Pada praktikum ini yang dipelajari adalah hubungan antara cara pemberian
obat dengan absorbsi dalam tubuh. Cara pemberian obat (routes of
administration) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat karena akan mempengaruhi jumlah obat yang terabsorbsi serta waktu obat untuk mencapai tempat kerjanya (site of action). Absorbsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Cara pemberian obat akan mempengaruhi absorbsi, bergantung pada cara pemberiannya, misalnya melalui saluran cerna maupun tanpa melalui saluran cerna. Selain itu cara pemberian obat juga mempengaruhi hasil akhir yaitu local atau sistemik. Pada percobaan kali ini hewan uji yang dipakai adalah mencit. Mencit digunakan karena struktur dan system organ, serta sistem sirkulasi darah yang ada di dalam tubuhnya mirip seperti yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu proses metabolisme mencit berlangsung cepat sehingga cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan. Mencit juga merupakan hewan yang mudah ditangani mengingat ukurannya yang relative kecil dan tidak begitu berat. Mencit juga sangat mudah didapatkan, sebagian besar mencit diperoleh dari peternak hewan laboratorium untuk digunakan dalam penelitian biomedis, pengujian, dan pendidikan serta memiliki harga yang relatif murah. Mencit dapat dipegang dengan cara salah satu tangan memegang ujung ekornya, kemudian mencit akan berusaha lari berlawanan arah dari tangan praktikan, kemudian tangan lain dari praktikan bisa menjepit kulit tengkuknya seerat/setegang mungkin menggunakan ibu jari dan jari telunjuk sehingga mencit terfiksasi yang kemudian mencit siap untuk diberi perlakuan. Cara pemberian obat yang digunakan dalam praktikum ini adalah melalui peroral (melalui sonde lambung), injeksi intraperitoneal (injeksi yang dilakukan pada rongga perut), dan injeksi subkutan (injeksi yang dilakukan di bawah kulit). Setelah menyesuaikan dengan dosis obat berat badan hewan uji coba, dan konsentrasi obat, kami memberikan cairan obat kepada 3 hewan uji coba berbeda dengan volume 0,16 mL melalui percobaan oral, 0,16 mL melalui peritoneal, dan 0,15 mL melalui subkutan. Dalam praktikum ini didapatkan hasil onset paling cepat adalah pada injeksi intraperitoneal yaitu dalam waktu 4 menit, kemudian diikuti oleh peroral dengan onset 9 menit, dan yang paling lama adalah onset pada injeksi subkutan yaitu dalam waktu 15 menit. Dalam literaturnya diantara injeksi
subkutan, peritoneal dan peroral, onset paling cepat memang seharusnya
adalah intraperitoneal, hal ini terjadi karena obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan peroral dan subkutan. Selain itu penyerapan cepat juga dikarenakan rongga perotonium mempunyai permukaan absorbsi yang sangat luas, sehingga obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat pula. Dalam peritoneum, obat dengan kadar tinggi dimetabolisme serempak dan akan berikatan dengan reseptor. Sehingga akan langsung berefek tetapi efek yang dihasilkan durasinya cepat karena setelah itu tidak ada obat yang berikatan lagi dengan reseptor. Onset pada peroral lebih lambat dari injeksi intraperitoneal. Hal ini dikarenakan pemberian obat melalui peroral (saluran cerna) memiliki rute yang cukup panjang dan banyak factor penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan durasi efek obat relative lambat.. Onset paling lambat ditemukan pada injeksi secara subkutan, Hal ini karena pada daerah subkutan terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama dibanding yang lain, selain itu pada rute pemberian obat secara subkutan umumnya absorpsi terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Oleh karena itu waktu yang dihasilkan ketika menimbulkan efek relatif lebih lama dibandingkan dengan intraperitoneal. Dilihat dari pembahasan diatas, seharusnya durasi yang paling cepat adalah pemberian obat dengan cara injeksi intraperitoneal, diikuti dengan peroral yang lebih lama, dan paling lama adalah durasi melalui subkutan. Namun dalam praktikum kami hasil yang didapat adalah sebaliknya, yaitu durasi dari paling cepat ke lambat secara urut adalah pemberian dengan cara subkutan yaitu 54 menit, peroral yaitu 63 menit, dan intraperitoneal selama 67 menit. Pada percobaan ini, praktikan banyak melakukan kesalahan sehingga efek obat yang timbul tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kesalahan pertama praktikan adalah praktikan terlalu mengusik hewan uji coba. Praktikan sangat sering mengangkat hewan uji coba saat masih terbangun (dalam keadaan sedasi) untuk mengecek apakah hewan uji coba sudah dalam keadaaan hypnosis atau belum, hal ini menyebabkan hewan uji coba yang mungkin akan masuk ke fase hypnosis, kembali ke fase sedasi secara berulang-ulang. Kesalahan kedua praktikan adalah praktikan sangat terpaku pada kapan hewan uji coba akan tidur (hypnosis), yang menyebabkan praktikan tidak begitu memperhatikan kapan efek sedasi pada hewan uji coba mulai hilang, hingga suatu waktu praktikan baru menyadari bahwa ketiga hewan uji coba kami sudah kembali aktif semua. Kesalahan ketiga praktikan adalah praktikan banyak mempermainkan hewan uji coba, untuk
mempraktikkan bagaimana mengangkat dan memfiksasi, hal ini
menyebabkan hewan uji coba mengalami stress, yang ditandai dengan bercecerannya kotoran hasil buang air besar dari hewan uji coba, keadaan stress ini juga dapat mempengaruhi lingkungan internal pada hewan uji coba yang akhirnya berdampak pada efek obat. Secara keseluruhan pada dasarnya kesalahan praktikan disebabkan oleh karena kurangnya pengalaman dan pemahaman praktikan untuk mengenai praktikum, sehingga sedikit banyak mempengaruhi hasil percobaan. Pada hasil percobaan gabungan (semua kelompok mahasiswa) didapatkan hasil yang sangat bervariasi. Urutan cepat lambatnya onset dan durasi ada yang berbeda antar kelompok. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal, dari pihak praktikan, maupun dari pihak hewan uji coba. Dari pihak praktikan kesalahan dapat terjadi karena perbedaan sudut pandang dari masingmasing praktikan mengenai efek sedasi dan efek hypnosis. Selain itu kesalahan praktikan dalam memberikan obat juga dapat terjadi. Dari pihak hewan uji coba terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan, yaitu Faktor internal dan Faktor eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah variasi biologi (usia, jenis kelamin), sifat genetik, status kesehatan dan nutrisi. Usia berpengaruh pada hasil percobaan karena usia mempengaruhi perkembangan sistem organ. Jenis kelamin juga berpengaruh, karena biasanya memiliki berat badan, masa otot dan masa lemak yang berbeda. Sifat genetik pun berpengaruh karena sifat genetik yang berbeda-beda memilikki karakteristik yang berbeda pula, maka masing-masing memiliki perbedaan dalam perilaku, kemampuan imunologis, infeksi penyakit, kemampuan dalam respon terhadap obat. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruang hidup (suhu, kelembaban udaa, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), suplai oksigen. Meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada hewan percobaan, disebabkan karena kondisi lingkungan yang jelek dimana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya kejadian penyakit infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisi yang buruk juga akan berakibat resistensi tubuh menurun, sehingga akan berpengaruh terhadap hasil suatu percobaan.