Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1. PERITONITIS GENERALISATA
1.1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (membrane serosa yang
melapisi organ abdomen dan menutupi visera abdomen). Peritonitis adalah suatu
respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi
atau invasi bakteri.
1.2. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis
bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
* Spesifik: misalnya Tuberculosis
* Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.1,2
b) Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi traktus gastrointestinal
atau traktus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan
lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman
dapat berasal dari:
Aseptik/steril peritonitis
Granulomatous peritonitis
Hiperlipidemik peritonitis
Talkum peritonitis
A. Gambaran klinis
ambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis
organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum.
Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya
nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau
menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu
adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita
perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian
abdomen.
Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan
penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain
nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok
(hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan
abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus
melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama
dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya
keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang
peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat,
demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.1,2
B. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.2
C. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto
polos abdomen 3 posisi. Gambaran radiologis pada peritonitis akibat perforasi yaitu
adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang,
dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus)
obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis
distensi usus partial, air fluid level, dan herring bone appearance. Sedangkan pada
ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:
* Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang ?
kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum
crassum.
* Air fluid level
* Herring bone appearance
1.5. Tatalaksana
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakantindakan menghilangkan nyeri. Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah
penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan
vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi. Pembuangan fokus septik atau
penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah
insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan
mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan
sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum
yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
4
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika atau antiseptik
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ke
tempat lain.
Drainase pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat
masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus-menerus dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang
tidak dapat direseksi.3,4
1.6. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
i.
Komplikasi dini
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multi system.
ii.
Komplikasi lanjut
Adhesi
1.7. Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
2. PERFORASI GASTER
2.1. Definisi
Ulkus merupakan disrupsi atau gangguan dari integritas mukosa gaster dan
atau duodenum yang menyebabkan defek, kerusakan, atau rongga pada permukaan
luminal yang dapat mencapai muskulasis mukosa. Biasanya gangguan ini bersifat
keadaan
normal,
lambung
relatif
bersih
dari
bakteri
dan
Nyeri atau tidak nyaman pada abdomen (biasanya di bagian epigastrik), rasa
kembung atau perut terasa penuh, atau kram.
Nyeri pada malam hari yang dapat membangunkan pasien dari tidur
Pekak hati bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma.
Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok toksik.
2.5. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
a. Tanda dan Gejala
Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini
timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang
peritoneum oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Cairan lambung
akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah,
kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut. Pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia. Adanya
nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah
diafragma.
Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan
mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati
bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun
sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis
bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan
penderita tampak letargik karena syok toksik.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan
waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas, menggerakkan badan, batuk, dan
mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti pada saat palpasi,
tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.4,5
b. Pemeriksaan Penunjang
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan
adalah : foto polos abdomen 3 posisi, ultrasonografi dengan vesika urinaria penuh,
CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto Rontgen dan
ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk menggunakan CT-scan,
dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan dan jumlah udara yang
sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode yang disebutkan
sebelumnya.
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Isi yang
keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung dan duodenum,
empedu, makanan, dan Pada pemeriksaan radiologi foto polos abdomen tiga posisi
dapat ditemukan udara bebas atau pneumoperitoneum. Udara bebas terjadi di rongga
peritoneum 20 menit setelah perforasi. Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi
dapat tersembunyi dan tertutup oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi supine
menunjukkan pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien
menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah subhepatika
atau di ruang hepatorenal.
Di sini dapat terlihat gambaran oval kecil atau linear. Gambaran udara bentuk
segitiga kecil juga dapat tampak di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering
terlihat dalam bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma
pada posisi berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas di atas
kumpulan cairan di bagian tengah abdomen.
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas,
yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan
lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di
pelvik kecil menggunakan teknik kandung kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi
tidak dapat mendeteksi udara bebas.
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi
udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada
foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk
deteksi dini perforasi gaster. Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel
jendelanya agar dapat membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya
tampak sebagai area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk parenkim paru
9
adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat CT scan dilakukan dalam
posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan bagian
abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara bergerak jika pasien setelah itu
mengambil posisi decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih baik dalam mendeteksi
kumpulan cairan di bursa omentalis dan retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya
tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek
radiasinya.
Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak
terlihat pada scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras nonionik
untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan
udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum scanning. Cara kedua adalah dengan
memberikan kontras yang dapat larut secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum
scanning, yang membantu untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen
barium tidak dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan
pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum. Beberapa penulis menyatakan bahwa
CT scan dapat memberi ketepatan sampai 95%.5
2.6. Tatalaksana
Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan
umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa
nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda
peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi
antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob. Tujuan dari terapi
bedah adalah :
setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya, tetapi
tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia lanjut, dan
terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan, tambahan tindakan
vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah kekambuhan.6
10
2.7. Komplikasi
a) Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada
gaster.
b) Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka
operasi) dapat terjadi segera atau lambat. Faktor-faktor berikut ini
dihubungkan dengan kegagalan luka operasi :
Malnutrisi
Sepsis
Uremia
Diabetes mellitus
Terapi kortikosteroid
Obesitas
Depresi myocardial
11
12
Daftar Pustaka
1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S. Bedah digestif. Dalam: Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid: 2. Jakrta: Media Aesculapius FKUI; 2000.h
302-21.
2. Kumpulan catatan kuliah. Radiologi abdomen. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; 2009.
3. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen dkut. Dalam: Radiologi
Diagnostik. Jakrta: Gaya Baru; 2011.h.256-7.
4. Sjaifoelloh N. Demam tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,
Edisi 3. Jakarta: FKUI; 2010.h.435-42.
5. Sulton, David. Gastroenterologi. Dalam: Buku ajar Radiologi untuk
Mahasiswa Kedokteran, Edisi5. Jakarta: Hipokrates; 2010.h.34-8.
6. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Dinding perut. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah.
Jakrta Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.h.696.
7. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Gawat abdomen. Dalam: Buku ajar Ilmu
Bedah. Jakrta Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.h.221-39.
13