Anda di halaman 1dari 21

RINGKASAN

TOKSIKOLOGI

Disusun Oleh :
Nama

: Venindya Khoirunnisa

NIM

: 20144143A

Teori

:1

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA
2016
1

BAB I
PENDAHULUAN
Toksikologi

merupakan

cabang

dari

farmakologi

yang

berkembang pesat karena di dorong oleh penggunaan senyawa


kimia yang semakin luas dan banyak. Berkenaan dengan berbagai
efek

zat

berbahaya.

kimia,

kata

Apabila

toksik

suatu

zat

dapat

dianggap

seperti

yang

kimia

dikatakan

toksik,

maka

kebanyakan orang mengartikannya sebgai zat yang memiliki efek


berbahaya atau tidak diinginkan pada semua mahluk hidup. hal ini
mungkin tidak benar bila ahli toksikologi mempergunakan kata
toksik dan toksisitas, keran ada bukti bahwa apa yang dianggap
berbahaya bagi satu specimen biologi mungkin relative kurang
berbahaya bagi specimen lain. Toksisitas merupakan suatu sifat
relative dari zat kimia dan sejauh menyangkut diri manusia secara
langsung atau tidak langsung, mungkin diperlukan atau tidak
diperlukan. Namun toksisitas menunjukan ke suatu efek berbahaya
atas mekanisme biologi tertentu.
Toksisitas adalah kemampuan xenobiotik dalam menimbulkan
kerusakan organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam
lingkungan. Sedangkan pengertian Uji toksisitas adalah suatu uji
untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan
untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji.
Pada rangkuman ini kami akan membahas tentang uji
toksikologi, prinsip umum uji toksikologi,

parameter ketoksikan,

serta prinsip terapi antidotum.

BAB II
ISI
2.1

Uji Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek
toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh
data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang
diperoleh

dapat

digunakan

untuk

memberi

informasi

mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi


pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis
penggunaannya demi keamanan manusia.
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara
in vivo dapat dipercaya adalah: pemilihan spesies hewan uji,
galur

dan

jumlah

hewan;

cara

pemberian

sediaan

uji;

pemilihan dosis uji; efek samping sediaan uji; teknik dan


prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama
percobaan.
A. Uji Toksisitas Akut
- Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu
singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan
secara oral dalam dosis tunggal yang diberikan dalam
-

waktu 24 jam.
Prinsip uji toksisitas akut yaitu sediaan uji dalam
beberapa

tingkat

dosis

diberikan

pada

beberapa

kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok,


kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya
efek toksik dan kematian. Hewan yang mati selama
percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan
3

diotopsi
-

untuk

dievaluasi

adanya

gejala-gejala

toksisitas.
Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mendeteksi
toksisitas

intrinsik

suatu

zat,

menentukan

organ

sasaran, kepekaan spesies, memperoleh informasi


bahaya setelah pemaparan suatu zat secara akut,
memperoleh informasi awal yang dapat digunakan
untuk

menetapkan

tingkat

dosis,

merancang

uji

toksisitas selanjutnya, memperoleh nilai LD50 suatu


bahan/

sediaan,

serta

penentuan

penggolongan

bahan/ sediaan dan pelabelan.


B. Uji Toksisitas Subkronis
- Uji toksisitas subkronis adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi

efek

toksik

yang

muncul

setelah

pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang


diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian
umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur
hewan, umunya dilakukan selama 4 minggu sampai 3
-

bulan.
Prinsip dari uji toksisitas subkronis adalah sediaan uji
dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari
pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis
per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama waktu
pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap
hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang
mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum
melewati

periode

rigor

mortis

(kaku)

segera

diotopsi,dan organ serta jaringan diamati secara


makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode
pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih
hidup

diotopsi

selanjutnya

dilakukan

pengamatan

secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan.


Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi,
biokimia klinis dan histopatologi.
4

Tujuan

uji

toksisitas

subkronis

adalah

untuk

memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang


tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut; informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan
sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu
tertentu; informasi dosis yang tidak menimbulkan efek
toksik (No Observed Adverse Effect Level / NOAEL);
dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek
reversibilitas zat tersebut.
C. Uji Toksisitas Kronis
- Uji toksisitas kronis adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi

efek

toksik

yang

muncul

setelah

pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh


umur hewan, menggunakan hewan rodent dan non
-

rodent selama 6 bulan atau lebih.


Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji
toksisitas

subkronis,

tetapi

sediaan

selama tidak kurang dari 12 bulan.


Tujuan dari uji toksisitas kronis
mengetahui

profil

efek

toksik

uji

diberikan

adalah

setelah

untuk

pemberian

sediaan uji secara berulang selama waktu yang


panjang, untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak
menimbulkan efek toksik (NOAEL). Uji toksisitas kronis
harus

dirancang

sedemikianrupa

sehingga

dapat

diperoleh informasi toksisitas secara umum meliputi


efek neurologi, fisiologi, hematologi, biokimia klinis
dan histopatologi.
D. Uji Teratogenesitas
- Uji teratogenisitas adalah suatu pengujian untuk
memperoleh

informasi

adanya

abnormalitas

fetus

yang terjadi karena pemberian sediaan uji selama


-

masa pembentukan organ fetus (masa organogenesis).


Prinsip uji teratogenisitas adalah pemberian sediaan
uji dalam beberapa tingkat dosis pada beberapa
kelompok hewan bunting selama paling sedikit masa
5

organogenesis

dari

kebuntingan,

satu

dosis

per

kelompok. Satu hari sebelum waktu melahirkan induk


dibedah,
-

uterus

diambil

dan

dilakukan

evaluasi

terhadap fetus.
Tujuan uji teratogenisitas adalah untuk memperoleh
informasi adanya abnormalitas fetus yang terjadi
karena pemberian zat selama masa perkembangan
embrio; meliputi abnormalitas bagian tubuh luar,

jaringan lunak serta kerangka fetus.


E. Uji Karsinogenik
- Uji karsinogenik adalah uji untuk mengetahui apakah
suatu zat jika dipakai dalam jangka panjang akan
2.2

dapat menimbulkan kanker.


Uji ini dilakukan selama 2 tahun.

Parameter Ketoksikan
Parameter uji ketoksikan ada 2 macam yaitu kulitatif
dan kuantitatif. Parameter kualitatif meliputi gejala klinis, sifat
dan wujud toksisitas.
a. Gejala
Gejala klinis maupun toksik yang muncul meliputi gerakan
(tremor, konvulsi, paralisis, keterpaksaan gerak, tidur),
reaktif terhadap rangsangan dan refleks (beringas,pasif),
perubahan perilaku (perubahan sikap / aneh seperti
lompat

dan

berputar

berlebihan

atau

menggeliat,

penjilatan, pencakaran, vokalisasi luar biasa, gelisah),


sekresi (saliva, lakrimasi), nafas (bradipnea, trakipnea),
kardiovaskuler (vasodilatasi), perubahan kulit dan bulu,
saluran cerna (diare, sembelit).
b. Sifat
Sifat didefinisikan sebagai kecenderungan sifat efek toksik
senyawa uji yang dapat dikategorikan menjadi sifat
terbalikkan dan sifat tak terbalikkan

dan

diidentifikasi

melalui hasil histopatologik organ hewan uji.


c. Wujud Toksisitas
6

Wujud didefinisikan sebagai kecenderungan wujud perubahan struktural


yang dapat dilihat dari perubahan histopatologik organ hewan uji dengan
membandingkan perbedaan organ mencit kontrol dan organ mencit yang
diberi perlakuan.
Parameter kuntitatif utama meliputi kekerabatan antara dosis dan
respon, waktu dan respon, dosis dan efek, waktu dan efek. Kekerabatan antara
dosis dan efek serta waktu dan efek untuk mengetahui kekerabatan antara
kondisi pemejanan dan intensitas efek toksik. Sedangkan kekerabatan antara
dosis dan respon serta waktu dan respon untuk mengetahui frekuensi atau
angka kejadian timbulnya efek toksik pada sekelompok hewan uji.
I. Kekerabatan dosis dan respon
Istilah untuk menyatakan toksisitas suatu zat yaitu
Dosis Letal (LD) atau Dosis Toksik (TD) : Jumlah zat
yang betul-betul masuk kedalam tubuh organisme uji
yang menyebabkan respon berupa kematian organisme

uji.
Konsentrasi Letal (LC) : Konsentrasizat yang berada
diluar tubuh organisme yang menyebabkan respon
berupa kematian organisme uji.
Untuk mempermudah mencari konsentrasi zat yang

aman.
NOEL (No Observed Effect Level) / KETT (kadar efek
toksik tak teramati) : merupakan takaran pemejaan
tertinggi yang tidak menyebabkan timbulnya efek

toksik atau kematian pada hewan uji


NOAEL (No Observed Adverse Effect Level)
Untuk mencari dosis aman
menggunakan LD 50 ,
NOEL, NOAEL.
LD50 adalah dosis / konsentrasi yang diberikan sekali
(tunggal) atau beberapa kali yang secara statistik
diharapkan

dapat

mematikan

50%

hewan

coba.

Sedangkan TD50 bila efek toksik berupa perubahan


biokimia, fungsional dan struktural.
Kekerabatan dosis dan respon berkaitan dengan
pemejanan racun yaitu takaran pemejanan dimana
individu tidak menunjakan respon / efek toksik yang
terukur /teramati

Batas aman ketoksikan racun


7

yang lazim disebut kadar

efek toksik tak teramati

(KETT) atau no observed effect level (NOEL).


Jadi dari kasus pemejanan tunggal maupun akut,
kekerabatan dosis dan respon dapat diperoleh informasi
penting yaitu LD50 dan KETT.
Semakin kecil harga LD50 / TD50 maka semakin
besar potensi toksik atau ketoksikan akut racun. Kriteria
ketoksikan dapat dilihat pada tabel dibawah ini,
No

Kriteria

1
2
3
4
5

Luar biasa toksik


Sangat toksik
Cukup toksik
Sedikit toksik
Praktis tidak toksik

Relatif kurang

LD50
(mg/kg)
1
1 50
50 - 500
500 5000
5000
15000
15000

berbahaya
Batas keamanan racun tidak digambarkan LD50 /
TD50, tetapi digambarkan oleh KETT artinya meskipun
harga LD50 racun A lebih besar daripada LD 50 racun B atau
potensi ketoksikan akut racun A lebih rendah daripada
racun B, tidak berarti racun A lebih aman daripada racun
B. Batas aman suatu racun haruslah dilihat dari harga
KETT nya.
Penentuan Dosis
Untuk menentukan LD50 secara tepat, perlu dipillih beberapa
dosis yang mematikan sekitar 50% ; lebih dari 50% (sekitar
90%); dan kurang dari 50% (sekitar 10%). Sering digunakan 45 atau lebih kelompok dosis dengan harapan sekurangkurangnya

dosis

berada

pada

rentang

dosis

yanag

dikehendaki yaitu dapat membunuh 50% hewan uji. Karena


dosis dalam uji toksisitas harus berkelipatan tetap, maka 2
atau

dosis

harus

berada

pada

rentang

dosis

yang

mematikan 10% sampai 90% hewan uji. Oleh karena itu

sebelum uji dilakukan perlu orientasi untuk mencari dosis


yang kira-kira mematikan 10% dan 90% hewan uji .
Orientasi dosis : menggunakan dosis lazim, penggunaan
zat sebagai terapi dikalikan faktor tertentu misalnya 5x,
10x, atau 20x dan seterusnya hingga diperoleh dosis yang
mematikan sekitar 10 dan 90% hewan uji.
Dua atau 3 dosis diantaranya dapat dihitung berdasarkan rumus :
log

N
a
=k log
n
n

Dimana :
N = Dosis/konsentrasi yang mematikan 90% hewan uji
n = Dosis/konsentrasi yang mematikan 10% hewan uji
k =Penentuan
Jumlah kelompok
kontrol
1
Cara
nilai LD50tanpa
atau LC
50
a = Dosis/konsentrasi setelah n
Ada 4 cara untuk menentukan nilai LD50 atau LC50, yaitu
a) Cara Farmakope Indonesia III (FI III)
Rumus :
m = a b ( pi 0,5 )
m = log LD50
a = log dosis terendah yang masih menyebabkan
jumlah kematian 100% tiap kelompok
b = beda log dosis yang berurutan
pi = jumlah hewan yang mati menerima dosis i dibagi
jumlah hewan seluruhnya yang menerima dosis i
b) Cara Weil
Rumus :
Log m = log D + log d (f + 1)
dimana,
m = nilai LD50
D = dosis terkecil yang digunakan
d = log dari kelipatan dosis
f = suatu nilai dalam tabel Weil, karena angka kematian
tertentu (r)
c) Metode Probit
- Mempunyai tabel probit
- Menentukan nilai probit dari % kematian tiap
-

kelompok hewan uji


Menentukan log dosis tiap kelompok
Menetukan persamaan garis lurus ( y = a + bx)
antara nilai probit dengan log dosis
9

Masukkan nilai 5 (probit dari 50% kematian hewan


uji) pada persamaan garis lurus, pada nilai y. Nilai
LD50 atau LC50 dihitung dari nilai anti log X pada saat

y=5
d) Cara Reed dan Muench
Sebelumnya harus menngghitung dulu nilai-nilai seperti,
a = prosentase kematian yang lebih kecil dari 50%
b = prosentase kematian yang lebih besar dari 50%
i = kenaikan dosis
k = dosis yang menyebabkan kematian yang lebih besar
dari 50%
s = dosis yang menyebabkan kematian yang lebih kecil
dari 50%
h = ukuran jarak
g = hasil perkalian antara kenaikan dosis dengan ukuran
jarak
Y = hasil penjumlahan antara g dengan log s
Contoh Soal
1. Contoh soal menggunakan cara FI III dan cara Weil
Hitung LD50 pada data yang berikut ini
Kel

Dosis

Jumlah

Kematia

1
2
3
4

(mg/kg)
1
10
100
1000

mencit
5
5
5
5

n
1
2
4
5

Jawab :
Kel

Dosis

Jumlah

(mg/kg)
1

Log dosis

Kematia

mencit
5

n
1

10

100

1000

% kematian
1
x 100 =20
5
2
x 100 =40
5
4
x 100 =80
5
5
x 100 =100
5

Cara FI III
a
= log 1000 = 3
10

b
=21=1
pi = 0,2 +0,4 + 0,8 + 1
= 2,4
m = a b ( pi 0,5 )
= 3 1 (2,4 0,5 )
= 1,1
anti log 1,1 = 12,59 , Jadi LD50 = 12,59 mg/kg
Cara Weil
D = 1 mg/kg
d = 10
r = 1,2,4,5
f = dari tabel weil untuk r ( kematian dalam kelompok
uji )
= 0,125

log m = log D + log d (f + 1)


= log 1 + log 10 (0,125 + 1)
= 1,125
LD50 = anti log m
= anti log 1,125
= 13,33 mg/kg
2. Contoh soal menggunakan Metode Probit
Hitung LD50 pada data yang berikut ini
Dosis (mg)
4
8
16
32
64

Log dosis (X)


0,60
0,90
1,20
1,50
1,81

% kematian
10
20
40
70
90

Jawab :
Dosis

Log dosis

(mg)
4
8
16
32
64
Regresi linier

(X)
kematian
0,60
10
0,90
20
1,20
40
1,50
70
1,81
90
log dosis vs probit

Probit (Y)
3,74
4,16
4,75
5,62
6,28

a = 2,306
b = 2,166
r = 0,993

11

y = a + bx
y = 2,306 + 2,166 x
5 = 2,306 + 2,166 x
X = 1,244
anti log = 17,54 , Jadi LD50 = 17,54 mg/kg
3. Contoh soal menggunakan Cara Reed dan Muench
Hitung LD50 pada data yang berikut ini
Dosi

Hewa

Hewa

(mg)
4
8
16
32
64

mati
1
2
4
7
9
Jawab :
h =

Nilai komulatif
tot
Ratio

mat

hidu

al

kematian

kematian

1
3
7
14
23

27
18
10
4
1

28
21
17
18
24

1/28
3/21
7/17
14/18
23/24

3,57
14,29
41,18
77,78
92,86

hidup
9
8
6
3
1

50 a
ba
50 41,18

= 77,78 41,18

= 0,24

i = log k/s
= log 32/16 = 0,30
g =hxi
= 0,24 x 0,30 = 0,072
log s adalah log 16 = 1,2
Y = g + log s
= 0,072 + 1,2 = 1,27
LD50 = anti log Y
= 18,62 mg , Jadi LD50 = 18,62 mg/kg
NOEL (No Observable Effect Level)
Rumus :
ADI =

NOEL
mg/kg/hari
100

ADI adalah dosis zat kimia terbesar yang dinyatakan dalam


mg/kg/hari yang dapat diberikan setiap hari seumur hidupnya

12

dan diperkirakan tidak akan menimbulkan efek yang buruk


pada manusia berdasarkan pengetahuan pada saat itu.
II.

Kekerabatan waktu dan respon


Digunakann untuk evaluasi dan penilaian ketoksikan
racun pada pemejanan sub kronis (10% masa hidup
hewan uji) dan kronis (85% masa hidup hewan uji).
Waktu laten (WL) adalah waktu yang dilewati sebelum
efek toksik menjadi nyata.

II.3

Terapi Antidotum
Secara umum, terapi antidotum didefinisikan sebagai
tata cara yang ditunjukkan untuk membatasi intensitas efek
toksik zat kimia atau menyembuhkannya. Efek toksik suatu
zat kimia dapt terjadi jika kadar zat melampaui kadar toksik
minimal (KTM)nya dalam sel sasaran. Untuk mengurangi
jumlah zat kimia dalam sel sasarannya dapat dilakukan
dengan cara menghambat absorpsi dan distribusi serta
mempecepat metabolisme dan ekskresi. Terapi anntidotum
dapat dilakukan secara umum (non spesifik) dan khusus
(spesifik).
A. Terapi non spesifik
1) Menghambat absorpsi zat racun
Menghambat absorspsi zat racun dapat dilakukan
dengan cara antara lain membersihkan atau
mencuci kulit yang terkontaminasi zat toksik,
mengeluarkan racun dalam lambung, mencegah
absorpsi dan memberikan pencahar. Zat toksik
yang

sudah

masuk

dalam

lambung

dapat

dilakukan dengan pemberian norit (arang aktif),

13

memuntahkan atau memberi pencahar atau bilas


lambung.
a. Pemberian arang aktif (norit)
Norit dapat mengabsorpsi zat racun/toksik
dalam saluran pencernaan. Norit masih efektif
hingga 2 jam dari racun tertelan dan lebih lama
lagi pada keracunan obat sedian lepas lambat
atau obat yang bersifat kolinergik.
Karbo aktif relatif aman dan dosisnya sangat
bergantung

dari

jumlah

zat

toksik

yang

tertelan. Dosis minimum 30 g, dosis orang


dewasa 50 g setiap 4-6 jam. Pemberian dosis
berulang

akan

mempercepat

eliminasi

zat

toksik. Karbo aktif dapat menyerap zat seperti


salisilat,

acetamoniphen,

karbamazepin,

dapson, teofilin, quinin dan obat antidepresan.


Pemberian karbo aktif dapat dikombinasikan
dengan bilas lambung atau katartik tetapi tidak
dengan

sirup

ipekak

/susu

karena

akan

mengurangi efektifitas.
b. Mengeluarkan racun dari lambung
Hal ini harus memoertimbangkan zat yang
tertelan, tingkat keracunan dan berapa lama
zat

racun

dengan

tertelan.
bilas

Pengosongan

lambung

lambung

diragukan

bila

digunakan lebih dari 1-2 jam setelah tertelan


racun.

Bahaya

dari

bilas

lambung

adalah

teraspirasinya isi lambung, karena itu tidak


boleh dilakukan padapasien yang mengantuk /
koma.
Produk petroluem lebih berbahaya di dalam
paru-paru daripada di lambung, karena itu
pencucian lambung tidak dianjurkan karena
ada resiko terhirup.

14

Memuntahkan isi perut dengan pemberian


ipecacuanha banyak digunakan, namun tidak
terbukti

bahwa

ipecacuanha

mengurangi

penyerapan dan juga memiliki efek samping.


Pemberian ipecacuanha hanya boleh diberikan
bila pasien sadar sepenuhnya atau bila racun
yang tertelan tidak korosif dan bila dengan
arang aktif tidak terjerat.
c. Pemberian kartartik/pencahar
Digunakan untuk mempercepat pengeluaran
zat racun dari saluran gasrointestinal terutama
racun

yang

Pemberian

sudah

sorbitol

mencapai

usu

halus.

direkomendasikan

pada

penderita yang tidak ada gangguan jantung.


Magnesium sulfat dapt digunakan pada
penderita yang tidak ada gangguan ginjal.
Pemberian

magnesium

diberikansetelah
Magnesium
pasien

sulfat

obstruksi

sulfat

pemberian

sering
arang

aktif.

dikontraindikasikan
usus,

mual,

kali
pada

muntah

dan

gangguan ginjak. Dosis oral 5-15 g diberikan


dengan segelas air. Efek kartik muncul 0,5 - 2
jam setelah pemberian.
2) Mempercepat eliminasi
Dengan cara meningkatkan ekskresi melaui
pengasaman atau pembasaan urin dan diuresis
paksa. Pengasaman urin (menurunkan pH) dengan
memberikan zat seperti ammonium klorida atau
vitamin C yang mana akan mengurangi reabsorpsi
zat/obat

yang

bersifat

basa

lemah

seperti

amfetamin. Pembasaan urin dengan pemberian Na


bikarbonat akan mengurangi reabsorpsi zat/obat
yang bersifat asam lemah seperti aspirin dan
fenobarbital.

15

Hemodialisis adalah salah satu cara untuk


mempercepat

eliminasi

suatu

zat

dan

mengembalikan keseimbangan elektrolit. Cara ini


efektif jika zat sudah terabsorpsi dan berada pada
cairan sistemik dan tidak mempunyai volume
distribusi terlalu besar atau obat tidak terdistribusi
secara ekstensif pada jaringan. Salisilat, methanol,
etilen glikol, paraquat, dan litium eliminasinya
dapat efektif dengan cara hemodialisis.
B. Terapi spesifik
1) Antidotum yang bekerja secara kimiawi
a. Zat pembentuk kelat
Semakin banyak ikatan ligan terbentuk,
semakin stabil ikatan komplek yang terjadi dan
semakin efisien prosen kelatornya. Zat-zat kelat
yang umumnya mempunyai gugus fungsional (OH, -SH, dan NH) yang akan berkompetisi
dengan logam-logam pada tempat ikatannya
pada protein sel. Contoh zat kelator :
Dimercaprol
- Zat mirip minyak, tidak berwarna,
bau tidak enak (busuk). Pemberian
umumnya melalui inj IM 10% dalam
-

minyak kacang
Bereaksi
dengan
sehingga

logam

mencegah

berat

inaktivasi

enzim yang mengandung gugus SH.


Dimercaprol

paling

efektif

jika

diberikan segera setelah terpapar


-

logam berat.
Untuk keracunan arsen,

dan timbal.
Efek samping takikardi, hipertensi,

mual dan iritasi lambung


Ada 2 macam obat yang mirip
dimercaprol

merkuri,

yaitu
16

dimercaptosuccinic acid (DMSA) dan


dimercaptopropane sulphonic acid
(DMPS). Mempunyai 2 gugus SH
yang lebih hidrofilik. Dapat diberikan
secara oral dan mempunyai indeks

terapi yang lebih besar.


EDTA (etilendiamin tetraasetat
- Efektif untuk logam transisi oleh
karena itu EDTA membentuk kelat
-

dengan Ca tubuh
Diberikan inj IM

atau

IV

dalam

bentuk garamnya
- Digunakan pada keracunan Pb
- Pada dosis tinggi bersifat neprotoksik
Penisilamin (Cuprin)
- Toksik
pada
sumsum
tulang
-

belakang dan ginjal (jarang)


Digunakan untuk keracunan Cu pada
individu yang menderita penyakit

Wilsons
Untuk
keracunan

Hg,

sebagai

tambahan untuk terapi keracunan Pb

dan arsen
Deferoksamin
- Spesifik membentuk kelat dengan
logam

berat

dengan

ion

feri

membentuk feroxamin. Deferoxamin


dapat mengikat zat besi dari feritin
dan homosiderin, tetapi tidak dapat
menarik zat besi dari hemoglobin,
-

sitokrom dan mioglobin


Pemberian
cepat

dapat

menimbulkan shok hipotensi karena


memacu

pelepasan

histamin.

Deferoksamin dapat juga diberikan


melalui inj IM

17

Deferoksamin
diekskresi

dimetabolisme

melaui

ginjal

dan
dan

menyebabkan urin berwarna merah


Dapat menyebabkan neurotoksik
pada

ginjal

dikontraindikasikan

sehingga
pada

pasien

gangguan ginjal
b. Fab Fragment
Merupakan
antibodi
monoklonal

dapat

mengikat digoksin dan mempercepat ekskresi


melalui filtrat glomerulus.
c. Dikobaledetat dan Hidrokobalamin
Logam transisi dapat membentuk

konplek

dengan sianida yang stabil dan bersifat non


toksik. Logam transisi, hidrokobalamin (vit B
12a) juga efektif untuk antidotum keracunan
sianida pada tikus. Pemberian Na nitrit dan Na
thiosulfat

juda

dapat

digunakan

untuk

keracunan sianida.
d. Detoksifikasi Enzimatik
Etanol
Digunakan untuk keracunan metanol /
etilenglikol
Metanol/etilenglikol

dalam

tubuh

mengalami oksidasi oleh enzim alkohol


dehidrogenase

membentuk

formaldehid

dan asam format.


Pemberian

etanol

kompetisi

dengan

dalam

menghasilkan
toksik

Reaksi

alkohol
dan

menyebabkan

metanol/etilenglikol

memperebutkan

dehidrogenase.
enzim

akan

enzim

alkohol

etanol

dengan

dehidrogenase

asam

asetat

mudah

yang

akan
tidak

diekskresikan

18

dibandingkan

dengan

formaldehid

dan

asam format.
Atropin dan Pralidoksim
Keracunan pestisida organofosfat

dan

karbamat dapat menyebabkan timbulnya


perangsangan kolinergik yang berlebihan.
Atropin adalah suatu antikolinergik yang
bekerja berlawanan deng Ach. Atropin
diberikan dalam bentuk garamnya (Atropin
Sulfat). Dosis 2 mg melaui inj (IV,IM).
Pralidoksim adalah suatu reaktivator
kolinesterase yang biasanya ditambahkan
pada atropin sulfat.
Fisostigmin
dapat
keracunan

atropin.

antikolinesterase

digunakan
Fisostigmin

dapat

untuk
sebagai

menyebabkan

akumulasi ACh sehingga melawan efek

antikolinergik yang berlebihan dari atropin.


N-asetilsistein dan metionin
Pada keracunan parasetamol toksisitas
terjadi karena paracetamol dietabolisme
menjadi

N-acetyl-p-benzoquinoneimine

(NABQI). Pada dosis normal parasetamol


tidak

memetabolisme

menjadi

NABQI.

Pada over dosis terbentuk NABQI yang


menyebabkan kerusakan sel terutama sel
hepar

sehingga

meningkatkan

enzim

intraseluler SGPT dan SGOT.


Asetilsistein

digunakan

antioksidan
berikatan

dan
dengan

sebagai

ekspektoran
NABQI

dapat

membentuk

senyawa non toksik.


Metionin dalam tubuh akan mengalami
metabolisme

menjadi

homosistein

berfungsi sebagai donor sulfur untuk diikat


19

oleh
2)

NABQI

sehingga

dapat

sebagai

alternatif asetil sistein.


Antidotum yang bekerja secara farmakologi
a. Nalokson Hidroklorida
Keracunan opioid dapat menyebabkan koma,
depresi pernapasan, brandikardi, dan pupil
mengecil.
Nalokson adalah antagonis opoid yang bekerja
pada reseptor yang sama dan berkompetisi
memperebutkan

reseptor

nalokson

singkat

sangan

opoid.
maka

diberikan berulang.
b. Flumazamil
Merupakan suatu antagonis

Karena

pemberian

benzodiazepin.

Obat golongan benzodiazepin bersifat sinegis


dengan depresan lain jika diminum bersamaan.
Flumazamil digunakan untuk diagnosa dalam
memastikan

adanya

keracunan

yang

penyebabnya tidak jelas. Tetapi obat ini dapat


menyebabkan

konvulsi

ketergantungan.

pada

Contoh

pasien

obat

yang

golongan

biodiazepin seperti diazepam, nitrasepam atau


lorasepam.
c. Oksigen
Karbon monoksida
dengan

(CO)

meningkatnnya

dapat

keracunan

kadar

Hb

dan

membentuk komplek yang menyebabkan tidak


dapat mengikat oksigen. Dengan pemberian
oksigen dalam jumlah banyak dan murni dapat
3)

mendesak ikatan Hb-CO.


Antidotum yang bekerja secara antagonis fungsional
Antidotum ini juga digolongkan sebagai antidotum
non

spesifik

karena

berguna

sebagai

terapi

simtomatik dan antagonis beberapa zat toksik.


Daftar zat toksik beserta antidotum spesifiknya
20

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Zat toksik
Parasetamol
Arsen, Hg, Pb, Au
Beta-bloker
Bensodiasepin
CO
Koumarin
Sianida
Digoksin
Metanol dan

Antidotum
N-asetil sistein
BAL (dimercaprol)
Glukakon
Flumazemil
Oksigen,
hiperbarik

oksigen
Vit K
Nitrit dan nitrat
Digoksin- fab fragment
etilen Etanol

glikol
Heparin
Zat besi
INH
Narkotika (opioid)
Nitrit
Organofosfat
dan

Protamin
Deferoksamin
Piridoksin
Nalokson
Metilen blue
Atropin, pralidoksim

karbamat

DAFTAR PUSTAKA
BPOM, 2014. PEDOMAN UJI TOKSISITAS NONKLINIK SECARA IN VIVO.
http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=816 [4 September 2016]
Priyanto. 2010. Toksikologi,Mekanisme, Terapi Antidotum, dan
Penilaian Risiko. Cetakan 2 Leskonfi. Depok.
Soemirat, Juli. 2003. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.

21

Anda mungkin juga menyukai