Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Spiritualitas adalah bagian penting dari manusia yang mengendalikan
pikiran, dan kontrol pikiran tubuh. Spiritualitas juga kuasa dalam seseorang
yang memotivasi bahwa manusia harus menemukan arti penyakit dan tujuan
dalam hidup dengan pandangan untuk hidup positif dan kehidupan
akhiratnyayang menumbuhkan harapan untuk hidup. Spiritualitas adalah
kehidupan vital kekuatan yang menyatukan semua aspek-aspek manusia,
termasuk komponen keagamaan. Tiada yang dapat memberi dari apa yang
tidak kita miliki. Ini menandakan bahwa pentingnya menjaga integritas antara
individu dan peran perawat kesehatan untuk memenuhi kebutuhan spiritual
pasien (Donia Baldacchino,2015).
Karakteristik Spiritualitas dengan memperhatikan kebutuhan spiritual
penerima layanan keperawatan, maka perawat mutlak perlu memiliki
kemampuan mengidentifikasi atau mengenal karakteristik spiritualitas,
diantaranya hubungan dengan diri sendiri (siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukanya), sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa
depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri),
hubungannya dengan alam untuk mengetahui tentang tanaman, pohon,
margasatwa, iklim serta berkomunikasi dengan alam, hubungan dengan orang
lain dibedakan menjadi dua bagian diantaranya Harmonis/suportif yaitu
berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik, Mengasuh anak,
orangtua dan orang

sakit dan meyakini

kehidupan

dan kematian

(mengunjungi, melayat, dll).Tidak harmonis yaitu konflik dengan orang lain


1

yang menimbulkan ketidakharmonisan.Hubungan dengan ketuhanan,Agamais


atau tidak agamais, Sembahyang/berdoa.
Peran Perawat Dalam Spiritual Care. Dahulu spiritual carebelum
dianggapsebagai suatu dimensiNursing Therapeutic, tetapi dengan munculnya
Holistic Nursing maka Spiritual care menjadi aspek yang harus diperhatikan
dan pengkajian kebutuhan spiritual pasien berkembang dan dikenal sebagai
aktivitas-aktivitas. Perawat merupakan orang yang selalu hadir ketika
seseorang sakit, kelahiran, dan kematian. Pada peristiwa kehidupan tersebut
kebutuhan spiritual sering menonjol, dalam hal ini perawat berperan untuk
memberikan spiritual care (Cavendish, 2003) dalam Balldacchino (2006)
menyimpulkan bahwa perawat berperan dalam proses keperawatan yaitu
melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun
rencana dan implementasi keperawatan serta melakukan evaluasi kebutuhan
spiritual pasien, perawat juga berperan dalam komunikasi dengan pasien, tim
kesehatan lainnya dan organisasi klinis/pendidikan, serta menjaga masalah
etik dalam keperawatan.
Seorang perawat memiliki peran aktif dalam memenuhi kebutuhan
spiritual pasien, karena dimensi spiritual ini sering terabaikan oleh perawat.
Hal ini dapat disebabkan oleh bekerja terlalu membebani, kurangnya waktu,
budaya-budaya yang berbeda, kurangnya perhatian untuk spiritualitas pribadi,
masalah etika. Ada 3 hal prinsip pasien dengan gangguan jiwa yaitu, tidak
tahu, tidak mau, dan tidak mampu. Tugas perawat adalah menambah
pengetahuannya dengan harapan dapat mengubah perilakunya atau menjadi
termotivasi.Misalnya, menjelaskan manfaat mandi bagi kesehatan,manfaat
berpikir positif, manfaat menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama

atau memberi dorongan agar tetap berusaha, menambah ilmu dan berdoa
(Donia Baldacchino,2015).
Berkomunikasi melalui mendengarkan dan berbicara dengan pasien,
dan menunjukkan empati serta mempromosikan rasa yang baik dengan
membantu mereka untuk menemukan arti dan tujuan dalam sakit dan hidup
secara keseluruhan adalah tugas perawat. Perawat jiwa menggunakan
pengetahuan dari ilmu psikososial, teori kepribadian dan perilaku manusia.
Adapun komunikasi terapeutik adalah hubungan untuk saling berkerja
sama yang ditandai dengan tukar-menukar perilaku, perasaan, pikiran, dan
pengalaman dalam membina hubungan yang harmonis dan menciptakan
suasana yang tenang dan nyaman. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan pada
kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan
komunikasi profesional. Achiryani mengatakan bahwa perawat atau petugas
kesehatan lain yang memiliki keterampilan komunikasi terapeutik tidak saja
akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan pasien, tetapi juga
mencegah terjadinya masalah ilegal, memberi kepuasan profesional dalam
pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra profesi keperawatan dan
tenaga kesehatan yang lain serta citra rumah sakit. Komunikasi adalah
penyampaian informasi verbal dan nonverbal untuk mencapai kesamaan
pengertian dari pengiriman informasi, sehingga menimbulkan tingkah laku
yang diinginkan oleh pengirim dan penerima informasi, dan komunikasi
merupakan sarana yang digunakan oleh seseorang untuk mengadakan
hubungan dengan orang lain guna untuk mencapai suatu tujuan (Ermawati
Dalami,2010).

Keterampilan berkomunikasi merupakan critical skillyang harus


dimiliki perawat, karena komunikasi merupakan proses yang dinamis
digunakan untuk memberikan pendidikan atau informasi kesehatan yang
mempengaruhi klien untuk mengaplikasikannya dalam hidup, menunjukan
sifat caring, memberikan rasa nyaman, menumbuhkan rasa percaya diridan
menghargai nilai-nilai klien. Dampak dari seorang perawat yang tidak
memiliki keterampilan berkomunikasi maka akan sulit untuknya mendapatkan
apa yang harusnya dia peroleh dari komunikasi, sedangkan komunikasi yang
efektif akan lebih mampu dalam mengumpulkan data, melakukan tindakan
keperawatan (intervensi), mengevaluasi pelaksanaan dari intervensiyang telah
dilakukan, melakukan perubahan untuk meningkatkan kesehatan dan
mencegah terjadinya masalah-masalah legal yang berkaitan dengan proses
keperawatan.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan

penderitaan

pada

individu

dan

atau

hambatan

dalam

melaksanakan peran sosial.


Dikatakan gangguan jiwa adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami suatu yang tidak normal dalam pemikiran mentalnya dan perilaku
yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, dan berhubungan dengan fisik
maupun mentalnya.Gangguan jiwa adalah suatu keadaan adanya gangguan
pada fungsi kejiwaan. Fungsi kejiwaan adalah proses pikir, emosional,
kemauan,dan perilaku psikomotorik, termasuk bicara. Adapun kesulitan yang
harus dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain,

mengalami kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya


terhadap dirinya sendiri (Djamaludin, 2001).
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 membagi gangguan
jiwa atas gangguan jiwa emosional dan gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa
emosional merupakan suatu keadaan yang mengindikasikan individu
mengalami suatu perubahan emosional yang dapat berkembang menjadi
keadaan patologis apabila terus berlanjut. Gangguan jiwa berat adalah
gangguan yang menyebabkan klien tidak mempunyai kontak dengan realitas
sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara
bertahap menuju kearah kronisitas. Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun
2007 terdapat 4,6 % penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat dan
11,6% yang mengalami gangguan jiwa emosional. Untuk daerah Sumatera
Barat terdapat 13,9 % yang menderita gangguan jiwa emosional dan 16,7
%yang mengalami gangguan jiwa berat, salah satu gangguan jiwa berat ini
adalah skizofrenia. Angka penderita skizofrenia yang melakukan kunjungan ke
Unit Pelayanan Jiwa A (UPJA) RSJ. Prof. Hb.Saanin Padang yaitu sebanyak
634 penderita pada bulan November 2013. Prevalensi penduduk yang
mengalami gangguan mental emosional secara nasional adalah 6,0% (37.728
orang dari subyek yang dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan
mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah (11,6%), sedangkan yang
terendah di Lampung (1,2%). Kalimantan Selatan gangguan jiwa beratnya
( 0,39 %) dan gangguan ringanya (11,30%.)
Berdasarakan dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti
di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum diperoleh hasil wawancara pada 3 orang
perawat, 2 perawat mengatakan bahwa sebelum melakukan kegiatan mereka

selalu memulainya dengan berdoa dan 1 perawat mengatakan bahwa mereka


kadang-kadang

melakukan

doa

sebelum

memulai

kegiatan.

Namun

berdasarkan dari hasil observasi selama 3 hari, kebanyakan para perawat jarang
sekali sebelum melakukan kegiatan diawali dengan berdoa. Kemudian dari
hasil observasi terhadap 7 orang perawat didapatkan bahwa 5 (50%) orang
perawat masih belum melaksanakan komunikasi secara terapeutik dengan baik
bahkan tidak adanya umpan balik dalam berkomunikasi. Sedangkan 2 (20%)
orang perawat sudah melakukan komunikasi terapeutik dengan baik sesuai
dengan peran komunikasi yang dibutuhkan sebagai sarana untuk menggali
kebutuhan klien. Hal ini ditunjukan dengan hasil wawancara dan observasi
yang dilakukan peneliti pada 2 orang kliendengan gangguan jiwaditemukan
bahwa pada klienmengeluh bila mereka berbicara atau memanggil perawat
sering tidak dihiraukan bahkan tidak ada inisiatif perawat untuk menyapa balik
klien tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik
untuk melakukan suatu

penelitian mengenai hubungan tingkat spiritual

perawat jiwa dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik pada pasien dengan


gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin Tahun
2016.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Apakah ada hubungan tingkat spiritual perawat jiwa
dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa di RSJ
Sambang Lihum Banjarmasin 2016?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya

hubungan

tingkatspiritual perawat jiwa dengan pelaksaan komunikasi terapeutik


pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa

Sambang Lihum

Banjarmasin 2016.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi tingkat spiritual dalam tugas dan peran
perawat jiwa di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.
b. Untuk mengidentifikasipelaksanaan komunikasi terapeutik pada pasien
gangguan kesehatan mental di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum
Banjaramsin.
c. Untuk menganalisa hubungan tingkat spiritual perawat jiwa dengan
pelaksanaan komunikasi terapeutik pada pasien gangguan kesehatan
mentan di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Bagi ilmu pengetahuan diharapkan penelitian ini bisa memberikan
informasi tambahan dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik terhadap
pasien gangguang jiwa, masyarakat yang mendapat pelayanan kesehatan,
dan dapat menunjang teori tentang aspek spiritual dan pelaksanaan
komunikasi terapeutik yang sudah ada sebelumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit.
1) Sebagai masukan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan
pada unsur pelayanan yang sudah baik, serta memperbaiki kinerja
unsur pelayanan yang mendapat nilai indeks paling rendah, supaya
lebih bermutu dengan memperhatikan kepuasan pasien.
2) Sebagai tolak ukur perbaikan citra Rumah Sakit sehingga menjadi
pelayanan kesehatan yang lebih unggul dibandingkan pesaingnya.

b. Bagi Mahasiswa Praktik Klinik


Agar mampu mengetahui keinginan dan harapan pasien terhadap
pelayanan kesehatan yang diberikan, khususnya dalam memberikan
layanan kesehatan yang bermutu dan memuaskan, serta mampu
meningkatkan pengetahuan dan pengalaman.
c. Bagi peneliti lain
Dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian serupa di
tempat lain, ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang
lebih rinci mengenai aspek spiritual dengan pelaksaan komunikasi
terapeutik.
d. Bagi Peneliti
a) Sebagai bahan pembelajaran untuk

memahami bagaimana

tingkat spiritual dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik pada


pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum
Banjarmasin
b) Menjadi sarana bagi peneliti untuk mengaplikasikan ilmu yang
sudah didapat dengan melakukan penelitian dan menghasilkan
sebuah Karya Tulis Ilmiah
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengetahuan peneliti, belum pernah ada ditemukan
penelitian sejenis yang telah dilakukan tentang hubungan aspek spiritual
perawat jiwa dengan pelaksaan komunikasi terapeutik pada pasien gangguan
kesehatan mental yang menggunakan variable kinerja perawat.
1. Yensy Agustin (2013), dengan judul Gambaran Tingkat Spiritualitas
Lansia Di Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Lanjut Usia (Upt Pslu)
Magetan. Pertumbuhan lansia yang sangat pesat di dunia disertai dengan
munculnya beberapa masalah yang diantaranya adalah gangguan

kesehatan mental. Pada beberapa penelitian terdahulu telah diperoleh


kesimpulan bahwa keagamaan dan spiritual adalah bahan utama untuk
meningkatkan kualitas hidup lansia di usia uzurnya. Oleh karena itu
sangatlah penting peran perawat atau pemandu agama dalam membantu
lansia mendapatkan kebutuhan spiritualnya. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui gambaran tingkat spiritualitas lansia di UPT PSLU
Magetan. Yang meliputi dua komponen yaitu vertical dan horizontal.
Komponen vertical meliputi hubungan individu dengan Tuhan. Komponen
horizontal meliputi hubungan individu dengan sesama. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif desain kuantitatif dengan pendekatan
cross sectional. Populasi penelitian adalah lansia di UPT PSLU Magetan
sejumlah 87 lansia dengan teknik total sampling. Kemudian didapatkan
sampel akhir sejumlah 61 lansia. Instrument penelitian berupa kuesioner
Spiritual assessment
2. Lili Karina (2015), dengan judul Gambaran tahapan
komunikasi perawat di bangsal perawatan minimal care kelas
III Rumah Sakit Jiwa Daerah Sambang Lihum Provinsi
Kalimantan Selatan, jenis penelitian ini deskriftif kuantitatif
yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama
membuat gambaran dalam pelaksanaan tahapan komunikasi
terapeutik perawat di bangsal perawatan minimal care kelas III
di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Provinsi Kalimanatan
Selatan. Jumlah populasi adalah 60 orang sampel 60 orang dan
teknik pengambilan sampel yaitu total sampling. Instrumen

10

yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa lembar


observasi/checklist. Analisa data yang digunakan adalah
Univariat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Konsep Spiritual
a. Definisi
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya denganYang
Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang
yangpercaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa.
Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan
Tuhannya dengan menggunakan instrumen (medium) sholat, puasa,
zakat, haji, doa dan sebagainya (Hawari, 2002).
Menurut
dorongan

yang

Florence

Nightingle,

menyediakan

energi

spiritualitas
yang

adalah

suatu

dibutuhkan

untuk

mempromosikan lingkungan rumah sakit yang sehat dan melayani


kebutuhan spiritual sama pentingnya dengan melayani kebutuhan fisik
(Potter.Perry, 2010)
b. Konsep yang terkait dengan Spiritualitas
Karena merupakan cerminan pengalaman dari dalam diri yang
diekspresikan secara individual, spiritualitas mencakup berbagai
representasi sebanyak representasi manusia yang ada.
1. Agama

11

Agama memberikan pedoman kepada penganutnya dalam


berespon terhadap pertanyaan dan tantangan hidup. Menurut
Verdey (1995) dalam Kozier (2010), agama yang terorganisasi
memberikan rasa keterikatan komunitas dengan keyakinan yang
sama, kajian bersam kitab suci (Taurat, Injil, Alquran, dsb),
pelaksanaan ritual,penggunaan displin dan praktik, firman, dan
sakramen dan cara

menjaga jiwa seseorang (seperti berdoa,

puasa, dan meditasi).


2. Iman
Iman adalah meyakini atau berkomitmen terhadap sesuatu
atau seseorang yang menggambarkan bahwa iman dimiliki
individu religius dan nonreligius. Keyakinan memberi makna
bagi kehidupan, memberi individu kekuatan pada masa-masa
yang sulit. Bagi klien yang sakit, iman kepada Yang Maha
Kuasa (mis, Tuhan, Allah, Jehovah), pada diri sendiri, pada tim
perawatan kesehatan, atau kombinasi semuanya, memberi
kekuatan dan harapan.
3. Harapan
Harapan adalah konsep yang menyatakan proses antisipasi
yang melibatkan interaksi antara berpikir, bertindak, mersakan,
dan menghubungkan, serta diarahkan kepemenuhan dimasa
yang akan datang yang bermaksa secara personal. Tanpa
harapan, klien menyerah, kehilangan semangat, dan penyakit
keemungkinan semakin memburuk.

12

4. Transendensi
Adalah kapasitas untuk menggapai sesuatu di luar diri
sendiri, untuk memperluas diri sendiri melebihi kekhawatiran
personal dan untuk mendapatkan perspektif, aktivitas dan tujuan
hidup yang luas.
5. Pengampunan
Konsep pengampunan semakin diperhatikan oleh tenaga
kesehatan. Bagi banyak klien, penyakit atau ketunadayaan
menimbulkan rasa malu atau rasa bersalah. Masalah kesehatan
diinterpretasikan sebagai hukuman atau dosayang dilakuikan
masa lalu (Kozier, 2010).
c. Tingkat Spiritualitas
Spiritualitas adalah sebuah konsep dua dimensional antara
dimensi vertikal dan horisontal. Sedangkan yang dimaksud dengan
dimensi vertikal sendiri adalah hubunganya dengan Tuhan, dan
dimensi horisontal adalah hubunganya dengan orang lain (manusia).
Spiritual mengacu pada hubungan yang sangat penting antara
seseorang dengan Yang Maha Kuasa, yang sifatnnya pribadi diluar
dari agama tertentu, yaitu rasa hormat, kagum, dan ilham yang
memberikan jawaban tentang Yang Maha Kuasa. Hodge menemukan
bahwa spiritualitas adalah sebuah hubungan dengan Tuhan atau
apasaja yang memiliki kekuasaan yang mengembangkan sense of
meaning (pencarian arti), harapan, dan tujuan hidup. Hal ini
mencakup segi apresepsi terhadap makna kehidupan yang lebih
mendalam. Serta bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam
lingkungan alam. (Tahmer & Noorkasiani, 2009).

13

Secara umum, spiritual mengarah pada religius sense yang


tidak terikat dengan suatu organisasi atau praktisi agama tertentu
(Agustin 2013, dalam Wallace & Bergeman 2002). Agama adalah
suatu kontruksi yang unik yang definisinya telah disepakati secara
umum. Agama ini sendiri mencakup keyakinan, praktek, dan ritual
yang terkait dengan hubungan kearah mistis, supranatural, atau Tuhan.
Adapun praktek agama ini sendiri sering diatur dan dipraktekan di
masyarakat dalam sebuah institusi atau lembaga, namun bisa juga
dilakukan secara pribadi. Adapun spiritualitas adalah konsep individu
yang mendefinisikan lebih inklusif dan lebih luas dari agama.
Spritualitas bersifat kabur atau samar sehingga sulit untuk diukur atau
didefinisikan secara jelas (Koenig, 2008).
Menurut Warren (2009) dari Human Relation Advisor
menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dengan jelas
menunjukan bahwa spiritual meningkatkan kesehatan seseorang, dan
memberikan pengaruh diantaranya adalah :
1. Memberikan arti dan makna dari tujuan hidup
2. Memberikan kode moral dan menyusun sistem kepercayaan
untuk menjalani kehidupan
3. Sebagai pengatur dan petunjuk untuk menjalani hidup
4. Memberikan support dan penguasaan diri
d. Dimensi Spiritual
Dimensi

spiritual

berupaya

untuk

mempertahankan

keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk


menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi
stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga

14

dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia


(Kozier, 2004).
Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi
eksistensial dan dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada
tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus
pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
Spiritualitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah
hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun
kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan
seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan
lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua
dimensi tersebut (Hawari, 2002).
e. Peran Keperawatan Dalam Spiritualitas
1. Peran keperawatan dalam Islam
Islam sangat menyarankan untuk selalu menjaga kesehatan
karena dengan jiwa yang sehat akan mempermudah sekali kita
untuk beribadah kepada Allah karena tujuan kita diciptakan
adalah untuk beribadah kapada-Nya.Islam menaruh perhatian
yang besar sekali terhadap dunia kesehatan dan keperawatan
guna

menolong

orang

yang

sakit

dan

meningkatkan

kesehatan.Kesehatan merupakan modal utama untuk bekerja,


beribadah dan melaksanakan aktivitas lainnya (Ningtyas, 2014).
2. Peran keperawatan dalam Agama Kristen& Khatolik
Agama Kristen juga memiliki peranan yang sangat penting
dalam keperawatan dimana agama merupakan bagian utama
yang tidak bias dipisahkan dari kehidupan seseorang. Dalam hal

15

ini baik yang merawat maupun yang dirawat. Agama Kristen


memandang bahwa seseorang yang sakit itu sebagai bentuk dari
pertobatan. Maka dari itu dalam merawat seseorang harus
memiliki iman yang kuat dalam niatnya.Tindakan medis dalam
dunia keperawatan tidak menyertakan tuhan maka tindakantindakan yang dilakukan menjadi tidak terarah dan tidak akan
tercapai sesuai dengan harapan yang kita inginkan (Ningtyas,
2014).
3. Peran keperawatan dalam Agama Budha
Agama budha mengajarkan kepada semua umatnya untuk
menghargai makhluk hidup tanpa terkecuali dari sudut pandang
itulah pemberian askep harus sesuai ajaran agama budha.
Karena apabila tidak terpenuhi maka klien merasa tidak puas
atas pelayanan perawat (Ningtyas, 2014).
4. Peran keperawatan dalam Agama Hindu
Dalam ajaran agama hindhu terdapat upacara manusia yajna.
Upacara tersebut untuk membersihkn diri lahir batin serta
memelihara secara rohaniah hidup manusia. Jika umat hindhu
ada yang sakit dilakukan tradisi melukat sebagai sarana
pembersihan diri dan pikiran untuk membuang sial biasanya
juga diikuti mandi kelaut (Ningtyas, 2014)
f. Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan
atau mengembalikan keyakinan dan rnemenuhi kewajiban agama serta

16

kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai,


menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan
spiritual adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan
untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan dan
mendapatkan maaf (Kozier, 2004).
Menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia
(Clinebell dalam Hawari, 2002), yaitu :
1. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini
secara terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran
bahwa hidup mini adalah ibadah.
2. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk
menemukan makna hidup dalam membangun hubungan yang
selaras

dengan

Tuhannya

(vertikal)

dan

sesama

manusia

(horisontat) serta alam sekitaraya.


3. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan
keseharian, pengalaman agama integratif antara ritual peribadatan
dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
4. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur
mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan
seseorang tidak melemah.
5. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. rasa bersaiah
dan berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak
baik bagi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua
hal yaitu pertama secara vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari
rasa bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua secara horisontal
yaitu bebas dari rasa bersalah kepada orang lain

17

6. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance


dan self esteem), setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui
oleh lingkungannya.
7. Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap
harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap
yaitu jangka pendek (hidup di dunia) dan jangka panjang (hidup di
akhirat). Hidup di dunia sifatnya sementara yang merupakan
persiapan bagi kehidupan yang kekal di akhirat nanti.
8. Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi
sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau
kedudukan manusia didasarkan pada tingkat keimanan seseorang.
Apabila seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan
Tuhan

maka

dia

senantiasa

menjaga

dan

meningkatkan

keimanannya.
9. Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama
manusia. Manusia hidup saling bergantung satu sama lain. Oleh
karena itu, hubungan dengan orang disekitarnya senantiasa dijaga.
Manusia juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alamnya
sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu manusia mempunyai
kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam ini.
10. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan
nilainilai religius. Komunitas keagamaan diperlukan oleh seseorang
dengan sering berkumpul dengan orang yang beriman akan mampu
meningkatkan iman orang tersebut.
g. Pola Normal Spiritual
Setiap

individu

memiliki

pemahaman

tersendiri

mengenaispiritualitas karena masing-masing memiliki cara pandang

18

yang berbedamengenai hal tersebur. Perbedaan definisi dan konsep


spiritualitasdipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman
hidup seseorang,serta persepsi mereka tentang hidup dan kehidupan.
Pengaruh tersebutnantinya dapat mengubah pandangan seseorang
mengenai konsepspiritulitas dalam dirinya sesuai dengan pemahaman
yang ia miliki dankeyakinan yang ia pegang teguh (Hawari, 2002).
Konsep spiritual memiliki arti yang berbeda dengan konsep
religius. Banyak perawat dalam praktiknya tidak dapat membedakan
kedua konsep tersebut karena menemui kesulitan dalam memahami
keduanya. Kedua hal tersebut memang sering digunakan secara
bersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Konsep religius
biasanya berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan atau proses
melakukan suatu tindakan. Konsep religius merupakan suatu sistem
penyatuan yang spesifik mengenai praktik yang berkaitan bentuk
ibadah tertentu. Emblen dalam Potter dan Perry mendefinisikan religi
sebagai suatu sistem keyakinan dan ibadah terorganisasi yang
dipraktikan seseorang secara jelas menunjukkan spiritualitas mereka
(Hawari, 2002)
h. Perkembangan Aspek Spiritual
Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi
semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritual klien.
Berbagai cara dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan klien
mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan
memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya.

19

Pemenuhan aspek spiritual pada klien tidak terlepas dari pandangan


terhadap lima dimensi manusia yang harus dintegrasikan dalam
kehidupan. Lima dimensi tersebut yaitu dimensi fisik, emosional,
intelektual, sosial, dan spiritual. Dimensi-dimensi tersebut berada
dalam suatu sistem yang saling berinterksi, interrelasi, dan
interdepensi, sehingga adanya gangguan pada suatu dimensi dapat
mengganggu dimensi lainnya (Carson, 2002)

20

2. Teori Komunikasi
a. Konsep Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi atau
proses pemberian arti sesuatu antar dua atau lebih orang dan
lingkungannya bisa melalui simbol, tanda atau perilaku yang umum,
dan biasanya terjadi dua arah dan merupakan usaha yang
menumbuhkan respon melalui lambang-lambang verbal, non verbal,
sebagai stimulus komunikai yang baik (Syaidah Hidayatus, 2013).
Komunikasi adalah proses dimana seseorang individu
(komunikator)

metransmisikan

stimulus

untuk

mempengaruhi

tindakan orang lain (Hovland, Janis, & Kelley, (1953) dalam


Lalongkoe (2013)).
Komunikasi merupakan penyampaian informasi dalam sebuah
interaksi tatap muka yang berisi ide, perasaan, perhatian, makna, serta
pikiran, yang diberikan kepada penaerima pesan dengan harapan si
penerima pesan menggunakan informasi tersebut untuk mengubah
sikap dan perilaku. Apabila pesan yang sudah disampaikan ingin
mendapat tanggapan yang baik dari komunikan, maka diperlukan kiatkiat menyampaikan pesan yang baik. Menurut Onong yang dikutip
Suprato, T (2002),
Berikut beberapa syarat pesan agar mendapat tanggapan yang
baik dari komunikan adalah :
1. Pesan dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehinggga dapat
menarik perhatian komunikan
2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang yang tertuju pada
pengalaman yang sama antara komunikator dengan komunikan
sehingga dapat dimengerti oleh komunikator dan komunikan.

21

3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dn


menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
4. Pesan harus menyampaikan sesuatu jalan untuk memperoleh
kebutuhan pribadi yang layak bagi situasi kelompok dimana
komunikan berada pada saat ia digerakan untuk memberikan
tanggapan yang dikehendaki. Dikutip oleh Suprapto,T (2002)
Hakikat dari komunikasi adalah suatu hubungan yang dapat
menimbulkan perubahan sikap dan tingkah laku, serta kebersamaan,
dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang terlibat
dalam komunikasi. Oleh karena itu, kesamaan simbol, kesamaan arti,
maupun kesaman bahasa,sangat mempengaruhi informasi tersebut
untukditerima oleh komunikan. (Abdul Nasir,2011)
b. Komponen Konseptual dalam Komunikasi
Terdapat banyak definisi komunikasi yang semuanya telah
dirangkum dan dapat dikategorikan menjadi lima belas komponen
konseptual. Komponen tersebut mengandung arti dan makna yang
memberikan pengertian tersendiri sesuai dengan konteks yang
terkandung didalamya.
1. Simbol/verbal/ujaran, komunikasi adlah pertukaran pikiran atau
gagasan verbal. Pertukaran ini merupakan bentuk Transfer
Learning antara kedua belah pihak dalam mencapai suatu
kesepakatan bersama tentang ide, perasaan, perhatian, makna, dan
pikiran.
2. Pengertian/pemahaman,komunikasi

merupakan

proses

yang

dinamis dan secara konstan berubah sesuai dengan situasi yang


berlaku. Dapat dikatakan demikian karena komunikai memerlukan

22

tingkat pemahaman yang kuat anatar kedua belah pihak yang


terlibat dalm proses dimana kita dapat memahmi dan dipahami
orang lain. Perbedaan persepsi anatar kedua belah pihak yang
terlibat dalam proses komunikasi tersebut akan membawa
pemaknaan atau pemahaman yang berbeda pula hingga pada
perilaku yang ditampilkan.
3. Interksi/hubungan/proses sosial. Interaksi adalah perwujudan dari
komunikasi, tanpa komuikasi tidak akan terjadi interaksi. Dengann
komunikasi, seseorang melakukan proses interaki sosial dimana
antar pribadi melakukan kontak sosial dan bertukar pengalaman
antarsesama.
4. Pengurangan rasa ketidakpastian. Komunikasi timbul karena
adanya kebutuhan untuk mengurangi ketidakpastian, bertindak
secara efektif, serta mempertahankan atau memperkuat ego.
Kepastian yang didapat dari proses komunikasi akan membuat
proses interaksi menjadi suatu kondisi helping relationship, dimana
terjadi proses saling membantu untuk mendapatkan situasi
simbiosis mutualisme atau kerja sama yang saling menguntngkan.
5. Proses, komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan,
emosi, keahlian, dan lain-lain.
6. Pengendalian/penyampaian/pertukaran.

Pengguaan

kata

komunikasi menunjukan pada pengalihan diri terhadap sesuatu


benda atau orang ke benda atau orang lainya agar menjadi
bermakna.
7. Mengubungkan/menggambungkan. Komunikasi adalah proses
yang menghubungkan satu bagian kehidupan dengan bagian lainya
dengan tujuan yang telah ditetapkan.

23

8. Kebersamaan. Komunikasi adalah proses yang membuat sesuatu


yang semula hanya dimiliki seseorang menjadi milik dua orang
atau lebih, dengan harapan terjadi persamaan persepsi dan
pemahaman, serta perilaku.
9. Saluran/jalur/alat. Komunikasi merupakan sarana untuk untuk
mengirim pesan, dimana sumber pesan dari komunikator diberikan
kekomunikan untuk diolah dan diintrpretasikan. Misalnya, telegraf,
telepon, radio, kurir, dan lain-lain.
10. Replikasi Memori. Komunikasi adalah proses mengarahkan
perhatian dengan menunggah ingatan. Perbedaan retensi memori
dalam sebuah storage

pada individu membuat seseorang

mempunyai perbedaan dalam penyimpanan sebuah memori.


11. Tanggapan Diskriminatif. Komunikasi adalah tanggapan pilihan
atau terarah padda suatu stimulus. Tanggapan tersebut berupa aksi
yang primitif dari seseorang.
12. Stimuli. Setiap tindakan

komunikasi

dipandang

sebagai

penyampaian informasi yang berisikan stimuli deskriminatif dari


suatu sumber terhadap penerima.
13. Kesengajaan. Komunikasi pada dasarnya adalah penyampaian
struktur pesan yang disengaja dari sumber terhadap penerima
dengan tujuan mempengaruhi tingkah laku pihak penerima.
14. Waktu/situasi. Komunikasi merupakan suatu transisi dari satu
struktur keseluruhan situasi atau waktu sesuai dengan pola yang
diingankan.
15. Kekuasaan/kekuatan. Komunikasi adalah suatu mekanisme yang
menimbulkan kekuatan. Melalui komunikasi, seseorang mampu
mengendalikan sesuatu sehingga dapat mengarahkan seseorang
pada sesuatu hal yang sesuai dengan keinginan.

24

Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan


pihak yang lain, antara kelompok satu dengan kelompok yang lain,
atau seseorang dengan orang lain diperlukan keterlibatan beberapa
unsur komunikasi, yakni: Komunikator (source) adalah orang atau
sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus anatar lain
dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus
disampaikan. Komunikan (receiver) adalah pihak yang menerima
stimulus dan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon
bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif dalam bentuk
pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan
oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi
yang terakhir yaitu Saluran ( media), adalah alat atau sarana yang
digunakan oleh komunikan dalam penyampaian pesan atau informasi
kepada komunikan (Notoadmodjo, 2003)
Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R), penyebab
terjadinya perubahan perilaku tergantung pada kualitas rangsang
(stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya kualitas
dari sumber komunikasi (sources) (Notoatmodjo,2003).

Stimulus
(komunikasi
)

Organisme

Perhatian
Pengertia
n
Reaksi
Penerima
Perubahan
Praktek
Reaksi
(Perubahan
Sikap)

25

Gambar 2.1 Landasan Teori Perubahan Perilaku berdasarkan Teori Stimulus-Organisme-Respon


(S-O-R)

Ada lima faktor yang berperan dalam komunikasi. Kelima faktor


terebut anatar lain :
1. Komunikator

penyampaian

informasi atau sumber informasi


2. Komunikan : penerima informasi
atau

memberi

respon

terhadap

stimulus yang disampaikan oleh


komunikator
3. Pesan : gagasan atau pendapat,
fakta, informasi, atau stimulus yang
disampaikan.
4. Media Saluran yang dipakai untuk
menyampaikan
tersebut

pesan.

meliputi:

penglihatan,
rabaan.
5. Feedback

Saluran

pendengaran,

penciuman,
(umpan

balik

dan
atau

tanggapan) yaitu arus umpan balik


dalam

rangka

proses

berlangsungnya proses komunikasi


(Jaya, 2014)
c. Jenis Komunikasi
Ada tiga jenis komunikasi antara lain :
1. Komunikasi Searah
Komunikator mengirim pesannya melalui saluran
atau media dan diterima oleh komunikan. Sedangkan

26

komunikan

tersebut

tidak

memberi

umpan

balik

(feedback).
2. Komunikasi dua arah
Komunikator mengirim pesan (berita) diterima oleh
komunikan, setelah disimpulkan kemudian komunikan
mengirmkan umpan balik kepada sumber berita atau
komunikan.
3. Komunikasi berantai
Komunikan menerima pesan atau berita dari
komunikator, kemudian disalurkan kepada komunikan
kedua, dari komunikan kedua disampaikan kepada
komunikan ketiga dan seterusnya (Jaya, 2014)
d. Komunikasi Bagi Perawat
Menurut stuart & Sudeen dalam Nurjannah, (2005) arti
komunikasi bagi perawat sebagai alat untuk membangun hubungan
terapeutik. Menurut As Hornby (1974) terapeutik merupakan kata sifat
yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan, diartikan bahwa
terapeutik

adalah

segala

sesuatu

yang

memfasilitasi

proses

penyembuhan. Mampu terapeutik berarti sesorang mampu melakukan


atau mengkomunikasikan perkataan, perbuatan, atau ekspresi yang
memfasilitasi proses penyembuhan. Sebagai alat bagi perawat untuk
mempengaruhi tingkah laku klien dan kemudian untuk mendapatkan
keberhasilan dalam intervensi keperawatan. Komunikasi merupakan
hubungan itu sendiri, dimana tanpa ini tidak mungkin terjadi
hubungan terapeutik perawat-klien.
e. Definisi Komunikasi Terapeutik

27

Komunikasi dalam kepaeraawatan disebut dengan komunikasi


terapeutik, dalam hal ini komunikasi yang dilakukan oleh seseorang
perawat pada saat melakukan intervensi keperawatan harus mampu
memberikan khasiat therapi bagi proses penyembuhan klien. Oleh
karenya seorang perawat harus meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan aplikatif komunikasi terapeutik agar kebutuhan dan
kepuasan klien dapat dipenuhi.
Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara
perawat-klien yang bertujuan untuk menyelesaikan persoalan klien.
Hubungan perawat-klien tidak akan tercapai tanpa adanya komunikasi
(Budi Ana Keliat dalam Mudakir,2006).
Hubungan terapeutik sebagai hubungan belajar baik bagi klien
maupun perawat yang diidentifikasikan dalam empat tindakan yang
harus diambil antara perawat-klien, yaitu :
1. Tindakan diawali perawat
2. Respon reaksi dari klien
3. Interaksi dimana perawat dan klien mengkaji
kebutuhan klien dan tujuan
4. Transaksi dimana hubungan timbal balik pada
akhirnya

dibangun

untuk

hubungan.
f. Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
1. Hubungan perawat
hubungan

mencapai

dengan

terapeutik

menguntungkan.

Didasarkan

klien
yang
pada

tujuan

adalah
saling
prinsip

humanity of nurse and clients didalamnya


terdapat hubungan saling mempengaruhi baik

28

pikiran,

perasaan,

tingkah

memperbaiki klien.
2. Prinsip yang sama
interpersonal,

De

laku

untuk

dengan

komunikasi

yaitu

keterbukaan,

Vito

empati, sifat mendukung, sikap positif dan


kesetaraan.
3. Kualitas hubungan perawat klien ditentukan
oleh bagaimana perawat mendefinisikan dirinya
sebagai manusia (human).
4. Perawat menggunakan dirinya dengan tekhnik
pendekatan

yang

khusus

untuk

memberi

pengertian dan merubah perilaku klien.


5. Perawat harus menguasai keunikan

klien.

Karena itu perawat perlu memahami perasaan


dan

perilaku

belakang.
6. Komunikasi
menjaga

klien
yang

harga

dengan

melihat

latar

dilakukan

harus

dapat

diri

pemberian

maupun

penerimaan pesan.
7. Trust harus dicapai terlebih dahulu sebelum
identifikasi masalah dan alternatif problem
solving.
8. Trust
adalah

kunci

dari

komunikasi

terapeutik(Nurhasanah Nunung, 2010).


g. Tujuan Komunikasi Terapeutik
Menurut Stuart & Sundeen dalam Hamid, (1996), tujuan
hubungan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi:
1. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan
penghormatan terhadap diri.

29

2. Rasa

identitas

personal

yang

jelas

peningakatan integritas diri.


3. Kemampuan
untuk
membina

dan

hubungan

ineterpersonal yang intim dan saling tergantung


dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
4. Peningkatan fungsi dan kemauan untuk
memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan
personal yang realisiti.
Selanjutnya tujuan komunikasi terapeutik adalah:
5. Komunikasi
terapeutik
bertujuan

untuk

mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih


baik dan positif atau adaptif dan diarahkan pada
pertumbuhan klien (Suryani, 2005).
6. Komunikasi terapeutik bertujuan untuk realiasi diri,
penerimaan diri dan peningkatan penghormatan diri.
Melalui komunikasi terapeutik diharapakan adanya
perubahan dalam diri klien. Selain itu juga tujuan
lainnya adalah peningkatan fungsi dan kemampuan
untuk memuaskan kebutuhan serta tercapainya
tujuan yang realistis (Effendy, (2002) dalam
Nurhasanah, (2010)).
7. Bertujuan
untuk
membantu

klien

untuk

memperjelas dan mengurangi beban perasan dan


pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk dapat
mengubah situasi yang ada bila klien percaya pada
hal

yang

diperlukan.

Mengurangi

keraguan,

membantu dalam hal mengambil tindakan yang

30

efektif dan mempertahankan kekuatan egonya. Serta


mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dirinya
sendiri (Mundzakir, 2006).
Kualiatas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien
sangat dipengaruhi oleh kualitas perawat-klien, bila perawat tidak
memperhatikan hal ini, hubungan perawat-klien tersebut bukanlah
yang memberikan dampak terapeutik yang mempercepat kesembuhan
klien, tetapi hubungan sosial yang luar biasa.
Hamid, (1998) dalam Nurhasanan, (2010) mengatakan tujuan
terapeutik akan tercapai apabila perawat memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Kesadaran Diri.
Klarifikasi nilai.
Eksplorasi perasaan.
Kemampuan untuk

menjadi

model

peran.
e. Motivasi altruistik.
f. Rasa tanggung jawab dan etik
h. Komponen Komunikasi Terapeutik
Menurut Roger, (2005) dalam Lalongkoe, (2013), terdapat
beberapa karakteristik dari seorang perawat yang dapat mempasilitasi
tumbuhnya hubungan yang terapeutik. Karakteristik tersebut antara
lain:
1. Kejujuran (trustworthy). Kejujuran merupakan model
utama agar dapat melakukan komunikasi yang
beerniali terapeutik tanpa kejujuran mustahil dapat
membina hubungan saling percaya. Klien hanya akan
terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi

31

yang benar hanya bila yakin bahwa perawat dapat


dipercaya.
2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam
berkomunikasi hendaknya perawat menggunakan
kata-kata

yang

mudah

dimengerti

oleh

klien.

Komunikasi nonverbal harus mendukung komunikasi


verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat
menyebabkan klien menjadi bingung.
3. Bersikap positif. Dapat ditunjukan dengan sikap yang
hangat, penuh perhatian, dan penghargaan terhadap
klien.

Inti

dari

hubungan

terapeutik

adalah

kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan


sikap positif.
4. Empati bukan
diperlukan

simpati.

Sikap

empati

sangat

dalam asuhan keperawatan, karena

dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan


memikirkan permaslahan klien seperti yang dirasakan
dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang
perawat dapat memberikan alternatif pemecahan
masalah bagi klien, karena meskipun dia turut
merasakan permasalahan yang dirasakan oleh klienya,
tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga
perawat dapat memikirkan masalah yang dihadapi
klien secara objektif.
5. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata
klien. Dalam memberikan asuhan keperawatan harus

32

berorientasi pada klien. Untuk itu perawat harus


menggunakan tekhnik active listening dan kesabaran
dalam mendengarkan ungkapan klien
6. Menerima klien apa adanya. Jika seseorang diterima
dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan
aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik.
Memberikan

penilaian

atau

mengkritik

berdasarkan

nilai-nilai

yang

diyakini

klien
perawat

menunjukan bahwa perawat tidak menerima klien


apadanya.
7. Sensitif terhadap perasaan klien. Tanpa kemampuan
ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin dengan
baik, karena tidak sensitif perawat dapat saja
melakukan

pelanggaran

batas,

privasi,

dan

menyinggung perasaan klien.


8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien
ataupun diri perawat sendiri. Seseorang yang selalu
menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa
lalu tidak akan mudah berbuat yang terbaik hari ini.
Sangat sulit bagi perawat untuk membantu berbuat
yang terbaik hari ini.
i. Faktor Penghambat Komunikasi Terapeutik
1. Kemampuan pehaman yang berbeda.
2. Pemahaman atau penafsiran yang berbeda karena
3.
4.
5.
6.
7.

pengalaman yang lalu.


Komunikasi satu arah.
Kepentingan yang berbeda.
Memberikan jaminan yang tidak mungkin.
Membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi.
Memberikan kritik mengenai perasaan klien.

33

8. Mengalihkan atau menghentikan tofik pembicaraan.


9. Terlalu
banyak
bicara
yang
seharusnya
mendengarkan.
10. Memperlihatkan sikap jemu, pesimis (Jaya, 2014)
j. Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik
Struktur dalam komunikasi terapeutik, Stuart. G. W, (1998)
dalam Lalongkoe, (2013), terdiri dari empat fase, yaitu; fase persiapan
atau fase pra-interaksi, fase perkenalan atau orientasi, fase kerja dan
fase terminasi. Dalam setiap fase terdapat tugas atau kegiatan perawat
yang harus diselesaikan.
1. Fase persiapan Pra-interaksi
Dalam tahapan ini perawat menggali perasaan dan menilik
dirinya

dengan

cara

mengindentifikasi

kelebihan

dan

kekurangannya. Pada tahap ini juga perawat mencari informasi


tentang klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini dilakukan
perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan
klien. Tahapan ini dilakukan dengan tujuan mengurangi rasa
cemas atau kecemasan yang mungkin dirasakan oleh perawat
sebelum melakukan komunikasi terapeutik dengan klien. (ellis,
Gates, dan Kenworthy, 2000 dalam Suryani, 2005).
Hal ini disebabkan oleh adanya kesalahan

dalam

menginterpretasikan apa yang diucapka oleh lawan bicara. Pada


saat

perawat

merasa

cemas,

dia

tidak

akan

mampu

mendengarkan apa yang dikatakan oleh klien dengan baik


(Brammer, 1993 dalam Suryani,2005) sehingga tidak mampu
melakukanactive listenig(mendengarkan dengan aktif dan penuh
perhatian). Tugas perawat dalam tahap ini adalah:

34

a. Mengeksplorasi perasaaan , mendefinisikan harapan dan


mengidentifikasikan kecemasan.
b. Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri.
c. Mengumpulkan data tentang klien.
d. Merencanakan pertemuan prtama dengan klien.
2. Fase orientasi
Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan
dengan klien dilakukan. Tujuan tahap ini adalah memvalidasi
keakuratan data dan rencana yang telah dibuat sesuai dengan
keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang
telah lalu, (Stuart. G. W, 1998). Tugas perawat pada fase ini
adalah:
1. Membina rasa saaling percaya, menunjukan
penerimaan dan komunikasi terbuka.
2. Merumuskan kontrak (waktu, tempat pertemuan,
dan topik pembicaraan) bersama-sama dengan
klien dan menjelaskan atau mengklarifikasikan
kembali kontrak yang telah disepakati bersama.
3. Menggali
pikiran
dan
perasan
serta
mengidentifikasi masalah klien yang umumnya
dilakukan

dengan

menggunakan

teknik

komunikasi pertanyaan terbuka.


4. Membantu klien dalam mengekspresikan
perasaan dan pikiranya.
5. Merumuska tujuan interaksi dengan klien.
Sangat penting bagi perawat untuk melaksanakan tahap ini
dengan baik karena tahapan ini merupakan dasar bagi hubungan
terapeutik antara perawat-klien. Hal yang harus diperhatikan
dalam fase ini antara lain:
a. Memberikan salam terapeutik
b. Memperkenalkan diri perawat

35

c. Menyepakati kontrak
d. Melengkapi kontrak
e. Evaluasi dan validasi. Evaluasi ini
digunakan

untuk

mendapat

fokus

pengkajian yang lebih lanjut, kemudian


dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait
dengan keluhan utama.
f. Menyepakati masalah.
pertemuan
orientasi.

lanjutan,
Tujuan

Setiap

awal

perlu

adanya

orientasi

adalah

memvalidasi keakuratan data, rencana


yang dibuat sesuai keadaan klien.
3. Fase Kerja
Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses
komunikasi terapeutik. Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan
rencana asuhan yang telah tetapkan. Tekhnik komunikasi
terapeutik yang sering digunakan perawat anatara lain:
mengeksplorasikan, mendengar dengan aktif, refleksi, persepsi,
fokus dan menyimpulkan (Geldard, 1996, dalam suryani, 2005).
Tugas perawat pada fase kerja ini adalah mengeksplorasikan
stressor yang terjadi pada klien dengan tepat. Mendorong
perkembanagan kesadadrn diri klien dan pemakaian mekanisme
koping yang konstruktif dan mengarahkan atau mengatasi
penolakan perilaku adaptif dengan cara:
a. Berhadapan dengan lawan bicara.
b. Sikaf tubuh terbuka.
c. Menunduk atau memposisikan tubuh kearah
lebih dekat dengan lawan bicara.
d. Bersikap tenang.

36

Tahap kerja merupakan tahap yang lama dalam kondisi


komunikasi terapeutik karena didalamnya perawat dituntut
untuk membantu dan mendukung klien menyampaikan perasaan
dan pikiranya dn kemudian menganalisis respon atau pesan
komunikasi verbal dan nonverbal yang disampaikan oleh klien.
4. Fase Terminasi
Fase ini merupakan fase yang palin sulit dn penting,
karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada
tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan.
Terminasi bisa terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada
unit tetrtentu pada saat klien akan pulang. Perawat dan klien
bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah
dilalui dan pencapaian tujuan. Terminasi merupakan akhir dari
pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:
a. Terminasi sementara, berarti masih ada
pertemuan lanjutan.
b. Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah
menyelesaikan proses keperawatan secara
menyeluruh.
Pada tahap ini dalam komunikasi terapeutik kegiatan yang
dilakukan oleh perawat adalah menyimpulkan hasil wawancara,
tindak lanjut dengan klien, melakukan kontrak (waktu, tempat
dantopik), mengakhiri wawancara dengan cara yang baik (Stuart
& Sundeen, (1998) dalam Nurjannah I, (2005)).

37

5. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Komunikasi


Proses komunikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Potter &
Perry, 2005).
a. Perkembangan.
Agar dapat berkomunikasi dengan efektif seorang perawat
harus mengerti pengaruh perkembangan usia dari sisi bahasa,
maupun proses berpikir dari orang tersebut.
b. Persepsi
Pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau
peristiwa. Persepsi dibentuk oleh harapan atau pengalaman.
Perbedaan

persepsi

dapat

mengakibatkan

terhambatnya

komunikasi.
c. Nilai
Standar yang mempengaruhi perilaku sehingga penting bagi
perawat untuk menyadari nilai seseorang. Perawat perlu berusaha
untuk mengetahui dan mengklarifikasi nilai sehingga dapat
membuat keputusan dan interaksi yang tepat dengan klien. Dalam
hubungan profesionalnya diharapkan perawat tidak dipengaruhi
oleh nilai pribadinya.
d. Latar belakang sosial budaya
Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh
faktor budaya. Budaya juga akan membatasi cara bertindak dan
berkomunikasi.

38

e. Emosi
Merupakan perasaan subjektif terhadap suatu kejadian. Emosi
seperti marah, sedih dan senang akan mempengaruhi perawat
dalam berkomunikasi dengan orang lain. Perawat perlu mengkaji
emosi klien dengan keluarganya sehingga perawat mampu
memberikan asuhan keeperawatan dengan tepat.
f. Gender (jenis kelamin)
Laki-laki dan perempuan menunjukan gaya komunikasi yang
berbedaan memiliki interpretasi yang berbeda terhadap sesuatu
percakapan. Tanned, (1990) dalam Nurjannah (2005), menyatakan
bahwa kaum perempuan menggunakan tekhnik komunikasi untuk
mencari konfirmasi, meminimalkan perbedaan, dan meningkatkan
keintiman, sementara kaum laki-laki lebih menunjukan idepedensi
dan status dalam kelompokya.
g. Pengetahuan.
Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komuniksai yang
dilakukan. Seseorang yang tingkat pengetahuan rendah akan sulit
merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan
tingkat pengetahuan yang tinggi. Hal tersebut berlaku juga alam
penerapan komunikassi teerapeutikdi rumah sakit. Hubungan
terapeutik akan terjalin dengan baik jika didukung oleh
pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik baik tujuan,
manfaat dan proses yang akan dilakukan.

39

h. Peran dan hubungan


Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar
orang yang berkomunikasi. Berbeda dengan komunikasi yang
terjadi dalam pergaulan bebas, komunikasi atar perawat-klien
terjadi secara formal karena tuntutan profesionalisme.
i. Lingkungan
Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang
efektif. Suasana yang bising, tidak ada privacy yang tepat akan
menimbulkan kerancuan, ketegangan dan ketidaknyamanan.
j. Jarak
Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu dapat
menyediakan rasa aman dan kontrol. Untuk perawat perlu
memperhitungkan jarak yang tetap pada saat melakukan
hubungan dengan klien.
k. Masa kerja
Masa kerja merupakan waktu dimana seseorang mulai
bekerja ditempat kerja. Makin lama seseorang bekrja semakin
banyak pengalaman yang dimilikinya sehingga akan semakin baik
komunikasinya (Kariyoso, 1994) dala Nurhasannah, (2010)).
6. Teknik komunikasi terapeutik
Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan
tekhnik berkomunikasi yang berbeda pula. Tehnik komunikasi berikut
ini, terutama penggunaan referensi dari shives (1994), Stuart &
Sundeen (1950) dan Wilson & Kneisl (1920),yaitu:
a. Mendengar dengan penuh perhatian
Berusaha mendengar klien menyampaikan pesan non
verbal bahwa perawat perhatian terhadap kebutuhan dan
masalah klien. Mendengar dengan penuh perhatian merupakan
upaya untuk mengerti seluruh pesan verbal dan non verbal yang

40

sedang dikomunikasikan, keterampilan mendengarkan sepenuh


perhatian.
b. Pandang klien ketika sedang bicara.
c. Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengar.
d. Sikap tubuh yang menunjukan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki
atau tangan.
e. Hindari gerakan yang tidak perlu.
f. Anggukan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan
umpan balik.
g. Condongkan tubuh ke arah lawan bicara.
h. Menunjukan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti
bersedia untuk mendengar orang lain tanpa menunjukan
keraguan atau tidak setuju. Tentu saja kita sebagai perawat tidak
harus menerima perilaku klien. Perawat sebaiknya menghindari
ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukan sikap
perawat

tidak

setuju,

seperti

mengertu

kening

atau

menggelengkan kepala seakan tidak percaya. Berikut ini


menunjukan sikap perawat yang menggelengkan kepala seakan
tidak percaya yaitu:
1. Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan.
2. Memberikan umpan balik verbal yang menampakkan
pengertian.
3. Memastikan bahwa isyarat non verbal cocok dengan
komunikasi verbal.
4. Menghindari untuk

berdebat,

mengekspresikan

keraguan, atau coba untuk mengubah pikiran klien.


i. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan.
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan
informasi yang spesipik mengenai klien. Paling baik jika
pertanyaan dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan

41

gunakan kata-kata dalam konteks sosial budaya klien. Selama


pengkajian ajukan pertanyaan secara berurutan.
j. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Dengan mengulang kembali ucapan klien, perawat
memberikan umpan balik sehingga klien mengetahui bahwa
pesanya dimengerti dan mengharapkan komunikasi berlanjut
namun perawat harus berhati-hati ketika menggunakan metode
ini, karena pengertian bisa rancu jika pengucapan ulang
mempunyai arti yang berbeda.
k. Klarifikasi
Apabila terjadi kesalah

pahaman,

perawat

perlu

menghentikan pembicaraaan untuk mengklarifikasi dengan


menyatakan pengertian, karena informasi sangat penting dalam
memberikan pelayanan keperawatan.
l. Memfokuskan
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan
pembicaraan sehingga lebih spesipik dan dimengerti. Perawat
tidak seharusnya memutuskan pembicaraan klien ketika
menyampaikan masalah yang penting, kecuali jika pembicaraan
berlanjutan tanpa informasi yang baru.
m. Menyampaikan hasil observasi
Perawat perlu memberikan umpan balik kepada klien
dengan

menyatakan

hasil

pengamatnya,

sehingga

dapat

diketahui apakah pesan diterima dengan benar perawat


menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh syarat non verbal
klien.
n. Menawarkan
Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang
lebih baik bagi klien terhadap keadaanya. Memberikan

42

tambahan informasi merupakan pendidikan kesehatan bagi


klien. Selain ini menambahkan rasa percaya klien pada perawat.
Apabila ada informasi yang ditutupi oleh dokter, perawat perlu
mengklarifikasi alasanya perawat tidak boleh memberikan
nasehat kepada klien ketika memberikan informasi, tetapi
memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.
o. Diam
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien
untuk mengorganisasi pikirannya. Penggunaan metode diam
memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu, jika tidak maka
akan menimbulkan perasaan tidak enak.
p. Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah
dikomunikasikan secara singkat metode ini bermanfaaat untuk
membantu topik yang telah dibahas sebelumnya dan akan
diteruskn pada pembicaraan selanjutnya. Membantu perawat
mengulang aspek pesan interaksinya.
q. Memberikan penghargaan
Memberikan salam pada kliendengan menyebut namanya,
menunjukan

kesadaran

tetang

perubahan

yang

terjadi,

menghargai klien sebagai manusia sutuhnya, yang mempunyai


hak an tanggung jawab atas dirinya sendiri. Penghargaan
tersebut jangan sampai menjadi beban baginya, dalam arti kata
klien jangaan sampai klien berusaha keras dan melakukan
segalanya demi mendapatkan pujian atau persetujuan atas
perbuatanya.

43

r. Menawarkan diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi sacara
verbal dengan orang lain atau klien tidak mampu untuk
membuat

dirinya

dimengerti.

Seringkali

perawat

hanya

menawarkan kehadiranya, rasa tertarik, tekhnik komunikasi ini


harus dilakukan tanpa pamrih.
s. Memberikan kesempatan pada klien untuk memulai pembicaraan
Memberi kesempatan pada klien untuk berinisiatif dalam
memilih topik pembicaraan. Biarkan klien yang merasa raguragu dan tidak pasti tentang perannya dalam interaksi ini,
perawat dapaat menstimulasinya untuk mengambil inisiatif dan
merasakan bahwa ia diharapkan untuk membuka pembicaraan.
t. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Tekhnik menganjurkan klien untuk mengarahkan hampir
seluruh pembicaraan yang mengindikasikan bahwa klien sedang
mengikuti apa yang sedang dibicarakan dan tertarik dengan apa
yang akan dibicarakan selanjutnya.
u. Menempatkan kejadian secara teratur akan menolong perawat dan klien
melihat dalam suatu perspektif.
Kelanjutannya dari suatu kejadian secara teratur akan
menolong perawat dan klien untuk melihat kejadian berikutnya
sebagi akibat kejadian yang pertama.perawat menentukan pola
kesukaran

interpersonal

dan

memberikan

data

tentang

pengalaman yang memuaskan dan berarti bagi klien dalam


memenuhi kebutuhannya.
v. Menganjurkan klien untuk menguraikan persepsinya.
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus
melihat segala sesuatunya dengan sesungguhnya dari perspketif

44

klien.klien harus merasa bebas untuk menguraikan persepsinya


kepada perawat.
w. Refleksi
Refleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan,
menerima ide dan perasaanya sebagai bagian dari diri sendiri.
Apabila klien bertanya apa yang harus dia pikirkan dan kerjakan
atau rasakan maka perawat dapat menjawab:Bagaimana
Menurutmu?,

atau

Bagaimana

perasaanmu?.

Dengan

demikian perwat mengindentifikasikan bahwa pendapat klien


adalah berharga dan klien mempunyai hak untuk melakukan
haal tersebut, maka ia pun akan berpikir bahwa dirinya adalah
manusia yang mempunyai kafasitas dan kemampuan sebagai
individu yang berintegrasi dan bukan sebagai bagian dari orang
lain.
7. Tingkat Hubungan Komunikasi
Menurut Potter & Perry, dalam Nurjana (2001), tingkatan
hubungan komunikasi terbagi atas dua bagian yaitu :

45

a.Komunikasi intrapersonal
Komunikasi intrapersonal ini terjadi dalam diri individu
sendiri. Komunikasi ini dapat membantu seseorang tetap sadar
akan kejadian sekitarnya. Kalau anda melamun maka anda
sedang melakukan komunikasi intrapersonal.
b.
Komunikasi interpesonal
Komunikasi interpersonal adalah interkasi antara dua
orang atau kelompok kecil.
c.Komunikasi massa
Komunikasi masssa adalah interaksi yang terjadidalam
kelompok besar, sepeerti ceramah yang diberikan pada
mahasiswa, kampanye.
8. Jenis Komunikasi Terapeutik
Komunikasi merupakan proses penyampaian dan pertukaran ide,
perasaan dan pikiran antara dua orang atau lebih sehingga terjadi
perubahan sikap dan tingkah laku bagi semua yang saling
berkomunikasi. Komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu
intrapersonal, interpersonal dan publik (Machfoedz, Mahmud.
2009:9). Ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non
verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik. Komunikasi menjadi
penting karena dapat menjadi sarana membina hubungan yang baik
antara pasien dan tenaga kesehatan, dapat melihat perubahan perilaku
pasien, sebagaikunci keberhasilan tindakan kesehatan, sebagai tolak
ukur kepuasan pasien dan keluhan tindakan serta rehabilitasi.
Komunikasi yang paling sering digunakan dalam pelayanan
keperwaatan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal
terutama pembicaraan dengan tatap muka. Keuntungan komunikasi

46

verbal melalui tatap muka yaitu memungkinkan setiap individu untuk


merespon secara langsung. Komunikasi verbal yang efektif harus
memperhatikan perbendaharaan kata, jelas dengan ringkas, selaan dan
kecepatan bicara, waktu dan relevansi, serta humor. Komunikasi yang
membutuhkan perhatian lebih dalam menterjemahkan maksud dari
sebuah pesan adalah komunikasi non verbal, karena komunikasi non
verbal merupakan pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata.
Komunikasi non verbal merupakan cara yang paling meyakinkan
untuk penyampaian pesan, yang teramati pada penampilan personal,
intonasi (nada suara), ekspresi wajah, sikap dan langkah tubuh, serta
sentuhan.
9. Aplikasi Komunikasi Dalam Asuhan Keperawatan
Komunikasi dalam praktik keperawatan profesional merupakan
unsur yang utama bagi perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan untuk mencapai hasil yang maksimal. Kegiatan
keperawatan yang memerlukan komunikasi meliputi:
a. Timbang terima.
b. Interview/anamnesa
c. Komunikasi melalui komputer
d. Komunikasi rahasia klien.
e. Komunikasi melalui sentuhan.
f. Komunikasi dalam pendokumentasian
g. Komunikasi antar perawat dan profesi kesehatan lain.
h. Komunikasi antar perawat dan pasien (Nursalam, 2002).
10. Aktivitas komunikasi
Aktivitas komunikasi yang biasa dilakukan pada pelayanan
keperawatan adalah sebagai berikut:
a.Konfresi kasus klinik.
b.
Mengembangkan rencana penanggulangan.
c.Dokumentasi asuhan.
d.
Kesaksian forensik.

47

e.Hubungan antar-agen.
f. Umpan balik sejawat.
g.
Menyiapkan laporan.
h.
Jaringan kerja perawat profesional.
i. Pertemuan staf.
j. Penulisan order.
k.
Pertemuan tim.
l. Laporan Verbal tentang asuhan (Nasir & Muhith, 2011).
3. Konsep Perawat
a. Pengertian Perawat
Menurut Harlley (1997) menjelaskan pengertian dasar seorang
perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau
memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injuri
dan prosespenuaan. Perawat professional adalah perawat yang
bertanggungjawab

dan

berwenang

memberikan

pelayanan

keperawatan secara mandiri dan berkolaborasi dengan tenaga


kesehatan lainnya, sesuai dengan kewenangannya (Depkes RI, 2002).
b. Peran dan Fungsi Perawat
MenurutPerry & Potter (2005) perawat memiliki beberapa
peranperawat antara lain:
1. Pemberi Asuhan Keperawatan
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat membantu
klienmendapatkan kembali kesehatannya melalui penyembuhan.
Perawatmemfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien
secara holistic,meliputi upaya pengembalian kesehatan emosi,
spiritual dan social.
2. Pembuat keputusan klinis

48

Dalam pemberian asuhan keperawatan perawat dituntut untuk


dapatmembuat keputusan sehingga tercapai perawatan yang efektif.
Perawatjuga berkolaborasi dengan klien atau keluarga dan ahli
kesehatan lain.
3. Pelindung dan advokat klien
Perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman
bagi kliendan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan danmelindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak
diinginkan darisuatu tindakan diagnostik atau pengobatan. Perawat
melindungi hakklien sebagai manusia dan scara hukum, serta
membantu klien dalammenyatakan hak-haknya bila dibutuhkan.
4. Manajer kasus
Sebagai
manajer,
perawat
mengkoordinasikan
dan
mendelegasikantanggung

jawab

asuhan

keperawatan

dan

mengawasi tenaga kesehatanlainnya.


5. Rehabilitator
Perawat membantu klien beradaptasi semaksimal mungkin
darikeadaan sakit sampai penyembuhan baik fisik maupun emosi.
6. Pemberi kenyamanan
Perawat merawat klien sebagai manusia secara utuh baik fisik
maupunmental. Perawat memberi kenyamanan dengan membantu
klien untukmencapai tujuan yang terapeutik bukan memenuhi
ketergantunganemosi dan fisiknya.
7. Komunikator.
Peran komunikator merupakan pusat dari seluruh peran
perawat yanglain. Dalam melakukan perannya, seorang perawat
harus melakukankomunikasi dengan baik. Kualitas komunikasi
merupakan factor yangmenentukan dalam memenuhi kebutuhan
individu, keluarga dankomunitas.
8. Penyuluh atau pendidik

49

Perawat memberikan pengajaran kepada klien tentang


kesehatan sesuaidengan kemampuan dan kebutuhan klien serta
melibatkan sumber-sumber yang lain.
9. Role model
Perawat harus dapat menjadi panutan dan dapat memberikan
contohbagi kliennya. Baik dalam berperilaku, sikap maupun
penampilansecara fisik.
10. Peneliti
Perawat merupakan bagian dari dunia kesehatan yang memiliki
hakuntuk

melakukan

bidangnya.
11. Kolaborator
Perawat

dalam

penelitian

proses

yang

berhubungan

keperawatan

dapat

dengan

melakukan

kolaborasidengan tenaga kesehatan professional lainnya untuk


mencapaipemenuhan kebutuhan klien.
Menurut Carolus yang dalam Zaidin (2001), perawat memiliki
beberapa fungsi yaitu:
a. Fungsi Pokok
Membantu individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit
maupun sehatdalam melaksanakan kegiatan yang menunjang
kesehatan,penyembuhan atau menghadapi kematian yang pada
hakekatnya dapatmereka laksanakan tanpa bantuan apabila
mereka

memiliki

kekuatan,kemauan,

dan

pengetahuan.

Bantuan yang diberikan bertujuanmenolong dirinya sendiri


secepat mungkin.

50

b. Fungsi Tambahan
Membantu individu, keluarga, dan masyarakat dalam
melaksanakanrencana pengobatan yang ditentukan oleh dokter.
c. Fungsi Kolaboratif
Sebagai anggota tim kesehatan, perawat bekerja dalam
merencanakandan melaksanakan program kesehatan yang
mencakup

pencegahanpenyakit,

peningkatan

kesehatan,

penyembuhan dan rehabilitasi.


i. Peran Perawat Kesehatan Jiwa
Menurut weiss (1947) yang dikutip oleh Stuart Sundeen dalam
Principles and Practice of Psychiatric Nursing Care (1995), peran
perawat adalah sebagai attitude Therapy, yakni;
1. Mengobservasi perubahan, baik perubahan kecil atau menetap yang
2.
3.
4.
5.

terjadi pada klien.


Mendemontrasikan penerimaan.
Respek
Memahami klien.
Mempromosikan ketertarikan klien dan berpartisipasi dalam
interaksi.
Sedangkan menurut Peplau, peran perawat meliputi:

1. Sebagai pendidik
2. Sebagai pemimpin di dalam situasi yang bersifat lokal, nasional,
dan internasional
3. Sebagai surrogate parent
4. Sebagai konselor
Dan sebagai tambahan dari peran perawat adalah:
5. Bekerja sama dengan lembaga kesehatan mental.
6. Konsultasi dengan yayasan kesejahteraan.
7. Memberikan pelayanan kepada klien diluar klinik.
8. Aktif melakukan penelitian, membantu pendidikan masyarakat.
d. Hubungan
Karakteristik
Perawat
Dengan
PenerapanKomunikasiTerapeutik.

51

Perawat adalah manusia biasa yang unik dengan karakteristik


masing-masing. Dalam melaksanakan perannya sebagai seorang perawat,
perawattidak bisa terlepas dari karakteristik yang dimiliki. Karakteristik
individusedikit
melaksanakan

banyak

akan

perannyasalah

mempengaruhi

satunya

adalah

perawat
dalam

dalam

menerapkan

komunikasi terapeutik dalampemberian tindakan keperawatan. Beberapa


karakteristik perawat tersebutmeliputi: .
1. Umur
Menunjukan periode waktu yang telah dilewati seorang
manusiaselama hidupnya yaitu sejak lahir sampai meninggal dunia.
Usia sebagaisamping itu terkadang tradisi dan system nilai juga
dapat mendorong ataumenghambat perawat untuk melaksanakan
komunikasi terapeutik.

(Sondang, 1992). unsur biologis dari

seseorang menunjukkan tingkat kematangan organ perseptual.


Hampir semua aspek kehidupan manusia terkait dengan usia misal;
personalitas (mental, moral, kecerdasan dan emosi) berkembang
sesuai usia seseorang. Tingkatan usia pada seseorang menunjukkan
tingkat perkembangan dan tingkat kematangan serta banyaknya
pengalaman kehidupan yang dialami. Usia juga mempengaruhi
kedewasaan seseorang dalam berhubungan interpersonal. Usia
dikaitkan dengan kinerja/prestasi yang tinggi, dimana usia
produktif (20-35 tahun) identik dengan idealisme yang tinggi. Usia
juga mempengaruhi fisik dan psikis seseorang, dimana dengan
bertambahnya usia seseorang cenderung mengalami perubahan

52

potensi kerja, selain itu faktor jenis kelamin juga akan


mempengaruhi kinerja seseorang (Gibson, 1996). Karakteristik
seorang perawat berdasarkan usia sangat berpengaruh terhadap
kinerja dalam praktik keperawatan termasuk di dalamnya
penerapan komunikasi terapeutik, dimana semakin tua usia perawat
maka

dalam

menerima

sebuah

pekerjaan

akan

semakin

bertanggungjawab dan berpengalaman. Hal ini berdampak pada


penerapan komunikasi terapeutik pada klien semakin baik pula.
2. Jenis Kelamin
Pengaruh jenis kelamin dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh
jenis pekerjaan yang akan dikerjakan. Ada pekerjaan yang secara
umum lebih baik dikerjakan oleh laki-laki akan tetapi pemberian
ketrampilan

yang

cukup

memadai

pada

perempuan

pun

mendapatkan hasil pekerjaan yang cukup memuaskan. Ada posisi


lain dalam karakter perempuan yaitu ketaatan dan kepatuhan dalam
bekerja. Hal ini akan mempengaruhi kerja secara personal.
Perbedaan jenis kelamin pada era 90-an, baik di Indonesia maupun
di negara maju tidak sedikit yang berpendapat bahwa laki-laki dan
perempuan tidak sama. Laki-laki lebih berhak di segala bidang
dibandingkan dengan perempuan. Ada juga yang berpendapat
bahwa laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan yang
hakiki dalam hak dan kewajiban. Penelitian mengenai perbedaan
laki-laki dan perempuan menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan
berubah dari waktu ke waktu. Dalam profesi keperawatan ini

53

memungkinkan

untuk laki-laki

dan perempuan sama-sama

berkarya.
3. Tingkat Pendidikan
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang
berarti dalam pendidikan itu terjadi proses

pertumbuhan,

perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih


matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Konsep ini
berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial
dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup dalam
masyarakat

selalu

memerlukan

bantuan

orang

lain

yang

mempunyai kelebihan. Dalam mencapai tujuan tersebut seorang


individu, kelompok atau masyarakat tidak terlepas dari kegiatan
belajar. Diharapkan semakin tinggi pendidikan formal (profesi)
maka akan semakin baik dalam bekerja (Notoatmodjo, 2003).
Pendidikan merupakan pengembangan diri dari individu dan
kepribadian yang dilaksanakan (Sukasta, 2006).
4. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2002) pengetahuan mencakup di
dalamdomain kognitif yang mempunyai enam tingkatan yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah
dipelajarisebelumnya termasuk mengingat kembali (recall)
terhadap suatuspesifik dari seluruh beban yang dipelajari.
Dimana

perawat

dalammelakukan

tindakan

pelayanan

54

keperawatan mengetahui tentangbagaimana menerapkan


komunikasi terapeutik yang baik sehinggadapat menciptakan
suasana yang terapeutik bagi klien.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami

diartikan

sebagai

suatu

kemampuan

menjelaskan secarabenar tentang objek yang diketahui dan


dapat menginterpretasikanmateri tersebut secara benar.
Dimana perawat mampu menjelaskanalasan mengapa perlu
adanya komunikasi terapeutik yang dapatmenunjang tindakan
keperawatan.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi

diartikan

sebagai

kemampuan

untuk

menggunakan materiyang telah dipelajari pada situasi atau


kondisi riil (sebenarnya).

Perawat dapat menerapkan

komunikasi terapeutik dengan benar secaraprofessional.

55

d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atausuatu objek di dalam struktur organisasi dan masih
ada kaitannya satusama yang lain. Sehingga perawat dapat
memenuhi kebutuhan klienmelalui komunikasi terapeutik
yang benar.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan ataumenghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhanyang baru. Dengan kata lain sintesis
merupakan suatu kemampuanuntuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada. Sehingga perawat dapat
menerapkan komunikasi terapeutik secaraterus menerus dan
secara berkesinambungan.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi objek. Penilaian-penilaian itu
didasarkan suatukriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang telahada. Sehingga hasil penilaian
tersebut dapat memberikan arti pentingbagi perawat dan bisa
menjelaskan kegunaan dari komunikasiterapeutik sehingga
dapat menunjang terlaksananya tindakankeperawatan yang
benar secara professional (Notoatmodjo, 2003)

56

9. Masa bekerja
Bekerja merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja di
tempat kerja. Semakin lama seseorang bekerja semakin banyak
pengalaman

sehingga

semakin

baik

carakomunikasinya

(manullang, 1999). Demikian juga akan mempengaruhi dalam


melakukan pekerjaan, dalam hal ini sebagai perawat yang
terapeutik. Masa kerja seseorang dapat diketahui dari mulai awal
perawat bekerja sampai saat berhenti atau masa sekarang saat
masih bekerja di rumah sakit (ismani, 2001).
10. Status Kepegawaian
Status

kepegawaian

merupakan

jabatan

yang

dimiliki

seseorang yang bekerja di sebuah instansi atau perusahaan dalam


struktur organisasi (Lumenta, 1989). Status kepegawaian dapat
mempengaruhi kinerja dari seorang perawat. Perawat dengan status
PNS akan cenderung lebih baik daripada perawat dengan status
pegawai tidak tetap. Namun tidak menutup kemungkinan hal
sebaliknya juga dapat terjadi tergantung dari individu masingmasing dan faktor-faktor lain yang mendukung hal tersebut. Di
samping itu terkadang tradisi dan system nilai juga dapat
mendorong atau menghambat perawat untuk melaksanakan
komunikasi terapeutik (Sondang, 1992).

57

4. Konsep Gangguan Jiwa


a. Definisi
1. Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola
perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment)
didalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu
fungsi psikologik, perilaku, biologik dan gangguan itu tidak
hanya terletak didalam hubungan antara orang itu tetapi juga
dengan masyarakat (Maramis, 2010).
2. Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab. Banyak yang belum diketahui denga pasti dan
perjalanan penyakit tidak selalu bersifat kronis. Pada
umumnya ditandai dengan adanya penyimpangan fundamental,
karakterisitik dari pikiran dan persepsi, serta adanya efek yang
tidak wajar atau tumpul (Maslim, 2002).
3. Gangguan jiwa merupakan bentuk penyimpangan perilaku
akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena
menurunya semua fungsi kejiwaan (Nasir dan Muhith, (2011)
dalam Jaya, (2014).
4. Menurut Videbeck, (2008) dalam Jaya, (2014), kriteria umum
untuk gangguan jiwa meliputi beberapa hal berikut ini:
a. Ketidakpuasan dengan karakteristik, kemampuan
dan prestasi diri.
b. Hubungan yang tidak efektif atau tidak memuaskan.
c. Tidak puas hidup didunia.
d. Koping yang tidak efektif terhadap peristiwa.
e. Tidak terjadi pertumbuhan kepribadian.
f. Terdapat perilaku yang tidak diharapkan.
b. Tanda dan GejalaGangguan Jiwa
1. Gangguan kognitif

58

Kognitif adalah proses mental dimana seorang individu


menyadari

dan

mempertahankan

hubungan

dengan

lingkungannya, baik lingkungan dalam maupun lingkungan luar


(fungsi mengenal) (Jaya, 2014).
2. Gangguan Perhatian
Perhatian adalah pemusatan pikiran dan konsentrasi
energi, menilai dalam suatu proses kognitif yang timbul dari luar
akibat adanya suatu rangsangan (Jaya, 2014).
3. Gangguan Ingatan
Ingatan (kenangan, memori ) adalah kesanggupan untuk
mencatat, menyimpan, memproduksi dan tanda-tanda kesadaran
(Jaya, 2014).
4. Gangguan Asosiasi
Asosiasi adalah proses mental yang dengan suatu
perasaan, kesan atau gambaran ingatan cenderung untuk
menimbulkan kesan atau gambaran ingatan respons, yang
sebelumnya berkaitan dengannya (Jaya, 2014).

59

5. Gangguan Pertimbangan
Pertimbangan (penilaian) adalah suatu proses mental
untuk membandingkan atau menilai beberapa pilihan dalam
suatu kerangka kerja dengan memberikan nilai-nilai untuk
memutuskan maksud dan tujuan dari suatu aktivitas (Jaya,
2014).
6. Gangguan Pikiran
Pikiran umum adalah melakukan hubungan antara
berbagai bagian dari pengetahuan seseorang (Jaya, 2014).
7. Gangguan Kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan seseorang untuk
mengadakan hubungan dengan lingkungan, serta dirinya melalui
pancaindra dan mengadakan pembatasan terhadap lingkungan
serta dirinya sendiri (Jaya, 2014 ).
8. Gangguan Kemauan
Kemauan adalah suatu proses

dimana

keinginan

dipertimbangkan yang kemudian diputuskan untuk dilaksanakan


sampai tercapainya tujuan (Jaya, 2014)
9. Gangguan Emosi Dan Afek
Emosi adalah suatu pengalaman

yang

sadar

dan

memberikan pengaruh pada aktivitas tubuh serta menghasilkan


sensasi organik dan kinestetik. Afek adalah kehidupan perasaan
atau nada perasaan emosional seseorang, menyenangkan atau
tidak, yang menyertai suatu pikiran, bisa berlangsung lama dan
jarang disertai komponen fisiologis (Jaya, 2014).
10. Gangguan Psikomotor
Psikomotor adalah gerakan tubuh yang dipengaruhi oleh
jiwa (Jaya, 2014).
c. Berbagai Jenis Gangguan Jiwa
1. Skizofrenia

60

Kelainan jiwa ini terutama menunjukan gangguan dalam


fungsi

kognitif

berupa

disorganisasi.

Gangguaannya

ialah

mengenai pembentukan arus serta isi pikiran. Disamping itu juga


ditemukan gejala gangguan persepsi, wawasan diri, perasaan dan
keinginan (Jaya, 2014).
2. Depresi
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan alam perasaan
(afektif atau mood ), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan,
tidak bergairah, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain
sebagainya. Depresi merupakan salah satu gangguan yang banyak
ditemukan pada saat masyarakat mengalami kesulitan ekonomi
(Jaya, 2014).
3. Kecemasan
Gejala kecemasan, baik akut atau kronik merupakan
komponen utama semua bentuk gangguan psikiatri. Sebagian dari
komponen kecemasan menjelma dalam bentuk gangguan panik,
fobia, obesif konfulsif, dan sebagainya (Jaya, 2014).
4. Penyalahgunaan Narkotika
Pengungkapan kasus narkoba di Indonesia per Tahunnya
meningkat rata-rata 28,9 %. Sejak tahun 2000-2004 telah banyak
NAPZA yang disita oleh BNN. Tahun 2010 diperkirakan di
Indonesia terdapat 1. 365. 000 pecandu narkoba dan dalam survey
terakhir tahun 2011 angka ini meningkat hampir mencapai 3,5
pecandu (Jaya, 2014).
5. Bunuh Diri
Dalam kondisi normal angka bunuh diri diperkirakan berkisar
antara 8-50/100.000 orang, tetapi dengan kesulitan ekonomi, angka
ini bisa meningkat 2-3 kali lebih tinggi. Hal yang paling

61

mengkhawatirkan adalah adanya pergeseran usia yang melakukan


bunuh diri sampai pada usia kurang dari 12 tahun. Sisi lain yang
perlu mendapat perhatian adalah altruistic suicide atau bunuh diri
karena loyalitas yang berlebihan terhadap suatu ajaran atau
keyakinan, misalnya kasus bom bunuh diri (Jaya, 2014).

62

B. Landasan Teori
a. Konsep Spiritualitas
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang
Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya
kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Konsep yang
terkait dengan Spiritualitas, yaitu; Agamamemberikan pedoman kepada
penganutnya dalam berespon terhadap pertanyaan dan tantangan hidup,
agama yang terorganisasi memberikan rasa keterikatan komunitas dengan
keyakinan yang sama, Iman adalah meyakini atau berkomitmen terhadap
sesuatu atau seseorang yang menggambarkan bahwa iman dimiliki
individu religius dan nonreligius.
b. Tingkat Spiritualitas
Spiritualitas adalah sebuah konsep dua dimensional anatara
dimensi vertikal dan horisontal. Sedangkan yang dimaksud dengan
dimensi vertikal sendiri adalah hubunganya dengan Tuhan, dan dimensi
horisontal adalah hubunganya dengan orang lain (manusia). Spiritual
mengacu pada hubungan yang sangat penting antara seseorang dengan
Yang Maha Kuasa, yang sifatnnya pribadi diluar dari agama tertentu,
yaitu rasa hormat, kagum, dan ilham yang memberikan jawaban tentang
Yang Maha Kuasa. Menurut Warren (2009) dari Human Relation Advisor
menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dengan jelas
menunjukan bahwa spiritual meningkatkan kesehatan seseorang, dan
memberikan pengaruh diantaranya adalah :

63

1. Memberikan arti dan makna dari tujuan hidup


2. Memberikan kode moral dan menyusun sistem kepercayaan untuk
menjalani kehidupan
3. Sebagai pengatur dan petunjuk untuk menjalani hidup
4. Memberikan support dan penguasaan diri.
Kemudian dari beberapa tingkatan yang mempengaruhi tingkat
spiritualitas seseorang akan berhubungan dengan konsep komunikasi
dalam

keperawatan

serta

menerapkan

beberapa

fase

dalam

komunikasi.
c. Konsep Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi atau
proses pemberian arti sesuatu antar dua atau lebih orang dan
lingkungannya bisa melalui simbol, tanda atau perilaku yang umum,
dan biasanya terjadi dua arah dan merupakan usaha yang
menumbuhkan respon melalui lambang-lambang verbal, non verbal,
sebagai stimulus komunikai yang baik (Syaidah Hidayatus, 2013).
Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara
perawat-klien yang bertujuan untuk menyelesaikan persoalan klien.
Hubungan perawat-klien tidak akan tercapai tanpa adanya komunikasi
(Budi Ana Keliat dalam Mudakir,2006).

64

d. Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik


Struktur dalam komunikasi terapeutik, stuart.G.W, 1998, terdiri
dari empat fase, yaitu;
1. Fase Prainteraksi
Fase ini merupakan persiapan sebelum berhubungan dan
berkomunikasi dengan klien. Dalam tahap ini perawat menggali
perasaan dan menilik dirinya dengan cara mengidentifikasikan
kelebihan dan kekuranganya. Pada tahap ini juga perawat mencari
informasi tentang klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini
dilakukan perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama
dengan klien. Tahap ini dilakukan oleh perawat dengan tujuan
mengurangi rasa cemas atau kecemasan yang mungkin dirasakan
oleh perawat sebelum melakukan komunikasi terapeutik dengan
klien. Kecemasan yang dialami oleh seseorang dapat sangat
mempengaruhi interaksinya dengan orang lain (Ellis, Gates dan
Kenworthy, 2000 dalam Suryani,2005).
2. Fase Orientasi
Fase orientasi atau perkenalan merupakan fase yang
dilakukan perawat pada saat pertama kali bertemu atau kontak
dengan klien. Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali bertemu
dengan klien. Tujuan dalam tahap ini adalah memvalidasi
keakuratan data dan rencana yang telah dibuat sesuai dengan
keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang telah
lalu (Stuart G. W, (1998) dalam Nasir Abdul (2011).
3. Fase Kerja
Fase kerja adalah fase inti dari hubungan perawat dengan
klien yang terkait erat dengan pelaksnaan rencana tindakan

65

keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai tujuan yang dicapai.


Pada fase kerja ini perawat perlu meningkatkan interaksi dan
mengembangkan faktor fungsional dari komunikasi terapeutik yang
dilakukan.

Meningkatkan

interaksi

sosial

dengan

cara

meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi


kecemasan, atau menggunakan teknik komunikasi terapeutik
sebagai cara pemecahan dan dalam mengembangkan hubungan
kerja sama. Perawat dan klien mengeksplorasi stresssor yang
berhubungan, mendukung berkembangnya daya tilik dari klien
dengan cara menghubungkan persepsi, perasaan, dan tindakan.
4. Fase Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan
klien. Tahap terminasi dibagi menjadi dua yaitu terminasi
sementara dan terminasi akhir (Stuart G. W, 2009). Terminasi
sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat dan klien,
setelah hal ini dilakukan perawat dan klien masih akan bertemu
kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak waktu
yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir
dilakukan oleh perawat setelah menyelasaikan seluruh proses
keperawatan

66

C. Kerangka Teori
Tingkat Spiritual Perawat
Gangguan Jiwa

(Tahmer & Noorkasiani, 2009).

(Marimis, 2010)
Komunikasi
Verbal

Komunikasi
Non verbal

Komunikasi
Terapeutik

Proses Keperawatan Jiwa

(Suliswati, 2005)

(Nasir & Muhith, 2011)

Pelaksanaan
Komunikasi
(Iskandar, 2012)
Fase Komunikasi
Terapeutik
1.
2.
3.
4.

Variabel Pengganggu

Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
Lama Bekerja

Fase Pre-interaksi
Fase Orientasi
Fase Kerja
Fase Terminasi
(Stuar G. W,

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak Diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Teori

67

D. Kerangka Konsep

Variabel Independent

Tingkat Spiritualitas

Variabel Dependent

Pelaksanaan Komunikasi
Terapeutik

Gambar 2.3 Kerangka Konsep


E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2014).
Ha :Terdapat hubungan antara tingkat spiritualitas perawat jiwa dengan
pelaksanaan komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa di Rumah
Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.
Ho :Tidak ada hubungan antara tingkat spiritualitas perawat jiwa
pelaksanaan komunikasi terapeutik pada pasien
di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum

gangguan jiwa

Banjarmasin.

dengan

68

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, menggunakan
pendekatan cross sectional, Rancangan pada penelitian ini adalah
korelasional. Pendekatan cross sectional adalah suatu penelitian untuk
mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek,
dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada
suatu saat (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini mencari hubungan antara
tingkat spiritualitas perawat jiwa dengan pelaksanaan komunikaai terapeutik
pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum
Banjarmassin.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada ruangan tenang pria dan wanita
kemudian pada ruangan transit pria dan wanita di Rumah Sakit Jiwa Sambang
Lihum, waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari 2016 sampai
dengan Mei 2016.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek yang menjadi sumber
diperolehnya informasi atau data penelitian ( Arikunto, 2006). Populasi
penelitian ini adalah semua perawat ruangan tenang pria yang berjumlah
17 orang, ruang tenang wanita berjumlah 16 orang, ruang transit pria
berjumlah 16 orang dan ruang transit wanita berjumlah 16 orang. Sehingga
ditotalkan menjadi 65 orang yang menjadi populasi di Rumah Sakit Jiwa
Sambang Lihum Banjarmasin.
2. Sampel

69

Sampel adalah merupakan bagian dari populasi yang dapat


dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,
2011). Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakterisitk yang dimiliki
oleh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang
ada diruangan dengan total sampel sebanyak 65 orang.
3. Sampling
Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel.
Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan cara total sampling. Total sampling adalah suatu cara
pengambilan sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi
sampel. Istilah lain total samplig adalah sensus, dimana semua anggota
populasi dijadikan sampel (Sugiyono, 2014).
Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Wilayah Kerja Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin
mempunyai ruangan sebanyak 9 ruangan, peneliti mengambil 2 ruangan
untuk mewakili dari 9 ruangan yang ada, dengan alasan dari bagian diklat
hanya ruangan tersebut yang dapat dilakukan untuk penelitian dan tanpa
menyebutkan atau mencantumkan nama ruangan tersebut, maka peneliti
diberikan ijin oleh pihak Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum untuk
melakukan penelitian di ruangan tersebut. Di dalam 1 ruangan terdapat 2
bagian yaitu ruangan tenang pria dengan jumlah perawat sebanyak 17
orang , kemudian ruangan tenang wanita dengan jumlah perawat sebanyak
16 orang tidak termasuk kepala ruangan, kemudian peneliti merasa jumlah
sampel yang dibutuhkan belum mencukupi standar kebutuhan maka
peneliti mengambil 1 ruangan yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu ruang

70

transit pria dengan jumlah perawat sebanyak 16 orang dan ruang transit
wanita sebanyak 16 orang dan tidak termasuk kepala ruangan. Maka total
jumlah sampel yang diperoleh dari peneliti adalah berjumlah 65 orang
perawat ruangan.
D. Variabel Penelitian
Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh
anggotaanggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh
kelompok lain (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini terdiri dari dua
variabel, yaitu variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).
1. Variabel independen (bebas) merupakan variabel yang menjadi sebuah
perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Hidayat, 2011)
Variabel independen dalam penelitian ini adalah tingkat spiritualitas
perawat jiwa.
2. Variabel dependen (terikat) merupakan variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah pelaksanaan komunikasi terapeutik.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang ditentukan berdasarkan
parameter yang dijadikan ukuran dalam sampel penelitian. Sedangkan cara
pengukuran merupakan cara dimana variabel dapat diukur dan ditentukan
karakteristiknya (Hidayat, 2008). Berikut akan diuraikan definisi dari variabel
yang terkait dalam penelitian ini :
Tabel 3.3 Definisi Operasional
Variabel

Definisi

Operasional
2

Parameter
3

Alat
Ukur
4

Skala

Hasil

Ukur
6

71

Independen :
Tingkat
spiritualitas
perawat jiwa.

Tingkat

1. Memberi Kuesioner

Ordinal

Baik

Spiritualitas

kan arti

Cukup

perawat jiwa

dan

Kurang

terhadap

makna

keyakinan atau

dari

yang diyakini.

tujuan
hidup.
2. Memberi
kan kode
moral
dan
menyusu
n sistem
kepercay
aan
untuk
menjalan
i
kehidupa
n.
3. Sebagai
pengatur
dan
petunjuk
untuk
menjalan
i hidup.
4. Memberi
support
dan
penguasa
an diri.

72

Komunikasi yang

Ada empat

Komunikasi

dilakukan oleh

tahapan dalam

Cukup

Terapeutik

perawat

pelaksanaan

Kurang

jiwadalam sehari-

komunikasi

hari saat

terapeutik :
1. Pra

melaksanakan
suatu pekerjaan.

Observasi

Ordinal

Baik

Dependen :

interaksi
2. Interaksi
3. Kerja
4. Terminasi

F. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat pada waktu penelitian menggunakan suatu metode
(Arikunto, 2010). Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner. Kuesioner berbentuk pertanyaaan dan responden menjawab dengan
memberi tanda checklist () sesuai dengan hasil yang diinginkan untuk
variabel independent dan menggunakan lembar observasi untuk variabel
dependent dengan tujuan mengumpulkan data mengenai karakteristik subjek
penelitian.
1. Kuesioner dibuat oleh peneliti sendiri, kuesioner Tingkat Spiritual dikutip
dari teori Warren (2009) dari Human Relation Advisoryangdengan
menggunakan Skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap
pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena
sosial (Sugiyono, 2014).
Pertanyaan pada kuesioner merupakan pertanyaan tertutup, setiap item
pada checklistterdapat empat alternatif pilihan jawaban yaitu Selalu,
Sering, Kadang-kadang, dan Tidak Pernah. Interpretasi penilainannya
adalah 4 = Setuju, 3 = Sering, 2 = Kadang-kadang, dan 1 = Tidak Pernah..
Pertanyaan

pada

kuesioner

dibagi

menjadi

pertanyaan

favorable

73

(mendukung pertanyaan) dan unfavorable (tidak mendukung pertanyaan).


Kedua pertanyaan memiliki pemberian skor yang berbeda yaitu:
Skoring untuk jawaban pertanyaan favorable:
a. Selalu
= Skor 4
b. Sering
= Skor 3
c. Kadang-kadang
= Skor 2
d. Tidak Pernah
= Skor 1
Skoring untuk setiap jawaban pertanyaan unfavorable:
a. Selalu
= Skor 1
b. Sering
= Skor 2
c. Kadang-kadang
= Skor 3
d. Tidak Pernah
= Skor 4

Tabel 3.4Kisi-Kisi Kuesioner Hubungan Tingkat Spiritual Perawat


Jiwa di RSJ Sambang Lihum Banjarmasin Tahun 2016.
Variabel
Independent

Parameter

Tingkat Spiritual Memberi arti dan


Perawat Jiwa
makna dari tujuan
hidup

Nomor Item
favorable
Unfavorabl
e

Jumlah

1,3,4,5

6,7,8,9

10

Sebagai pengatur
dan petunjuk untuk
menjalani hidup

11,12,14,15

13

Memberi support
dan penguasaan diri
Total

16,17,19,20

18

16

20

Memberi kode moral


dan menyusun
sistem kepercayaan
untuk menjalani
kehidupan.

2. Instrumen yang kedua penelitian berupa checklist/lembar observasi


(instrumen terlampir) untuk mengumpulkan data mengenai karakteristik

74

subjek penelitian, dimana lembar observasi yang digunakan di adaptasi dari


Aspuah (2013), yang kemudian dikembangkan dan di modifikasi peneliti
untuk jadi instrumen penelitian.
Skala atau ukuran yang digunakan untuk mengukur variabel Lembar
observasi ini terdiri dari 28 pernyataan komunikasi yang terbagi menjadi 4
bagian, yakni 4 pertanyaan untuk fase pra-interasksi, 12 pertanyaan untuk
fase orientasi, 5 pertanyaan untuk fase kerja dan 7 pertanyaan untuk fase
terminasi. Pernyataan instrument observasi tersebut terbagi atas pernyataan
favorable dan Unfavorable. Pada pernyataan favorable hasil observasi Ya
maka nilai yang diberikanadalah 1 dan apabila hasil observasi tidak maka di
berikan nilai 0. Sedangkan untuk pernyataan Unfavorable hasil observasi Ya
maka nilai yang diberikan adalah 0 dan apabila tidak maka diberikan nilai 1.
Tabel 3.5 Kisi-Kisi lembar observasi pelaksanaan komunikasi
terapeutik pada pasien gangguan jiwa di RSJ Sambang Lihum
Banjarmasin Tahun 2016
Variabel
Dependent
Pelaksanaan
Komunikasi
Terapeutik

Parameter
Pre-Interaksi
Orientasi
Tahap Kerja
Terminasi
Total

Nomor Item
favorable
Unfavorable

Jumlah

2,3

1, 4

1, 3, 4, 5, 6,
7, 8, 10, 12

2, 9, 11

12

1, 2, 3, 4

1, 2, 3, 4, 6, 7

21

28

G. Uji Validitas dan Reliabilitas


1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menujukan alat ukur ini benarbenar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010).

75

Alat ukur atau instrumen penelitian yang dapat diterima sesuai standar
adalah alat ukur yang akan digunakan dengan bantuan Aplikasi Statistik
Software SPSS.(Statistical Product and Service Solution) dan dapat
menggunakan rumus Pearson Product Moment (Hidayat, 2011).
Rumus :
XY
X
Y

X
Y
}
.

n .
r hitung =
Keterangan :
r hitung

: Koefisien korelasi

Xi

: Jumlah skor item

Yi

: Jumlah skor total

: Jumlah responden
Untuk mengetahui korelasi tiap pertanyaan significant, maka dapat

dilihat pada tabel nilai r Pearson Product Moment. Bila nilai r hitung r
tabel (0,361) berarti dapat dikatakan valid, demikian sebaliknya apanila r
hitung <r tabel (0,361) berarti tidak valid. Apabila didapat pertanyaan yang
tidak memenuhi taraf signifikan maka akan diganti, dimodifikasi atau
dihilangkan. Nilai konstanta (r tabel) pada penelitian ini sebesar 0,361
dengan dengan n=30.
2. Uji Reliabilitas

76

Realibilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat


pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoadmodjo, 2010).
Setelah mengukur validitas, maka dilakukan pengukuran reliabilitas data,
untuk mengetahui apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Untuk
menguji reliabilitas juga akan menggunakan bantuan Aplikasi Software
Statistik dengan metode SPSS (Statistical Product and Service Solution),
menguji reliabilitas juga menggunakan bantuan aplikasi statistik dengan
metode Alpha Cronbach. Dikatakan Reabilitas bila r11 = 0,60(Arikunto,
2010).
Dengan rumus :
2

r11 =

(1 2 b )
k 1
t

Keterangan :
r11

: Reliabilitas instrumen

: Banyaknya butiran soal atau pertanyaan

2b

: Jumlah varians butir

t : Varians total
Untukmengetahui reliabilitas, caranya adalah dengan membandingkan
nilai crombachs alpha dengan nilai standar. Pernyataan dikatakan reliabel
apabila nilai crombachs alpha 0,6. Dan sebaliknya pernyataan dikatakan
tidak reliabel apabila nilai crombachs alpha < 0,6(Budiman dan Riyanto,
2013).
H. Teknik Pengumpulan Data
1 Tahap persiapan pengumpulan data
Dalam tahap persiapan pengumpulan data dilakukan sesuai dengan
prosedur administrasi yang berlaku yaitu mendapat izin dari Ketua

77

Koordinator Riset Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Suaka Insan Banjarmasin


dan izin dari Direktur Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.
2 Tahap pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dan lembar
observasi. Pengisian kuesioner dan lembar observasi dilakukan pada waktu
yang telah disepakati oleh respoden dan peneliti. Sebelum responden
mengisi kuesioner dan lembar observasi, responden mengisi lembar
pernyataan persetujuan menjadi responden. Setelah responden mengisi
lembar pernyataan persetujuan menjadi responden, peneliti memberikan
penjelasan kepada responden bagaimana cara mengisi kuesioner dan lembar
observasi, serta dalam menjawab kuesioner dan lembar observasi. Dalam
menjawab kuesioner dan lembar observasi didampingi oleh peneliti, peneliti
memberikan waktu untuk mengisi kuesioner 30 menit kepada responden,dan
30 menit untuk mengisi lembar observasi kemudian semua kuesioner dan
lembar observasi dikumpulkan kembali dan diperiksa oleh peneliti. Jika ada
jawaban yang tidak lengkap atau tidak diisi maka peneliti meminta
responden untuk mengisi kembali atau melengkapi jawaban tersebut.
Kemudian kuesioner dan lembar observasi diambil kembali oleh peneliti
untuk dihitung.
I. Jalanya Penelitian
1. Tahap persiapan
Dalam tahap penelitian ini, peneliti merancang judul sesuai dengan
minat, masalah yang terjadi adalah tingkat spiritualitas perawat jiwa dan
pelaksanaan komunikasi terapeutik, bermanfaat dan menarik untuk diteliti.
Kemudian mengajukan judul pada Koordinator Riset, judul disetujui,
peneliti mengajukan surat izin studi pendahuluan kepada Ketua Koordinator

78

Riset kemudian memberikan surat izin tersebut pada Diklat Rumah Sakit
Jiwa Daerah Sambang Lihum Banjarmasin. Setelah mendapat balasan dari
Direktur RSJD Sambang Lihum tersebut maka peneliti mengumpulkan data
di Bagian Rekam Medik RSJD Sambang Lihum dan Bagian Ruangan
Keperawatan,setelah memperoleh data yang dibutuhkan, maka peneliti
melakukan studi pendahuluan melalui wawancara dan observasi kepada
responden.

Peneliti

kemudian

menyusun

proposal,

setelah

selesai

penyusunan proposal peneliti maju seminar. Diberikan waktu 2 minggu


untuk revisi proposal. Persiapan selanjutnya adalah persiapan responden.
2. Tahap pelaksanaan
Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dan
pengisian lembar observasi. Pengisian kuesioner dan lembar observasi
dilakukan pada waktu yang telah disepakati oleh respoden dan peneliti.
Sebelum responden mengisi kuesioner dan lembar observasi, responden
mengisi lembar pernyataan persetujuan menjadi responden. Setelah
responden mengisi lembar pernyataan persetujuan menjadi responden,
peneliti memberikan penjelasan kepada responden bagaimana cara mengisi
kuesioner dan cara mengisi lembar observasi serta dalam menjawab. Dalam
menjawab kuesioner dan lembar observasi didampingi oleh peneliti, peneliti
memberikan waktu untuk mengisi kuesioner 30 menit dan 30 menit untuk
mengisi lembar observasi kepada responden, kemudian semua kuesioner
dan lembar observasi dikumpulkan kembali dan diperiksa oleh peneliti. Jika
ada jawaban yang tidak lengkap atau tidak diisi maka peneliti meminta
responden untuk mengisi kembali atau melengkapi jawaban tersebut.
Kemudian kuesioner diambil kembali oleh peneliti untuk dihitung.
J. Pengolahan dan Analisa Data

79

1. Pengolahan Data
Menurut Hidayat (2011), dalam melaksanakan analisis, data terlebih
dahulu harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi.
Dalam proses pengolahan data langkah-langkah yang harus ditempuh,
diantaranya :
a. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Peneliti memeriksa kembali data yang
sudah terkumpul berupa agama, umur, jenis kelamin, lama bekerja, dan
pendidikan terakhir. Jika adanya kekurangan data ataupun kesalahan data
yang sudah terkumpul maka peneliti akan segera melengkapi
b. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap
data yang terdiri atas beberapa kategori. Peneliti memberikan kode tiap
kuisoner dan lembar observasi yang telah diisi oleh responden secara
berurutan.
c. Scoring
Scoring adalah memberikan angka atau skor sesuai dengan kategori
yaitu pernyataan favorabel atau unfavorabel.
1) Skoring untuk setiap jawaban favorable pernyataan pada tingkat
spiritualperawat jiwa:
Selalu
= Skor 4
Sering
= Skor 3
Kadang-kadang = Skor 2
Tidak Pernah
= Skor 1
Skoring untuk setiap jawaban pertanyaan unfavorable:
Selalu
= Skor 1
Sering
= Skor 2
Kadang-kadang = Skor 3
Tidak Pernah
= Skor 4
2) Skoring untuk setiap jawaban favorable pernyataan pada pelaksanaan
komunikasi terapeutik:
Ya
=1
Tidak
=0

80

Skoring

untuk

setiap

jawaban

unfavorable

pernyataan

pada

pelaksanaan komunikasi terapeutik:


Ya
= Skor 0
Tidak
= Skor 1
d. Tabulating
Setelah diedit dan dikoding (pengkodean), kemudian dilakukan
tabulasi data yaitu memasukan data dalam bentuk kode ke dalam
tabulasi. Hasil tabulasi dijumlah dan dilakukan pengujian sesuai dengan
alat uji yang ditetapkan sebelumnya.
e. Processing (Entri Data)
Memasukan data atau jawaban-jawaban yang sudah diberi kode
dan skor ke dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data. Data
dimasukan melalui program komputer.
f. Cleaning
Cleaning (pembersihan kembali) merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang sudah diproses apakah ada kesalahan atau tidak,
dengan cara melihat kembali data yang dimasukkan ke dalam tabulasi,
setelah data tidak ada kesalahan lagi makan diteruskan pada proses
selanjutnya yaitu pengolahan data.
2. Analisa Data
Penelitian ini menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat.
a. Analisis Univariat
Analisis deskriptif (univariat) digunakan untuk mendeskripsikan
variabel-variabel yang diteliti. Dalam hal ini digunakan untuk
mendeskripsikan variabel tingkat spiritualitas. Penyajian data yang diolah
berupa tabel distribusi frekuensi. Kemudian setelah itu diketahui hasil
distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel yang selanjutnya
akan diinterpretasikan sesuai kategori rentang nilai sesuai dengan yang
tercantum pada tabel definisi operasional. Data kuesioner dihitung skor

81

total yang diperoleh dari setiap responden, kemudian skor total tersebut
diubah dalam bentuk presentase dengan rumus :

P=

F
100
N
Keterangan :
P

: Hasil presentase

: Frekuensi/nilai yang didapat

: Jumlah skor maksimal/nilai maksimal

(Perhitungan dilakukan dengan teknik komputerisasi statistik/SPSS).


b. Analisis Bivariat
Hasil pengukuran

dari

variabel

yang

diteliti

diolah

mempergunakan analisa data statistik. Kedua variabel yang terlibat


berjenis data ordinal, maka analisis yang digunakan adalah korelasi tata
jenjang Spearman Rho. Spearman Rho adalah salah satu dari uji bivariat
asosiatif non parametris. Artinya uji non parametris yang digunakan
untuk menguji kesesuaian antara 2 kelompok variabel yang berasal dari
subjek berbeda atau disebut juga data bebas dengan skala data ordinal.
Setelah didapatkan data berupa skor (data numerik), dilakukan uji
hipotesis dengan menggunakan uji korelasi Spearman Rho untuk mencari
hubungan antara variabel (Arikunto, 2010).dengan rumus sebagai
berikut:
2

6 bi
r s =1
2
n(n 1)
Keterangan :
rs

: nilai korelasi Spearman Rank

82

bi

: selisih setiap pasangan Rank

: jumlah pasangan Rank untuk Spearman (5 < n 30 )

(Perhitungan dilakukan dengan teknik komputerisasi statistik/SPSS).


Taraf signifikansi 95% dengan kemaknaan 5% (0,05). Jika nilai
p< maka Ho di tolak dan Ha diterima, artinya adanya hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen, sebaliknya jika p >
berarti Ho diterima dan Ha ditolak, yang artinya tidak ada hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen.
Interpretasi nilai korelasi disusun berdasarkan pendapat Dahlan
(2011) yaitu pada pedoman sebagai berikut :
Tabel 3.6 interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan
korelasi, nilai p dan arah korelasi.
No

Parameter

Nilai

Interpretasi

Kekuatan korelasi (r)

0,00 0,199

Sangat Lemah

0,20 0,399

Lemah

0,40 0,599

Sedang

0,60 0,799

Kuat

0,80 1,000

Sangat Kuat

P < 0,05

Terdapat

.
1

Nilai p

yang

korelasi
bermakna

antara dua variabel


yang diuji
Tidak

terdapat

83

korelasi
P > 0,05

bermakna

yang
antara

dua variabel yang


diuji.

Arah korelasi

+ (positif)

Searah.
Semakin

besar

nilai suatu variabel


semakin besar pula
nilai

variabel

lainnya

- (negatif)

Berlawanan Arah.
Semakin

besar

nilai suatu variabel


semakin kecil nilai
variabel lainnya
(Sumber: Dahlan, 2011)
K. Etika Penelitian
Etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting
dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung
dengan manusia, maka segi etika peneliti harus diperhatikan.
1. Informed Consent (Surat persetujuan)
Informed Consent merupakanbentuk persetujuan antara peneliti dan
respoden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan

sebelum

84

penelitian dilakukan. Pemberian informed consent bertujuan agar subjek


mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika
subjek tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak subjek. Jika
subjek bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan.
2. Anonymity (Tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan
dan mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang
disajikan.
3. Confindentiality (Kerahasiaan)
Masalah

ini

merupakan

etika

dengan

memberikan

jaminan

kerahasiaan hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah


lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti, hanya data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset
(Hidayat, 2011).

Anda mungkin juga menyukai