Anda di halaman 1dari 147

CASE STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI

OLEH:
Dedi Afrianto, S. Farm (1541012195)

APOTEKER ANGKATAN IV 2015


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN APOTEKER
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS
APRIL-JUNI 2016

BAB I
TINJAUAN UMUM KASUS

1.1

Definisi Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih

dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena
trauma maupun infeksi (WHO MONICA, 1986). Stroke dengan defisit neurologik
yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke
iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan
turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi
(Hacke, 2003). Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah di otak, sehingga terjadi perdarahan di otak. Stroke hemoragik
dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid (Bruno et al.,
2000).
1.1.1

Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh

darah di otak, sehingga terjadi perdarahan di otak. Stroke hemorrhagic umumnya


terjadi karena tekanan darah yang terlalu tinggi. Hampir 70 persen kasus stroke
hemoragik terjadi pada penderita hipertensi (tekanan darah tinggi). Hipertensi
menyebabkan tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh darah, sehingga
dinding pembuluh darah menjadi lemah dan pembuluh darah rentan pecah.
Namun demikian, stroke hemoragik juga dapat terjadi pada bukan penderita
hipertensi. Pada kasus seperti ini biasanya pembuluh darah pecah karena lonjakan
tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba karena suatu sebab tertentu, misalnya
karena makanan atau faktor emosional (Bruno et al, 2000).
1.2

Epidemiologi Stroke
Stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga setelah penyakit

jantung dan keganasan. Stroke diderita oleh 200 orang per 100.000 penduduk
per

tahunnya.

Stroke

merupakan

penyebab
1

utama

cacat

menahun.

Pengklasifikasiannya adalah 65-85% merupakan stroke non hemoragik ( 53%


adalah stroke trombotik, dan 31% adalah stroke embolik). Sekitar 10-20%
disebabkan oleh perdarahan atau hematom intraserebral, dan 5-15% perdarahan
subarachnoid (Mansjoer, arief, dkk. 2001).
Stroke hemorrhagic umumnya terjadi karena tekanan darah yang terlalu
tinggi. Hampir 70 persen kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi
(tekanan darah tinggi). Hipertensi menyebabkan tekanan yang lebih besar pada
dinding pembuluh darah, sehingga dinding pembuluh darah menjadi lemah dan
pembuluh darah rentan pecah. Namun demikian, stroke hemoragik juga dapat
terjadi pada bukan penderita hipertensi. Pada kasus seperti ini biasanya pembuluh
darah pecah karena lonjakan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba karena
suatu sebab tertentu, misalnya karena makanan atau faktor emosional (Bruno et
al, 2000).
Prevalensi stroke di United State of America (USA) adalah 200 per 1000
orang pada rentang usia 45-54 tahun, 60 per 1000 pada rentang usia 65-74 tahun,
dan 95 per 1000 orang pada rentang usia 75-84 tahun. Dengan presentase
kematian mencapai 40-60%. Sedangkan di Indonesia berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi, sebanyak 57,9 persen penyakit
stroke telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan (RISKEDAS, 2013).

1.3

Patofisiologi Stroke Hemoragik


Patofisiologi stroke hemoragik tidak diketahui dengan jelas. Diketahui

bahwa adanya darah di dalam parenkim otak akan merusak jaringan otak
disekitarnya melalui 2 mekanisme yaitu efek mekanis dan efek neurotoksik dari
darah dan komponen darah serta hasil urai dari darah. Stroke pendarahan
dibedakan menjadi Pendarahan Intraserebral dan Pendarahan Subaraknoid
(Cohen, 2000).
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain
adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa,
2

alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati amyloid (Cohen,


2000).
Sedangkan pada pendarahan subaraknoid sebagian besar kasus disebabkan
oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain
adalah malformasi arterivena atau tumor (Cohen, 2000).
1.4

Faktor Risiko dan Gejala Stroke

1.4.1

Faktor Risiko

Berikut ini merupakan faktor risik stroke, antara lain (Cohen, 2000):
1. Tidak bisa dimodifikasi
a. Usia
Resiko untuk terkena stroke akan meningkat dengan meningkatnya 2
kali lipat setiap penambahan usia 10 tahun setelah usia 55 tahun.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih beresiko terkena stroke, sementara itu wanita yang
mengalami stroke lebih banyak mengalami kematian dibandingkan
laki-laki.
c. Ethnicity
Angka kematian akibat stroke lebih tinggi pada etnik amerika dan
kepulauan asia pasifik, dibandingkan dengan ras kausasia.
2. Bisa dimodifikasi
a. Hipertensi
Faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi adalah hipertensi.
Dengan

meningkatnya

efektifitas

pengobatan

hipertensi,

telah

menurunkan angka kematian akibat stroke pada tahun 1950-1980 di


Amerika Serikat.
b. Penyakit Jantung
Faktor resiko lain adalah penyakit jantung. Pasien yang mengalami
penyakit jantung koroner, CHF, atau hipertrofi ventrikel kiri atrial
fibrilasi.
c. Faktor lainnya
Meliputi aterosklerosis, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, dan
merokok.
1.4.2

Tanda dan Gejala Stroke


Serangan stroke jenis apapun akan menimbulkan deficit neurologis yang

bersifat akut (De Freitas et al., 2009).

Tabel 1. Tanda dan gejala stroke (De Freitas et al., 2009)

Tanda dan Gejala


Hemadefisit motoric

Hemidefisit sensorik

penurunan kesadaran

Kelumpuhan

Gangguan fungsi luhur seperti kesulitab bahasa


(afasia) dan gangguan fungsi intelektual (demensia)

1.5

Buta separuh lapangan pandang

Penatalaksanaan Stroke Hemoragik


Menurut PERDOSSI, 2007 tentang penatalaksanaan stroke dikelompokan

menjadi: 1) Stadium Hiperakut, Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi


Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal
bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien
diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan
dekstrosa. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks,
darah perifer lengkap dan glukosa darah serta kimia darah (termasuk elektrolit).
2) Stadium Akut, Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor faktor etiologik
maupun penyulit. Pada kasus stoke hemoragik, tekanan darah harus diturunkan
sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg,
diastolik >120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) >130 mmHg, dan
volume hematoma bertambah. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%,
dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Pada perdarahan subaraknoid, dapat
digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi,
ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau
malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).
Jika didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala
dinaikkan 30, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol dan
hiperventilasi. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol
4

bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena
rebound, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Selain itu, juga dapat ditambahkan obat golongan neuroprotektor seperti
sitikolin untuk mempertahankan fungsi jaringan otak dan dianjurkan pemberian
antifibrinolitik seperti asam tranexamat dengan tujuan untuk memperbaiki
outcome neurologik atau sebagai pencegahan dini terjadinya pendarahan
berulang.

BAB II
ANALISA FARMAKOTERAPI DRP
2.1 DESKRIPSI PASIEN
5

2.1.1 Identitas Pasien


Nama

: Tn. S

No MR

: 01. 00. XX

Alamat

: Pasaman

Umur

: 57 Tahun

Ruangan

: Flamboyan 6, kls I

Agama

: Islam

Jenis Kelamin : Laki-laki


Berat badan

: 65 kg

Kawin/ tidak : kawin


Pekerjaan/ pendidikan : Wiraswasta/SMA sederajat
Pembayaran/ status

: Umum

Masuk rumah sakit

: 23 Mei 2016

Keluar rumah sakit

: 30 mei 2016

2.1.2

Riwayat penyakit

1. Keluhan utama
Seorang pasien laki-laki 57 tahun masuk RSSN Bukittinggi melalui IGD dengan
keluhan utama lemah anggota gerak sebelah kiri sejak 10 jam sebelum masuk
rumah sakit.

2. Riwayat Penyakit sekarang


Anggota gerak bagian kiri terasa berat sejak 10 jam sebelum masuk rumah
sakit, bicara pelo ringan dengan bibir pencong, pasien mengeluh sakit
kepala, mual (-), muntah (-), gelisah, bicara kacau, BAK (+) normal, dan
BAB (+) normal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Berdasarkan wawancara kepada keluarga pasien, diketahui bahwa pasien
mengalami hipertensi sejak tiga bulan yang lalu dan tidak terkontrol,

pasien tidak memiliki riwayat diabetes melitus, penyakit jantung, dan


pasien tidak memiliki riwayat stroke sebelumnya.
4.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit stroke sebelumnya.

5.

Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok sama sekali, jarang berolahraga, dan memiliki pola
yang tidak bagus.

2.1.3 Data Penunjang


a. Data Pemeriksaan Fisik
1. Umum
Pada pemeriksaan umum pasien diketahui: tekanan darah 140/90
mmHg, nadi 96 kali/menit, nafas 22 kali/menit.
2. Khusus
Hasil pemeriksaan menunjukan tingkat kesadaran pasien compos
mentis (CM) non cooperative, GCS = E4, M6, V5 = 15, dan motorik
pasien =
5555 2222
5555 2222

3. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG = Normal.
b. Pemeriksaan Laboratorium IGD
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium IGD
7

Pemeriksaan
Hb
Leukosit
Hematokrit

Hasil
13,2 g/dL
8000 /uL
39,5 %

Trombosit
Gula darah sewaktu
Ureum
Kreatinin
Na
K
Cl

314000/uL
116 mg/dl
24 mg/dL
0,7 mg/dL
135 mmol/L
3,3 mmol/L
9,9 mmol/L

Nilai Normal
13-16 g/dl
5000-10.000/uL
L: 40-48 %
P: 37-43 %
150.000-400.000 /uL
<200 mg/dl
10-50 mg/dL
0,6-1,1 mg/dl
136-145 mmol/L
3,5-5,1 mmol/L
9,7-111 mmol/L

c. Rontgen Thorax : Tidak dilakukan


d. Anjuran : CT-Scan Kepala, menunjukan adanya pendarahan otak.
2.1.4

DIAGNOSA
Diagnosa Kerja
Hemiparesis sinista + disaritmia ringan ec. Susp. Stroke Hemoragik +
Hipertensi grade 1, sefalgia akut onset 10 jam.

2.1.5 Monitoring Kondisi Pasien


Tabel 2. Monitoring Kondisi Pasien

A
P

22 Mei
Anggota gerak kiri
terasa berat sejak 10
jam sebelum masuk
rumah sakit, bicara
pelo ringan dengan
bibir pencong, pasien
mengeluh sakit kepala.

23 Mei
Lemah anggota
gerak sebelah kiri,
bicara kacau, sakit
kepala, riwayat
hipertensi +

24 Mei
Lemah anggota
gerak sebelah
kiri, bicara
kacau, sakit
kepala, badan
pegal-pegal

TD: 140/90 mmHg,


suhu: 36,5oC , GCS:
E3V5M6, pasien
terlihat banyak tidur,
skala neri 5-6

GCS; E4 V5 M6,
suhu: 36,5oC TD:
150/90; 140/90;
150/100 mmHg,
skala nyeri 4-5

GCS: 15, TD:


130/90;
230/100;
150/100mmHg,
suhu: 36,5oC ,
skala nyeri 4-5

Stoke hemoragik
pendarahan
intraventrikuler dengan
onset 1 hari.

Stoke hemoragik
pendarahan
intraventrikuler
dengan onset 2 hari.

- Oksigen (O2) 2-4 l/i

- O2 2-4 l/menit

Stoke hemoragik
pendarahan
intraventrikuler
dengan onset 3
hari.
- Terapi lanjut

HARI RAWATAN
25 Mei
Lemah anggota
gerak sebelah kiri,
pasien mengeluh
sakit kepala

26 Mei
Lemah anggota
gerak sebelah kiri,
pasien mengeluh
sakit kepala

27 Mei
Lemah anggota
tubuh sebelah kiri,
bicara kacau, sakit
kepala, riwayat
hipertensi (+),
mual (+),

28 Mei
Lemah anggota
tubuh sebelah kiri,
bicara kacau, sakit
kepala, riwayat
hipertensi (+),
mual (+), muntah
(-)

GCS: 15, TD:


180/90;180/130;
190/90 mmHg,
suhu: 36,5oC

GCS: 15, TD:


150/80;190/120;
mmHg, suhu:
36,5oC

Kesadaran: CM
(Compos Mentis)
tidak kooperatif,
GCS : E=4 M=6
V=5
TD : 170/100;
140/90; 160/100
mmHg
Skala nyeri : 4-5

Kesadaran: CM
(Compos Mentis)
tidak kooperatif,
GCS: E=4 M=6
V=5
TD: 120/80;
130/80; 130/80
mmHg

Stoke hemoragik
pendarahan
intraventrikuler
dengan onset 4 hari.

Stoke hemoragik
pendarahan
intraventrikuler
dengan onset 5 hari.

Stoke hemoragik
pendarahan
intraventrikuler
dengan onset 6 hari.

Stoke hemoragik
pendarahan
intraventrikuler
dengan onset 7 hari.

- Terapi lanjut

- Terapi lanjut

- Terapi lanjut

- Terapi lanjut

- IVFD NaCl 0,9%/12


jam
- Injeksi ranitidin 2 x
1 ampul
- Injeksi citicolin 2 x
500 mg
- Neurodex 1 x 1
tablet
- Asam folat 1 x 10
mg
- Simvastatin 1 x 20
mg
- Lansoprazole 1 x 30
mg
- Cap cam I 2x1
kapsul
- Injeksi ondansentron
2 x 1 ampul
- Loading manitol
20% ( 250cc) +
furosemid ampul
()

- IVFD Nacl 0,9 % / - Diltiazem 2x 60


mg.
12 jam
Capcam
I 3x1
- Injeksi sitikolin 2
kapsul.
x 250 mg
- Simvastatin 1x20
mg
- Lansoprazol 1x30
mg
- Injeksi
ondansetron 2x1
ampul (4mg/2ml)
prn
- Dumin
(Paracetamol) 4x
500 mg
- Forneuro 1x1
tablet
- Allopurinol 1x300
mg
- Injeksi asam
tranexamat 3 x
500 mg.
- Tappering manitol
4-3-2-1 (125 cc
tiap pemberian) +
Furosemid
ampul.

- Diltiazem 2x 60
mg (stop)
- Capcam I 3x1
kapsul.
- Amlodipin 1x10
mg
- Dulcolax
(bisacodyl)
suppositoria
(prn)

10

- O2 stopTappering
manitol selesai
- Ulsafat sirup 3x1
sendok takar
- Betahistin 2x6
mg

- O2 stop
- Tappering manitol
selesai
- Ulsafat sirup 3x1
sendok takar
- Betahistin 2x6 mg

HARI RAWATAN

29 Mei

30 Mei

Lemah anggota tubuh sebelah kiri,


bicara kacau, sakit kepala, riwayat
hipertensi (+), mual (+), muntah (-)

Lemah anggota tubuh sebelah


kiri, bicara kacau, sakit kepala,
riwayat hipertensi (+), mual
(+), muntah (-)
Kesadaran
: CM (Compos
Mentis) tidak kooperatif,
GCS: E=4 M=6 V=5
TD: 150/90; 130/90 mmHg

Kesadaran: CM (Compos Mentis)


tidak kooperatif,
O GCS: E=4 M=6 V=5
TD: 140/80; 150/100; 130/80
mmHg
Stoke hemoragik pendarahan
Stoke hemoragik pendarahan
A intraventrikuler dengan onset 8 hari. intraventrikuler dengan onset 9
hari.
Terapi lanjut
- IVFD NaCl 0,9%/12 jam
(stop)
- Drip tramadol (stop)
- Injeksi sitikolin (stop)
P
- Injeksi asam traneksamat
(stop)
- Brain act odis (sitikolin
500mg) 2x500 mg

11

2.2 ANALISA FARMAKOTERAPI


2.2.1 Terapi Farmakologi
a. Terapi Farmakologi Pasien di IGD
-

Oksigen (O2) 2-4 l/i

IVFD NaCl 0,9%/12 jam

Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul (50mg/2ml)

Injeksi citicolin 2 x 500 mg

Neurodex 1 x 1 tablet

Asam folat 1 x 10 mg

Simvastatin 1 x 20 mg

Lansoprazole 1 x 30 mg

Cap cam I 2x1 kapsul

Injeksi ondansentron 2 x 1 ampul (4mg/2ml)

Loading manitol 20% ( 250cc) + furosemid ampul (20mg/2ml)

b. Terapi Farmakologi Pasien


Tabel 3. Terapi pasien

12

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

2.2.2

Nama obat
NaCl 0,9 %
Ranitidin
Citicolin/ cercul
250 mg
Neurodex
(Vit. B
Complex)
Asam Folat
Simvastatin
Lansoprazol
Ondansetron
Manitol
Furosemid
Cap Cam I
Dumin
(Paracetamol)
Asam
Traneksamat
Forneuro
Allupurinol
Diltiazem
Amlodipin
Candesartan
Haloperidol
Clonidin
Betahistin
Ulsafat sirup
Tramadol

Bentuk
Sediaan
Infus
IV
IV

Dosis

Indikasi

14 tetes/menit
2x50 mg
2x500mg

Terapi cairan pasien


Antiulseratif , antirefluks
Neuroprotektor

Tablet

1x1 tablet

Neurotropik

Tablet

1x1mg

Tablet
Kapsul
IV
Infus
IV
Kapsul
Tablet

1x20 mg
1x30 mg
2x1 ampul
4-3-2-1
1x ampul
2x1 kapsul
4x500mg

Memenuhi kebutuhan zat besi


dalam darah sehingga mencegah
anemia.
Antikolesterolemia
Antiulseratif , antirefluks
Antiemetik
Terapi osmotik
Diuretik kuat
Analgetik
Analgetik, antipiretik

IV

3x500mg

Antiplasminolitik

Tablet
Tablet
Tablet
Tablet
Tablet
Tablet
Tablet
tablet
Sirup
Injeksi

1x1 tablet
1x300 mg
2x60 mg
1x10 mg
1x16 mg
2x0,5 mg
2x0,15 mg
2x6 mg
3 x 1 sendok
(100mg/2 ml)
Drip 1 ampul
dalam 100 ml
NaCl 0,9%/12
jam

Neuroprotektor
Gout
Antihipertensi
Antihipertensi
Antihipertensi
Halusinasi
Antihipertensi
Anti ulceratif
Analgetik opiat

Drug Related Problem

Tabel 4. Tabel drug related problem


Jenis DRP
DRP
Indikasi yang tidak diterapi

Keterangan

Rekomendasi

Pada hari pertama rawatan

berikan obat anti gout

pasien belum mendapatkan

seperti Allopurinol.

obat untuk menangani asam


urat pasien yang cukup

13

tinggi yaitu 9,1 mg/dl.


Pasien baru mendapatkan
obat hari ke 2 rawatan.
Terapi tanpa indikasi

Penggunaan obat pada

pasien sudah tepat indikasi.


Dosis kurang

Berdasarkan perhitungan

dosis tidak ditemukan


penggunaan dosis yang
berlebih pada psien ini.
Dosis berlebih

Berdasarkan perhitungan

dosis tidak ditemukan


penggunaan dosis yang
berlebih pada psien ini.

Gagal mendapatkan obat

Pasien ini mendapatkan

semua jenis obat yang


diperlukan untuk terapinya.
Pilihan obat tidak tepat

Pemilihan obat pada pasien


sudah tepat.

ESO

Efek samping obat belum

muncul pada pasien ini.


Interaksi obat

Tidak ditemukan ada

penggunaan obat yang salig


berinteraksi saat
penggunaan bersama.
Duplikasi terapi

Tidak ditemukan adanya


duplikasi terapi pada pasien
ini.

14

2.2.3

Pembahasan
Seorang pasien berjenis kelamin laki-laki berusia 57 tahun dibawa ke

RSSN melaui IGD (instalasi gawat darurat) dengan keluhan utama anggota gerak
sebelah kiri terasa berat sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
berbicara pelo namun ringan, bibir sedikit pencong, mengalami sakit kepala
pasien tidak mengalami mual dan muntah, neyri epigastrium negatif. Pasien
didiagnosa mengalami Stroke hemoragik intraventrikuler.
Pada waktu pasien dibawa ke RSSN melalui IGD, terapi yang diterima
pasien berupa Oksigen (O2) 2-4 l/menit, IVFD NaCl 0,9%/12 jam, injeksi ranitidin
2 x 1 ampul, injeksi citicolin 2 x 500 mg, neurodex 1 x 1 tablet, asam folat 1 x 1
mg, simvastatin 1 x 20 mg, lansoprazole 1 x 30 mg, injeksi ondansentron 2 x 1
ampul, loading manitol 20% (250cc) + furosemid ampul (20mg/2ml).
Pada pasien dengan diagnosa stroke hemoragik intraventrikular faktor
pencetus utama adalah hipertensi yang tidak terkontrol. Pasien ini 3 bulan
sebelum mengalami stroke hemoragik mengalami hipertensi dengan tekanan
darah 160 mmHg dan tidak mendapatkan pengobatan untuk penangganan
hipertensinya.
Tujuan penatalaksanaan komprehensif pada kasus stroke pendarahan
adalah: (1) mencegah perdarahan lebih lanjut pada perdarahan intraserebral, (2)
mencegah secara dini komplikasi neurologik maupun medik, dan (3)
mempercepat perbaikan fungsi neurologis secara keseluruhan. Jika secara
keseluruhan dapat berhasil baik, prognosis pasien diharapkan akan lebih baik.

15

Untuk penanganan stroke hemoragik dengan pendarahan intraventrikuler


pasien ini mendapatkan terapi cairan berupa manitol 20% dengan pemberian
secara tappering (4-3-2-1). Pemberian loading dose pertama 250 ml ditambah
dengan furosemid ampul (10mg/ml) artinya pasien ini mendapatkan manitol
dengan dosis 50 mg karena tiap 1000ml mengandung 200mg manitol. Dosis
lanjutan diberikan dalam 4-3-2-1 dengan volume pemberian 125ml artinya pasien
mendapatkan 25mg manitol. Hari pertama diberikan manitol 4 kali sehari 125ml,
kemudian dilanjutkan 3 kali sehari 125 ml, 2 kali sehari 125ml dan 1 kali 125 ml
untuk hari terakhir pemberian.
Tujuan pemberian manitol secara tappering off

atau pemberhentian

perlahan ditujukan untuk mecegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial


dan mencegah terjadinya fenomena rebound atau keadaan umum memburuk serta
pendarahan ulang karena penghentian cairan secara mendadak. Manitol
merupakan cairan yang diberikan untuk menangani stroke akut, tergolong diuretik
osmotik. Manitol diberikan bersamaan dengan furosemid karena mempunyai efek
sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Pasien yang diberikan
manitol harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol) (PERDOSSI,
2007).
Pasien ini memiliki bobot badan 65kg. Berdasarkan perhitungan dosis
menggunakan berat badan pasien dosis yang diterima pasien ini sudah tepat.
Berdasarkan PERDOSSI 2007 dosis manitol yaitu 0,25-1g/kgBB sehingga dosis
pada pasien ini adalah 16,25-65 gram. Perhitungan dosis manitol yang diberikan
pada pasien dapat juga berdasarkan osmolaritas pasien. Berdasarkan perhitungan
osmolaritas pasien sebesar 284,9 osmol/L (Lampiran 1). Seharusnya pasien yang

16

mendapatkan cairan manitol 20% diperiksa kadar osmolaritas nya 2 kali dalam
sehari namun pada pasien ini tidak dilakukan karena mengingat biaya dan
keefektifan waktu.
Terapi cairan lain yang diterima oleh pasien adalah NaCl 0,9% yang
diberikan 1 kolf/12 jam. Pada pasien dengan stroke akut

pemberian nutrisi

dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL (PERDOSSI,2007).


Pasien ini mendapatkan terapi cairan kristaloid dengan jumlah 1000 mL per 24
jam. Dilihat dari jumlah asupan cairan pasien yang cukup maka pemberian terapi
cairan kristaloid dengan jumlah ini dinilai sudah tepat.
Penatalaksanaan kasus stoke hemoragik, tekanan darah harus diturunkan
sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg,
diastolik >120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) >130 mmHg, dan
disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah
proyektil, penurunan kesadaran, dan nyeri hebat. Apabila tidak disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intrakarnial, tekanan darah harus diturunkan secara
hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi dengan pemantauan tekanan
darah setiap 15 menit hingga MAP 110mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg.
Pada pasien stroke pendarahan intraserebral, penurunan tekanan darah dengan
cepat hingga 140 mmHg cukup aman. Target penurunan tersebut adalah 15-25%
pada jam pertama, dan 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama (PERDOSSI, 2011).
Pada kasus ini tekanan darah pasien masih belum terkontrol. Hari kedua
rawatan tekanan darah tertinggi pada pasien adalah 150/100 mmHg, sedangkan
pada hari ketiga rawatan tekanan darah tertinggi pasien 230/100 mmHg, pasien
diberikan antihipertensi golongan Calsium Chanel Blocker yaitu diltiazem 60mg.

17

Hari keempat rawatan obat antihipertensi pasien diganti menjadi amlodipin 10 mg


yang masih golongan Calsium Chanel Blocker.
Hari rawatan kelima tekanan darah pasien masih belum terkontrol pasien
diberikan tambahan antihipertensi golongan ARBs (Angiostensin II Reseptor
Blocker) yaitu candesartan 16 mg dan clonidin 0,15 mg (Alpha II Agonist).
Pemilihan obat hipertensi pada pasien ini sudah tepat dengan menggunakan 3
kombinasi antihipertensi. Menurut dipiro pilihan obat untuk pasien hipertensi
adalah diuretik dengan golongan ACE-inhibitor atau dengan ARBs.
Pasien ini mendapatkan neuroprotektor berupa citicolin yang juga
tergolong sebagai aktivator serebral. Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang
bersifat vasodilator. Citicolin ini digunakan untuk melindungi jaringan otak.
Selain itu pasien juga mendapatkan multivitamin Forneuro yang berisikan
vitamin B1,B6, B12, Vit. E dan asam folat digunakan sebagai multivitamin
neurotropik untuk membantu memperbaiki fungsi otak pasien.
Penggunaan

asam

traneksamat

pada

pasien

ini

adalah

untuk

antifibrinolotik. Penggunaan asam traneksamat dianjurkan pada pasien stroke


pendarahan intracerebral. Pemberian asam traneksamat dianjurkan pada pasien
dengan keadaan klinis seperti pada pendarahan intracerebral dengan resiko
vasospasme rendah dan penundaan operasi (PERDOSSI, 2011).

Asam

traneksamat merupakan derivat amino lisin yang merangsang faktor pembekuan


darah (F VIIa). Faktor VIIa rekombinan dapat membatasi perluasan hematoma
pad pasien stroke hemoragik. Bekerja dengan meningkatkan ikatan plasminogen
dan memblok ikatan antar plasminogen dengan fibrin. Efek dari asam traneksamat
berupa pencegahan degradasi fibrin dan pemecahan faktor koagulasi telah

18

dibuktikan secara klinis dengan berkurangnya jumlah pendarahan, mengurangi


waktu pendarahan dan periode pendarahan. Oleh karna itu asam traneksamat
masih diberikan pada pasien dengan stroke hemoragik.
Pasien ini mengalami nyeri dengan tingkatan nyeri sedang. Penanganan
nyeri termasuk upaya penting dalam menurunkan tekanan darah pada penderita
stroke

pendarahan

intraserebral

(PERDOSSI,

2011).

Pada

pasien

ini

penatalaksanaan nyeri yang digunakan adalah acetaminophen (paracetamol


500mg). Pada hari rawatan ke lima nyeri pasien masih belum teratasi sehingga
pasien diberikan cap cam 1. Obat ini berisikan paracetamol 300 mg, tramadol 50
mg dan amitriptilin 2,5 mg diberikan 3 kali sehari. Terapi ini sudah sesuai dengan
WHO-3 Step Ladder dimana untuk nyeri sedang terapinya adalah parasetamol +
Opiat lemah + antidepresan. Pasien juga mendapatkan drip tramadol/12 jam.
Pemilihan obat untuk penangan nyeri sedang ini sudah tepat. Penanganan nyeri
sedang dapat menggunakan acetaminophen, codeine, hydrocodone, oxycodone,
dyhydrocodein dan tramadol. Pasien ini sedikit gelisah sehingga pasien diberikan
haloperidol dengan dosis rendah 0,5mg. Penggunaan haloperidol pada pasien ini
sudah tepat.
Berdasarkan hasil laboratorium pasien diketahui bahwa kadar asam urat
pasien cukup tinggi yaitu 9,1 mg/dL. Kondisi ini diatasi dengan pemberian
Alopurinol 300mg sekali sehari. Alopurinol merupakan penghambat xanthineoxidase yang bekerja dengan cara mengubah hipoxantin menjadi xantin,
selanjutnya mengubah xantin menjadi asam urat. Dalam tubuh alopurinol
mengalami metabolisme menjadi oksipurinol (alozatin) yang juga bekerja sebagai
penghambat enzim xantin oksidase. Mekanisme kerja senyawa ini berdasarkan

19

katabolisme purin dan mengurangi produksi asam urat, tanpa mengganggu


biosintesa purin.
Pasien dengan stroke akut kemungkinan dapat mengalami stress ulcer.
Umtuk mencegah timbulnya pendarahan lambung maka pada pasien ini diberikan
sitoprotektor atay penghambat H2 perlu diberikan. Pada pasien ini pasien
mendapatkan Ranitidin dalam bentuk injeksi selama 2 hari rawatan dan kemudian
diganti dengan Lansoprazole yang merupakan golongan inhibitor pompa proton.
Penggunaan penghambar reseptor AH2 dengan ihibitor pompa proton pada pasien
dengan stroke akut tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil, sehingga
penggunaan nya pada pasien ini sudah tepat.

2.3 Edukasi Pada Orang Tua


1. Pengenalan tanda dan gejala dini stroke dan upaya rujukan ke rumah sakit
harus segera dilakukan yaitu Face, Arm, Speech, To hospita (FAST).
2. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya.
3. Menyarankan pasien restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu
fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi.
4. Menjelaskan tentang pencegahan stroke berulang pada pasien atau
prevensi sekunder.

20

5. Menekankan pentingnya perubahan pola prilaku hidup sehat pada pasien


dan keluarga.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa,
pemeriksaaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, pasien didiagnosa menderita
Stroke Hemoragik (Pendarahan intraventrikular). Berdsarkan pengobatan yang
diberikan pada pasien sudah tepat, namun ada indikasi yang baru diterapi pada
hari kedua.
3.2 Saran

21

Disarankan kepada pasien untuk banyak istirahat, tidak kelelahan dan


menjaga asupan makanan.

DAFTAR PUSTAKA
Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. The subacute stroke patient: hours 6 to 72 after
stroke onset. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. McGrawHill. 2000. pp. 53-87.
Cohen SN. 2000. The subacute stroke patient: Preventing recurrent stroke. In
Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. Mc Graw Hill. pp. 89-109.
Currie CJ, Morgan CL, Gill L, Stott NCH, Peters A. 1997. Epidemiology and
costs of acute hospital care for cerebrovascular disease in diabetic and
non diabetic populations. 28: 1142-6.

22

Freitas GR, Christoph DDH, Bogousslavsky J. 2009. Topographic classification


of ischemic stroke, in Fisher M. (ed). Handbook of Clinical Neurology,
Vol. 93 (3rd series). Elsevier BV.
Hacke W, Kaste M, Bogousslavsky J, Brainin M, Chamorro A, Lees K et al..
Ischemic Stroke Prophylaxis and Treatment - European Stroke Initiative
Recommendations 2003.
Mansjoer, arief, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid Pertama.
Jakarta. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
PERDOSSI. 2007. Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta : PERDOSSI.
PERDOSSI. 2011. Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta : PERDOSSI.
Price, Sylvia A. 1995.Edisi 4. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta. EGC.
RISKESDAS. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
WHO. 2006. MONICA. Mannual Version 1:1.

LAMPIRAN 1. Perhitungan Osmolaritas Serum Pasien

= 284,97 osm/L

23

24

Lampiran 2. Pemakaian obat


Tabel 5. Pemakaian obat
No.

Nama Obat

Bentuk
Sediaan

Dosis

1.

NaCl 0,9 %

Infus

14 tetes/menit

2.

Ranitidin

IV

2x50 mg

3.

Citicolin

IV

2x500mg

4.

1x1 tablet

5.

Neurodex
Tablet
(Vit. B Complex)
Asam Folat
Tablet

6.

Simvastatin

Tablet

1x20 mg

7.

Lansoprazol

Kapsul

1x30 mg

8.

Ondansetron

IV

2x1 ampul

9.

Manitol

Infus

4-3-2-1

10.

Furosemid

IV

1x ampul

11.

Cap Cam I

Kapsul

2x1 kapsul

13.

Asam
Traneksamat

IV

3x500mg

22/5/16
P

23/5/16

M P

24/5/16

M P

1x1 mg

25

25/5/16

M P

26/5/16

M P

27/5/16

M P

28/5/16

M P

29/5/16
P

14.

IV

2x500 mg

15.

Cercul
(Citicolin)
Forneuro

Tablet

1x1 tablet

16.

Allupurinol

Tablet

1x300 mg

17

Diltiazem

Tablet

2x60 mg

18.

Amlodipin

Tablet

1x10 mg

19.

Candesartan

Tablet

1x16 mg

20.

Haloperidol

Tablet

2x0,5 mg

21.

Clonidin

Tablet

2x0,15 mg

26

Lampiran 3. Lembaran pengkajian Obat


Tabel 6. Lembaran pengkajian Obat
Nama : Tn. S
Umur : 57 Tahun
Hari dan
No.
Tanggal
1.
Minggu, 22
Mei 2016

3.

Minggu, 22
mei 2016

BB : 65 kg
TB : - cm
Kode
Uraian Masalah
Masalah
1a
Pasien mendapatkan ondansetron dalam bentuk
sediaan injeksi (ampul) yang diberikan sejak
pasien di IGD 22 Mei 2016 Penggunaan
ondansetron pada pasien dinilai tidak tidak ada
indikasi, karena tidak ditemukan adanya
indikasi mual-muntah pada pasien.
1b
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
pasien tanggal 22 mei 2016 asam urat pasien
tinggi 9,1 mg/dl dan pasien belum mendapatkan
terapi.

No. DMK : 01.68.XX


Ruangan neuro/kelas 2
Rekomendasi/ Saran

Indikasi
a. Tidak ada indikasi

b.
c.

2.
3.

Kontra Indikasi
Pemilihan Obat
Dosis obat
a. Kelebihan (over dose)

b.

4.
5.
6.
7.
8.

Ada indikasi,tidak ada terapi

Kekurangan (under dose)


Interval pemberian
Cara/waktu pemberian
Rute Pemberian Obat
Lama pemberian
Interaksiobat:

a.
b.
c.

Obat
Makanan/minum

Hasil Lab
9. ESO/ ADR/ Alergi
10. Ketidaksesuaian RM dengan :
a. Resep
11.
12.
13.
14.
15.

Tindak Lanjut

Penggunaan Ondansetron dihentikan dan diberikan pada


saat pasien mengalami mual-muntah (KP).

Ondansentron digunakan bila


perlu, pasien ini mengalami
mual muntah pad har ke 3
rawatan.

Pasein harusnya mendapatkan allopurinol

Pasien mendapatkan allopurinol


pada hari kedua rawatan.

Kode Masalah :
1.

Dokter :dr. RF
Farmasis: Dedi dan Elfa

16. Kepatuhan
17. Duplikasi terapi
18. Lain-lain

b. Buku Injeksi
Kesalahan penulisanresep
Stabilitas sediaan injeksi
Sterilitas sediaan injeksi
Kompatibilitas obat
Ketersediaan obat/kegagalan
mendapatkanobat
27

BAB I
TINJAUAN UMUM KASUS
1.1 Kejang demam
1.1.1

Pengertian Kejang Demam


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal di atas 38C) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat,
gangguan elektrolit atau metabolik lain. Kejang disertai demam pada bayi
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (Pudjiadi et.al, 2009).
1.1.2

Klasifikasi Kejang Demam

Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu (Pusponegoro et.al,


2006):
1.

Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)


Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang
demam.

2.

Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)


Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
- Kejang lama > 15 menit.
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

1.1.3

Epidemiologi
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya
merupakan kejadian tunggal dan

tidak berbahaya. Berdasarkan studi

populasi, angka kejadian kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa 27%,
28

sedangkan di Jepang 910%. Dua puluh satu persen kejang demam durasinya
kurang dari 1 jam, 57% terjadi antara 1-24 jam berlangsungnya demam, dan
22% lebih dari 24 jam. Sekitar 30% pasien akan mengalami kejang demam
berulang dan kemudian meningkat menjadi 50% jika kejang pertama terjadi
usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 935% kejang demam pertama kali adalah
kompleks, 25% kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah
epilepsi.
1.1.4

Patofisiologi
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan
letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan
sitokin yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat
seiring kejadian demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam
biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen
endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai
pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi prodan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor-alpha (TNF-), IL-6,
interleukin-1 receptor antagonist (IL-1), dan prostaglandin E2 (PGE2).
Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel endotelial circumventricular akan
menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengkatalis
konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus pusat
termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam
juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen endogen,
yakni

interleukin

1,

akan

meningkatkan

eksitabilitas

neuronal

(glutamatergic) dan menghambat GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas


neuronal ini yang menimbulkan kejang (Arief R.F, 2015).
1.1.5

Penatalaksanaan Kejang Demam


Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk (Melda, 2002):

Mencegah kejang demam berulang

29

Mencegah status epileptikus

Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi

Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

Pengobatan Fase Akut Pada Saat Kejang


Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga
agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan
untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi
dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian
oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan
kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat
diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik
(asetaminofen oral 10 mg/kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg
BB, 4 kali sehari) (Melda, 2002).
Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam
fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam
dapat diberikan secara intravena atau rektal jika diberikan intramuskular
absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB,
diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian
tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum
terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat
badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg.
Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta dapat pula diberikan
oleh orang tua di rumah. Bila diazepam

tidak tersedia, dapat diberikan

luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50


mg untuk usia 1 bulan 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun.
Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk
mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam
ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik Namun

30

efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena


(Melda, 2002).

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat


diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan
ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin
secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif (Pusponegoro et.al, 2006).
Pengobatan pada saat demam
1. Antipiretik
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun
para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
boleh lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
Meskipun jarang, acetylsalicylic acid dapat menyebabkan sindrom Reye,
terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga tidak dianjurkan (Arief
R.F, 2015).
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu
pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5
C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi

yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan


fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam
(Pusponegoro et.al, 2006)..

31

Pengobatan profilaksis
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Terdapat 2 jenis profilaksis, yaitu (Melda, 2002) :

Profilaksis intermittent pada waktu demam


Pengobatan profilaksis intermittent dengan anti konvulsan segera
diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38C).
Pilihan

obat

harus

dapat

cepat

masuk

dan

bekerja

ke

otak.Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya


kejang berulang. Rosman dkk meneliti bahwa diazepam oral efektif
untuk mencegah kejang demam berulang dan bila diberikan
intermittent hasilnya lebih baik karena penyerapannya lebih cepat.
Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis per rektal tiap 8
jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10
kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg.
Dosis oral diberikan 0,5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 3 dosis,
diberikan bila pasien menunjukkan suhu 38,50C atau lebih. Efek
samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotoni.

Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.


Indikasi pemberian profilaksis terus menurus pada saat ini adalah :
a. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelaian atau ganggun
perkembangan neurologis
b. Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua
atau saudara kandung
c. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
d. Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1
2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1 2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus
hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
32

berat,

tetapi

tidak

dapat

mencegah

timbulnya

epilepsi

di

kemudian hari.
Pemberian fenobarbital 4 5 mg/kg BB perhari dengan kadar
sebesar

16

mg/mL

dalam

darah

menunjukkan

hasil

yang

bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek


samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan
agresif

ditemukan

pada

3050

kasus.

Efek

samping

fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain


yang dapat digunakan adalah asam valproat yang memiliki
khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane meneliti
kejadian kejang berulang sebesar 5,5 % pada kelompok yang
diobati dengan asam valproat dan 33 % pada kelompok tanpa
pengobatan dengan asam valproat. Dosis asam valproat adalah
15 40 mg/kg BB perhari. Efek samping yang ditemukan adalah
hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin
tidak memiliki efek profilaksis terus menerus .

1.2

Pimosis
1.2.1

Defenisi
Pimosis (Phimosis) merupakan salah satu gangguan yang timbul pada

organ kelamin bayi laki-laki, yang dimaksud dengan pimosis adalah keadaan
dimana kulit kepala penis (preputium) melekat pada bagian kepala (glans) dan
mengakibatkan tersumbatnya lubang di bagian air seni, sehingga bayi dan
anak kesulitan dan kesakitan saat kencing, kondisi ini memicu timbulnya
infeksi kepala penis (balantis) (Shahid, 2012).
1.2.2
Etiologi
Pimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang
diantara kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini
menyebabkan kulup menjadi melekat pada kepala penis, sehingga sulit ditarik
ke arah pangkal. Kurangnya kebersihan dapat menyebabkan balantitis dan
posthitis atau keduanya (Shahid, 2012).
1.2.3
Diagnosa
Diagnosis pimosis terutama klinis dan tidak ada tes laboratorium atau
studi pencitraan yang diperlukan. Ini mungkin diperlukan untuk

33

infeksi

saluran kemih atau infeksi kulit. Dokter yang merawat harus bisa
membedakan perkembangan non-retractability dari patologi pimosis. Tingkat
keparahan pimosis harus ditentukan. Penentuan etiologi pimosis, jika
mungkin, harus dicoba (Shahid, 2012).
1.2.4

Pengobatan
Pengobatan pimosis pada anak-anak tergantung pada preferensi orang

tua, dapat dengan sunat plastik atau radikal setelah selesai tahun kedua
kehidupan. sunat plastik (sayatan dorsal, sunat parsial) membawa potensi
terulangnya pimosis tersebut. Terkait frenulum dikoreksi oleh frenektomi.
Meatoplasti

ditambahkan

jika

perlu.

sunat

anak

usia

bayi

tidak

direkomendasikan tanpa alasan medis (S.Tekgul et.al, 2011).


Steroid Topikal
Steroid topikal telah dicoba dalam kasus-kasus pimosis sejak lebih
dari 2 dekade. Secara keseluruhan, penelitian menggunakan krim topikal
untuk pimosis telah menghasilkan hasil yang dramatis. angka khasiat berkisar
65-95%. Mekanisme kerja terapi steroid topikal di pimosis tidak diketahui
persis. Hal ini diyakini untuk bertindak melalui tindakan anti-inflamasi dan
imunosupresif local (Shahid, 2012).
Steroid mungkin bertindak dengan merangsang produksi lipocortin.
Hal ini pada gilirannya menghambat aktivitas fosfolipase A2 dan karenanya
produksi asam arakidonat berkurang. Steroid juga menurunkan mRNA dan
karenanya interleukin-1 formasi berkurang. Hal ini menyebabkan antiinflamasi dan imunosupresi. Steroid juga menyebabkan penipisan kulit.
sintesis kulit glikosaminoglikan (terutama asam hyaluronic) oleh fibroblast
berkurang. Epidermal proliferasi dan ketebalan stratum korneum juga
menurun. Betametason 0,05% diterapkan dua kali sehari selama periode 4
minggu secara konsisten menunjukkan hasil yang baik (Shahid, 2012).

34

Tingkat keberhasilan lebih tinggi pada anak laki-laki yang lebih tua
dengan tidak ada infeksi. kepatuhan miskin tercatat menjadi penyebab
kegagalan. Studi yang dilakukan pada anak-anak muda juga telah
menghasilkan hasil yang baik. 0,1% penggunaan betametason krim juga
dihasilkan hasil yang sebanding. Dewan et al. menemukan khasiat 65%
dengan krim hidrokortison 1%. steroid lainnya mencoba dan ditemukan
efektif dalam pimosis termasuk clobetasol propionat 0,05%, 0,1%
triamsinolon, dan mometason dipropionat. Usia pasien, jenis dan tingkat
keparahan dari pimosis, aplikasi yang tepat dari salep, kepatuhan pengobatan,
dan perlunya menarik kembali kulup secara teratur memberikan kontribusi
baik keberhasilan atau kegagalan obat. Efek samping dengan steroid topikal
yang langka dan ringan dan termasuk rasa sakit preputial dan hiperemia.
Tidak ada efek samping yang signifikan dilaporkan bahkan pada pasien muda
(Shahid, 2012).
1.3

Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih (ISK) ialah istilah umum untuk menyatakan
adanya pertumbuhan

bakteri di dalam saluran kemih, meliputi infeksi di

parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih. Pertumbuhan bakteri yang


mencapai 100.000 unit koloni per ml urin segar pancar tengah (midstream
urine) pagi hari, digunakan sebagai batasan diagnosis ISK (Pudjiadi et.al, 2009).
Infeksi saluran kemih merupakan penyebab demam kedua tersering
setelah infeksi akut saluran napas pada anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada
kelompok ini angka

kejadian ISK mencapai 5%. Angka kejadian ISK

bervariasi, tergantung umur dan jenis kelamin. Angka kejadian pada neonatus
kurang bulan adalah sebesar 3%, sedangkan pada neonatus cukup bulan 1%.
Pada anak kurang dari 10 tahun, ISK ditemukan pada 3,5% anak perempuan
dan 1,1% anak lelaki. Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegah
penderita ISK dari komplikasi pembentukan parut ginjal dengan segala

35

konsekuensi

jangka panjangnya seperti hipertensi dan gagal ginjal kronik

(Pudjiadi et.al, 2009).


1.3.1

Diagnosis
Anamnesis
Gambaran klinis ISK sangat bervariasi dan sering tidak khas, dari
asimtomatik sampai gejala sepsis yang berat. Pada neonatus sampai usia 2
bulan, gejalanya menyerupai gejala sepsis, berupa demam, apatis, berat badan
tidak naik, muntah, mencret, anoreksia, problem minum, dan sianosis
(Scruggs & Michael, 2004).
Pada bayi, gejalanya berupa demam, berat badan sukar naik, atau
anoreksia. Pada anak besar, gejalanya lebih khas, seperti sakit waktu miksi,
frekuensi miksi meningkat, nyeri perut atau pinggang, mengompol,
polakisuria, atau urin yang berbau menyengat (Pudjiadi et.al, 2009).
Pemeriksaan fisis
Gejala dan tanda ISK yang dapat ditemukan berupa demam, nyeri
ketok sudut kosto-vertebral, nyeri tekan suprasimfisis, kelainan pada genitalia
eksterna seperti Pimosis, sinekia vulva, hipospadia, epispadia, dan kelainan
pada tulang belakang seperti spina bifida (Pudjiadi et.al, 2009).
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan proteinuria, leukosituria
(leukosit > 5/LPB), hematuria (eritrosit > 5/LPB).Diagnosis pasti dengan
ditemukannya bakteriuria bermakna pada kultur urin, yang jumlahnya
tergantung dari metode pengambilan sampel urin (Pudjiadi et.al, 2009).
Pemeriksaan penunjang lain dilakukan untuk mencari faktor risiko
seperti disebutkan di atas dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi, foto
polos perut, dan bila perlu dilanjutkan dengan miksio-sisto-uretrogram dan

36

pielografi intravena. Algoritme penanggulangan dan pencitraan anak dengan


ISK dapat dilihat pada lampiran. Pemeriksaan ureum dan kreatinin serum
dilakukan untuk menilai fungsi ginjal (Pudjiadi et.al, 2009).
Tata laksana
Medikamentosa
Penyebab tersering ISK ialah Escherichia coli. Sebelum ada hasil
biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik selama 7-10
hari untuk eradikasi infeksi akut. Jenis antibiotik dan dosis dapat dilihat pada
lampiran. Anak yang mengalami dehidrasi, muntah, atau tidak dapat minum
oral, berusia satu bulan atau kurang, atau dicurigai mengalami urosepsis
sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk rehidrasi dan terapi antibiotika
intravena (Pudjiadi et.al, 2009).
Bedah
Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan.
Suportif
Selain pemberian antibiotik, penderita ISK perlu mendapat asupan cairan
yang cukup, perawatan higiene daerah perineum dan periuretra, serta
pencegahan konstipasi (Pudjiadi et.al, 2009).

Terapi
Tabel 1. Dosis antibiotika untuk infeksi saluran kemih Berdasarkan Pedoman
Pelayanan Medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia

37

Tabel 2. Dosis antibiotika untuk infeksi saluran kemih berdasarkan Pediatric


Treatment Guidelines (Scruggs & Michael, 2004).
Antibiotika

Dosis

Neonatus
Ampicillin

7.5 mg/kg/day IV/IM q8h

Gentamicin

100 mg/kg/day IV/IM q6h

Anak-anak
Ceftriaxone

50 mg /kg/day (IM, IV) q24h

Cefotaxime

100 mg /kg/day (IV) q6-8h

Ampicillin/sulb actam

100-200 mg of ampicillin/kg/day q6h

Gentamicin

3-7.5 mg /kg/day(IV, IM) q8h

38

BAB II
ANALISA FARMAKOTERAPI - DRP
2.2 DESKRIPSI PASIEN
2.1.1 Identitas Pasien

39

Nama

: An. I

No MR: 01. 27. XX


Alamat

: Gg. Parak pisang No. 14 A, Tarok Dipo

Umur

: 6 bulan

Ruangan

: Anak, kls I

Agama

: Islam

Jenis Kelamin : Laki-laki


Berat badan

: 6,9 kg

Kawin/ tidak : tidak


Pekerjaan/ pendidikan : -/ Pembayaran/ status

: BPJS kls 1

Masuk rumah sakit

: 6 April 2016

Keluar rumah sakit

: 11 April 2016

2.1.4

Riwayat penyakit

6. Keluhan utama
Seorang pasien, laki-laki a.n I berusia 6 bulan dengan berat badan 6,9 kg
dibawa ke RSSN pada tanggal 6 April 2016 di bangsal anak dengan keluhan
utama kejang di rumah 1 kali selama 1 menit.
7. Riwayat Penyakit sekarang
Pasien mengalami kejang 1 kali selama 1 menit, 30 menit sebelum dibawa
ke RSSN dengan kejang pada seluruh tubuh, setelah kejang pasien sadar.
Demam 3 hari yag lalu, nafsu makan menurun, batuk (-), pilek (-), buang air
kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) normal. Pasien juga mengalami
pimosis dan sudah dilakukan tindakan dilatasi preputium oleh dokter urologi 2
hari sebelum masuk rumah sakit dan diberikan antibiotik cefixime. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium, diketahui bahwa leukosit pasien tinggi dari normal
dan mengalami infeksi saluran kemih setelah dilakukan dilatasi preputium.
8. Riwayat Penyakit Dahulu

40

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari ibu pasien, diketahui bahwa pasien
pernah mengalami kejang demam pada usia 3 bulan.
2.1.5
Data Penunjang
b. Data Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Sedang
Tingkat kesadaran
: Sadar
Berat badan
: 6,9 Kg
Suhu
: 38,4 C
Nadi
: 110 kali/menit
Pernapasan
: 28 kali/menit
Kuduk kaku (-)
Reflek pupil
: isokor
Preputium hiperemis (pasca dilatasi)
c.

Data laboratorium

Tabel 3. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien


Parameter
Hb
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Gula Darah Random (GDR)
Gula Darah Puasa
Gula Darah PP
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin

Nilai
12
13,4.103 /uL
30,0 %
160.
102 mg/dL
34,32 103/L
4,39 103/L
10,1 g/dL

Nilai Normal
13-16 g/dl
5000-10000/uL
42-54 %
150-400103 /uL
<126 mg/dL
4,8-10,8 103/L
4,7-6,8 103/L
14-38 g/dL

2.1.6 DIAGNOSA
DIAGNOSA PENYAKIT
Diagnosa utama
: Kejang Demam Simpleks
Diagnosa tambahan : Pimosis dan Infeksi Saluran Kemih (ISK).

41

Ket

42

2.1.7 Monitoring Kondisi Pasien


Tabel 4. Monitoring Kondisi Pasien
6/04/2016
Pasien masih
S demam tapi sudah
tidak kejang
Suhu : 38,4oC,
BB : 6,9 Kg,
leukosit tinggi
(13,4), preputium
O
hiperemis pasca
dilatasi.

HARI RAWATAN
8/04/2016
9/04/2016
Pasien kembali
Pasien tidak
demam, kejang (-)
demam, kejang (-)

7/04/2016
Pasien tidak
demam, dan sudah
tidak kejang
Suhu : 37,1oC,
Suhu : 37,9oC, BB :
BB : 6,9 kg,
6,9 kg, leukosit
leukosit tinggi,
tinggi (13)dan
protein ditemukan preputium
dalam urin (+2),
hiperemis pasca
preputium
dilatasi
hiperemis pasca
dilatasi
Kejang demam +
Kejang demam +
Kejang demam +
A
pimosis + ISK
pimosis + ISK
pimosis + ISK
P -IVFD Ka EN 1B + - IVFD Ka EN 1B - IVFD Ka EN 1B +
KCl 10 mcg 8
+ KCl 10 mcg 7
KCl 10 mcg 7
tetes permenit
tetes permenit
tetes permenit
diberikan i.v
diberikan i.v
diberikan i.v
-Paracetamol drop 4 - Paracetamol
- Paracetamol drop 4
x sehari 0,7 cc
drop 4 x sehari
x sehari 0,7 cc
diberikan secara
0,7 cc diberikan
diberikan secara
PO
secara PO
PO
-Cefotaxim injeksi
- Cefotaxim
- Cefotaxim injeksi
2 x sehari 300 mg
injeksi 2 x sehari 2 x sehari 300 mg
diberikan secara
300 mg
diberikan secara i.v

10/04/2016
Pasien tidak
demam, kejang (-)

11/04/2016
Pasien tidak
demam, kejang (-)

Suhu : 37,4oC,
BB : 6,9 kg,
leukosit tinggi dari
normal(12),
preputium
hiperemis pasca
dilatasi.

Suhu : 37,4oC,
BB : 6,9 kg,
leukosit tinggi dari
normal, preputium
hiperemis pasca
dilatasi.

Pasien
diperbolehkan
pulang

Kejang demam +
pimosis + ISK
- Paracetamol drop
4 x sehari 0,7 cc
diberikan secara
PO
- Cefotaxim injeksi
2 x sehari 300
mg diberikan
secara i.v
- Phenobarbital 2 x
15 mg, diberikan
secara PO.

Kejang demam +
pimosis + ISK
- Paracetamol drop
4 x sehari 0,7 cc
diberikan secara
PO
- Cefotaxim
injeksi 2 x sehari
300 mg
diberikan secara
i.v
- Phenobarbital 2 x
15 mg, diberikan

Kejang demam +
pimosis + ISK
Pasien diberikan
profilaksis
intermitent berupa
diazepam oral.
Pasien diberikan
cefixim 2 x 3 ml.

42

i.v
-Sibital
(Phenobarbital)
injeksi 1 x sehari
50 mg, diberikan
secara i.m
-Phenobarbital 2 x
30 mg, diberikan
secara PO

diberikan secara
i.v
- Phenobarbital 2
x 30 mg,
diberikan secara
PO

- Phenobarbital 2 x
15 mg, diberikan
secara PO.

secara PO.

43

2.2 ANALISA FARMAKOTERAPI


2.2.1 Terapi Farmakologi
c. Terapi Farmakologi Pasien Sebelum Masuk RSSN
Berdasarkan wawancara dengan orangtua pasien, diperoleh informasi bahwa
pasien sebelum dibawa ke RSSN telah mendapatkan diazepam 5mg melalui
rektal untuk mengatasi kejang pasien.
d. Terapi Farmakologi Pasien di IGD
IVFD Ka EN 1B + KCl 10 mcg diberikan secara intra vena 8 tetes per menit.
R/Paracetamol drop (Sanmol) 4 x sehari 0,8 cc diberikan secara peroral.
R/ Cefotaxim injeksi 2 x sehari 300 mg diberikan secara intra vena.
R/ Sibital (phenobarbital) injeksi 1 x sehari 50 mg diberikan secara intra
muscular.
R/
Phenobarbital 2 x 30 mg diberikan secara peroral.
e. Terapi Farmakologi Pasien di Bangsal
Tabel 5. Terapi pasien di bangsal
No
1.

Ka EN 1B + KCl

Bentuk
Sediaan
IV (Infus)

2.

Cefotaxim

Injeksi

2x300 mg

3.

Sanmol syr
(Paracetamol)
Phenobarbital

Sirup

4x0,7 cc

Injeksi
Oral

1x50 mg
2x30mg
2x15mg

4.

2.2.4

Nama obat

Dosis
8 tetes/menit

Indikasi
Sebagai larutan
awal pada bayi,
bayi premature
atau bayi baru
lahir, bila status
elektrolit pasien
belum diketahui.
Terapi infeksi
saluran kemih.
Meredakan
demam.
Anti kejang

Drug Related Problem

Tabel 6. Tabel Drug Related Problem


Jenis DRP

DRP

Keterangan

44

Rekomendasi

Indikasi yang tidak diterapi

Tidak ada indikasi yang


tidak diterapi pada pasin
ini, karena setiap indikasi
sudah diterapi, kejang
demam dengan
Phenobarbital, ISK
dengan cefotaksim,
demam dengan
paracetamol.-

Terapi tanpa indikasi

Terapi yang diberikan


pada pasien sesuai
dengan indikasinya.

Dosis kurang

Dosis cefotaxim, dosis


yang diterima 600 mg,

Dosis berlebih

Berdasarkan perhitungan
dosis tidak ditemukan
penggunaan dosis yang
berlebih pada psien ini.

Gagal mendapatkan obat

Pasien ini mendapatkan


semua jenis obat yang
diperlukan untuk
terapinya.

Pilihan obat tidak tepat

Berdasarkan lieratur
pilihan obat pada pasien
ini sudah tepat.

ESO

Efek samping obat yang


ditemukan adalah
mengantuk karena
penggunaan
phenobarbital.

Interaksi obat

Interaksi obat yang


ditemukan adalah
phenobarbital dengan
paracetamol.

45

Dosis ditingkatkan
jika respon pasien
kurang

Penggunaan kedua obat


ini harus dijarakkan.
Penggunaan kedua obat
ini tidak menimbulkan
efek yang
membahayakan.
Paracetamol hanya
digunakan saat pasien

demam saja
Duplikasi terapi

Tidak ditemukan adanya


duplikasi terapi pada
pasien ini.

46

2.2.3 Pembahasan
Seorang pasien anak berjenis kelamin laki-laki dengan keluhan kejang
lebih kurang selama satu menit setengah jam sebelum dibawa ke RSSN. Pasien
kejang pada seluruh tubuh dan mengalami demam selama 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien didiagnosa kejang demam dan diketahui sebelumnya pasien
telah melakukan dilatasi terhadap Pimosis yang dialaminya.
Pada waktu pasien dibawa ke RSSN melalui IGD, terapi yang diterima
pasien berupa IVFD Ka EN 1B + KCl 10 mcg yang diberikan secara i.v dengan 8
tetesan per menit, antibiotic cefotaxim 2 x 300 mg melalui i.v, injeksi sibital yang
mengandung phenobarbital 50 mg secara i.m dan paracetamol sirup 4 x 0,8 cc
secara peroral. Berdasarkan literatur, dosis injeksi sibital yang diberikan pada
pasien telah sesuai. Sefotaksim diberikan pada pasien karena terjadi peningkatan
leukosit pasien dengan nilai 34,32 x 103 /L (Normal : 4,8-10,8 x 103/ L).
Peningkatan leukosit pasien menandakan bahwa pasien mengalami infeksi.
Terapi yang digunakan untuk mengatasi kejang demam ini adalah
diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,30,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5
menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Sedangkan obat yang dapat diberikan pada
saat pasien di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,50,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg, atau diazepam rektal dengan
dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas
usia 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5
mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang
dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti
maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.

47

Penangan kejang demam pasien ini mendapatkan phenobarbital oral


dengan dosis 30 mg dan 15 mg. Menurut pedoman pelayanan medis IDAI dosis
phenobarbital adalah 8-10 mg/kgBB/hari, dilanjutkan dengan dosis 3-5
mg/kgBB/hari, dalam dua dosis terbagi. Berdasarkan perhitungan dosis yang
didapatkan pasien adalah 55,2 69 mg/ hari (hari 1 dan 2) dan 20,7-27,6 mg/hari
(hari 3 dan seterusnya). Dosis yang diberikan pada pasien ini sudah tepat.
Efek samping dari phenobarbital adalah mengantuk, kelelahan, depresi
mental, ataksia, alergi, hiperaktif pada anak-anak. Efek samping yang timbul
pada pasien ini adalah mengantuk. Berdasarkan pengamatan pasien menjadi lebih
sering tidur.
Pada hari kedua rawatan, leukosit pasien bernilai positif 1 dan pasien
didiagnosa mengalami infeksi saluran kemih (ISK) akibat Pimosis yang dialami
pasien. Ada beberapa pilihan terapi untuk pasien ISK yaitu ampisilin, sefotaksim,
gentamisisn, seftriakson, seftazidim, dll. Terapi yang diberikan pada pasien ini
.adalah sefotaksim. Sefotaksim merupakan salah antibiotika yang digunakan
untuk menangani ISK, antibiotika ini tergolong berspektrum luas dimana bisa
mngatasi ISK yang disebabkan oleh bakteri S. aureus, S. epidermidis, enterococci,
Citrobacter, Enterobacter, E. coli, Klebsiella, Morganella morganii, P. mirabilis,
P. vulgaris, Providencia stuartii, P. rettgeri, Pseudomonas dan S. marcescens.(8)
Pemberian sefotaksim pada pasien menurut Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia, dosis sefotaksim yang diberikan adalah 150
mg/kgBB/hari dibagi setiap 6-8 jam. Jika dihitung, dosis sefotaksim seharusnya
1035 mg/hari dengan berat pasien 6,9 Kg. Namun, berdasarkan Pediatric
Treatment Guideline 2004, dosis sefotaksim 100 mg/KgBB/hari. Jika dihitung,
dosis yang diberikan seharusnya 690 mg/hari. Efek samping yang sering terjadi
adalah mual, muntah, diare. Pada pasien ini tidak terlihat adanya efek samping
dari penggunaan sefotaksim selama rawatan.
Untuk

penatalaksanaan

demam

pada

pasien,

diberikan

Sanmol

(paracetamol) drop (Sanmol 60mg/0,6cc) dalam bentuk sediaan drop dengan dosis
4 x 0,7cc. Dosis paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/hari
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Pada umumnya dosis ini dapat
ditoleransi dengan baik. Pemberian obat antipiretik pada saat demam tidak

48

ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya


kejang demam namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat
diberikan. Dosis paracetamol yang diterima pasien telah sesuai..
Interaksi obat yang ditemukan adalah paracetamol dengan phenobarbital.
Interaksi antara kedua komponen obat ini adalah dapat meningkatkan efek
paracetamol karena phenobatbital meningkatkan metabolisme dari paracetamol.

(8)

Pada pasien ini penggunaan paracetamol dengan phenobarbital harus dijarakkan


2.3 Edukasi Pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang berulang dan apa
saja yang harus dilakukan jika anak kejang.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.
5. Memberikan informasi tentang indikasi dan cara pemakaian dari obat-obat
yang diterima pasien serta cara penyimpanannya.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa,
pemeriksaaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, pasien didiagnosa kejang
49

demam simpleks, Pimosis dan ISK. Dosis obat yang diberikan pada pasien sudah
efektif dan sesuai dengan penyakit yang ada pada pasien.
3.2 Saran
Disarankan kepada orangtua pasien untuk tidak panik menghadapi anak
saat kejang dan diharapkan orangtua pasien senantiasa menjaga kebersihan pasien
terutama pada bagian genitalnya karena pasien baru selesai mendapatkan dilatasi
preputium dan mengalami infeksi saluran kemih (ISK).

DAFTAR PUSTAKA
American Society for Hospital-System Pharmacist, 2011, AHFS Drug Information
Handbook, ASHP Inc, Bethesda.
Arief RF,2015, Penatalaksanaan Kejang Demam, CDK-232/Vol.42 No.9, 2015.
Melda Deliana, Tata Laksana Kejang Demam Pada Anak, Sari Pedriatri,Vol.4,
No.2, September 2002: 59-62.

50

Pudjiadi HA., Hegar B., Handryastuti S., Idris SN., Gandapurta PE., Harmoniati
DE,2009, Pedoman Pelayanan Medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Penerbit IDAI, Jakarta.
Pusponegoro HD.,Widodo DP.,Ismael S, 2006, Konsensus Penatalaksaan Kejang
Demam,Ikatan Dokter Anak Indonesia,Penerbit IDAI, Jakarta
Scruggs,K., MD Michael T. Johnson, 2004, Pediatric Treatment Guideline,
Current Clinical Strategies Publishing, California.
Shahid,SK.,2012, Phimosis in Children, Vol.2012, ISRN Urology.
S. Tekgl, H. Riedmiller E. Gerharz, P. Hoebeke, R. Kocvara, J.M. Nijman,Chr.
Radmayr, R. Stein, 2011, Guidelines on Pediatric Urology, EAU/ESPU
Paediatric Urology Guidelines (ISBN 978-90-79754-96-0).

51

Lampiran 1. Pemakaian Obat


Tabel 7. Pemakaian obat

No

Nama obat

Aturan pakai

1.

KA EN 1B + KCl

8 tetes/menit

2.

Injeksi Cefotaxim

2x300 mg

3.

Injeksi Sibital

50 mg

4.

Sanmol drop

4x0,7 cc

6/4

7/4

8/4

9/4

(Paracetamol)
2x30 mg
5.

Luminal

2x15 mg

Lampiran 2. Lembaran pengkajian Obat


52

Tabel 8. Lembaran pengkajian Obat


Nama An. I
Umur : 6 Bulan
No Hari dan
.
Tanggal
1.
6/4/2016
2

6/4/2016

BB : 6,9 kg
TB :
KodeMa
UraianMasalah
salah
3b
Dosis cefotaxim yang diterima pasien
kurang (dosis yang diterima 600 mg) dosis
seharusnya 690 mg
8a
Ditemukan adanya interaksi antara
phenobarbital dengan paracetamol.

No. DMK : 01. 27. XX


Ruangan :ANAK/kelas 1

Dokter :dr. Y
Farmasis: Elfa dan dedi

Rekomendasi/ Saran
Dosis ditingkatkan jika respon pasien kurang

TindakLanjut
Dengan dosis 600 mg kadar
leukosit pasien sudah
menurun.

Penggunaan kedua obat ini harus dijarakkan.


Penggunaan kedua obat ini tidak menimbulkan efek
yang membahayakan. Paracetamol hanya digunakan
saat pasien demam saja

Kode Masalah :
Indikasi
a. Tidak ada
indikasi
b. Ada
indikasi,tidak
ada terapi
c. Kontra Indikasi
20. Pemilihan Obat
21. Dosis obat
19.

a. Kelebihan
(over dose)
b. Kekurangan
(under dose)
22. Interval
pemberian
23. Cara/waktupembe
rian

RutePemberianOb
at
25. Lama pemberian
26. Interaksiobat:
a. Obat
b. Makanan/minu
m
c. Hasil Lab
27. ESO/ ADR/ Alergi
24.

53

Ketidaksesuaian
RM dengan :
a. Resep
b. Buku Injeksi
29. Kesalahanpenulisa
nresep
30. Stabilitassediaani
njeksi
28.

Sterilitassediaanin
jeksi
32. Kompatibilitasobat
33. Ketersediaanobat/
31.

kegagalanmendap
34.
35.
36.

atkanobat
Kepatuhan
Duplikasiterapi
Lain-lain

Lampiran 3. Perhitungan Dosis


1. Perhitungan tetesan infus
Volume infus KA EN 1B yang diberikan 500 mL + 10 mL KCl = 510 mL
Faktor infus: 20
Lama pemberian: 24 jam
Perhitungan =

= 7,083 gtt/menit
2. Perhitungan dosis paracetamol
Bobot badan: 6,9 kg
Dosis literatur: 10-15 mg/kgBB/kali
Perhitungan = 6,9 kg x (10-15 mg/kgBB/kali)
= 69-103,5 mg/hari
Dosis diberikan = 0,7cc = 0,7cc x 60 mg/ 0,6cc = 70 mg/kali
3. Perhitungan dosis phenobarbital
Bobot badan: 6,9 kg
Dosis literatur: 8-10 mg/kgBB/hari (hari 1 dan 2)
3-5 mg/kgBB/hari (hari 3 dan seterusnya )
Perhitungan = 6,9 kg x (8-10 mg/kgBB/hari)
= 55,2 - 69 mg/hari dalam dua dosis terbagi
= 6,9 kg x (3-5 mg/kgBB/hari)

= 20,7 34,5 mg/hari dalam dua dosis terbagi


Dosis diberikan = 30 mg pada hari pertama dan kedua, 15mg pada hari ketiga
dan seterusnya
4. Perhitungan dosis cefotaxim
Bobot badan: 6,9 kg
Dosis literatur: 150 mg/kgBB/hari berdasarkan pedoman pelayanan medis
IDAI, 100mg/kgBB/hari berdasarkan Pediatric Treatment
Guideline 2004
Perhitungan = 6,9 kg x (150 mg/kgBB/hari)
= 1.035 mg/hari
Perhitungan = 6,9 kg x (100 mg/kgBB/hari)
= 690 mg/hari
Dosis diberikan = 600 mg/hari dalam 2 dosis terba

BAB I
TINJAUAN UMUM KASUS
1.1

Dengue Hemorrhagic Fever

1.1.1

Definisi
Dengue hemorrhagic fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD)

adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri oto dan/nyeri sendi yang disertai lekopeni, ruam, dan limadenopati,
trombositopeni, dan diathesis hemoragik. Host alami DHF adalah manusia, agentnya
adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridadae dan genus
Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4, ditularkan ke
manusai melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti
dan Ae. albopictus. DHF merupakan salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi
virus dengue (Candra A, 2010).

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi dengue

56

Adapun manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut


(Gambar 1) (Candra A, 2010).:
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri
retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau
uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau
ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD
pada lokasi dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)
1.1.2

Epidemiologi
Dengue hemorrhagic fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD)

adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan
spectrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam
dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock
syndrome (DSS); ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang
terinfeksi. Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara- negara baru dan, dalam dekade ini, dari
kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah
tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia
(Candra A, 2010)..

57

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan
subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian
pada anak 8 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia,
setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun
1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800
orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus
tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality
rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian
1.384 orang atau CFR 0,89% (Candra A, 2010).

1.1.3

Patogenesis
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif

sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan,
sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan
menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan
membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen
struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi
immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective
terhadap serotipe virus lainnya (Candra A, 2010).
58

Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis


yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated
cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi
atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah
infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif
silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD
(Candra A, 2010).
1.1.4

Diagosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal

ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.

59

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (Candra A, 2010), yaitu:


Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Manifestasi klinis
Tanda-tanda demam berdarah yang harus mendapatkan pengobatan, antara lain
(Candra A, 2010).:
1) Panas tinggi 2-7 hari
2) Timbul bintik merah pada kulit dan sering terasa nyeri pada ulu hari
3) Pasien gelisah
4) Tangan dan kaki terasa dingin dan berkeringat kadang terjadi pendarahan dari
hidung
5) Terjadi muntah darah dan berak darah
Pertolongan pertama yang dapat diberikan saat pasien dirumah, berupa:
1) Beri minum air yang banyak
60

2) Kompres agar demam pasien turun


3) Berikan obat penurun panas
4) Bila terjadi pendarah segera bawa pasien ke puskesmas atau rumah sakit
terdekat.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya
dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai
dijumpai mulai hari ke 3 demam. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan
atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan
hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat
dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan
etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus,
pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang
dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini
membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12
minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang
dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus
melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila
dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta

61

mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif


semu (Candra A, 2010).
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah
60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada
infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2. Salah satu metode pemeriksaan
terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue,
yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di
permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue (Candra A, 2010).
Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada
infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan
tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini
terbaik untuk pelayanan primer (Candra A, 2010).

1.1.5

Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.

Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran


plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
62

pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi
tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif
perlu selalu diwaspadai (Candra A, 2010).
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang
cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna.
Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat
simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan
pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD
dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi
dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (Gambar 2).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (Gambar 3).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematocrit >20% (Gambar 4).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
63

Gambar 2. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

64

Gambar 4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematocrit >20%

65

Gambar.5 Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

66

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demam berdarah dengue:
1. Jenis cairan
2. Jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan
standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan
relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki
efek alergi yang minimal (Candra A, 2010).

1.2 Gastroenteritis acute


1.2.1

Definisi
Gastroenteritis adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang

terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang
encer atau inflamasi membrane mukosa lambung dan usus halus yang di tandai
dengan muntah-muntah dan diare yang berakibat kehilangan cairan elektrolit yang
menimbulkan dehidrasi dan gejala keseimbangan elektrolit.
Gastroenteritis adalah buang air besar encer lebih dari 3 kali perhari dapat
atau tanpa lender dan darah. Penyebab utama gastroenteritis adalah adanya bakteri,
virus, parasite (jamur, cacing, protozoa). Gastroenteritis akan di tandai dengan
67

muntah dan diare yang dapat menghilangkan cairan dan elektrolit terutama natrium
dan kalium yang akhirnya menimbulkan asidosis metabolik dapat juga terjadi cairan
atau dehidrasi.
1.2.2

Etiologi

Faktor penyebab gastroenteritis meliputi:


1. Faktor infeksi
a. Infeksi internal : infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan
penyebab utama gastroenteritis, meliputi infeksi internal sebagai berikut:
1). Infeksi bakteri : Vibrio cholerae, E.coli, Shigella spp, Campylobacter
jejuni, dan sebagainya.
2). Infeksi virus : Rotavirus, Astosvirus, adenovirus, Cytomegalovirus.
3). Infeksi parasit : cacing (Ascariasis lumbricoides , Tricuris trichuria),
protozoa dan jamur.
2. Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi karbohidrat : disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan
sukrosa), mosiosakarida ( intoleransi glukosa, fruktosa, dan galatosa).
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan
Makanan basi, beracun dan alergi terhadap makanan.
4. Faktor psikologis
Rasa takut dan cemas (jarang tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar).

68

1.2.3

Patofisiologi

Berdasarkan Hasan (2005), mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare


adalah:
1. Gangguan sekresi
Akibat gangguan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan
selanjutnya diare tidak karena peningkatan isi rongga usus.
2. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat di serap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus
untuk menyerap makanan sehingga timbul diare, sebaliknya jika peristaltic
usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang
selanjutnya dapat menimbulkan diare.
1.2.4

Manifestasi Klinis
1. Konsistensi feces cair (diare) dan frekuensi defekasi semakin sering
2. Muntah (umumnya tidak lama)
3. Demam (mungkin ada, mungkin tidak)
69

4. Kram abdomen, tenesmus


5. Membrane mukosa kering
6. Fontanel cekung (bayi)
7. Berat badan menurun
8. Malaise
Komplikasi
1. Dehidrasi
2. Renyatan Hipovolemik
3. Kejang
4. Bakterimia
5. Malnutrisi
6. Hipoglikemia
7. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus
Dari komplikasi Gastroenteritis, tingkat dehidrasi dapat di klasifikasikan
sebagai berikut :
Tabel 1. Derajat dehidrasi (Guidelines on Acute Infectious Diarrhea in Adults)
Gejala/Derajat
Dehidrasi
Keadaan umum

Diare tanpa
Dehidrasi bila
terdapat 2 tanda
atau lebih
Baik, sadar

Mata
Keinginan untuk
minum
Turgor

Tidak cekung
Normal, tidak ada
rasa haus
Kembali segera

1.2.5

Diare dehidrasi
Ringan/sedang
Bila terdapat 2
tanda atau lebih
Gelisah, rewel pada
anak
Cekung
Ingin minum terus,
ada rasa haus
Kembali lambat

Penatalaksanaan
70

Diare dehidrasi
Berat
Bil aterdapat 2
tanda atau lebih
Lesu, lunglai, tidak
sadar
Cekung
Malas minum
Kembali sangat
lambat

Menurut Supartini (2004), penatalaksanaan medis pada pasien diare meliputi:


pemberian cairan, dan pemberian obat-obatan.
1. Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare dan memperhatikan derajat dehidrasinya
dan keadaan umum.
a. Pemberian cairan
Pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan yang di berikan
peroral berupa cairan yang berisikan NaCl dan Na HCO3, KCL dan glukosa
untuk diare akut.
b. Cairan Parenteral
Sebenarnya ada beberapa jenis cairan yang di perlukan sesuai dengan
kebutuhan pasien, tetapi semuanya itu tergantung tersedianya cairan setampat.
Pada umumnya cairan Ringer Laktat (RL) di berikan tergantung berat / ringan
dehidrasi, yang di perhitungkan dengan kehilangan cairan sesuai dengan umur
dan berat badannya.
1). Dehidrasi Ringan
1 jam pertama 25 50 ml/kg BB/hari, kemudian 125 ml / kg BB / oral.
2). Dehidrasi sedang
1 jam pertama 50 100 ml /kg BB/oral kemudian 125 ml/kg BB /hari.
3). Dehidrasi berat
1 jam pertama 20 ml/kg BB/jam atau 5 tetes/kg BB/menit (inperset 1
ml : 20 tetes), 16 jam nerikutnya 105 ml / kg BB oralit per oral.
2. Obat- obatan
71

Prinsip pengobatan diare adalah mengganti cairan yang hilang melalui tinja
dengan / tanpa muntah dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa
/ karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras, dsb).
a. Obat anti sekresi
Klorpomazin dosis 0,5-1 mg/kg BB/hari.
b. Obat spasmolitik
c. Antibiotik
Umumnya antibiotic tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang
jelas. Bila penyebabnya kolera, diberikan tetrasiklin 25 50 mg/ kg BB / hari.
Antibiotic juga diberikan bila terdapat penyakit seperti OMA, faringitis,
bronchitis/ bronkopeneumonia.
Pengobatan :
Diare akut pada orang dewasa selalu terjadinya singkat bila tanpa
komplikasi, dan kadang-kadang sembuh sendiri meskipun tanpa pengobatan.
Tidak jarang penderita mencari pengobatan sendiri atau mengobati sendiri
dengan obat-obatan anti diare yang dijual bebas. Biasanya penderita baru
mencari pertolongan medis bila diare akut sudah lebih dari 24 jam belum ada
perbaikan dalam frekwensi buang air besar ataupun jumlah feses yang
dikeluarkan.Prinsip pengobatan adalah menghilangkan kausa diare dengan
memberikan antimikroba yang sesuai dengan etiologi, terapi supportive atau
fluid replacement dengan intake cairan yang cukup atau dengan Oral
Rehidration Solution. (ORS) yang dikenal sebagai oralit, dan tidak jarang pula
diperlukan obat simtomatik untuk menyetop atau mengurangi frekwensi diare.
72

Untuk

mengetahui

mikroorganisme

penyebab

diare

akut

dilakukan

pemeriksaan feses rutin dan pada keadaan dimana feses rutin tidak
menunjukkan adanya miroorganisme atau ova, maka diperlukan pemeriksaan
kultur feses dengan medium tertentu sesuai dengan mikroorganisme yang
dicurigai secara klinis dan pemeriksaan laboratorium rutin. Indikasi
pemeriksaan kultur feses antara lain, diare berat, suhu tubuh > 38,5 0C, adanya
darah dan/atau lender pada feses, ditemukan leukosit pada feses, laktoferin,
dan diare persisten yang belum mendapat antibiotik (Ilnyckyj A, 2001).

Tabel 2. Pedoman Penggunaan Antibiotika pada Diare (Guidelines on Acute


Infectious Diarrhea in Adults)
73

Keterangan:
ETEC = Enterotoxin E.coli
EPEC = Enterophatogenic E.coli
EIEC = Enteroinvasive E.coli
EHEC = Enterohemorrhagic E.coli
1.3 Dispepsia
1.3.1

Definisi
Menurut Almatsier

tahun

2004,

dispepsia

merupakan

istilah

yang

menunjukkan rasa nyeri atau tidak menyenangkan pada bagian atas perut. Kata
dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang jelek. Definisi
dispepsia sampai saat ini disepakati oleh para pakar dibidang gastroenterologi adalah
74

kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) rasa tidak nyaman atau nyeri yang
dirasakan di daerah abdomen bagian atas yang disertai dengan keluhan lain yaitu
perasaan panas di dada dan perut, regurgitas, kembung, perut terasa penuh, cepat
kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah dan banyak mengeluarkan gas asam dari
mulut. Sindroma dispepsia ini biasanya diderita selama beberapa minggu /bulan yang
sifatnya hilang timbul atau terus-menerus (Internal Clinical Guidelines Team, 2014).

1.3.2 Klasifikasi
Penyebab timbulnya gejala dispepsia sangat banyak sehingga diklasifikasikan
berdasarkan ada tidaknya penyebab dispepsia yaitu (Internal Clinical Guidelines
Team, 2014):
1. Dispepsia Organik
Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan
organik sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda,
tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Dispepsia organik dapat
digolongkan menjadi:

a. Dispepsia Tukak
Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri ulu hati.
Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan.
Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan
adanya tukak di lambung atau duodenum.
b. Refluks Gastroesofageal
75

Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di


dada dan regurgitasi asam terutama setelah makan.
c. Ulkus Peptik
Ulkus peptik dapat terjadi di esophagus, lambung, duodenum atau
pada divertikulum meckel ileum. Ulkus peptikum timbul akibat kerja getah
lambung yang asam terhadap epitel yang rentan. Penyebab yang tepat masih
belum dapat dipastikan.
a.

Karsinoma
Karsinoma dari saluran makan (esophagus, lambung, pancreas dan

kolon) sering menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang sering


diajukan yaitu rasa nyeri perut. Keluhan bertambah berkaitan dengan
makanan, anoreksia dan berat badan menurun.
b. Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung. Perut terasa
makin tegang dan kembung.

c. Dispepsia pada sindrom malabsorbsi


Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut,
nausea, sering flatus, kembung, keluhan utama lainnya ialah timbulnya diare
yang berlendir.
d. Dispepsia akibat obat-obatan

76

Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak
enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah, misalnya
obat golongan NSAIDs, teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin,
eritromisin dan lain-lain).
e. Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah sejenis kuman yang terdapat dalam
lambung dan berkaitan dengan keganasan lambung. Hal penting dari
Helicobacter pylori adalah sifatnya menetap seumur hidup, selalu aktif dan
dapat menular bila tidak dieradikasi. Helicobacter ini diyakini merusak
mekanisme pertahanan pejamu dan merusak jaringan. Helicobacter pylori
dapat merangsang kelenjar mukosa lambung untuk lebih aktif menghasilkan
gastrin sehingga terjadi hipergastrinemia.
2. Dispepsia Fungsional

Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang


telah berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau
gangguan struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik,
laboratorium, radiology dan endoskopi (Internal Clinical Guidelines Team,
2014).
Beberapa hal yang dianggap menyebabkan dispepsia fungsional antara
lain (Internal Clinical Guidelines Team, 2014).:
a. Sekresi Asam Lambung

77

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat


sekresi asam lambung baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau hiposekresi.
b. Dismotilitas Gastrointestinal
Yaitu perlambatan dari masa pengosongan lambung dan gangguan
motilitas lain. Pada berbagai studi dilaporkan dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum hingga 50%
kasus.
c. Diet dan Faktor Lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional. Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan
sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak
mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena faktor nervus vagus,
dimana ada hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses pencernaan.
Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung tetapi efek
dari antral gastrin dan rangsangan lain sel parietal.

1.3.3

Penatalaksanaan

Pengobatan Segera (Prompt Treatment)


1. Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah makan
sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi

78

makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan
dalam lambung dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCL.
2. Perbaikan keadaan umum penderita
3. Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.
4. Penjelasan penyakit kepada penderita.
5. Golongan obat yang digunakan untuk pengobatan penderita dispepsia adalah
antasida, antikolinergik dan lain-lain.

1.4 Hiponatremia
1.4.1

Definisi
Hiponatremia dapat terjadi karena penambahan air atau penurunan cairan

kaya natrium yang digantikan oleh air. Gejala neurologis biasanya tidak terjadi
sampai kadar natrium serum turun kira-kira 120-125 mEq/L. Menurut waktu
terjadinya, hiponetremia dapat dibagi dalam 2 jenis (Mishra V et.al, 2014):
1. Hiponatremia akut
Hiponatremia akut adalah kejadian hiponatremi yang berlangsung cepat
yaitu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti
penurunan kesadaran dan kejang.

2. Hiponatremia kronik
Hiponatremia kronik adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung
lambat yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat

79

seperti penurunan kesadaran dan kejang (ada proses adaptasi), gejala yang timbul
hanya ringan seperti lemas atau mengantuk.
1.4.2 Pengobatan
Pengobatan hiponatremia harus dipertimbangkan dari kronisitasnya,
keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya. Dalam hiponatremia akut
(durasi 48 jam '), pengobatan yang cepat dan koreksi natrium disarankan untuk
mencegah edema serebral. Hal ini berbeda dengan hiponatremia kronis, di mana
koreksi harus lambat untuk mencegah central pontine myelinolysis yang dapat
menyebabkan kerusakan saraf permanen. Target yang harus dicapai untuk
meningkatkan natrium ke tingkat yang aman ( 120 mmol / l). Natrium tidak harus
mencapai level normal dalam 48 jam pertama(Mishra V et.al, 2014).
Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis (kejang
atau koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline. Tidak ada konsensus
universal untuk penggunaan atau dengan rezim yang harus diberikan: bisa dimulai
pada 1-2 ml/kg/jam dengan pengukuran rutin natrium serum, urin dan status
kardiovaskular. Disarankan agar natrium dikoreksi tidak lebih dari 8 mmol dalam
24 jam. Furosemide juga dapat digunakan untuk mengeluarkan air yang berlebihan
(Mishra V et.al, 2014).

1.4.2

Klasifikasi

Tabel 3. Klasifikasi Hiponatremia

80

BAB II
ANALISA FARMAKOTERAPI - DRP

81

2.1 DESKRIPSI PASIEN


2.1.1

Identitas Pasien

Nama

: Ny. E

No MR

: 01. 39. XX

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 57 tahun

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat
Ruangan

: Aur atas
: interne

Agama

: Islam

Masuk rumah sakit : 21 April 2016


Keluar rumah sakit : 27 April 2016

2.1.2 Riwayat Penyakit


1. Keluhan Utama
Seorang pasien, perempuan Ny.E berusia 57 tahun dibawa ke RSSN pada
tanggal 21 April 2016 melalui IGD dengan keluhan utama demam dan sakit
perut yang menyesak sampai ke ulu hati.

2. Riwayat Penyakit sekarang

82

Pasien mengalami demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, demam
bersifat naik dan turun, perut sakit dan terasa menyesak sampai ke ulu hati.
Pasien mengalami mual dan muntah, nafsu makan menurun sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Gusi berdarah, pasien mengalami diare sebelum
masuk rumah sakit.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami penyakit ini sebelumnya
2.1.3

Data Penunjang

a. Data Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum
: Sedang
Tingkat kesadaran
: Compos mentis
GCS
: E 4, M 6, V 5
Suhu
: 36,5 C
Nadi
: 107 kali/menit
Pernapasan
: 22 kali/menit
Tekanan darah
: 110/90 mmHg
Mata
: CA 2, SA 2
Abdomen
: nyeri tekan epigastrium +

b.Data laboratorium
Tabel 3. Hasil pemeriksaan laboratorium awal pasien
Parameter
Natrium
Hb
Leukosit
Hematokrit
Trombosit

Nilai
110 mMol/L
10,1 g/dL
2,42 103/L
30,0 %
5. 103 /L
83

Nilai Normal
135-146 mMol/L
14-38 g/dL
4,8-10,8 103/L
42-54 %
150 450 103 /L

Ket

Gula Darah

<126 mg/dL

Random (GDR)
Gula Darah Puasa
Gula Darah PP
Eritrosit

3,09 103/L

4,7-6,8 103/L

2.1.4 DIAGNOSA
Diagnosa penyakit
Diagnosa utama

: Dengue Hemorragic Fever Grade II (DHF grade II)

Diagnosa tambahan

: Gastroenteritis Akut, dyspepsia dan hiponatremia

84

2.1.5

Monitoring Kondisi Pasien

Tabel 4. Monitoring Kondisi Pasien


21/4/16
Demam sejak 5
hari sebelum
masuk rumah sakit,
demam bersifat
naik dan turun,
perut sakit dan
terasa menyesak
sampai ke ulu hati.
Pasien mengalami
S
mual dan muntah,
nafsu makan
menurun sejak 2
hari sebelum
masuk rumah sakit.
Gusi berdarah,
pasien mengalami
diare sebelum
masuk rumah sakit
O TD: 100/90 mmHg
N:107/menit
P:23/menit
suhu:36,5 0C

22/4/16
Perut sakit dan
menyesak sampai
ke ulu hati, badan
lemas, mual dan
muntah, BAB
berdarah

23/4/16
Perut sakit dan
menyesak sampai
ke ulu hati, badan
lemas, mual dan
muntah,

TD: 110/70 mmHg


N:106/menit
P:25/menit
suhu:36,5 0C

TD: 110/80 mmHg


N:106/menit
P:25/menit
suhu:360C

HARI RAWATAN
24/4/16
25/4/16
Perut masih sakit,
Pasien mengatakan
badan lemas, mual badan lemas, mual,
dan muntah, pusing muntah sudah tidak
ada

TD: 120/80 mmHg


N:106/menit
P:25/menit
suhu:37 0C

85

TD: 120/80 mmHg


N:106/menit
P:25/menit
suhu:37 0C

26/4/16
Pasien mengatakan
lemas mulai
berkurang, mual,
muntah sudah tidak
ada

27/4/16
Pasien
mengatakan
kondisi mulai
membaik

TD: 110/70 mmHg


N:106/menit
P:25/menit
suhu:37 0C

TD: 110/70
mmHg
N:106/menit
P:23/menit
suhu:37 0C

trombosit:
5.000/L
leukosit: 2,42
103/L
Natrium:
110mmol/L
Resiko
A
hipovolemik
P - IVFD
ringer
laktat 1 kolf/6
jam
- Injeksi
ranitidin 2 x 1
ampul
- Koreksi
natrium dengan
IVFD
NaCl
1kolf/24 jam
(4kolf)
- Domperidone
tablet 2 x 10
mg
- Biodiar 2-1-1
- Lansoprazole 1
x
30
mg
(kapsul)
- Curvit
(curcuma) 2 x
1 tablet

trombosit: 11.000
/L
leukosit: 2,3
103/L

trombosit:
- 18.000 /L
- 23.000/L
leukosit: 2,42
103/L

trombosit:
- 39.000 /L
- 69.000 /L
leukosit: 2,59
103/L

Resiko
Resiko
Resiko
hipovolemik
hipovolemik
hipovolemik
- IVFD ringer laktat 1 kolf/6 jam
- Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul
- Koreksi natrium dengan IVFD NaCl 1kolf/24 jam (4kolf)
- Domperidone tablet 2 x 10 mg
- Biodiar 2-1-1
- Lansoprazole 1 x 30 mg (kapsul)
- Curvit (curcuma) 2 x 1 tablet
- Ciprofloksasin 500 mg 2 x 1 tablet
- Buscopan (Hyoscine-N-butylbromide) 2 x 10 mg
- Psidii 2 x 1 kapsul
- Injeksi asam traneksamat 3X1ampul
- Injeksi vitamin K 3x1 ampul

86

trombosit:
86.000/L
leukosit: 2,99
103/L

trombosit:
116.000/L
leukosit: 2,82
103/L

Resiko
Resiko
hipovolemik
hipovolemik
- IVFD ringer laktat 1 kolf/6 jam
- Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul
- Domperidone tablet 2 x 10 mg
- Lansoprazole 1 x 30 mg (kapsul)
- Curvit (curcuma) 2 x 1 tablet
- Ciprofloksasin 500 mg 2 x 1 tablet
- Psidii 2 x 1 kapsul
-

trombosit:
123.000/L
Natrium: 135
mmol/L

- Pasien pulang
dengan obat
yang diberikan
- Lansoprazol
1x1 kapsul
- Neurodex 1x1
tablet

- Ciprofloksasin
500 mg 2 x 1
tablet
- Buscopan
(Hyoscine-Nbutylbromide)
2 x 10 mg
- Psidii 2 x 1
kapsul
- Transfusi
trombosit 10
kantong

87

2.2 ANALISA FARMAKOTERAPI


2.2.1 Terapi Farmakologi
f. Terapi Farmakologi Pasien Sebelum Masuk RSSN
Berdasarkan wawancara dengan anak pasien, pasien sebelum masuk
rumah sakit hanya menerima obat pereda demam berupa Paracetamol.
g. Terapi Farmakologi Pasien di IGD

2.2.2

IVFD ringer laktat 1 kolf/6 jam

Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul

Domperidone tablet 2 x 10 mg

Biodiar 2-1-1

Lansoprazole 1 x 30 mg (kapsul)

Curvit (curcuma) 2 x 1 tablet

Ciprofloksasin 500 mg 2 x 1 tablet

Buscopan (Hyoscine-N-butylbromide) 2 x 10 mg

Psidii 2 x 1 kapsul

Koreksi Natrium dengan IVFD NaCl 3%/24 jam

Drug Related Problem

Tabel 5. Tabel Drug Related Problem


Jenis DRP

DRP

Indikasi yang tidak diterapi

Keterangan
Tidak ada indikasi yang
tidak diterapi pada pasin ini,
karena setiap indikasi sudah
diterapi,(DHF grade II
dengan terapi cairan, GEA
dengan bidar, dyspepsia
dengan ranitidin, buscopan
dan domperidon,
hiponatremia dengan terapi
88

Rekomendasi

cairan NaCl 3 %
Terapi tanpa indikasi

Penggunaan obat yang tidak

Sebaiknya obat ini

tepat indikasi adalah asam

tidak diberikan

trneksamat dan vitamin K,

pada pasien yang

karena pada pasien tidak

tidak mengalami

ditemukan adanya indikasi

pendarahan.

pendarahan
Dosis kurang

Berdasarkan perhitungan

dosis tidak ditemukan


penggunaan dosis yang
kurang pada psien ini.
Dosis berlebih

Berdasarkan perhitungan

dosis tidak ditemukan


penggunaan dosis yang
berlebih pada psien ini.
Gagal mendapatkan obat

Pasien ini mendapatkan

semua jenis obat yang


diperlukan untuk terapinya.
Pilihan obat tidak tepat

Pemilihan obat yang tidak

Sebaiknya obat ini

tepat adalah asam

tidak diberikan

trneksamat dan vitamin K,

pada pasien yang

karena pada pasien tidak

tidak mengalami

ditemukan adanya indikasi

pendarahan.

pendarahan
ESO

Efek samping obat yang

ditemukan adalah
mengantuk karena
penggunaan phenobarbital.
Interaksi obat

Tidak ditemukan ada


penggunaan obat yang salig
berinteraksi saat

89

penggunaan bersama.
Duplikasi terapi

Tidak ditemukan adanya

duplikasi terapi pada pasien


ini.
2.2.3 Pembahasan
Seorang pasien berjenis kelamin perempuan dibawa ke RSSN melaui IGD
(instalasi gawat darurat) dengan keluhan utama demam dan nyeri perut yang
menyesak sampai ke ulu hati. Pasien mengalami demam sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit, demam bersifat naik dan turun, perut sakit dan terasa
menyesak sampai ke ulu hati. Pasien mengalami mual dan muntah, nafsu makan
menurun sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Mengalami diare sebelum
masuk rumah sakit. Pasien didiagnosa mengalami Dengue Hemoragic Fever grade
II (DHF grade II) dan mengalami dyspepsia, GEA (gastroenteritis akut) dan
hiponatremia.
Pada waktu pasien dibawa ke RSSN melalui IGD, terapi yang diterima
pasien berupa IVFD ringer laktat 1 kolf/6 jam, koreksi Natrium dengan IVFD
NaCl 3%/24 jam, injeksi ranitidin 2 x 1 ampul, domperidone tablet 2 x 10 mg,
biodiar 2-1-1, lansoprazole 1 x 30 mg (kapsul), curvit (curcuma) 2 x 1 tablet,
ciprofloksasin 500 mg 2 x 1 tablet, buscopan (Hyoscine-N-butylbromide) 2 x 10
mg, psidii 3 x 1 kapsul. Trombosit pasien sangat rendah yaitu 5.000/L, natrium
pasien rendah 110 mMol/L. Penanganan DHF pasien dilakukan dengan pemberian
cairan infus ringer laktat untuk mengatasi kehilangan cairan pasien. Pasien harus
menerima transfusi trombosit, di IGD pasien mendapatkat transfusi darah 4
kantong.

90

Penatalaksanaan DHF ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat


kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana
diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Kebocoran terjadi
karena peleberan dinding pembuluh darah karena infeksi virus dengue. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara
hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran
plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke
intravascular. Pada pasien ini terapi cairan yang digunakan adalah ringer laktat
yang merupakan salah satu cairan kridtaloid untuk penangan DHF.
Terapi cairan pada pasien DHF grade 1 dan 2 cairan diberikan untuk
kebutuhan rumatan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Untuk
pasien dewasa dengan berat 50 kg adalah sebanyak kurang lebih 2000 mL/24 jam.
Pada pasien ini diberikan infus Ringer Laktat 500 mL/ 6 jam, artinya dalam 24
jam pasien ini mendapatkan 2000 mL. Pemberian cairan kristaloid pada pasien ini
sudah tepat. Selain itu nilai trombosit pasien yang sangat rendah di awal masuk
rumah sakit (5000/ L) ditangani dengan transfusi trombosit dengan 10 kantong
darah. Selain itu pasien juga diberikan suplemen Psidii untuk penambah darah.
Psidii mengandung ekstrak daun jambu biji (Psidii folium extract) 71,4%.
Mekanisme kerja Psidii dapat menghambat perkembangbiakan virus dengue
dengan menghambat enzim reverse transcriptase. Selain itu juga dapat
meningkatkan kadar GM-CSF yang menstimulasi pembentukan megakariosit
sebagai bahan awal trombosit, sehingga produksi trombosit dapat ditingkatkan.

91

Sehingga pemberian Obat Herbal Terstandar (OHT) pada pasien ini dinilai sudah
tepat indikasi.
Selama perawatan pasien ini mendapatkan injeksi asam traneksamat dan
vitamin K (Phytomenadion) kedua obat ini diindikasikan untuk mengatasi
pendarahan, namun paada pasien ini penggunaan kedua obat ini dinilai tidak tepat
indikasi karena tidak ada tanda-tanda pendarahan yang terjadi pada pasien ini
beerupa mimisan, pendarahan gusi ataupun muntah darah. Pendarahan yang
terjadi pada pasien ini hanya karena adanya kebocoran plasma yang disebabkan
virus dengue.
Pasien juga mengalami gastroenteritis akut yang penyebab diare pada
pasien tidak diketahui. Hal ini disebabkan karena tidak dilakukannya pemeriksaan
tinja pasien sehingga penengakan tipe diare pasien tidak dapat dipastikan.
Menurut Ilnycky (2001), diare akut dibagi berdasarkan proses patofisiologi infeksi
enterik menjadi diare akut Infamatory dan Non Inflamatory diarrhea. Inflamatory
diarrhea terjadi akibat proses invasi di usus dengan manifestasi sindroma disentri
dengan diare berlendir dan darah. Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah
keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,
demam, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja secara
makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, secara mikroskopis ditemukan
leukosit didalam tinja. Mikroorganisme penyebab adalah E. Hystolitic dan
Shigella. Sedangkan, Non Inflamatory diarrhea dengan gejala diare cair, dengan
volume lebih besar tanpa lendir dan darah, yang disebut juga Watery diarrhea.
Keluhan abdominal biasanya minimal dan bahkan tidak ada sama sekali, namun
gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul.

92

Diare akut pada orang dewasa selalu terjadinya singkat bila tanpa
komplikasi, dan kadang-kadang sembuh sendiri meskipun tanpa pengobatan.
Biasanya, pertolongan medis diberikan bila diare akut sudah lebih dari 24 jam
belum ada perbaikan dalam frekuensi buang air besar ataupun jumlah feses yang
dikeluarkan. Prinsip pengobatan adalah menghilangkan kausa diare dengan
memberikan antimikroba yang sesuai dengan etiologi, terapi supportive atau fluid
replacement dengan intake cairan yang cukup atau dengan Oral Rehidration
Solution yang dikenal dengan oralit.
Pada kasus ini, pasien diberikan Ciprofloksasin 2 kali 500 mg selama 5
hari. Terapi ini diberikan karena pasien diduga mengalami Inflamatory diarrhea
(Diare disenti). Meskipun tidak dilakukan pemeriksaan tinja pasien namun gejala
klinis yang menyertai seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, dan
demam sudah cukup menandakan bahwa pasien mengalami diare disentri.
Penggunaan Ciprofloksasin pada pasien dinilai tepat karena sesuai dengan
pedoman pemberian antibiotik secara empiris pada diare akut.
Terapi lainnya yang diterima oleh pasien yaitu Biodiar yang mengandung
atapulgit yang merupakan pilihan terapi pada diare non-spesifik. Selain itu, pasien
juga mendapatkan antispasmodik yaitu Buscopan (Hyocine-N-butylbromide)
karena pasien positif mengalami nyeri perut yang menyesak sampai ke ulu hati.
Dosis terapi untuk mengatasi gastroenteritis yang diterima pasien telah sesuai.
Selain itu paien juga mengalami nyeri perut yang menyesak yang menandakan
adanya masalah pada lambung pasien, hal ini diatasi dengan pemberian injeksi
ranitidin dengan dosis 50mg/2ml dengan interval pemberian dua kali. Dosis
rantidin yang diberikan pada pasien ini sudah tepat.

93

Penanganan hiponatremia pada pasien dilakukan dengan terapi cairan.


Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis (kejang atau
koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline. Pada pasien mendapatkan
IVFD NaCl 3% 7 tetes/menit, pasien ini menerima 4 kolf NaCl 3%. Pasien
diperbolehkan pulang pada pemeriksaan hari rawatan terakhir dengan nilai Na 130
(Normal = 136-145mmol/L).

2.3 Edukasi Pada Pasien


Edukasi yang diberikan pada pasien saat pulang dar rumah sakit adalah:
1. Pasien dianjurkan memberbanyak istirahat dan perbanyak minum untuk
menjaga asupan cairan pasien.
2. Pasien teratur mengkonsumsi obat yang diberikan
3. Simpan obat pada kotak obat atau tempat yang sejuk dan jauhi dari
jangkauan anak-anak.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

94

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa,
pemeriksaaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, pasien didiagnosa menderita
Dengue Hemorragic Fever grade II (DHF grade II), gastroenteritis akut (GEA),
dispepsia dan hiponatremia. Berdsarkan pengobatan yang diberikan pada pasien
sudah tepat kecuali pada penggunaan asam traneksamat dan vitamin K pada
pasien ini.
3.2 Saran
Disarankan kepada pasien untuk banyah istirahat, tidak kelelahan dan
menjaga asupan cairan dengan banyak minum dan konsumsi buah buahan.

DAFTAR PUSTAKA

95

1. Candra A, Dengue Hemorraghic Fever : Epidemiology, Pathogenesis, and Its


Transmission Risk Factor, Aspirator Vol.2 No. 2, 2010: 110-119.
2. Internal Clinical Guidelines Team, 2014, Dyspepsia and gastroesophageal
reflux disease: investigation and management of dyspepsia symptoms
suggestive of gastri-esophageal reflux disease, or both,, National Institute for
Health and Care Excellence.
3. Mishra V, Sharma D, Hanto S, Marks E, Purewal T, 2014, Guidelines for the
management of Hyponatremia in HOspitalised Patients, UK: The Royal
Liverpool and Broadgreen University Hospitals.
4. American Society for Hospital-System Pharmacist, 2011, AHFS Drug
Information Handbook, ASHP Inc, Bethesda.
5.

Ilnyckyj A : Clinical Evaluation and Management of Acute Infectious


Diarrhea in Adult, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3, WB Saunders
Company, September 2001.

96

Lampiran 1. Pemakaian Obat


Tabel 6. Pemakaian obat
No.

Nama Obat

Bentuk
Sediaan

Dosis

1.

Ringer laktat

Infus

27 tetes /menit

2.

NaCl

Infus

7 tetes/ menit

3.

Ranitidin

IV

2 x 50/2ml mg

4.

Domperidon

Tablet

2 x 10mg

5.

Tablet

2-1-1

6.

Biodiar
(colloidal active
antapulgit)
Lansoprazole

Kapsul

1 x 30 mg

7.

Curvit (curcuma)

Tablet

2 x 1 tablet

8.

Ciprofloxacin

Tablet

2 x 500 mg

9.

Psidii

Kapsul

3 x 500 mg

10.

Buscopan
(hyoscine-Nbutylbromide)
Asam
traneksamat
Vitamin K

Tablet

3 x 10 mg

Ampul

3 x 500mg/5ml

Ampul

3 x 1 ampul

11.
12.

21/4/16
P

22/4/16

M P

23/4/16

M P

97

24/4/16

M P

25/4/16

M P

26/4/16

M P

27/4/16

M P

Lampiran 2. Lembaran pengkajian Obat


Tabel 7. Lembaran pengkajian Obat
Nama : Ny.E
Umur : 57 Tahun
No Hari dan
.
Tanggal

BB : 50 kg
Kode
Masalah

1.

Jumat 22
April 2016

1a dan 2

Jumat 22
April 2016

1a dan 2

No. DMK : 01.39.xx


Ruangan interne/kelas 2

TB : 165 cm

Dokter :dr. AB
Farmasis: Dedi dan Elfa

Uraian Masalah

Rekomendasi/ Saran

Pasien mendapatkan asam traneksamat dalam


bentuk sedian ampul yang diberikan melalui
intra vena. Obat ini diberikan dari tanggal 2225 april 2016. Penggunaan asam traneksamat
pada pasien ini tidak tepat indikasi dan tidak
tepat dalam pemilihan obat, karena tidak
ditemukan
adanya
indikasi
terjadinya
pendarahan pada pasien ini, pada pasien ini
hanya terjadi kebocoran plasma akibat dari
infeksi virus dengue.
Pasien mendapatkan vitamin K dalam bentuk
sedian ampul yang diberikan melalui intra vena.
Obat ini diberikan dari tanggal 22-25 april
2016. Penggunaan asam traneksamat pada
pasien ini tidak tepat indikasi dan tidak tepat
dalam pemilihan obat, karena tidak ditemukan
adanya indikasi terjadinya pendarahan pada
pasien ini, pada pasien ini hanya terjadi
kebocoran plasma akibat dari infeksi virus
dengue.

Pada pasien DHF derajat II yang dikhawatirkan akan


mengalami resiko syok hipovolemik karena kebocoran
plasma tidak perlu diberikan injeksi asam traneksamat.

Tindak Lanjut

Pada pasien DHF derajat II yang dikhawatirkan akan


mengalami resiko syok hipovolemik karena kebocoran
plasma tidak perlu diberikan injeksi vitamin K.

Kode Masalah :
1.

Indikasi

a.
b.
c.

2.
3.

a.
b.

Tidak ada indikasi


Ada indikasi,tidak ada terapi

Kontra Indikasi
Pemilihan Obat
Dosis obat

4.
5.
6.
7.

Kelebihan (over dose)

Kekurangan (under dose)


Interval pemberian
Cara/waktu pemberian
Rute Pemberian Obat
Lama pemberian

8.

Interaksiobat:

a.
b.
c.

9.
10.

a.
b.

Obat
Makanan/minum

Hasil Lab
ESO/ ADR/ Alergi
Ketidaksesuaian RM dengan :

98

11.
12.
13.
14.

Resep

Buku Injeksi
Kesalahan penulisanresep
Stabilitas sediaan injeksi
Sterilitas sediaan injeksi
Kompatibilitas obat

15.
16.
17.
18.

Ketersediaan obat/kegagalan
mendapatkanobat
Kepatuhan
Duplikasi terapi
Lain-lain

BAB I
PENDAHULUAN

Biaya yang diresepkan untuk penyediaan obat merupakan komponen


terbesar dari pengeluaran rumah sakit. Di banyak negara berkembang belanja obat
di rumah sakit dapat menyerap sekitar 40-50% biaya keseluruhan rumah sakit.
Belanja perbekalan farmasi yang demikian besar tentunya harus dikelola dengan
efektif dan efisien, hal ini diperlukan mengingat dana kebutuhan obat di rumah
sakit tidak seslalu sesuai dengan kebutuhan (Binfar, 2010).
Indonesia termasuk salah satu negara yang berpartisipasi dalam program
Tata Kelola Obat yang Baik di Sektor Farmasi bersama 19 negara lainnya.
Pemikiran tentang perlunya Tata Kelola Obat yang Baik di Sektor Farmasi
berkembang mengingat banyaknya praktek ilegal di lingkungan kefarmasian
mulai dari clinical trial, riset dan pengembangan, registrasi, pendaftaran, paten,
produksi, penetapan harga, pengadaan, seleksi distribusi dan trasportasi. Bentuk
intransparansi di bidang farmasi antara lain: pemalsuan data keamanan dan
efikasi, penyuapan, pencurian, penetapan harga yang lebih mahal, konflik
kepentingan, kolusi, donasi, promosi yang tidak etis maupun tekanan dari
berbagai pihak yang berkepentingan dengan obat (Binfar, 2010).
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian yang bertanggung
jawab terhadap pengelolaan perbekalan farmasi, sedangkan Komite Farmasi dan
Terapi adalah bagian yang bertanggung jawab dalam penetapan formularium.
Agar pengelolaan perbekalan farmasi dan penyusunan formularium di rumah sakit
dapat sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan adanya tenaga yang
profesional di bidang tersebut. Untuk menyiapkan tenaga profesional tersebut
diperlukan berbagai masukan diantaranya adalah tersedianya pedoman yang dapat
digunakan dalam pengelolaan perbekalan farmasi di IFRS (Binfar, 2010).
Rumah sakit pemerintah dibagi kedalam 4 kelas yaitu: A, B, C, D dan
Khusus. Setiap kelas mempunyai standar dan jenis pelayanan yang berbeda.
Pelayanan kesehatan di rumah sakit kelas A pada umumnya lebih komprehensif
dibandingkan dengan kelas dibawahnya (Permenkes RI No 56, 2014). Demikian
pula dengan rumah sakit khusus. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap
99

penyediaan pelayanan kefarmasian khususnya pengelolaan perbekalan farmasi.


Beberapa rumah sakit kelas A dan rumah sakit khusus membutuhkan adanya
pengelolaan sediaan perbekalan farmasi khusus seperti bahan sitostatika, radio
farmasi, larutan nutrisi parenteral dan lain-lain. Mengingat pentingnya sediaan
perbekalan farmasi khusus tersebut, maka diperlukan adanya suatu pedoman yang
dapat dijadikan rujukan oleh rumah sakit untuk mengelola persediaan perbekalan
farmasi khusus tersebut (Binfar, 2010).

100

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan perbekalan farmasi atau sistem manajemen perbekalan
farmasi merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan sampai
evaluasi yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Kegiatannya mencakup
perencanaan,

pengadaan,

penerimaan,

penyimpanan,

pendistribusian,

pengendalian, pencatatan, dan pelaporan, penghapusan, monitoring dan evaluasi


(Binfar, 2010).
2. 1 PERENCANAAN (Binfar, 2010)
Perencanaan perbekalan farmasi adalah satu fungsi yang menentukan
dalam proses pengadaan perbekalan farmasi di rumah sakit. Tujuan perencanaan
perbekalan farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah perbekalan farmasi
sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Tahapan perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi meliputi:
1. Pemilihan
Fungsi pemilihan adalah untuk menentukan perbekalan farmasi yang
benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah pasien/kunjungan dan pola
penyakit di rumah sakit. kriteria pemilihan obat meliputi :
a. Jenis obat yang di pilih seminimal mungkin dengan cara menghindari
kesamaan jenis.
b. Hindari obat kombinasi, kecuali obat kombinasi mempunyai efek yang
lebih baik di bandingkan obat tunggal.
c. Apabila jenis obat banyak, maka di pilih berdasarkan obat pilihan
(drug of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
Pemilihan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing,
Formularium RS, Formularium Jaminan Kesehatan bagi masyarakat
miskin, Daftar Plafon Harga obat (DPHO) Askes dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek). Sedangkan pemilihan alat kesehatan di rumah

101

sakit dapat berdasarkan dari data pemakaian oleh pemakai, standar ISO,
daftar harga alat, daftar harga alat kesehatan yang dikeluarkan oleh Ditjen
Binfar dan Alkes, serta spesifikasi yang ditetapkan oleh rumah sakit.
2. Kompilasi penggunaan
Kompilasi penggunaan perbekalan farmasi berfungsi untuk mengetahui
penggunaan bulanan masing-masing jenis perbekalan farmasi di unit
pelayanan selama setahun dan sebagai data pembanding bagi stok
optimum.
Informasi yang di dapat dari kompilasi penggunaan perbekalan farmasi
adalah:
1. Jumlah penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi pada masing-masing
unit pelayanan.
2. Persentase penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi terhadap total
penggunaan setahun seluruh unit pelayanan.
3. Penggunaan rata-rata untuk setiap jenis perbekalan farmasi.
3.

Perhitungan Kebutuhan
Tahap ini untuk menghindari masalah kekosongan obat atau kelebihan
obat. Dengan koordinasi dari proses perencanaan dan pengadaan obat di
harapkan obat yang dapat tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu.
Menentukan kebutuhan perbekalan farmasi merupakan tantangan tenaga
farmasi. Pendekatan perencanaan kebutuhan dapat di lakukan melalui
beberapa metode:

a. Metode konsumsi
Perhitungan kebutuhan dengan metode konsumsi di dasarkan pada real
konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai
penyesuaian dan koreksi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka menghitung jumlaah
perbekalan farmasi yang dibutuhkan adalah :
1)
2)
3)
4)

Pengumpulan dan pengolahan data,


Analisa data untuk informasi dan evaluasi,
Perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan
Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.
102

Beberapa langkah untuk menghitung perencanaan obat dengan pola konsumsi


yaitu:
1. Menghitung pemakaian nyata pertahun
Adalah jumlah obat yang dikeluarkan dengan kecukupan untuk jangka
waktu tertentu. Data dapat di dapatkan dari laporan bulanan atau dari kartu
stok.
Rumus :
Pemakaian nyata pertahun = (stok awal tahun + jumlah penerimaan
obat)
2.

(sisa

stok

akhir

tahun

jumlah

obat

yang

hilang/rusak/daluarsa)
Menghitung pemakaian rata-rata satu bulan
Rumus :
Pemakaian rata-rata satu bulan = pemakaian nyata pertahun :

jumlah bulan selama obat ada


3. Menghitung kekurangan obat adalah jumlah obat yang diperlukan saat
terjadi kekosongan obat.
Rumus :
kekurangan obat = (waktu kekosongan obat x pemakaian ratarata)
4. Menghitung kebutuhan obat sesungguhnya
Rumus :
Pemakaian nyata + kekosongan obat
5. Menghitung kebutuhan obat tahun yang akan datang adalah ramalan
kebutuhan obat yang sudah mempertimbangkan peningkatan jumlah
pelanggan yang akan dilayani. Data ini bisa diperoleh dari data
peningkatan jumlah penduduk atau kunjungan beberapa tahun. Misalnya
peningkatan kunjungan pertahun diperkirakan 15%.
Rumus :
Kebutuhan obat akan datang = kebutuhan real + (jumlah kunjungan x
15%)
6. Menghitung kebutuhan lead time adalah waktu yang di butuhkan sejak
rencana di ajukan sampai dengan obat di terima. Misalnya waktu tunggu =
3 bulan.

103

Rumus :
Kebutuhan obat waktu tunggu = pemakaian rata-rata perbulan x waktu
tunggu.
7. Menentukan stok pengaman adalah jumlah obat yang di perlukan untuk
menghindari terjadinya kekosongan obat. Dapat dilakukan denga dua cara
berdasarkan waktu tunggu dan sistem VEN
a. Berdasarkan waktu tunggu
Waktu tunggu
1
2
3
4
6
8
12

Stok Pengaman
2 minggu
4 minggu
5 minggu
6 minggu
8 minggu
9 minggu
12 minggu

b. Berdasarkan sistem VEN


- Obat golongan V (Vital), bila perbekalan farmasi tersebut
diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan (life saving drugs),
dan bila tidak tersedia akan meningkatkan risiko kematian. Buffer
-

stok nya 20% stok kerja.


Obat golongan E (Esensial), bila perbekalan farmasi tersebut
terbukti efektif untuk menyembuhkan penyakit, atau mengurangi

penderitaan pasien. buffer stoknya 10% stok kerja.


Obat golongan N (Non-esensial), meliputi aneka ragam perbekalan
farmasi yang digunakan untuk penyakit yang sembuh sendiri (selflimiting desease), perbekalan farmasi yang diragukan manfaatnya,
perbekalan farmasi yang mahal namun tidak mempunyai kelebihan
manfaat dibanding perbekalan farmasi sejenis lainnya, dll. buffer

stoknya 0 5% stok kerja.


8. Menentukan kebutuhan obat yang akan diprogramkan.
Rumus :
Kebutuhan obat tahun yang akan datang + kebutuhan lead time +
buffer stok
9. Menentukan obat yang akan di anggarkan.

104

Rumus :
Kebutuhan obat yang di programkan sisa stok
b. Metode Morbiditas/Epidemiologi
Perencanaan dengan metode epidemiologi di dasarkan pada pola penyakit,
perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu tunggu. Langkah-langkah dalam
metode ini :
1. Menentukan jumlah pasien yang dilayani
2. Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan prevalensi
penyakit
3. Menyediakan

formularium/standar/pedoman

perbekalan

farmasi
4. Menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi
5. Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.
Kombinasi metode konsumsi dan metode morbiditas disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia.
Acuan yang digunakan yaitu:
1. DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit dan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
4.

kebijakan setempat yang berlaku.


Data catatan medik/rekam medik
Anggaran yang tersedia
Penetapan prioritas
Pola penyakit
Sisa persediaan
Data penggunaan periode yang lalu
Rencana pengembangan
Evaluasi Perencanaan
Teknik evaluasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Analisa nilai ABC, untuk evaluasi aspek ekonomi
Prinsip utama adalah dengan menempatkan jenis-jenis perbekalan
farmasi kedalam suatu urutan, dimulai dengan jenis yang memakan
anggaran/rupiah terbanyak. Urutan langkah sebagai berikut:
a. Kumpulkan kebutuhan perbekalan farmasi yang diperoleh dari
salah satu metode perencanaan, daftar harga perbekalan farmasi,
dan biaya yang diperlukan untuk tiap nama dagang. Kelompokkan

105

kedalam jenis/kategori dan jumlahkan biaya per jenis kategori


perbekaln farmasi.
b. Jumlahkan anggaran total, hitung masing-masing prosentase jenis
perbekalan farmasi terhadap anggaran total.
c. Urutkan kembali jenis perbekalan farmasi, mulai dengan jenis yang
memakan prasentase terbanyak.
d. Hitung prosentase kumulatif dimulai dengan urutan 1 dan
seterusnya.
e. Identifikasi jenis perbekalan farmasi apa yang menyerap 70%
anggaran total.
2. Revisi daftar perbekalan farmasi
Bila langkah-langkah dalam analisa ABC maupun VEN terlalu sulit
dilakukan atau perlu tindakan cepat untuk mengevaluasi daftar
perencanaan maka bisa dilakukan revisi daftar perencanaan perbekalan
farmasi.
2.2. PENGADAAN (Binfar, 2010)
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang
telah direncanakan dan disetujui melalui:
1. Pembelian
Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan uintuk mendapatkan
perbekalan farmasi. Hal ini sesuai dengan perpres RI No 94 tahun 2007 tentang
pengendalian dan pengawasan atas pengadaan dan penyaluran bahan obat, obat
spesifik dan alkes yang berfungsi sebagai obat dan perpres RI 95 tahun 2007
tentang perubahan atas kepres no 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan
pengadaan barang/jasa pemerintahan.
Ada 4 metode pada proses pembelian:
a. Tender terbuka, berlaku untuk semua rekanan yang terdaftar, dan sesuai
dengan kriteria yang telah ditentukan. Pada penentuan harga metode ini lebih
menguntungkan. Untuk pelaksanaannya memerkukan staf yang kuat, waktu yang
lama serta perhatian penuh.

106

b. Tender terbatas, sering disebutkan lelang tertutup. Hanya dilakukan pada


rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat yang baik. Harga
masih dapat dikendalikan, tenaga dan beban kerja lebih ringan bila dibandingkan
denan lelang terbuka.
c. Pembelian dengan tawar menawar, dilakukan bila item tidak penting, tidak
banyak dan biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu.
d. Pembelian langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera tersedia. Harga
tertentu, relatif agak lebih mahal.
2. Produksi
Produksi perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan kegiatan membuat,
membentuk sediaan dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non steril
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria
perbekalan farmasi yang di produksi :
a. Sediaan farmasi dengan formula khusus
b. Seidaan farmasi dengan mutu sesuai standar denan harga lebih murah
c. Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali
d. Seidaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran
e. Sediaan farmasi untuk penelitian
f. Sediaan nutrisi parenteral
g. Rekonstitusi sediaan perbekalan farmasi sitostatika
h. Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru

3. Sumbangan/ Hibah/ Droping


Pada prinsipnya pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah/ sumbangan,
mengikuti kaidah umum pengelolaan perbekalan farmasi reguler.
2.3. PENERIMAAN (Binfar, 2010)
Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang
telah diadakan sesuai dengan aturana klefarmasian, melalui pembelian
langsung, tender, atau sumbangan. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin

107

perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi utuh, jumlah
maupun waktu kedatangan.
Perbekalan farmasi yang diterima harus sesuai dengan spesifikasi
kontrak yang telah ditetapkan. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerimaan
adalah :
1. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan
yang berbahaya.
2. Harus mempunyai sertifikat asli untuk alat kesehatan.
3. Sertifikat analis produk.
2.4. PENYIMPANAN (Binfar, 2010)
Penyimpanan adalah suatu kegiatan penyimpanan dan memelihara dengan
cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai
aman dari pencurian sefrta gangguan fisik yang dapat merusak obat. Tujuan
penyimpanan :
a.
b.
c.
d.

Memelihara mutu sediaan farmasi


Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
Menjaga ketersediaan
Memudahkan pencarian dan pengawasan.

Metoda penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, menurut


bentuk sediaan dan alphabet dengan menerapkan prinsip FIFO dan FEFO dan
serta sistim informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi
sesuai kebutuhan.
Pengaturan tata ruang untuk memberikan kemudahan dalam penyimpanan,
penyusunan, pencarian, dan pengawasa perbekalan farmasi diperlukan pengaturan
tata ruang gudang yang baik. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
merancang bangunan gudang adalah :
1. Kemudahan bergerak
Untuk kemudahan bergwerak, gudang ditata menggunakan sistim satu
lantai, tidak bersekat-sekat. Berdasarkan arah arus penerimaan dan
pengeluaran perbekalan farmasi, ruang gudang ditata berdasarkan sistim
garis lurus, arus U atau arus L.
2. Sirkulasi udara yang baik.
3. Rak dan pallet

108

Penempatan rak yang tepat dan penggunaan palet dapat meningkatakan


sirku.lasi udara dan pertukaran stok perbekalan farmasi.
4. Kondisi penyimpanan khusus
Seperti vaksin memerlukan Cold Chain khusus dan harus dilindungi,
narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan
terkunci, bahan-bahan yang mudah terbakar.
5. Pencegahan kebakaran
Hindari penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar dan pemadam
kebakaran harus di[pasang pada tempat-tempat yang mudah terbakar.
Perbekalan farmasi disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk
memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah berikut:
1. Gunakan prinsip FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First In First
Out) dalam penyusunan perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yang
masa kadaluwarsanya lebih awal atau yang dietrima lebih awal harus
digunakan lebih awal sebab umumnya perbekalan farmasi yang datang lebih
awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umumnya relatif lebih tua dan
masa kadaluwarsanya lebih awal.
2. Susun perbekalan farmasi dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi
dan teratur.
3. Gunakan lemari khusus untuk penyimpanan narkotika.
4. Simpan perbekalan farmasi yang dapat dipengaruhi oleh temperatur , udara,
cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.
5. Simpan perbekalan farmasi dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan
perbekalan farmasi dalam dengan perbekalan farmasi perbekalan farmasi
untuk penggunaan luar.
6. Cantumkan nama masing-masing perbekalan farmasi pada rak dengan rapi.
7. Apabila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, maka biarkan
perbekalan farmasi tetap dalam boks masing-masing.
8. Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan perlu
dilakukan rotasi stok agar perbekalan farmasi tersebut tidak selalu berada di
belakang sehingga dapat dimanfaatkan sebelum masa kadaluwarsa habis.
109

9. Item perbekalan farmasi yang sama ditempatkan pada satu lokasi walaupun
dari sumber anggaran yang berbeda.

2.5. PENDISTRIBUSIAN (Binfar, 2010)


Pendistribusian merupakan kegiatan mendistribusikan perbakan farmasi di
rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap
dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Tujuan pendistribusian
adalah tersedianya perbekalan farmasi di unit-unit pelayan secara tepat waktu
jenis dan jumlah.
Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada atau
tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.
Berdasarkan distribusi obat bagi psien rawat inap, yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
Resep individual adalah order atau resep yang ditulis dokter untuk
tiap penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order atau resep
tersbut yang disiapkan dan didistribusikan dari instalasi farmasi rumah
sakit (IFRS sentral). Sistem distribusi obat resep individual adalah tatanan
kegiatan pengantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang
ditulis pada resep atas nama penderita rawat tinggal tertentu melalui
perawat ke ruangan penderita tersebut. Dalam sistem ini obat diberikan
kepada pasien berdasarkan resep yang di tulis oleh dokter. Biasanya obat
yang disediakan oleh IFRS dalam bentuk persediaan misalnya untuk 2-5
hari.
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
Dalam sistem ini, semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia
dalam ruang penyimpanan obat di ruang tersebut. Persediaan obat di ruang
dipasok oleh IFRS. Obat yang didispensing dalam sistem ini terdiri atas
obat penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket
perawatan menyeluruh dan resep obat yang harus dibayar sebagai biaya
obat.
110

Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter menulis


resep kemudian diberikan kepada perawat untuk diinterpretasikan
kemudian perawat menyiapkan semua obat yang diperlukan dari
persediaan obat yang ada di ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan
kepada pasien, termasuk pencampuran sediaan intravena. Persediaan obat
di ruangan dikendalikan oleh instalasi farmasi.
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap
di ruangan
Sistem ini merupakan perpaduan sistem distribusi obat resep
individual berdasarkan permintaan dokter yang di siapkan dan di
distribusikan oleh instalasi farmasi sentral dan sebagian lagi di siapkan
dari persediaan obat yang terdapat di ruangan perawatan pasien. Obat yang
di sediakan di ruangan perawatan pasien menrupakan obat yang sering di
perlukan oleh banyak pasien, mencakup obat resep atau obat bebas.
Alur sistem distribusi obat kibinasi persediaan di ruang dan resep
individual adalah dokter menulis resep untuk pasien dan resep tersebut di
interpretasikan oleh apoteker dan perawat. Pengendalian oleh apoteker di
lakukan untuk resep yang persediaan obatnya di siapkan di instalasi
farmasi. Obat kemudian di serahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu
pasien minum obat. Pengendalian obat yang tersedia di ruang perawatan di
lakukan oleh apoteker dan perawat.
4. Sistem distribusi obat dosis unit
Istilah dosis unit berkaitan dengan jenis kemasan dan juga sistem
untuk mendisrtibusikan kemasan itu. Obat dosis unit adalah obat yang di
tulis oleh dokter untuk penderita, terdiri dari satu atau beberapa jenis obat
yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah
persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Distribusi obat dosis
unit adalah tanggung jawab instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) dengan
kerja sama dengan staf medik perawat, pimpinan rumah sakit dan staf
administratif.
2.6. PENGENDALIAN (Binfar, 2010)
Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan
tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang
111

telah di tetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan atau


kekosongan obat di unit-unit pelayanan. Kegiatan pengendalian mencakup :
1. Memperkirakan / menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu
2. Menentukan stok optimum agar obat di unit pelayanan tidak mengalami
kekosongan
3. Menentukan stok pengaman untuk mencegah terjadi sesuatu hal ynag tidak
terduka
4. Menentukan waktu tunggu
Beberapa pengendalian yang perlu di perhatikan dalam pelayanan
kefarmasian:
1. Rekaman pemberian obat
Rekaman atau catatan pemberian obat adalah formulir yang di gunakan
perawat untuk menyiapkan obat sebelum pemberian. Dengan formulir ini
perawat dapat langsung menekan atau mencatat waktu pemberian dan
aturan yang sebenarnya sesuai petunjuk.
2. Pengembalian obat yang tidak di gunakan.
3. Pengendalian obat dalam ruangan
2.7. PENGHAPUSAN (Binfar, 2010)
Merupakan kegiatan penyelesaian terhadap perbekalan farmasi yang tidak
terpakai karena kadaluarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar. Tujuannya
adalah menjamin perbekalan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat di kelola
sesuai standar yang berlaku. Penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan
maupun mengurangi resiko terjadinya penggunaan obat substandard.
IFRS harus membuat prosedur terdokumentasi untuk mendeteksi
kerusakan dan kadaluwarsa perbekalan farmasi serta penanganannya, IFRS harus
diberi tahu setiap ada produk perbekalan farmasi yang rusak, yang ditemukan oleh
perawat staf medik.
Penanganannya sebagai berikut:
1. Catatan dari manufaktur seperti nama dan nomor batch sediaan perbekalan
farmasi harus tertera pada resep pasien rawat jalan, order/P-3 pasien rawat tinggal,

112

rekaman pengendalian kemasan dan pada daftar persediaan dan etiket yang
bersangkutan.
2. Dokumen tersebut no 1 (resep, order perbekalan farmasi, dan sebagainya) dikaji
untuk menetapkan penerima (pasien dan unit rawat) no batch perbekalan farmasi
yang ditarik.
3. Dalam hal penarikan produk yang signifikan secara klinik, arus disampaikan
kepada penerima bahwa mereka mempunyai produk perbekalan farmasi yang
akan ditarik itu. Untuk pasien rawat jalan, peringatan harus dilakukan sedemikian
agar tidak menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi pasien harus
dijamin mendapat penggantian perbekalan farmasi yang ditarik. Pimpinan rumah
sakit, perawat, dan staf medik harus diberi tahu setiap penarikan perbekalan
farmasi. Beberapa penjelasan juga harus diberitahukan kepada pasien yang
menerima perbekalan farmasi yang ditarik.
4. Memeriksa semua catatan pengeluaran, kepada pasien mana perbekalan farmasi
diberikan guna mengetahui keberadaan sediaan farmasi yang ditarik.
5. Mengkarantina semua produk yang ditarik, diberi tanda jangan gunakan
sampai produk perbekalan farmasi tersebut diambil oleh atau dikembalikan ke
pabrik/produsennya.
2.8. PENCATATAN DAN PELAPORAN (Binfar, 2010)
1. Pencatatan
Pencatatan bertujuan untuk memonitor transaksi perbekalan farmasi yang
keluar dan masuk. Pencatatan memudahkan untuk melakukan penelusuran
bila terjadi adanya mutu obat yang sub standard an harus di tarik dari
peredaran. Pencatatan dapat di lakukan dengan menggunakan bentuk
digital maupun manual. Kartu yang umum di gunakan untuk melakukan
pencatatan adalah kartu stok.
Kartu stok di letakkan bersamaan / berdekatan dengan perbekalan farmasi
bersangkutan, pencatatan di lakukan secara rutin dari hari ke hari, setiap
terjadi mutasi perbekalan farmasi (penerimaan, pengeluaran, hilang atau
rusak / kadaluarsa) langsung di catat dalam kartu stok, penerimaan dan
pengeluaran barang di jumlahkan pada setiap akhir bulan.
113

2. Pelaporan
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi
perbekalan farmasi, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang di sajikan
kepada pihak yang berkepentingan. Tujuan pelaporan adalah tersedianyan
data yang akurat sebagai bahan evaluasi, tersedianya informasi yang
akurat, tersedianya arsip yang memudahkan penelusuran surat dan laporan,
mendapat data yang lengkap untuk membuat perencanaan.
3. Sistem Informasi Managemen Rumah Sakit (SIMRS)
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit yang selanjutnya disingkat
SIMRS adalah suatu sistem teknologi informasi komunikasi yang
memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan Rumah
Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur
administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat, dan
merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan.
2.9. MONITORING DAN EVALUASI (Binfar, 2010)
Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan
perbekalan farmasi di rumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring
dan evaluasi (monev). Kegiatan ini juga bermanfaat sebagai msukan guna
penyususnan perencanaan dan pengambilan keputusan. Pelaksanaan monev daapt
dilakukan secara periodik dan berjenjang. Keberhasilan monev ditentukan oleh
surpervisor maupun alat yang digunakan. Tujuan meningkatkan produktivitas para
pengelola perbekalan farmasi di rumah sakit agar dapat ditingkatkan secara
optimum.
Indikator yang dapat digunakan dalam melakukan monev pengelolaan perbekalan
farmasi antara lain:
Nama Indikator: 1. Alokasi dana pengadaan obat
a. Latar belakang
Ketersediaan dan pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan obat untuk
pasien merupakan prasyarat terlaksananya penggunaann obat yang rasional yang
114

pada gilirannya akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dengan indikator


ini akan dapat dilihat komitmen pihak rumah sakit dalam penyediaan dana
pengadaan obat sesuai kebutuhan tumah sakit.
b. Definisi
Dana

penggadaan

obat

adalah

besarnya

dana

pengadaan

obat

yang

disediakan/dialokasikan oleh pihak rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan obat


untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Yang dilihat pada indikator ini
adalah jumlah dana anggaran pengadaan obat yang disediakan pihak rumah sakit
dibandingkan dengan jumlah kebutuhan dana untuk pengadaan obat yang sesuai
dengan kebutuhan rumah sakit.
c. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di rumah sakit berupa total dana
pangadaan obat, dan kebutuhan dana pengadaan obat yang sesuai dengan
kebutuhan rumah sakit.
d.Perhitungan dan Contoh

Misalnya:
Besarnya total dana pengadaan = Rp. 125.000.000
Besarnya total kebutuhan dana pengadaan obat = Rp. 135.000.000
Kesesuaian dana pengadaan obat =
125.000.000 / 135.000.000 x 100% = 92,5%

e. Penyampaian Hasil
Dana pengadaan obat yang disediakan oleh pemerintah adalah sebesar 92,5% dari
total kebutuhan rumah sakit.
115

f. Catatan
Total dana pengadaan obat adalah seluruh anggaran pengadaan obat yang berasal
dari semua sumber anggaran yang ada.
g. Angka Ideal
Dana pengadaan obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan sebenarnya.

Nama Indikator: 2. Biaya obat per kunjungan kasus penyakit


a. Latar belakang
Ketersediaan dan pengadaan obat yang sesuai dengan jumlah kunjungan kasus
yang ada di rumah sakit bervariasi untuk masing-maisng rumah sakit. Untuk itu
perlu diketahui besar dana yang disediakan oleh pihak rumah sakit apakah telah
memasukkan parameter jumlah kunjungan kasus dalam pengalokasian dananya.
b. Definisi
Besaran dana yang tersedia untuk setiap kunjungan kasus.
c. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di rumah sakit berupa total dana
pengadaan, serta jumlah kunjungan kasus yang didapatkan dari kompilasi rekam
medik.
d. Perhitungan dan Contoh

Misalnya:
Besarnya total dana pengadaan = Rp. 800.000.000
Jumlah kunjungan kasus = Rp. 160.000
Biaya obat per kungjungan kasus = 800.000.000/160.000 = Rp. 5.000

116

Misalnya:
Besarnya total dana pengadaan = Rp. 720.000.000
Jumlah kunjungan kasus = Rp. 160.000
Biaya obat per kungjungan kasus = 720.000.000/160.000 = Rp. 4.500
e. Penyampaian Hasil
Biaya obat per kunjungan kasus di rumah sait adalah sebesar Rp. 5.000 sedang
biaya obat yang dialokasikan per kunjungan kasus adalah sebesar Rp 4.500.
f. Catatan
Dengan diketahuinya standar biaya obat/kunjungan kasus dapat menjadi patokan
dalam penetapan alokasi dana pengadaan obat di tahun-tahun mendatang.
g. Angka Ideal
Biaya obat yang dialokasikan per kunjungan kasus harus memerhatikan parameter
jumlah kunjungan kasus.
Nama Indikator: 3. Biaya obat per kunjungan resep
a. Latar belakang pemikiran
Keterangan dana pengadaan obat yang sesuai dengan jumlah kunjungan resep
yang ada di rumah sakit bervariasi untuk masing-masing rumah sakit. Untuk itu
perlu diketahui besaran dana yang disediakan oleh pihak rumah sakit apakah telah
memasukkan parameter jumlah kunjungan resep dalam pengalokasian dananya.
b. Definisi
Besaran dana yang dibutuhkan untuk setiap resep (digunakan pada waktu
perencanaan obat) dan besaran dana yang tersedia untuk setiap resep (digunakan
setelah turunnya alokasi dana pangadaan obat).
c. Pengumpulan Data
117

Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di rumah sakit berupa: total dana
pengadaan obat, total dana pemakaian obat tahun lalu serta jumlah kunjungan
resep yang didapatkan dari kompilasi rekam medik dan laporan penggunaan obat.
d. Perhitungan dan Contoh

Misalnya:
Besarnya total dana pemakaian oabt tahun lalu = Rp. 800.000.000
Jumlah resep = Rp. 160.000
Biaya obat per resep =800.000.000/160.000 = Rp. 5.000

Misalnya:
Besarnya total dana pengadaan = Rp. 720.000.000
Jumlah kunjungan kasus = Rp. 160.000
Biaya obat per kungjungan kasus =720.000.000/160.000 = Rp. 4.500
e. Penyampaian Hasil
Biaya obat yang dibutuhkan per resep adalah Rp. 5.000 sedang biaya obat yang
dialokasikan per kunjungan resep adalah sebesar Rp 4.500.
f. Catatan
Dengan diketahuinya biaya obat per resep dapat menjadikan patokan dalam
penetapan alokasi dana pengadaan obat di tahun-tahun mendatang.
g. Angka Ideal
Besarnya dana yang disediakan harus memasukkan parameter jumlah resep.

Nama Indikator: 4. Ketepatan perencanaan


118

a. Latar belakang pemikiran


Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit harus sesuai
dengan kebutuhan pasien berarti harus sesuai dalam jumlah dan jenis obat untuk
pelayanan kesehatan di rumah sakit.
b. Definisi
Perencanaan kebutuhan nyata obat untuk rumah sakit dibagi dengan pemakaian
obat per tahun.
c. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di instalasi farmasi di rumah sakit
berupa: jumlah atau kuantum perencanaan kebutuhan obat dalam satu tahun dan
pemakaian rata-rata obat per bulan di rumah sakit yang didapatkan dari laporan
rekam medik. Tetapkan obat indikator untuk rumah sakit yang dibuat dengan
pertimbangan obat yang digunakan untuk penyakit terbanyak.
d. Perhitungan dan Contoh

Misalnya:
Jumlah obat A yang direncanakan dalam satu tahun = 450.000
Jumlah pemakaian obat A dalam satu tahun = 500.000
Ketetapan perencanaan obat = 450.000/500.000 x 100% = 90%
Jumlah obat B yang direncanakan dalam satu tahun = 800.000
Jumlah pemakaian obat B dalam satu tahun = 1.000.000
Ketetapan perencanaan obat = 800.000/1.000.000 x 100% = 80%
e. Penyampaian Hasil
Demikian seterusnya untuk semua obat indikator Ketepatan perencanaan obat di
rumah sakit adalah sebesar 80% dari total kebutuhan.
f. Catatan
Ketepatan perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit merupakan awal dari fungsi
pengelolaan obat yang strategis.
119

g. Angka Ideal
Perencanaan kebutuhan adalah 100% dari kebutuhan baik dalam jumlah dan jenis
obat.
Nama Indikator: 5. Prosentase dan nilai obat rusak
a. Latar belakang pemikiran
Terjadinya obat rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurang baiknya
sistem distribusi, kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat serta
perubahan pola penyakit.
b. Definisi
Jumlah jenis obat yang rusak dibagi dengan total jenis obat.
c. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di instalasi farmasi rumah sakit berupa:
jumlah jenis obat yang tersedia untuk pelayanan kesehatan selama satu tahun dan
jumlah jenis obat yang rusak dan harga masing-masing obat.
d.Perhitungan dan Contoh

Misalnya:
Total jenis obat yang tersedia = 100
Total jenis obat yang rusak = 2
Prosentase obat rusak = 2/100 x 100% = 2%

Nilai obat yang rusak didapatkan dari:


Obat yang rusak adalah A sebanyak = 10 kaleng
Harga per kaleng obat A = Rp. 75.000
Nilai obat rusak = Rp. 750.000
e. Penyampaian Hasil
Prosentase obat rusak di rumah sakit adalah sebesar 2% dengan nilai Rp. 750.000.

120

f. Catatan
Adanya obat rusak di rumah sakit harus dijadikan bahan instropeksi untuk
perbaikan pengelolaan obat.
g. Angka Ideal
Prosentase nilai obat rusak dan kadaluwarsa adalah 0%.
Nama Indikator: 6. Prosentase penggunaan antibiotik pada ISPA
a. Latar belakang pemikiran
Penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia merupakan penggunaan obat
yang tidak rasional larena tidak sesuai dengan pedoman pengobatan yang ada.
Untuk itu indikator ini digunakan untuk melihat tingkat penggunaan obat rasional
di rumah sakit.
b. Definisi
Jumlah resep dengan antibiotik pada kasus ISPA non pneumonia dibagi dengan
jumlah seluruh kasus (lama dan baru) ISPA non pneumonia.
c. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari rumah sakit berupa: kompilasi dari self-monitoring
peresepan.
d. Perhitungan dan Contoh

e. Penyampaian Hasil
Jumlah resep ISPA yang menggunakan antibiotik = 2500
Jumlah seluruh resep ISPA = 10000
Prosentase penggunaan antibiotik resep ISPA = 2500/10000 x 100% = 25%
Prosentase penggunaan antibiotik pada ISPA di rumah sakit adalah sebesar 25%.
f. Angka Ideal
Prosentase penggunaan antibiotik pada ISPA adalah 0%
g. Angka Ideal
Apoteker harus selalu memelihara sistem pencatatan. Berbagai pencatatan harus
disimpan dan bisa ditelurusi (retrievable) oleh IFRS, sesuai dengan peraturan
121

yang berlaku. Berbagai pencatatan disimpan untuk perlindungan hukum,


akreditasi dan manajemen yang baik, mengevaluasi produktivitas, beban kerja,
pengeluaran biaya, asesment pertumbuhan dan kemajuan IFRS. Pencatatan harus
disimpan paling sedikit selama waktu yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. Oleh karena itu, penting bagi apoteker rumah sakit agar
mereka mengetahui dan menerapkan peraturan tersebut di rumah sakit. Dengan
pencatatan yang baik, dapat dilakukan evaluasi, apakah pekerjaan perlu diperbaiki
atau dipertahankan.
Evaluasi Perbekalan Farmasi
Tahapan
managemen
obat
Seleksi

Pembelian

No

Indikator

Nilai standar

1
2

Tersedianya anggaran
Perbandingan
rencana

100%
dan 1:1

3
1

pemakaian
Persentase rata-rata pemakaian obat
Frekuensi rata-rata pembelian

100%
Tergantung

pada

keseimbangan
optimal
jarak

Penyimpanan

Distribusi

kuantitas
Frekuensi pemesanan obat yang 0

tidak lengkap
Frekuensi pembayaran obat di RS 0

yang tertunda
Kecocokan jumlah obat secara fisik 100%

2
3

dengan catatan
Perbandingan perputaran
8-12 x
Persentase obat ditempatkan dirak 100%

dengan benar
Persentase
obat

1
2

kadaluarsa
Persentase pemakaian obat generik
>80%
Persentase keluhan pasien rawat 0%

jalan
Persentase keluhan dokter
122

rusak

dan 0%

0%

antara
dan

4
5
6

Waktu pelayanan resep


Persentase resep yang tidak dilayani
Persentase obat non formula

<30 minutes
0%
0%

Perhitungan
Indikator

Unit

Perhitungan

Tersedianya anggaran

Tersedia anggaran pada saat

dibagi

dengan total dana yang dibutuhkan untuk

Perbandingan

rencana

dan

Ratio

obat-obatan dalam satu tahun x 100%


Jumlah item obat yang direncanakan
diawal tahun :

pemakaian
Persentase rata-rata pemakaian %

jumlah item obat yang

digunakan di akhir tahun


Pilih 10 item obat secara acak, hitung
persentase jumlah item yang dikonsumsi

obat

dibandingkan jumlah yang direncanakan

Frekuensi rata-rata pembelian

untuk setiap item, hitung rata-rata


Pilih 10 item obat secara acak, hitung
frekuensi pembelian selama 1 tahun untuk
setiap item, hitung rata-rata

Frekuensi pemesanan obat yang x/month Ambil semua form pemesanan obat 1
bulan yang lalu, identifikasi kesalahan

tidak lengkap
Frekuensi pembayaran obat di

x/year

dalam menulis pesanan


Hitung jumlah faktur selama 1 tahun
terakhir, periksa dengan tanggal jatuh

RS yang tertunda

tempo pembayaran, hitung berapa banyak


yang

Kecocokan jumlah obat secara

terlambat

dalam

tahun

yang

bersangkutan.
Pilih secara acak 10 item obat, periksa
catatan dengan jumlah fisik, hitung

fisik dengan catatan

berapa banyak item dari 10 item yang

Perbandingan perputaran

tidak benar x 100%


Nilai total (Rp) pemasukan obat tahun
lalu dibagi dengan nilai total (Rp) stok

Persentase

obat

ditempatkan %

obat akhir tahun.


Pilih secara acak 10 item obat, periksa
pembayaran

dirak dengan benar

penempatan

pesanan,
obat.

Utamakan

periksa
(atau

kadaluarsa duluan) tempatnya di depan


rak. Hitung jumlah item yang diletakkan

123

Persentase

obat

rusak

dan

(Rp), dibagi nilai total (Rp) obat stok x

kadaluarsa
Persentase

dengan benar dibagi 10 x 100%


Hitung nilai obat rusak dan kadaluarsa

obat %

pemakaian

100%
Hitung jumlah R/ obat generik 1 bulan
yang lalu dibagi total R/ dalam bulan

generik
Persentase keluhan pasien rawat

yang bersangkutan, x 100%


Wawancara 30 pasien rawat jalan, hitung
persentase pasien yang tidak puas dengan

jalan
%

Persentase keluhan dokter

pelayanan farmasi.
Wawancara 10 dokter

pada

hari

kunjungan, hitung persentase dokter yang


minutes

Waktu pelayanan resep

tidak puas dengan pelayanan farmasi.


Pilih secara acak 20 pasien rawat jalan
pada daerah pelayanan farmasi, hitung

Persentase

resep

yang

tidak

dibagi jumlah total resep yang ditulis

dilayani
Persentase obat non formula

rata-rata waktu penyiapan resep.


Hitung jumlah resep selama 10 hari,

pada periode yang sama x 100%


Amati semua resep selama 10 hari yang
lalu, hitung jumlah R/ yang tidak masuk
kategori fformula RS, dibagi jumlah total
R/ pada periode yang sama x 100%

BAB III
PEMBAHASAN

Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi merupakan Rumah Sakit Khusus


Tipe B yang dipimpin oleh seorang Direktur Utama. Dalam melaksanakan
kebijaksanaan dan tugasnya dibantu oleh dua orang direktur yaitu direktur 1:
Direktur Medik dan Keperawatan, dan direktur 2: Direktur Keuangan dan
Administrasi Umum. Instalasi Farmasi berada di bawah Komite Medik dan

124

Keperawatan, dimana kepala instalasi farmasi bertanggung jawab langsung


terhadap direktur medik dan keperawatan.
Instalasi farmasi rumah sakit merupakan suatu bagian/unit/fasilitas di
rumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan kefarmasian, baik
pengelolaan perbekalan farmasi maupun pelayanan farmasi klinis yang
berorientasi langsung pada pasien. Pengelolaan perbekalan farmasi mencakup
perencanaan,

pengadaan,

penerimaan,

penyimpanan,

pendistribusian,

pengendalian, pencatatan dan pelaporan, penghapusan, monitoring dan evaluasi


(Binfar, 2010).
Perencanaan perbekalan farmasi di RSSN dilakukan oleh apoteker, dengan
menggunakan

metode

konsumsi

yaitu

perhitungan

perbekalan

farmasi

berdasarkan data penggunaan perbekalan farmasi periode lalu dengan berbagai


penyesuaian dan koreksi. Perencanaan perbekalan farmasi di RSSN dilakukan
setahun sekali, lalu dipecah menjadi 6 bulan sekali kemudian menjadi 3 bulan
sekali.
Pengadaan perebekalan farmasi di RSSN melalui pembelian dan produksi.
Pengadaan 50 juta rupiah dilakukan oleh Pejabat Pengadaan, sedangkan untuk
pengadaan 50 juta rupiah dilakukan oleh Unit Pelayanan Pengadaan (ULP).
Pembelian yaitu dengan cara pembelian langsung ( 50 juta rupiah), sistem
kontrak (50 juta 200 juta rupiah pengadaan langsung), sistem kontrak (200
juta rupiah tender satu pemenang). Sistem pembayarannya untuk pengadaan
50 juta rupiah rekanan akan menitipkan faktur, farmasis akan membuat rakap
terhadap faktur tersebut

dan rekanan akan melakukan penagihan ke bagian

keuangan (berdasarkan rekapan faktur tersebut), sedangkan untuk pengadaan 50


juta rupiah pembayarannya baru dilakukan jika semua barang pesanan telah
diterima. Selain melalui pembelian, pengadaan perbekalan farmasi juga dilakukan
dengan cara memproduksi perbekalan farmasi tersebut, seperti kapsul campur 1
sampai 4, ASC, AEL pulv, larutan H2O 2 dan NaCl 0,9%. Ketersediaan anggaran
yang ada untuk melakukan pengadaan sudah mencukupi untuk melakukaan
pengadaan, dimana berdasarkan hasil perhitungan di dapatkan presentase

125

ketersedian anggaran 101,9 % pada tahun 2014 artinya terdapat sisa anggaran
setelah dilakukan belanja obat.
Penerimaan perbekalan farmasi dari distributor langsung menuju gudang
perbekalan farmasi, baik itu barang kontrak ataupun barang yang dibeli secara
langsung. Penerimaan barang perbekalan farmasi harus diterima oleh panitia
penerimaan barang yang telah ditunjuk dan diberi tanggung jawab. Untuk
pengadaan yang diproses oleh pejabat pengadaan, penerimaannya dilakukan oleh
pejabat pemeriksa hasil pekerjaan yang terdiri dari 1 orang. Sedangkan untuk
pengadaan yang diproses oleh ULP penerimaan dilakukan oleh panitia
penerimaan yang terdiri dari 5 orang, dimana 1 bertindak sebagai ketua, 1
sekretaris dan 3-nya sebagai anggota.
Penyimpanan perbekalan farmasi di gudang farmasi RSSN langkah
pertamanya adalah membagi perbekalan farmasi tersebut menjadi 7 kelompok,
yaitu : (1) obat umum, (2) obat BPJS, (3) suku cadang medis, (4) alat kedokteran,
(5) laboratorium, (6) alkes habis pakai dan (7) obat paket. Setelah itu di bagi
sesuai bentuk sediaan, kemudian untuk obat BPJS disusun berdasarkan kelas
terapi sedangkan untuk obat umum disusun berdasarkan alfabetis. Selain itu
penyimpanannya juga disesuaikan dengan stabilitas sediaan itu sendiri.
Penyimpanan perbekalan farmasi di RSSN menggunakan prinsip FEFO dan FIFO.
Penyimpanan pada gudang 100% ditempatkan di tempat yang benar. Pengaturan
tata ruang gudang tempat penyimpanan perbekalan farmasi juga harus
diperhatikan seperti kemudahan bergerak, sirkulasi udara, rak dan pallet, kondisi
penyimpanan khusus dan pencegahan kebakaran.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di kedua apotik rawat inap dan
rawat jalan RSSN Bukittinggi penyimpanan obat belum mengikuti aturan yang
tertera di kedua Permenkes tersebut. Dimana obat-obatan tidak dikategorikan
mengikut bentuk sediaan, kelas terapi secara alfabetis dan tidak dilabelkan secara
sempurna. Obat-obatan dalam kategori High Alert tidak dilabelkan/diberi stiker
warna merah dan tanda 'high alert'. Obat-obatan LASA juga tidak dilabelkan
dengan TALL MAN LETTER. Hal ini menyebabkan tingginya resiko kesalahan
pengambilan obat dan akan membahayakan nyawa pasien.
126

Apotik rawat jalan BPJS menerapkan sistem fast moving dan slow
moving, dimana obat yang sering diresepkan disusun dalam kotak diatas meja
dan dilemari yang mudah dijangkau sewaktu penyiapan resep obat/alkes.
Sedangkan obat yang jarang diresepkan diletakkan dilokasi yang agak jauh. Untuk
apotik rawat jalan umum, obat disusun menurut susunan abjad. Pengamatan yang
dilakukan dikedua apotik rawat inap dan rawat jalan RSSN Bukittingi belum
mengikuti aturan yang tertera pada permenkes (PMK 58 tahun 2014). Dimana
obat-obat tidak dikategorikan mengikuti bentuk sediaan, kelas terapi secara
alfabetis dan tidak dilabel secara sempurna. Obat-obatan dalam kategori High
Alert tidak dilabelkan atau diberi stiker merah dan tanda high alert. Obat-obatan
LASA juga tidak dilabellkan dengan TALLMAN LETTER.
Perbekalan farmasi yang ada digudang perbekalan farmasi kemudian
didistribusikan ke apotik rawat jalan (umum dan BPJS), apotek rawat inap A, B
dan C. Pendistribusian di RSSN berdasarkan permintaan dari tiap-tiap unit
tersebut kepada bagian gudang farmasi. Pendistribusian obat dari apotek kepada
pasien di apotek rawat inap adalah menggunakan modifikasi UDD (Unit Dose
Dispensing) yaitu ODD (One day Dose Dispensing) di pisahkan untuk satu hari
pemakaian (pagi, siang, malam), sedangkan di apotek rawat jalan menggunakan
sistem IDD (Individual Dose Dispensing) dimana jumlah obat yang di berikan
pada pasien sesuai dengan obat yang di minta oleh dokter dalam resep.
Pencatatan perbekalan farmasi

di RSSN menggunakan bentuk digital

maupun manual. Pencatatan dengan bentuk digital (komputerisasi) hanya


dilakukan terhadap obat umum dan obat BPJS. Pencatatan manual melalui
pencatatan perbekalan farmasi di kartu stok. Kartu stok digunakan untuk mencatat
mutasi perbekalan farmasi (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau
kadaluarsa). Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi
satu jenis perbekalan farmasi. Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun
laporan, perencanaan pengadaan, pendistribusian dan pembanding terhadap
keadaan fisik perbekalan farmasi dalam penyimpanan. Manfaat informasi yang
didapat dari kartu stok perbekalan farmasi adalah dapat mengetahui dengan cepat
jumlah persediaan perbekalan farmasi, penyusunan pelaporan, perencanaan
127

pengadaan dan distribusi, pengendalian persediaan, untuk pertanggungjawaban


dan sebagai alat bantu control. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
kecocokan jumlah obat secara fisik dengan catatan yang ada di apotek raeat inap
A dari 10 item obat yang di cek 25% cocok dengan kartu stok hal ini dikarenakan
masih ada item obat yang jumlahnya belum diperbaharui di kartu stok.
Pelaporan

perbekalan

farmasi

sangat

penting,

bertujuan

untuk

mendapatkan data yang akurat sebagai bahan evaluasi, mendapatkan informasi


yang akurat, adanya arsip yang memudahkan penelusuran surat dan laporan, serta
mendapat data lengkap untuk perencanaan. Pelaporan gudang farmasi RSSN
dilakukan tiap bulan disertai dengan harga dari masing-masing barang tersebut.
Penghapusan perbekalan farmasi di RSSN dilakukan 15 tahun sekali. Ini
memang kurang efektif, dimana jumlah perbekalan farmasi yang dimusnahkan
juga dalam jumlah yang besar. Penghapusan yang ideal itu dilakukan setiap 3 5
tahun sekali.
Sistem informasi managemen rumah sakit (SIMRS) di RSSN telah
diterapkan, meskipun belum 100% dalam penerapannya. SIMRS adalah suatu
sistem teknologi informasi komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan
seluruh alur proses pelayanan rumah sakit dalam bentuk jaringan koordinasi,
pelaporan, dan prosedur administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat
dan akurat (Permenkes No.82, 2013). Instalasi farmasi RSSN merupakan bagian
dari SIMRS, termasuk didalamnya managemen pengelolaan perbekalan farmasi.
Dimana semua kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi tersebut dimasukkan ke
dalam sistem komputerisasi.
Berdasarkan

evaluasi

perbekalan

farmasi

yang

telah

dilakukan

penggunaaan obat non formualrium di RSSN bukittinggi terbilang kecil yaitu


1,75% terhitung dari bulan Januari-Mei 2016. Presentase resep yang tidak dilayani
25% dikarenakan ada beberapa stok obat yang kososng seperti curcuma tablet dan
hallopridol tablet. Untuk waktu pelayanan resep di rumah sakit ini sudah cukup
baik dima resep racikan dapat diselesaikan dengan rata-rata 32 menit 50 detik dan
non racika selama 20 menit 35 detik. Presentase obat yang rusak dan kadaluarsa

128

seperti aminofusin infus bernilai 44,56% nilai ini cukup besar karena hampir
separuh dari stok obat yang ada di tahun 2014 kadaluarsa/rusak.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
1.

Pengelolaan perbekalan farmasi atau sistem manajemen perbekalan farmasi


merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan sampai
evaluasi yang saling terkait antara satu dengan yang lain.

129

2.

Perencanaan perbekalan farmasi di RSSN menggunakan metode konsumsi.


Dilakukan setahun sekali, kemudian dipecah menjadi 6 bulan sekali, dan 3

3.

bulan sekali.
Pengadaan dilakukan dengan dua sistem :
a. Pembelian langsung untuk pengadaan 50juta rupiah, diproses oleh
pejabat pengadaan, pembayarannya dilakukan berdasarkan rekapan faktur
yang dibuat oleh farmasis.
b. Sistem kontrak, jika pengadaan bernilai 50juta 200juta rupiah dilakukan
dengan sistem pengadaan langsung, tetapi jika pengadaan bernilai
200juta rupiah maka sistem yang digunakan adalah tender 1 pemenang,
diproses oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP), pembayarannya baru

4.

dilakukan jika semua barang yang dipesan sudah diterima.


Penerimaan dilakukan oleh 2 pihak yang berbeda, sesuai jenis pengadaan
yang digunakan, yaitu :
a. Oleh pejabat pemeriksa hasil pekerjaan yang terdiri dari 1 orang, untuk
pengadaan yang diproses oleh pejabat pengadaan.
b. Oleh panitia penerimaan yang terdiri dari 5 orang, untuk pengadaan yang

5.

diproses oleh ULP.


Pendistribusian dilakukan berdasarkan permintaan dari tiap unit yang
memerlukan (apotek rawat jalan umum dan BPJS ataupun apotek rawat inap
baik A, B maupun C). Sedangkan dari apotek ke pasien untuk apotek rawat
inap dilakukan dengan metode Unit Dose Dispensing (berdasarkan
pemakaian sehari pagi, siang dan malam). Untuk apotek rawat jalan

6.

pendistribusian dari apotek ke pasiennya adalah berdasarkan resep.


Pelaporan dilakukan tiap bulan.

4.2 SARAN
Sebaiknya penyimpanan obat pada apotek rawat inap dan rawat jalan
mengikuti aturan yang tertera pada permenkes (PMK 58 tahun 2014). Dimana
obat-obat dikategorikan mengikuti bentuk sediaan, kelas terapi secara alfabetis
dan dilabel secara sempurna. Obat-obatan dalam kategori High Alert dilabelkan
atau diberi stiker merah dan tanda high alert serta obat LASA juga dilabelkan
secara TALLMAN LETTER. Segera perbaharui jumlah obat pada kertu stok agar
tidak terjadi kekurangan jumlah obat dan pelayanan resep bisa terganggu.

130

DAFTAR PUSTAKA

Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2010. Pedoman Pengelolaan Perbekalan


Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Tentang
Klasifikasi Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2013 Tentang
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.

131

Lampiran 1. Alur Managemen Perbekalan Farmasi di RSSN Bukittinggi


ANGGARAN DARI PUSAT
(untuk semua kebutuhan RS)
DIREKTUR (sebagai kuasa
pengguna anggaran / KPA

PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN (yang akan membagibagi dana tersebut 1. Untuk farmasi, 2. Untuk umum)

PEJABAT PENGADAAN
(Pengadaan <Rp. 50jt)

UNIT LAYANAN PENGADAAN


(Pengadaan >Rp. 50jt)

PEMBELIAN LANGSUNG

KONTRAK (50-200jt : penunjukan


langsung & >200jt : tender)

REKANAN/SUPPLIER
PENERIMAAN
132
RJA fast & slow
moving.
RJU
PEJABAT
PEMERIKSA
HASIL
PANITIA PENERIMAAN
PENDISTRIBUSIAN
G.nama dagangPEKERJAAN
dan generik (U/
berlogo,
Pengadaan o/ P.P)
G.Farmasi
: dibagi 7 kelompok, dipisah
(u/ Pengadaan
o/ ULP)
lalu disusun alfabetis. R.Inap Bntuk
(RJU, RJA, LABOR, R.INAP
berdasarkan
bentuk sediaan, umum
sediaan dan alfabetis. PENGHAPUSAN PENCACATAN
PENGENDALIAN
& PELAPORAN
PENGHAPUSAN
A,B,C,
R.Produksi)
PENYIMPANAN
alfavetis, BPJS kelas terapi.

Lampiran 2. Perencanaan Obat


Lampiran 2. Perencanaan Obat
Paracetamol tablet awal 20.000 tab, waktu tunggu 3 bulan. Total pengadaan
120.000 tablet. Sisa stok akhir tahun 20.000, tidak ada abarang yang hilang
hilang/rusak/expire. peningkatan kunjungan 10%
1. Menghitung pemakaian nyata pertahun
= (stok awal + penerimaan obat satu tahun) (sisa stok akhir tahun + jumlah
obat hilang/rusak)
= (20.000 + 120.000) (20.000+0)
= 120.000 tab
2. Menghitung rata-rata satu bulan
= pemakaian nyata : jumlah bulan
= 120.000 : 10
= 12.000 tab
3. Menghitung kekurangan obat
= waktu kosong obat x pemakaian rata-rata
= 2 x 12.000 tab
= 24.000 tab
4. Menghitung kebutuhan obat yang sesungguhnya (riil)
= pemakaian nyata + kekurangan obat
= 120.000 tab + 24.000 tab
= 144.000 tab
5. Menghitung kebutuhan obat yang akan datang
= kebutuhan obat yang sesungguhnya + kebutuhan obat yang sesungguhnya x
10%
= 144.000 + (144.000 x 10%)
= 158.400 tab
6. Menghitung kebutuhan leadtime
= pemakaian rata-rata x waktu tunggu (bulan)
= 12.000 x 3 bulan
= 36.000 tab
7. Menghitung stok pengaman (Buffer Stock)
= waktu tunggu 3 bulan----stok pengaman 5 minggu
= 1bulan= 12.000 : 4 = 3000
5minggu = 3000 x 5
= 15.000
8. Menghitung obat yang diprogramkan ditahun yang akan datang
= kebutuhan obat yang akan datang + kebutuhan lead time + buffer stok
= 158.400 + 36.000 + 15.000
= 209.400 tab
Lanjutan
9. Jumlah obat yang dianggarkan
= jumlah obat yang diprogramkan sisa stok

133

= 209.400 20.000
= 189.400 tablet

134

Lampiran 3. Evaluasi Perbekalan Farmasi


Indikator

Unit

Tersedianya anggaran

Perhitungan

101,9

Tersedia

anggaran

pada

saat

dibagi

dengan total dana yang dibutuhkan untuk


obat-obatan dalam satu tahun x 100%
= 6.000.000.000/5.886.405.758 x 100%

Perbandingan

rencana

dan Ratio

pemakaian

1,3 : 1

= 101,9%
Jumlah item obat yang direncanakan
diawal tahun :

jumlah item obat yang

digunakan di akhir tahun


Contoh

acitarl

direncanakan

400,

terpakai 300, ratio:


Kecocokan jumlah obat secara

25%

fisik dengan catatan

400 : 300 = 1,4 : 1


Pilih secara acak 10 item obat, periksa
catatan dengan jumlah fisik, hitung berapa
banyak item dari 10 item yang tidak benar
x 100%
= 4/ 10 x 100%

Persentase

obat

ditempatkan 100%

dirak dengan benar

= 25%
Pilih secara acak 10 item obat, periksa
pembayaran
penempatan

pesanan,
obat.

periksa

Utamakan

(atau

kadaluarsa duluan) tempatnya di depan


rak. Hitung jumlah item yang diletakkan
dengan benar dibagi 10 x 100%
= 10/10 x 100%
Persentase

obat

rusak

dan 44,56 %

kadaluarsa

= 100%
Hitung nilai obat rusak dan kadaluarsa
(Rp), dibagi nilai total (Rp) obat stok x
100%
Contoh: aminofusin infus (data2014)
= Rp.205.000 / Rp.459.998 x 100%
= 44,56 %

Waktu pelayanan resep

Minute

Pilih secara acak 20 pasien rawat jalan

pada daerah pelayanan farmasi, hitung


rata-rata waktu penyiapan resep.
135

racikan

(diambil dari rata-rata pelayanan bulan

3250

januari-mei 2016)

non

= racikan 3250 non racikan 2035

racikan
Persentase

resep

yang

tidak

2035
25 %

dilayani

Hitung jumlah resep selama 10 hari,


dibagi jumlah total resep yang ditulis pada
periode yang sama x 100%
----yang dikerjakan: dari 10 resep yang
diterima/jumlah

resep

yang

tidak

dilayani x 100%
Persentase obat non formula

1,75%

= 4/10 x 100% = 25%


Amati semua resep selama 10 hari yang
lalu, hitung jumlah R/ yang tidak masuk
kategori fformula RS, dibagi jumlah total
R/ pada periode yang sama x 100%
---- data yang diambil dari peresepan
bulan januari-mei 2016
= rata-rata yang didapatkan
(98% + 98,28% + 99% + 98% + 98%) / 5
= 98,25%
% obat non formula = 100%-98,25%
= 1,75%

*Kecocokan jumlah obat secara fisik dengan catatan

Nama obat
Albhotyl
Antihemoroid
Acyclovir ceram
Cotrimoxazol syrup
Depaken syrup
Dulcolax sup
Cefadroxil syrup
Berotec
Dexanta
KCl
Lampiran 4. Kartu Stok

Jumlah di kartu stok


8
18
7
21
0
21
4
3
33
22

Jumlah real
6
17
7
17
0
21
4
3
60
39

136

137

Lampiran 5. Gambar obat-obat LASA di farmasi RSSN


Obat LASA (Look Alike Sound Alike)
No.
Nama Obat
1. Ceftriazone 1g dan

Gambar

Cefotaxim 1g

2.

Antasida DOEN dan


Ambroxol

3.

Cendo Lyteers dan


Catarlen

4.

Candesartan 8 mg
dan Candesartan 16
mg

5.

Kemasan KCl dan


Aqua For Injection

138

6.

Meloxicam 7,5 mg
dan Meloxicam 15
mg

7.

Amlodipine 5 mg
dan Amlodipine 10
mg

139

Lampiran 6. Obat -obat High Alert yang terdapat di apotek


No
Nama Obat
1. Elektrolit
konsentrasi

Gambar

tinggi
-

KCl 7.46 %

NaCl 3 % Infus

2.

40 % Dextrose Injection

3.

Antibiotik IV
- Ciprofloxacin IV Infus
-Gentamicin injeksi
-Chloramphenikol

1g

injeksi
4.

Dopamin

Giulini

Injection

140

Lidocaine Injection

Ephinefrin

injeksi

1mg/ml

141

Lampiran 7. Label Untuk Obat High Allert, LASA dan Obat Sitostatika

142

Lampiran 8. Penyimpanan Obat di Apotek Rawat Jalan dan Rawat Inap

Penyimpanan Obat di Apotik Rawat Inap

Penyimpanan Obat di Apotik Rawat Jalan

143

Lampiran 9. Daftar Obat LASA menurut Institution of Safe Medication


Practices
Nama Obat
Azetazolamide
Acetohexamid
Alprazolam
Amiloride
Amiodarone
Amlodipine
Antacid
Atacand
Avinza
Benazepril
Bethadine (with PovidoneIodine)
Captopril
Carbamazepine
Carboplatin
Cefazolin
Ceftriaxone
Cetirizine
Chlordiazepoxid
Chlorpromazine
Clobazam
Clonazepam
Codeine
Cyclophosphamide
Depakote
Depakote ER
Ephedrine
Epinephrine
Ethambutol
Dimenhydrinate
Dioval
Dobutamine
Gentamicin
Glipizide
Gliburide
Heparin
Hespan
Iodine
Ketorolac

Nama Obat yang Mirip


Acetohexamide
Azetazolamide
Lorazepam
Amlodipine
Amantadine
Amiloride
Atacand
Antacid
Invaz
Benadryl
Bethadine (without Povidone-Iodine)
Carvedilol
Oxcarbazepine
Cisplatin
Ceftriaxone
Cefazolin
Sertraline
Chlorpromazine
Chlordiazepoxid
Clonazepam
Clonidine
Lodine
Cyclosporine
Depakote ER
Depakote
Epinephrine
Ephedrine
Ethmozine
diphenhydramine
Diovan
Dopamine
Gentian Violet
Glyburide
Glipizide
Hespan
Heparin
Lodine
Methadone
144

Klonopin
Lamivudine
Levemir
Lorazepam
Lorazepam
Metformin
Metronidazole
Nicardipine
Nifedipine
Nifedipine
Nimodipine
Olanzapine
Omeprazole
Paxil
Penicillin
Penicillamine
Pentobarbital
Phenobarbital
Piroxicam
Plavix
Prednisolone
Prednisone
Rifampine
Risperidone
Tramadole
Xanax

Clonidine
Lamotrigine
Lovenox
Alprazolam
Clonazepam
Metronidazole
Metformin
Nifedipine
Nicardipine
Nimodipine
Nifedipine
Quetiapine
Fomepizole
Plavix
Penicillamine
Penicillin
Phenobarbital
Pentobarbital
Paroxetine
Pradaxa
Prednisone
Prednisolone
Rifamate
Ropinirole
Treazodone
Fanapt

145

Anda mungkin juga menyukai