruh patogenik pada
oral kandidiasis masih belum diketahui dengan jelas. 7 Namun beberapa studi juga
menyimpulkan tidak ada pengaruh merokok dengan peningkatan kolonisasi dari
Candida albicans.8

Walaupun mekanisme yang mendasari peningkatan karier

Candida belum diketahui dengan jelas, terdapat dugaan bahwa merokok bisa
menyebabkan (1) gangguan pada epitel lokal yang mempermudah kolonisasi
Candida, (2) menyediakan nutrisi bagi Candida, (3) menurunkan imunitas innate,
dan (4) terbentuknya produk karsinogen yang merupakan konversi hidrokarbon
aromatik dalam rokok oleh Candida.7,9
Berdasarkan data Riskedas tahun 2013, rerata proporsi perokok di Indonesia
adalah 29,3%. Untuk provinsi Sumatera Utara, proporsi penduduk yang merokok
setiap hari adalah 24,2% dan untuk yang merokok kadang-kadang adalah 4,2%. 10
Karena masih cukup tingginya proporsi masyarakat yang merokok dan semakin
meningkatknya kejadian kandidiasis, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai pengaruh asap rokok terhadap Candida albicans dalam paper ini.
1.2

Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui pengaruh asap rokok

terhadap transisi, kandungan kitin, dan respon terhadap stres lingkungan dari
C.albicans dan untuk mengetahui hubungan dari C.albicans yang diberi perlakuan
asap rokok kondesat dengan fibroblas gingival manusia. Penyusunan paper ini
sekaligus dilakukan untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut RSUP HAM.

1.3

Manfaat
Diharapkan paper ini dapat membantu dalam menjelaskan pengaruh asap

rokok terhadap Candida albicans lebih lanjut dan mendalam.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kandidiasis Oral

2.1.1

Definisi
Kandidiasis didefinisikan sebagai infeksi yang disebabkan oleh jamur dari

genus Candida, dan istilah kandidiasis oral hanya digunakan ketika menggambarkan
sebuah lesi yang tampak secara klinis pada rongga mulut. Lesi dapat bervariasi dalam
ukuran, bentuk, dan warna, tergantung pada faktor presdiposisi. Keluhan pasien dapat
bervariasi mulai dari tidak ada, sampai rasa nyeri yang hebat.2
2.1.2

Epidemiologi
Pada kandidiasis oral, 50% kasus disebabkan oleh infeksi dari C.albicans dan

prevalensi yang sama dari C.albicans juga terjadi pada kandidasis sistemik.5 Pada
populasi secara general, tingkat karier telah dilaporkan berkisar antara 20% sampai
75% tanpa adanya gejala apapun. Insidensi dari C.albicans yang diisolasi dari rongga
mulut dilaporkan 45% pada neonatus, 45%-65% pada anak-anak yang sehat, 30%45% pada orang dewasa sehat, 50%-65% pada orang yang memakai gigi palsu yang
dapat dibuka, 65%-88% pada mereka yang tinggal di fasilitas perawatan akut dan
jangka panjang, 90% pada pasien dengan akut leukemia yang sedang menjalani
kemoterapi, dan 95% pada pasien dengan HIV.4
2.1.3

Faktor Presdiposisi
Faktor presdiposisi yang meningkatkan kemungkinan terjadinya kandidiasis

oral terbagai menjadi faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal terdiri dari
perubahan epitelium, kebersihan mulut yang buruk, hilangnya dimensi vertikal, gigi
palsu dengan tingkat kecocokan yang buruk, dan merokok. Sedangkan untuk faktor

sistemik terdiri dari kelainan hormonal, kelainan fisiologi, kelainan endokrin,


kelainan imunologik, xerostomia, terapi obat-obatan, dan alkohol.6
2.1.4

Patogenesis

Gambar 2.1 Patogenesis dari kandidiasis.11


Infeksi C.albicans dimulai dengan perlekatan ragi, pertumbuhan ragi, dan
invasi sistem imun inang. Setelah C.albicans mengatasi sistem imun, C.albicans
beradaptasi menjadi bentuk hifa yang memfasilitasi proses invasi. Melalui cari ini,
C.albicans melakukan peneterasi terahadap sel-sel inang dan mencapai darah untuk
menyebar melalui tubuh pasien.12 Selain itu, faktor virulensi dari C.albicans juga
memainkan peranan penting dalam patogenesis dari infeksi C.albicans. Faktor-faktor
virulensi dari C.albicans memiliki peranan penting dalam pembentukan pseudohifa
dengan melekat pada sel-sel epitel (pada saluran pernafasan), sel-sel endotelial (pada
pembuluh darah), perubahan hifa, pengenalan molekul permukaan, perubahan
fenotip, dan enzim hidrolitik ekstraseluler yaitu produksi proteinase dan fosfolipase
yang diduga sebagai bagian dari faktor virulensi Candida. Enzim hidrolitik
ekstraseluler tampaknya memainkan peranan penting dalam pertumbuhan Candida

yang berlebihan, dimana enzim ini memfasilitasi perlekatan dan peneterasi jaringan
dan juga proses invasi pada inang.11
2.1.5

Klasifikasi
Kandidiasis oral bisa dibedakan menjadi beberapa tipe yang berbeda, sering

berdasarkan tampilan klinis pada mulut, dan kadang berdasarkan faktor


presdiposisinya. Berikut adalah tipe dari kandidiasis oral yang paling sering.2
a. Kandidiasis Pseudomembran
Kandidiasis pseudomembran, atau oral thrush merupakan diagnosis yang
paling sering dan merupakan bentuk kandidiasis oral yang paling mudah
dikenali. Pada infeksi tipe ini, mukosa ditutupi oleh pseudomembran putih
atau kuning, yang terdiri dari fibrin, deskuamasi sel epitel, sel-sel inflamasi,
dan kadang-kadang bakteri atau sisa makanan. Plak ini juga diinflitrasi oleh
hifa jamur. Dengan sedikit tekanan, membran dapat dilepaskan, dan
dibawahnya mukosa tampak merah dan meradang. Infeksi sering tidak
menimbulkan

gejala,

dan

kadang-kadang

pasien

bisa

mengeluhkan

ketidaknyamanan, rasa terbakar, rasa nyeri atau perubahan rasa ketika bagian
mukosa yang terlibt semakin luas. Pada umumnnya mempengaruhi bagian
mukosa bukal, lidah, palatum lunak, dan orofaring.2

Gambar 2.2 Kandidiasis Pseudomembran.2


b. Kandidiasis Erythematous
Kandidiasis erythematous mungkin merupakan bentuk kandidiasis oral yang
paling sering. Namun, karena kurangnya tampilan patognomonik, tipe ini
lebih sulit didiagnosa dibandingkan dengan tipe pseudomembran. Kandidiasis

erythematous tampak sebagai lesi berwarna merah, kurang lebih merupakan


lesi yang terbatas pada palatum keras atau dorsum lidah. Tipe ini dapat
bertahan secara kronik dan biasanya asimptomatik. Rasa terbakar dan gatal
bisa terjadi. Lidah yang berwarna merah terang bisa terjadi, dan diferensial
diagnosa dari kasus ini adalah serum B12, folat, dan besi yang rendah.2

Gambar 2.3 Kandidiasi erythematous pada pasien yang memakai gigi palsu.2
c. Kandidiasis Hiperplastik
Kandidiasis hiperplastik merupakan bentuk yang jarang tetapi tipe ini
memiliki potensial malignansi. Tipe ini juga disebut sebagai kandidal
leukoplakia dan seperti leukoplakia pada umumnya, tipe ini tampak sebagai
lesi putih dan tidak bisa dilepaskan. Tampilannya bervariasi mulai dari lesi
yang kecil, translusen, permukaan yang sedikit meninggi, sampai bentuk plak
yang luas yang terasa keras dan kasar pada saat palpasi. Sering ditemukan
pada mukosa bukal dan dikaitkan dengan merokok. Walaupun lesi tidak bisa
dilepaskan, tipe ini dapat dibedakan dari leukoplakia dengan uji mikrobiologi,
perobaan pengobatan dengan obat anti-jamur, atau dengan melakukan biopsi
untuk pemeriksaan histologi. Hifa dari jamur sering menginvasi epitelium oral
yang hiperplastik. Seperti yang disebutkan sebelumnnya, lesi dari kandidiasis
hiperplastik kadang-kadang bisa menjadi malignan, tetapi masih terdapat
kontroversi mengenai kepentingan Candida spp. sebagai faktor resiko yang
terlibat.2

Gambar 2.4 Kandidiasi hiperplastik pada pasien imunokompromi.2


d. Angular Cheilitis
Angular cheilitis merupakan kondisi multifactorial yang bisa disebabkan oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau kombinasi keduanya.
Angular cheilitis juga bisa dipengaruhi oleh hilangnya dimensi vertikal,
defisiensi vitamin B12 atau anemia defisiensi besi. Angular cheilitis
mempengaruhi bagian ujung dari mulut dan mengenai kulit dan mukosa
sekitarnya.

Lipatan-lipatan

pada

kulit

secara

konstan

menyebabkan

lingkungan yang lembab yang merupakan kondisi yang baik untuk


pertumbuhan bakteri dan jamur. Hasilnya merupakan lesi berwarna merah,
sensitif, dengan kulit yang rapuh yang dapat koyak ketika tertarik, seperti
ketika sedang membuka mulut pada saat perawatan gigi. Pengobatan dari
infeksi jamur sering menyembuhkan lesi, tetapi jika dimensi vertikal tidak
ditingkatkan, atau defisiensi nutrisi tidak diobati, lesi tampaknya akan timbul
kembali.2

Gambar 2.5 Angular cheilitis.2


e. Denture Stomatitis

Denture

stomatitis

merupakan

tipe

dari

kandidiasis

erythematous.

Tampilannya merupakan lesi pada palatum, dan disebabkan karena gigi palsu
yang bisa dilepaskan, ketika pemakai tidak melepaskannya pada saat malam
hari atau jika tidak dibersihkan dengan benar. Gigi palsu yang tidak cocok
juga merupakan faktor yang berkontribusi, sebagaimana trauma yang berulang
terhadap mukosa dapat meningkatkan peneterasi dari antigen dan toksin dari
Candida. Lesi terbatas pada mukosa yang ditutupi oleh gigi palsu dan
biasanya asimptomatik.2
f. Median Rhomboid Glossitis
Ketika kandidiasis erythematous mempengaruhi lidah, sebuah patch berwarna
merah dan halus akan timbul dimana papila filiform mengalami atrofi. Jika
patch ini berbentuk oval atau bulat dan terletak di bagian tengah dari lidah,
maka kondisi ini disebut sebagai median rhomboid glossitis atau central
papillary atrophy. Tipe lesi ini bisa disebabkan oleh bakteri dan juga Candida
serta jamur lainnya, jadi etiologi yang mendasarinya masih belum jelas.
Faktor presdiposisi untuk lesi tipe ini adalah merokok dan pemakaian steroid
inhalasi.2

Gambar 2.6 Median rhomboid glossitis


2.1.6

Tes Diagnostik
Adapaun tes diagnostik yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

1. KOH Wet Mount


Kecuali kuku semua spesimen membutuhkan 10% KOH dan untuk kuku
memerlukan 20% KOH. Teteskan 2-3 tetes KOH pada kaca objek dan

10

kemudian letakkan spesimen diatas tetesan KOH tersebut dan kemudian tutup
dengan kaca penutup dan biarkan 2-3 jam. Pemeriksaan sediaan dilakukan
pada mikroskokop dengan pembesaran lensa objektif 40x.11
2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang diperiksa ditanam dalam Sabarouds Dextrosa Agar (SDA) pada
suhu 370C dalam inkubator selama 24-48 jam. Pada agar ini dapat dibubuhi
antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Koloni yang
tumbuh berupa yeast like form.13
3. Serologi
Ekstrak karbohidrat Candida memberikan reaksi presipitin yang positif
dengan serum pada 50% orang normal dan pada 70% orang dengan
kandidiasis mukokutan.14
4. Tes Kulit (Skin Test)
Tes Candida pada orang dewasa normal hampir selalu positif. Tes tersebut
digunakan sebagai indikator kompetensi imunitas seluler dengan menguji
hipersensitivitas tipe delayed.11.14
2.1.7

Pengobatan
Dalam pengobatan kandidiasis oral, ada 4 prinsip dasar yang harus

diperhatikan yaitu: (1) membuat diagnosis dini dan akurat dari infeksi, (2)
mengoreksi faktor presdiposisi atau penyakit yang mendasari, (3) mengevaluasi jenis
infeksi, dan (4) menggunakan obat anti-jamur yang tepat.6
Obat anti jamur yang digunakan untuk pengobatan kandidiasis dan
mekanisme yang terlihat diperlihatkan pada tabel berikut.5

11

2.1.8

Prognosis
Prognosis baik untuk kandidiasis oral dengan pengobatan yang efektif dan

tepat. Kekambuhan sering terjadi yang disebabkan karena kepatuhan yang buruk
terhadap pengobatan, gagal melepaskan atau membersihkan gigi palsu dengan benar,
atau ketidakmampuan dalam mengatas faktor yang mendasari/faktor presdiposisi dari
infeksi tersebut.4

12

BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1

Hasil
Hasil dalam paper ini diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Alanazi et

al pada tahun 2014 yang diterbitkan pada jurnal BioMed Research International.
Adapun pemaparan hasil penelitiannya sebagai berikut.
3.1.1

Asap Rokok Kondesat (CSC) Meningkatkan Transisi C.albicans dari


Bentuk Blastospora menjadi Bentuk Hifa
Sebelumnya kami melaporkan bahwa CSC meningkatkan pertumbuhan

C.albicans. Pertumbuhan Candida didukung oleh transisi dari bentuk blastospora


menjadi bentuk hifa. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1(a), perubahan bentuk
secara mendasar dapat diamati pada 6 jam kultur dalam kondisi hifa spesifik (adanya
serum pada 370C). Tentunya, jumlah hifa tampaknya lebih besar dengan CSC
daripada dengan kontrol. Transisi diperoleh pada semua konsentrasi CSC dengan
inkubasi pada 370C. Waktu inkubasi juga merupakan sebuah faktor, dimana bentuk
hifa didefinisikan dengan baik dan lebih sering pada 6 jam daripada 3 jam inkubasi.
Ukuran hifa juga berbeda dengan adanya CSC ketika C.albicans dikultur pada
keadaan adanya serum pada 370C. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1(b),
tabung hifa yang lebih panjang ditemukan pada 3 dan 6 jam. Sangat penting untuk
dicatat bahwa CSC menginduksi hifa yang lebih panjang secepatnya pada 3 jam
inkubasi, secara signifikan (p < 0,05) dengan ukuran yang lebih panjang
dibandingkan dengan kontrol (tidak adanya CSC). Tabung hifa lebih panjang pada 6
jam inkubasi daripada 3 jam. Data keseluruhan menunjukkan asap rokok
mempengaruhi pertumbuhan dan transisi C.albicans.

13

Gambar 1: Transisi C.albicans dari bentuk blastospora menjadi bentuk hifa setelah
kontak dengan CSC. C.albicans dikultur dengan atau tanpa CSC pada konsentrasi
yang bervariasi selama 3 dan 6 jam pada suhu 37 0C dalam medium kultur dengan
suplementasi serum 10%. Setelah waktu tertentu, kultur diperiksa dibawah mikroskop
inverted dan difoto (panel (a)). Panjang tabung hifa diukur dengan software NIHImageJ (n = 5) dan dipresentasikan (panel (b)). Signifikansi diperoleh dengan
membandingkan C.albicans yang diberi CSC dan yang tidak diberi CSC.
3.1.2

CSC Menurunkan Resistensi C.albicans terhadap Stres Oksidatif dan


Meningkatkan Resistensinya terhadap Stres Osmotik dan Panas
Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2, setelah satu jam kontak dengan 5

atau 10 mM hidrogen peroksida, C.albicans menunjukkan sejumlah penurunan dalam


resistensi. Tanpa CSC, pengurangan dari ukuran koloni teramati setelah perlakuan,
dibandingkan dengan sampel yang tidak diberi perlakuan. Pengurangan pada ukuran
koloni lebih besar ketika C.albicans sebelumnya dikultur selama 24 jam dengan CSC.
Efek tersebut bergantung pada konsentrasi hidrogen peroksida. Perlu diperhatikan
bahwa pada 50 mM hidrogen peroksida, tidak ada koloni yang teramati baik 5 atau 10
l volume pertumbuhan (data tidak ditunjukan). Menariknya, ketika C.albicans yang

14

diberi perlakuan CSC diberikan stres osmotic, peningkatan resistensi teramati. Seperti
yang dipelihatkan pada Gambar 2, ukuran koloni lebih besar pada Candida yang
diberi perlakuan dengan 1,2 M NaCl sebagaimana dibandingkan dengan sel-sel yang
tidak diberi perlakuan. Pengamatan yang sama bisa dilakukan dengan stres panas
(Gambar 2). Data ini didukung oleh viabilitas sel seperti yang dipastikan oleh
pengujian MTT. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3, hidrogen peroksida
secara signifikan (p < 0,05) menurunkan viabilitas C.albicans yang diberi perlakuan
CSC maupun tidak. Namun, penurunan pada viabilitas sel lebih besar setelah stres
hidrogen peroksida. Lebih lanjutnya, penurunan pada viabilitas sel bergantung pada
konsentrasi hidrogen peroksida yang digunakan (Gambar 3). Berbeda dengan stres
oksidatif, stres osmotik dan stres panas tidak memiliki efek negatif pada viabilitas sel.
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4(a), stres osmotik mengarah pada
peningkatan yang signifikan (p < 0,05) dari densitas C.albicans, terutama dengan
kadar yang tinggi dari CSC (30 dan 50%). Efek yang sama juga diperoleh pada stres
panas (Gambar 4(b)).

Gambar 2: Kerentanan C.albicans yang diberi CSC terhadap gangguan permukaan


sel oleh agen-agen stres oksidatif, osmotik, dan panas. Sel-sel yang diberi perlakuan
CSC ataupun tidak kemudia dicuci dan disuspensi dalam H 2O2, NaCl, atau panas
(450C) selama 60 menit dan kemudian dicuci dan diletakkan pada agar Sabouraud.

15

Perhatikan peningkatan sensitivitas dari C.albicans yang diberi CSC terhadap 5 dan
10 mM H2O2, tetapi peningkatan resistensi pada stres osmotik dan panas.

Gambar 3: Stres oksidatif mengurangi pertumbuhan dari C.albicans yang diberi


CSC. C.albicans yang diberi CSC kemudian dicuci dan 106 sel/mL diinkubasi dengan
kosentrasi H2O2 yang bervariasi selama 1 jam. Sel-sel kemudian dicuci sebanyak dua
kali dengan medium hangat dan digunakan untuk memastikan viabilitas sel dengan
pengujian MIT (n = 5). Signifikansi ditentukan dengan membandingkan C.albicans
yang diberi dan yang tidak diberi CSC.

16

Gambar 4: Stres osmotik dan panas meningkatkan pertumbuhan C.albicans yang


diberikan CSC. C.albicans yang diberikan CSC dicuci dan 106 sel/mL diinkubasi
dengan NaCL(1,2 M) atau pada suhu 450C selama 1 jam. Sel-sel kemudian dicuci dua
kali dengan medium hangat dan digunakan untuk memastikan viabilitas sel.
Signifikansi ditentukan dengan membandingkan C.albicans yang diberi dan yang
tidak diberi CSC.
3.1.3

Paparan C.albicans terhadap CSC Meningkatkan Kandungan Kitin


Gambar 5 memperlihatkan bahwa pertumbuhan dari sel-sel ragi C.albicans

dengan adanya CSC menyebabkan peningkatan pada kandungan kitin. Paparan


C.albicans terhadap CSC pada kondisi kultur yang tidak menginduksi hifa (tidak
adanya serum dan kultur pada 300C) menunjukkan sedikit peningkatan dan kandung
kitin yang signifikan pada C.albicans yang terpapar dengan CSC, dibandingkan
dengan yang teramati pada sel-sel yang tidak terpapar. Oleh karenanya, produksi kitin
meningkat pada kondisi kultur hifa yang normal dibandingkan dengan kondisi kultur
nonhifa, dimana hal ini meunjukkan bahwa kondisi hifa meningkatkan sintesis kitin.
Ketika terpapar dengan CSC, sel-sel C.albicans secara signifikan (p < 0,05)
meununjukkan kadar kitin yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol.
Peningkatan ini lebih penting dengan konsentrasi CSC yang lebih tinggi (Gambar 5).

17

Gambar 5: Kandungan kitin pada C.albicans yang terpapar dan yang tidak terpapar
dengan CSC. Glukosamin yang dihasilkan dari pemurnian dinding sel setelah
hidrolisis asam dikuantifikasikan dan disajikan dalam bentuk persen dari berat kering
dinding sel. Data berasal dari empat pengujian independen yang dilakukan pada
triplicate. Signifikasi pada p < 0,05 ditentukan dengan membandingkan sel-sel ragi
yang terpapar dan yang tidak terpapar dengan CSC.
3.1.4

C.albicans yang diberi perlakuan CSC Melekat Lebih Baik dan


Perubahan Bentuk Ketika Kontak dengan Satu Lapis Fibroblas Gingival
Untuk memeriksa apakah ada atau tidak CSC memodulasi interaksi dari

C.albicans dengan fibroblas gingival manusia, C.albicans diberikan diberi perlakuan


dengan CSC dan perlekatannya terhadap kultur satu lapis fibroblas gingival pada
300C dianalisis. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6(a), sebuah peningkatan
angka dari perlekatan koloni C.albicans diamati pada satu lapis fibroblas gingival
yang diletakkan dalam kontak dengan C.albicans yang diberi perlakuan CSC. Kolonikoloni ini mengandung lebih dari empat sel-sel ragi dengan campuran bentuk
blastospora dan bentuk hifa. Pengukuran kuantitatif dari koloni-koloni per mm2 dari
kultur satu lapis fibroblas menunjukkan (Gambar 6(b)) sebuah angka yang secara
signifikan lebih besar dari koloni-koloni dalam kondisi yang diberi perlakuan CSC,
dibandingkan dengan kondisi yang tidak diberi perlakuan CSC. Tingkat perlekatan
C.albicans yang tinggi pada satu lapis fibroblas gingival terlihat jelas dengan setiap
konsentrasi CSC yang diuji coba. Lebih lanjutnya, dalam kondisi kultur hifa, semua
C.albicans menunjukkan sebiah tabung yang berelongasi melekat pada setiap
permukaan kultur, dengan densitas bentuk hifa yang lebih besar yang teramati pada
kondisi yang diberikan CSC dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan CSC
(Gambar 7). Keselurah data menyimpulkan bahwa CSC meningkatkan perlekatan
C.albicans dan transisi ketika berinteraksi dengan satu lapis fibroblas gingival
manusia.

18

Gambar 6: C.albicans yang diberi CSC melekat lebih pada fibroblas gingival.
C.albicans diinkubasi selama 24 jam dengan adanya CSC dan kemudian digunakan
untuk menginfeksi kultur fibroblas gingival selama 3 atau 6 jam. Setiap kondisi
kultur kemudian difoto setelah pewarnaan kristal violet (panel (a), foto setelah 6 jam).
Perlekatan koloni C.albicans dihitung dibawah mikroskop inverted dan disusun
(panel (b), n =4). Signifikansi diperoleh dengan membandingkan C,albicans yang
diberi dan yang tidak diberi CSC.

19

Gambar 7: Transisi C.albicans setelah kontak dengan fibroblas gingival. C.albicans


diinkubasi selama 24 jam dengan adanya CSC dan kemudian digunakan untuk
menginfeksi kultur fibroblas selama 6 jam dalam kondisi transformasi hifa (dengan
adanya 10% serum pada suhu 370C). Setiap kondisi kultur difoto setelah pewarnaan
dengan kristal violet. Perhatikan tingginya tingkat hifa C.albicans. Foto representatif
berasal dari empat percobaan independen yang berbeda.
3.1.5

C.albicans yang diberi perlakuan CSC Berproliferasi Lebih Baik Ketika


Berinteraksi dengan Fibroblas Gingival
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8, proliferasi dari C.albicans yang

diberi perlakuan CSC meningkat secara signifikan setelah 24 jam interaksi dengan
fibroblas gingival. Namun, pertumbuhan ini lebih besar pada 48 jam daripada 24 jam.
Gambar 8 menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan C.albicans yang signifikan
(p < 0,05) terjadi paling rendah pada konsentrasi 10% CSC, dibandingkan dengan
kontrol, pada 48 jam. Laju pertumbuhan yang paling tinggi diperoleh dengan 30 dan
50% CSC.

20

Gambar 8: Pertumbuhan dari C.albicans yang diberi CSC setelah kontak dengan
fibroblas gingival. C.albicans diinkubasi selama 24 jam dengan adanya CSC dan
kemudian digunakan untuk menginfeksi kultur fibroblas gingival selama 24 atau 48
jam pada 370C. Kultur dilakukan dalam suatu sistem kultur transwell yang
memperbolehkan kontak tidak langsung antara C.albicans dan fibroblast. Sel-sel
C.albicans kemudian dikumpulkan dan dilakukan pengujian kalorimetrik MTT (n =
5).
3.1.6

C.albicans yang diberi perlakuan CSC Menurunkan Pertumbuhan


Fibroblas Gingival dan Meningkatkan Sekeresi IL-1
Efek tak lansung dari C.albicans yang diberi perlakuan CSC pada fibroblas

gingival manusia diinvestigasi dengan menggunakan sistem kultur transwell. Seperti


yang diperlihatkan pada Gambar 9(a), jumlah dari fibroblas yang tersedia pada 24
jam secara signifikan (p < 0,01) rendah dengan konsentrasi 30 dan 50% CSC,
dibandingkan dengan kultur. Namun, pada 48 jam bahkan konsentrasi 10% CSC
mengarah pada pengurangan yang signifikan (p < 0,01) dari jumlah sel. Menariknya
tidak ada perlepasan sel-sel yang teramati pada kultur dengan dan tanpa C.albicans
yang diberi perlakuan CSC. Pengurangan jumlah, oleh karenanya bukan merupakan
konsekuensi dari pelepasan sel-sel apoptotic/nekrosis tetapi lebih sebagai hasil dari

21

pengurangan laju pertumbuhan. Penurunan jumlah fibroblas ini (akibat interaksi


dengan C.albicans yang diberi perlakuan CSC) mungkin mengarah pada
berkurangnya aktivitasi anti inflamatori dari fibroblas gingival. Untuk menguji hal
ini, kami mengukur kadar dari IL-1 yang disekresikan oleh fibroblas yang
berinteraksi dengan C.albicans yang diberi perlakuan CSC. Seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 9(b), setelah kontak selama 24 jam, konsentrasi dari IL1 yang disekresi oleh fibroblas gingival yang terinfeksi dengan C.albicans yang
tidak diberikan CSC adalah sekitar 30 pg/104 fibroblas. Hal ini meningkat hampir 40
pg/104 fibroblas setelah kontak dengan C.albicans yang diberi perlakuan CSC 30%
dan lebih dari 40 pg/104 fibroblas dengan C.albicans yang diberi perlakuan CSC 50%.
Sekeresi IL-1 lebih besar setelah 48 jam kontak antara fibroblas dan C.albicans
yang diberi perlakuan CSC, mencapai hampir 100 pg/10 4 fibroblas dengan C.albicans
yang diberi perlakuan CSC 50%. Jumlah dari sel-sel yang tersedia menurun, tetapi,
dalam keadaan terdapatnya C.albicans yang diberi perlakuan CSC (Gambar 9(a)) dan
sekresi dari IL-1 meningkat (Gambar 9(b)).

Gambar 9: C.albicans yang diberi CSC mengurangi pertumbuhan fibroblas gingival.


Kultur sel kemudian diberikan C.albicans yang diberi atau yang tidak diberi CSC
selama 24 atau 48 jam pada sebuah sistem kultur transwell (panel (a)) = Fibroblas
kemudian ditripsinisasi dan jumlah ketersedian/sel

ditentukan dengan pengujian

22

trypan blue exclusion (n=4) (panel (b)) = Medium kultur pada setiap kondisi
digunakan untuk menentukan kadar IL-1 dengan ELISA (n = 4).
3.2 Pembahasan
Pada studi sebelumnnya, kami mendemonstrasikan bahwa laju pertumbuhan dari
C.albicans meningkat ketika dikultur dengan adanya CSC. Hal ini didukung dengan
studi saat ini yang menunjukkan perubahan morfologi C.albicans yang lebih besar
pada saat terdapat CSC dibandingkan dengan kontrol yang tidak terpapar.
Satu dari alasan-alasan untuk patogenesis C.albicans adalah kemampuannya
untuk berubah-berubah antara bentuk blastospora dan bentuk hifa. Hifa dianggap
perlu untuk pertumbuhan invasif, sedangkan blastospora dianggap sebagai bentuk
perluasan koloni. Dengan meningkatkan pertumbuhan dan transisi C.albicans, CSC
mungkin memainkan peranan dalam resistensi C.albicans melawan agen-agen stres
berbeda seperti stres oksidatif, osmotik, dan panas. Dalam studi ini, kami
memperlihatkan bahwa C.albicans yang diberi perlakuan CSC sensitif terhadap H2O2
tetapi resisten terhadap agen stres osmotik dan panas. Hal ini menghasilkan dugaan
bahwa pemberian CSC secara selektif mengubah resistensi C.albicans terhadap
beberapa agen stres tetapi tidak terhadap lainnya.9
Telah dilaporkan bahwa C.albicans realtif resisten terhadap reactive oxygen
species (ROS), mentoleransi sampai 20 mM H2O2 dalam kondisi tertentu. Resistensi
oksidatif ini melibatkan AP-1-like transcription factor melalui regulator respon Skn7;
namun, data ini diperoleh dalam kondisi adaptif dari C.albicans, dimana hal ini
berbeda dari percobaan paparan CSC kami. Oleh sebab itu, kami membuat hipotesa
bahwa dalam kondisi kami, C.albicans merasakan beberapa komponen-kompenen
stres di dalam CSC dan beradaptasi terhadap komponen-komponen tersebut, tetapi
ketika kontak dengan agen stres yang baru dan kuat seperti H2O2, C.albicans tidak
mampu untuk mencegah efek kerusakan dari agen stres ini. Studi mekanisme yang
terlibat selanjutnya akan memberikan kepastian dan membuka jalan pada signal
molekuler dan jalur kematian yang terlibat. Yang menariknya adalah bahwa
C.albicans yang diberi CSC menunjukkan resistensi terhadap stres osmotik dan

23

panas. Mekanisme yang mendasari resistensi tersebut masih harus diselidiki. Hal ini
mungkin termasuk jalur mitogen-activated protein (MAP) kinase yang terlibat dalam
osmoadaptasi pada jenis ragi lainnya. Studi lebih lanjut diperlukan untuk
menampilkan mekanisme signal yang terlibat dalam respon C.albicans yang diberi
CSC melawan stres.9
Protein-protein dinding sel terlibat dalam merasakan agen-agen stres. Hal ini
diketahui memainkan peranan kunci dalam patogenesis sel ragi. Karena kami telah
memperlihatkan bahwa C.albicans yang diberi CSC menghasilkan lebih banyak kitin,
hal ini bisa dianggap sebagai jalur pertahanan yang digunakan Candida untuk
mengatasi efek kerusakan dari CSC dengan memodulasi dinding sel. Tentunya, telah
dilaporkan bahwa jamur dapat mengatasi kerusakan dinding sel dengan meningkatkan
kandungan kitin untuk mempertahankan intergritas dari dinding sel. Paparan in vitro
dari C.albicans atau A.fumigtes terhadap echinocandins menunjukkan peningkatan
kompensatori dalam kandungan kitin. Oleh sebab itu peningkatan dalam biosintesis
kitin yang terlihat dalam studi saat ini bisa dianggap sebagai mekanisme resistensi
atau toleransi yang potensial dalam melawan efek-efek CSC. Hal ini bisa diartikan
sebagai sebuah pengaruh klinis yang signifikan untuk perokok, diamana sel-sel
C.albicans dengan kadar kitin yang tinggi dilaporkan mengurangi kerentanan
terhadap antijamur seperti caspofungin dan echinocandins.9
Protein-protein dinding sel diketahui memainkan peranan kunci dalam interaksi
antara sel-sel ragi dan inang melalui proses perlekatan. Penempelan C.albicans pada
sel-sel/jaringan inang merupakan faktor utama dalam meningkatkan karier ragi pada
mulut dan kemungkinan infeksi. Perlekatan ini mungkin meningkat dengan adanya
asap rokok, seperti yang diperlihatkan pada studi saat ini, dimana C.albicans yang
diberi CSC melekat lebih baik pada satu lapis fibroblas gingival daripapa C.albicans
yang tidak terpapar CSC. CSC telah diketahui mempermudah perlekatan S.mutans
pada material-material gigi dan C.albicans pada beragam material. Oleh sebab itu
kami memperlihatkan, untuk pertama kali perlekatan yang signifikan dari C.albicans
pada fibroblas gingival setelah kontak dengan CSC. Hal ini mendukung laporan

24

penelitian sebelumnya dengan zat kimi asap rokok, menunjukkan pengaruh nikotin
terhadap perlekatan bacterial pada jaringan ikat.9
Dengan melekat pada fibroblas gingival, C.albicans mungkin memiliki kondisi
yang sesuai untuk berproliferasi. Tentunya, penelitian ini menunjukkan peningkatan
pertumbuhan dari C.albicans yang diberi CSC ketika kontak dengan fibroblas
gingival manusia. Hal ini bisa disebabkan karenan kerentanan dari fibroblas terhadap
C.albicans yang diberi CSC seperti yang dilaporkan sebelumnya dengan sel-sel ragi
yang tidak terpapar dengan CSC.9
Kontak dengan sel inang bisa diperantai oleh dinding sel jamur, sebuah struktur
penting yang menyediakan kekuatan fisik dan melindungi jamur dari lingkungan
yang rentan, termasuk pelindungan C.albicans melawan respon inflamasi sel-sel
inang. Mekanisme yang mendasari proses ini masih hari diselidiki lebih lanjut.
Interaksi tidak langsung dari fibroblas gingival dengan C.albicans yang diberi
CSC menyebabkan penurunan pada ketersediaan fibroblas gingival. Diduga bahwa
penurunan terjadi bukan karena kematian sel melalui perlepasan dari piringan kultur
tetapi lebih karena penurunan pada laju pertumbuhan sel. Penelitian selanjutnya akan
memberikan penjelasan mengenai mekanisme ini.9
Menariknya, setelah kontak dengan C.albicans yang diberi CSC, fibroblas yang
tersedia secara aktif mensekresi IL-1. Tentunya, ketika membandingkan Gambar
9(a) yang berhubungan dengan pertumbuhan sel dan Gambar 9(b) yang berhubungan
dengan sekresi IL-1, gambaran yang terbalik dapat terlihat, dimana jumlah
ketersedian fibroblas yang rendah berkaitan dengan kadar yang tinggi dari sekresi IL1. Kepentingan dari IL-1 dalam melindungi inang mamalia dari infeksi C.albicans
yang invasif telah diperlihatkan dengan jelas, sebagaimana tikus yang kekurangan IL1 mengalami penurunan tingkat keselamatan dan meningkatkan beban jamur.
Kehadiran dari CSC mungkin oleh sebab itu berkontribusi dalam interaksi dari
C.albicans dengan fibroblas gingival manusia, yang mengarah pada stimulasi
fibroblas dan sekresi IL-1 dalam mengatasi efek kerusakan dari CSC dan
C.albicans, dimana C.albicans yang tidak diberi CSC memperlihatkan sekresi IL-1

25

yang rendah oleh fibroblas. Kadar IL-1 yang tinggi ini dapat mendukung proteksi
fibroblas melawan virulensi dari C.albicans yang diberi CSC.9
BAB 5
KESIMPULAN
Asap rokok meningkatkan transisi C.albicans dari bentuk blastospora menjadi
bentuk hifa. C.albicans yang diberi CSC sensitive terhadap stres oksidatif tetapi
resisten terhadap stres osmotik dan panas. C.albicans yang diberi CSC juga
menunjukkan kadar kitin yang tinggi, terutama pada kondisi kultur hifa. Sebagai
tambahan, CSC memodulasi interaksi C.albicans dengan inang dengan meningkatkan
perlekatan ragi terhadap fibroblas gingival dan juga meningkatkan proliferasi
fibroblas gingival. Kontak dengan C.albicans yang diberi CSC mempengaruhi
fibroblas dimana hal tersebut menyebabkan pengurangan pada laju pertumbuhan dan
meningkatkan sekresi IL-1. Secara keseluruhan, studi ini menyimpulkan bahwa asak
rokok bisa memperkuat patogenesis dari C.albicans, mendukung persistensi dari
patogen ini pada perokok dan meningkatkan tingkat keparahan dari kandidiasis.

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdelhabib S, Kerstin K, Humidah A, Witold C, Mahmond R. Cigarette
smoke condensate increases C. albicans adhesion, growth, biofilm formation,
and EAP1, HWP1 and SAP2 gene expression. BMC Microbilogy 2014;
14:61.
2. Katharina JV. Thesis: Oral candidiasis and moleculer epidemiology of
Candida glabrata. University of Oslo Faculty of Dentistry 2013.
3. Parveen SD. An approach to etiology, diagnosis and management of different
types of candidiasis. Journal of Yeast and Fungal Research 2013; 4(6): 63-74.
4. Akpan A, Morgan R. Review: Oral Candidiasis. Postgrad Med J 2002; 78:
455-459.
5. David W, Michael L. Review Articles: Pathogenesis and treatment of oral
candidosis.

Journal

of

Oral

Microbilogy

2011;

3:5571-

DOI:

10.3402/jom.v3i0.5771
6. Carla GC, Maria-Gracia SP, Jose VB. Current treatment of oral candidiasis: A
literature review. J Clin Exp Dent 2014; 6(5): e576-82.
7. Talia B, Dalit P, Meir G. The Association between Smoking Habits and
Candida in the Oral Cavity. International Journal of Dentristy and Oral Health
2015; Volume 1.2: http://dx.doi.org/10.16966/2378-7090.107
8. Azmi MGD, Ziad NAD, Abd Al-Wahid, Al-Zwairi. The Relationship between
Tobacco Smoking and Oral Colonization with Candida Species. The Journal
of Contemporary Dental Practice 2010; Volume 11, No.3.
9. Humidah A, Abdelhabib S, Laura O, Witold C, Andrew Z, Mohmoud R.
Cigarette Smoke-Exposed Candida albicans Increased Chitin Production and
Modulated Human Fibroblast Cell Responses. Biomed Research International
2014; http://dx.doi.org/10.1155/2014/963156
10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Tahun 2013; halaman 169-170.

27

11. Gurjeet S, Raksha, Urhekar AD. Candidal Infection: Epidemiology,


Pathogenesis And Recent Advances For Diagnosis. Bulletin of Pharmaceutical
and Medical Sciences (BOPAMS) 2013; Volume 1, Issue 1.
12. Humidah A. Thesis: Effect of cigarette smoke on Candida albicans growth and
its interaction with human gingival fibroblasts. University of Laval 2015.
13. Brooks, George F, Ernest J, Joseph LM, Edward AA. Jawetz, Melnick,&
Adelbergs medical microbiology. New York: McGraw Hill Medical, 2010.
14. Jagdish Chander. Textbook of Medical Mycology. 3rd edition, Mehta
Publishers.

Anda mungkin juga menyukai