Anda di halaman 1dari 24

Benarkah mitos BULAN SURO, Bulan Penuh Musibah dan Kesialan (Tidak Boleh

Menikah)?
Bulan Suro yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram- terkenal sakral dan
penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking sakralnya berbagai keyakinan keliru
bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual yang berbau syirik pun tak tertinggalan
dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia.
Namun kenapa mesti dinodai dengan hal-hal semacam itu?
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro),
merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah
firman Allah Taala berikut (yang artinya), Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. At
Taubah: 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu alaihi wa
sallambersabda, Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan
langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan
haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqodah, Dzulhijjah dan Muharram.
(Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan
Syaban.[1]
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu
Yala rahimahullahmengatakan, Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama,
pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun
meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan
haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut.
Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.[2]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan
Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah
shalat malam.[3]
Al Hafizh Abul Fadhl Al Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, Apa hikmah bulan
Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik
Allah? Beliau rahimahullah menjawab, Disebut demikian karena di bulan Muharram
ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun.
Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen)
untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Taala kecuali bulan Allah
(yaitu Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama
dan istimewa.
Bulan Suro, Bulan Penuh Bencana dan Musibah

Itulah berbagai tanggapan sebagian orang mengenai bulan Suro atau bulan Muharram.
Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah
dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan.
Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa
kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal),
kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua
putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol
kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati
anaknya seperti ini: Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa
celaka. Ini bulan suro lho.
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah,
dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara
pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai
anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal
yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah
bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh
kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama
Islam mengenai dua hal ini.
Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik.
Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah
waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Taala berfirman (yang
artinya), Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa
(waktu), dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka
tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi, mencela waktu
adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini
berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di
antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, Allah Azza wa Jalla berfirman,Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela
waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam
dan siang.[5]
Jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa
termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa
Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan
menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka,
maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah Azza wa Jalla.
Merasa Sial dengan Waktu Tertentu
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Beranggapan sial termasuk kesyirikan,
beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau

bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan
anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.[6]
Ini berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau
beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan
sial termasuk kesyirikan.
Jangan Salahkan Bulan Suro!
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah
disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan
Allah Taala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hambaNya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan
musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah
ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah,
kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena
dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku.
Perhatikanlah firman Allah Azza wa Jalla (yang artinya), Dan apa saja musibah yang
menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. (QS. Asy
Syuraa: 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, Jadi, hendaklah seorang mukmin
bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang
menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Taala. Janganlah lisannya digunakan
untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang
memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya.
Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang
telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada
Allah Taala.[7]
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun
yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah
menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita
hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta
istighfar pada Allah azza wa jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh
bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang
mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja,
tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai
banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada
bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari
adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita
kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah.
Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Yang Mesti Dilakukan: Isilah Bulan Muharram dengan Puasa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa
pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya, Puasa yang paling utama setelah (puasa)

Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling
utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.[8]
Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah
puasa pada hari Asyura yaitu pada tanggal 10 Muharram. Berpuasa pada hari tersebut
akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy
berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa
Arafah? Beliau menjawab, Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan
setahun yang akan datang. Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa Asyura?
Beliau menjawab, Puasa Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.[9]
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa
Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya.
Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.[10]
Imam Asy Syafii dan ulama Syafiiyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan
bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus;
karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat
(berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.[11]
Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10
Muharram. Karena dalam melakukan puasa Asyura ada dua tingkatan yaitu: [1]
Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus, dan
[2] Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[12]
Insya Allah tanggal 10 Muharram jatuh pada tanggal 27 Desember 2009 sedangkan
tanggal 9 Muharram jatuh pada tanggal 26 Desember 2009.
Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang
memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
6 Muharram 1431 H, di Pogung Kidul, Jogja
[1] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi At
Tafasir
[3] HR. Muslim no. 2812
[4] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasai, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al
Mathbuat Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H
[5] HR. Muslim no. 6000
[6] HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash
Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah
[7] Lihat Ianatul Mustafid dan Syarh Masail Jahiliyyah
[8] HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah.
[9] HR. Muslim no. 1162.
[10] HR. Muslim no. 1134, dari Ibnu Abbas.

[11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim, 8/12-13.


[12] Lihat Tajridul Ittiba, Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili, hal. 128, Dar Al Imam Ahmad,
cetakan pertama, tahun 1428 H.

MISTERI BULAN SURA


Bulan Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Tanggal 1 Sura akan jatuh
pada hari Senin tanggal 29 Desember 2008. Secara lugas maknanya adalah merupakan
tahun baru menurut penanggalan Jawa. Bagi pemegang tradisi Jawa hingga kini masih
memiliki pandangan bahwa bulan Sura merupakan bulan sakral. Berikut ini saya
paparkan arti bulan Sura secara maknawi dan dimanakah letak kesakralannya.
MELURUSKAN BERITA burung
Tradisi dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bagi yang
memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan Sura aura mistis dari
alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat tidak bijaksana
apabila kita buru-buru menganggapnya sebagai bentuk paham syirik dan kemusrikan.
Anggapan seperti itu timbul karena disebabkan kurangnya pemahaman sebagian
masyarakat akan makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik berkaitan erat
dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit menilai hanya dengan melihat
manifestasi perbuatannya saja. Jika musrik dan syirik diartikan sebagai bentuk
penyekutuan Tuhan, maka punishment terhadap tradisi bulan Sura itu jauh dari
kebenaran, alias tuduhan tanpa didasari pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan
pemfitnahan. Biasanya anggapan musrik dan sirik muncul karena mengikuti trend atau
ikut-ikutan pada perkataan seseorang yang dinilai secara dangkal layak menjadi panutan.
Padahal tuduhan itu jelas merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan
mengandung stigma, dan sikap menghakimi secara sepihak.
Masyarakat Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos, bahwa Tuhan
menciptakan kehidupan di alam semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik
(wadag) maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi mempunyai
kelebihan maupun kekurangan. Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi
metafisik merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan
keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa sukur
akan karunia terindah dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya di
hadapan Tuhan, dan dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia tidak seyogyanya
mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk paling sempurna dan
mulia, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di sisi
lain kesadaran mikrokosmosJavanisme bahwa akal-budi ibarat pisau bermata dua, di
satu sisi dapatmemuliakan manusia tetapi di sisi lain justru sebaliknya
akan menghinakanmanusia, bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat
sekalipun.
Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni
pentingnya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya
kelestarian alam tetap terjaga sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam
merupakan perwujudan syukur tertinggi umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa

yang telah menganugerahkan bumi ini berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan umat
manusia.
Dalam tradisi Jawa sekalipun yang dianggap paling klenik sekalipun, prinsip dasar
yang sesungguhnya tetaplah PERCAYA KEPADA TUHAN YME. Di awal atau di akhir
setiap kalimat doa dan mantra selalu diikuti kalimat; saka kersaning Gusti, saka
kersaning Allah. Semua media dalam ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan
kristalisasi dari simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya kepada Tuhan Yang
Maha Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip religiusitas
ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.
Cara pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik
dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa kental akan
penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya interaksi manusia terhadap
lingkungan alam dan seluruh isinya. Lingkungan alam dilihatmemiliki dua dimensi,
yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi gaib atau metafisik. Lingkungan
alam tidak sebatas apa yang tampak oleh mata, melainkan meliputi pula lingkungan yang
tidak tampak oleh mata (gaib). Boleh dikatakan pemahaman masyarakat Jawa akan
lingkungan atau dimensi gaib sebagai bentuk keimanan (percaya) kepada yang gaib.
Bahkan oleh sebagian masyarakat Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini atau
diimani saja, tetapi lebih dari itu seseorang dapat membuktikannya dengan
bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib sebagai bentuk
pengalaman gaib. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa dimensi gaib merupakan sebuah
realitas konkrit. Hanya saja konkrit dalam arti tidak selalu dilihat oleh mata kasar,
melainkan konkrit dalam arti Jawa yakni termasuk hal-hal yang dapat dibuktikan melalui
indera penglihatan maupun indera batiniah. Meskipun demikian penjelasan ini mungkin
masih sulit dipahami bagi pihak-pihak yang belum pernah samasekali bersinggungan
dengan hal-hal gaib. Sehingga cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasakan menjadi
tidak masuk akal, sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong belaka.
Pendapat demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang tidak semua
orang dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum tentu tapat dengan
realitas gaib yang sesungguhnya. Sedangkan agama sebatas memaparkan yang bersifat
universal, garis besar, dan tidak secara rinci. Perincian mendetail tentang eksistensi alam
gaib merupakan rahasia ilmu Tuhan Yang Maha Luas, tetapi Tuhan Maha Adil tetap
memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk mengetahuinya walaupun sedikit
namun dengan sarat-sarat yang berat dan tataran yang tidak mudah dicapai.
MISTERI BULAN SURA
Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa. Di
samping itu bagi masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad
makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan sedemikian rupa. Sehingga bulan Sura
juga merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan
adalah; jagad makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman,

benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara
jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda
dimensinya. Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di
satu sisi, dengan jagad manusia di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu
penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jumat Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai
malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur turun ke bumi
untuk njangkung dan njampangai(membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai
dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga
merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat
dispensasi untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya
tidak eling danwaspada, dapat terkena dampaknya.
Dalam siklus hitungan waktu tertentu yang merupakan rahasia besar Tuhan,
terdapat suatu bulan Sura yang bernama Sura Duraka. Disebut sebagai bulan Sura
Duraka karena merupakan bulan di mana terjadi tundan dhemit.Tundan
dhemit maksudnya adalah suatu waktu di mana terjadi akumulasi paradedemit yang
mencari korban para manusia yang tidak eling dan waspadha. Karena pada bulan-bulan
Sura biasa para dedhemit yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan Sura
Duraka. Sehingga pada bulan Sura Duraka biasanya ditandai banyak sekali musibah dan
bencana melanda jagad manusia. Bulan Sura Duraka ini pernah terjadi sepanjang bulan
Januari s/d Februari 2007. Musibah banyak terjadi di seantero negeri ini. 1) Di awali
tenggelamnya KM Senopati di laut Banda yang terkenal sebagai palung laut terdalam di
wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan ini memakan korban ratusan jiwa. 2) Kecelakaan
Pesawat Adam Air hilang tertelan di palung laut dekat teluk Mandar, posisi di 40 mil
barat laut Majene. 3) Kereta api mengalami anjlok dan terguling sampai 3 kali kasus
selama sebulan. 4) Tabrakan bus di pantura, bus menyeruduk rumah penduduk. 5)
Kecelakaan pesawat garuda di Yogyakarta. 6) Beberapa maskapai penerbangan
mengalami gagal take off, gagal landing, mesin error dsb. 7) Jakarta dilanda banjir
terbesar sepanjang masa. 8) Kapal terbakar di Sulawesi dan maluku. 9) Kapal laut di selat
Karimun terbakar lalu tenggelam memakan ratusan korban berikut wartawan TV peliput
berita. 10) Banjir besar di Jawa Tengah, Angin puting beliung sepanjang Pulau JawaSumatra. Dan masih banyak lagi kecelakaan pribadi yang waktu itu Kapolri sempat
menyatakan sebagai bulan kecelakaan terbanyak meliputi darat, laut dan udara.
Atas beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul
kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan
Sura. Sedikitnya ada 5 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura
seperti berikut ini;
1. Siraman malam 1 Sura; mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur
kembang setaman. Sebagai bentuk sembah raga (sariat) dengan tujuan
mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat
sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan mensucikan
hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan

siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME


agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya
dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat
handai taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya,
mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali
siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan
memberikan pitulungan atau pertolongan). Atau 11 kali (11 dalam bahasa
Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikankawelasan; belaskasih).
Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan
memberikan pitulungan dan kawelasan). Mandi lebih bagus dilakukan tidak di
bawah atap rumah; langsung beratap langit; maksudnya adalah kita secara
langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.
2. Tapa Mbisu (membisu); tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu
mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam
bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan
atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat numusi atau terwujud.
Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang
lain.
3. Lebih Menggiatkan Ziarah; pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan
ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang
yang dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri
nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi
penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Cara
menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya
dengan merawat makam beliau. Sebab makam merupakan monumen
sejarahyang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur; mengenang
dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita akan
selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita ada di dunia ini adalah
dari turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan berpulang
ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa. Mengapa harus datang ke makam, tentunya
atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa ilmu,
kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati
hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah
sebagai keturunannya kita masih tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah ?
Jika direnungkan secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap demikian
tidak lebih dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif) saja. Anak
turun yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam para
leluhurnya, apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa mendoakan dan
merawat seonggok makam yang sudah tertimbun semak belukar. Betapa teganya
hati kita, bahkan dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar untuk
kemalasannya sendiri, bisa saja menggunakan alasan supaya menjauhi

kemusyrikan. Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah berhubungan


dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat dengan hati. Jangan-jangan sudah
menjadi prinsip bawah sadar sebagian masyarakat kita, bahwa lebih enak
menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi orang winasis dan prayitna tetapi
konsekuensinya tidak ringan.
4. Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di
dalam
rumah.
Selain
sebagai
sikap
menghargai
para
leluhur
yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang
dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil,
kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan
YME yang tersirat di dalamnya (silahkan dibaca dalam forum tanya jawab).
Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar supaya terdapat
perbedaanantara makam seseorang yang kita hargai dan hormati,
dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan
tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya
berikut anak turunnya si kucing.
5. Jamasan pusaka; tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat
ataumemetri warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki
segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil
karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam.
Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi. Selain itu pusaka
menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati
oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari
sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi
generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi
yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai para leluhurnya, para pahlawannya, dan para perintisnya.
Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa
yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi
penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut (disembeded) dari akarnya.
Tumbuh berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan
bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik bangsa asing. Kita sadari atau
tidak, tampaknya telah lahir megatrend terbaru abad ini, sekaligus paling
berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism melalui cara-cara
politisasi agama.
6. Larung sesaji; larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual
disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi
budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Betapa tidak, jikalau kita hanya
melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial
dari ritual larung sesaji. Baiklah, berikut saya tulis tentang konsep pemahaman
atau prinsip hati maupun pola fikir mengenai tradisi ini. Pertama; dalam

melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah
Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satusatunya penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa ritual larung sesaji
merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni
penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan
sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan kehidupan
generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan
melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk
generasi penerus. Ketiga; selain kedua hal di atas, larung sesaji merupakan bentuk
interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari
pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat
kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad metafisik. Kedua dimensi
jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks.
Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogyanya menjaga keharmonisan
dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak
harmonis, akan mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan
semua pihak. Maka seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap
harus dijaga.

Tradisi Jawa Menyambut Satu Suro

Posted on November 4, 2013


Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta
kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam
pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam
1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai
ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan
(tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan
sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak
gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.
Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung
(1613-1645 Masehi).
Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi
dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan
sistem kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa,
kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1
Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan
yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan
introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan
masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa
nafsu. Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan
secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat
kebudayaan Jawa.
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak
benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan
sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara
seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu
mubeng beteng. Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok
penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka
menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan
waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya
sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan
waspada dari godaan yang menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan
pernikahan selama bulan Suro.

Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak
selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.
Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro,
namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang
diperlukan agar lebih mawas diri.
Berikut ini adalah tradisi Satu Suro yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa :
1. Tapa Bisu
Tapa Bisu atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.
Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang
dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Seperti
tradisi Tapa Bisu yang di lakukan di kota Yogya, mereka melakukan untuk memohon
perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT dengan harapan diberikan yang terbaik
untuk Kota Yogya.
2. Kungkum
Kungkum adalah berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, Yang
paling mudah ditemui di Jawa khususnya di seputaran Yogyakarta adalah Tirakatan (tidak
tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran
Wayang Kulit.
3. Tradisi upacara /ritual ruwatan
Tradisi yang hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan
penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam
hidupnya. Dalam cerita wayang dengan lakon Murwakalapada tradisi ruwatan di jawa (
jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi
pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar
menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu
kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit
yang mengambil tema/cerita Murwakala.
4. Ngumbah Keris
Ngumbah Keris adalah tradisi mencuci/membersihkan keris pusaka bagi orang yang
memilikinya. Dalam tradisi masyarakat Jawa, ngumbah keris menjadi sesuatu kegiatan
spiritual yang cukup sakral dan dilakukan hanya waktu tertentu. Lazimnya ngumbah
pusaka dilakukan hanya sekali dalam satu tahun yakni pada bulan Suro. Oleh karena
ngumbah keris mempunyai makna dan tujuan luhur, kegiatan ini termasuk dalam
kegiatan ritual budaya yang dinilai sakral.
5. Lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk)

Lek lekan adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh warga warga di kampung.
Biasanya para warga dikampung tersebut sudah menyiapkan acara masing-masing. Ada
yang sekadar berkumpul dan lek-lekan di pos ronda, mengobrol di depan rumah atau
makan-makan di gang.
6. Ritual Tirakatan
Ritual Tirakatan berasal dari kata Thoriqot atau Jalan, maknanya adalah kita berusaha
mencari jalan agar dekat dengan Allah. Dengan kita melakukan ritual ini tanpa disadari
ternyata kegiatan tirakatan ini juga telah meningkatkan kemampuan ketingkat yang lebih
tinggi lagi, berupa keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, maupun kemampuan
fisik dan pengolahan bathin kita untuk menghadapi berbagai cobaan dan tantangan yang
kita hadapi.
Berikut tadi adalah tradisi di Malam Satu Suro, namun dalam pandangan Islam itu salah.
tapi walaupun begitu bukan berarti kebudayaan tersebut harus dihapus. Kita sebagai
generasi penerus bangsa harus mampu menjaga dan melestarikannya dengan cara
membuang yang buruk dan melestarikan yang baik. Ayo bersama-sama melestarikan
kebudayaan kita yang sudah mendarah daging. Jangan sampai kita kehilangan
kebudayaan lagi.

Pembaca yang semoga senatiasa dirahmati Allah Taala, sebentar lagi kita akan
memasuki tahun baru hijriyah. Dimana bulan pertama dalam kelender hijriyah adalah
bulan Muharram. Allah Taala telah menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang
mulia dan menjadikannya sebagai salah satu dari empat bulan haram (yang disucikan).
Bulan Muharram, Bulan yang Dimuliakan
Para pembaca yang budiman, Allah Taala berfirman (yang artinya), Sesungguhnya
jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan (yang telah ditetapkan) di dalam kitab Allah
sejak menciptakan langit dan bumi. Di antara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan yang
suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian
pada bulan-bulan (suci) tersebut. (QS. At Taubah : 36)
Diantara keempat bulan haram (suci) tersebut adalah bulan Dzulqadah, Dzulhijjah,
Muharram, dan Rajab. Sebagaimana yang disebutkan oleh sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam (yang artinya), Satu tahun ada 12 bulan, diantaranya ada 4 bulan suci: 3
bulan secara berurutan yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab diantara
bulan Jumada dan bulan Syaban. (HR. Bukhari)
Mengapa keempat bulan tersebut dinamakan bulan haram? Abu Yala rahimahullah
mengatakan, Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut
diharamkan berbagai pembunuhan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang
jahiliyyah dahulu. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan
maksiat lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya dikarenakan mulianya bulan
tersebut. (Zaadul Maysir, Ibnul Jauziy)
Beberapa Amalan yang Dilakukan di Bulan Muharram
Para pembaca rahimakumullah, berikut akan kami bawakan beberapa amalan yang
hendaknya dilakukan pada bulan Muharram.
1. Perbanyak Amalan Shalih dan Jauhi Maksiat
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata tentang tafsir firman Allah Taala dalam Surat
At Taubah ayat 36: maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian; Allah telah
mengkhususkan empat bulan dari kedua belas bulan tersebut. Dan Allah menjadikannya
sebagai bulan yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya, menjadikan dosa yang
dilakukan pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) serta memberikan
pahala (yang lebih besar) dengan amalan-amalan shalih. (Tafsir Al Quran Al Azhim,
Ibnu Katsir)
Mengingat besarnya pahala yang diberikan oleh Allah melebihi bulan selainnya,
hendaknya kita perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada bulan Muharram
ini dengan membaca Al Quran, berdzikir, shadaqah, puasa, dan lainnya.

Selain memperbanyak amalan ketaatan, tak lupa untuk berusaha menjauhi maksiat
kepada Allah dikarenakan dosa pada bulan-bulan haram lebih besar dibanding dengan
dosa-dosa selain bulan haram.
Qotadah rahimahullah juga mengatakan, Sesungguhnya kezaliman pada bulan-bulan
haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezaliman yang dilakukan di luar
bulan-bulan haram tersebut. Meskipun kezaliman pada setiap kondisi adalah perkara
yang besar, akan tetapi Allah Taala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung
sesuai dengan kehendaknya.
2. Perbanyaklah Puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang
artinya), Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu
bulan Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat
malam. (HR. Muslim)
Para salaf pun sampai-sampai sangat suka untuk melakukan amalan dengan berpuasa
pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, Pada bulan-bulan
haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya. (Lathaa-if Al Maarif, Ibnu Rajab)
3. Puasa Asyuro (Tanggal 10 Muharram)
Para pembaca yang dirahmati Allah, hari Asyuro merupakan hari yang sangat dijaga
keutamannya oleh Rasulullah, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma, beliau mengatakan, Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam begitu menjaga keutamaan satu hari di atas hari-hari lainnya, melebihi hari ini
(yaitu hari Asyuro) dan bulan yang ini (yaitu bulan Ramadhan). (HR. Bukhari dan
Muslim)
Salah satu bentuk menjaga keutamaan hari Asyuro adalah dengan berpuasa pada hari
tersebut. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan, Ketika Nabi
shallallahu alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa
Asyuro, mereka mengatakan, Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Firaun.
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, Kalian lebih
berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah (HR.
Bukhari)
Rasulullah menyebutkan pahala bagi orang yang melaksanakan puasa sunnah Asyuro,
sebagaiamana riwayat dari Abu Musa Al Asyari radhiyallahu anhu, beliau mengatakan,
Nabi shalallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa Asyuro, kemudian beliau
menjawab, Puasa Asyuro menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat (HR.
Muslim)
4. Selisihi Orang Yahudi dengan Puasa Tasua (Tanggal 9 Muharram)

Setahun sebelum Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, beliau berrtekad untuk tidak
berpuasa hari Asyuro (tanggal 10 Muharram) saja, tetapi beliau menambahkan puasa
pada hari sebelumnya yaitu puasa Tasua (tanggal 9 Muharram) dalam rangka
menyelisihi puasanya orang Yahudi Ahli Kitab.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau mengatakan, Ketika Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam berpuasa Asyuro dan menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa,
mereka berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Maka beliau bersabda, Kalau begitu tahun depan
Insya Allah kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (Tasua, untuk menyelisihi Ahli
kitab). Ibnu Abbas berkata, Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam telah wafat.
Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa
pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi. Tapi ada ulama
lain yang membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan
dengan puasa sehari sebelumnya (tanggal 9 Muharram). (Asy Syarhul Mumti, Ibnu
Utsaimin)
5. Muhasabah dan Introspeksi Diri
Hari berganti dengan hari dan bulan pun silih berganti dengan bulan. Tidak terasa
pergantian tahun sudah kita jumpai lagi, rasa-rasanya sangat cepat waktu telah berlalu.
Semakin bertambahnya waktu, maka semakin bertambah pula usia kita. Perlu kita sadari,
bertambahnya usia akan mendekatkan kita dengan kematian dan alam akhirat.
Sebuah pertanyaan besar, Semakin bertambah usia kita, apakah amal kita bertambah
atau malah dosakah yang bertambah??! Maka pertanyaan ini hendaknya kita jadikan alat
untuk muhasabah dan introspeksi diri kita masing-masing. Ibnu Masud radhiyallahu
anhu pernah mengatakan, Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari
tenggelam, masa hidupku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.
Wahai saudaraku, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menuju perjalanan yang
panjang di akhirat kelak dengan amalan-amalan shalih? Sudahkah kita siap untuk
mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita perbuat di hadapan Allah
kelak? Allah Taala berfirman (yang artinya), Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan setiap diri hendaklah memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) (QS. Al Hasyr: 18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, Yaitu, hendaklah kalian
menghitung-hitung diri kalian sebelum kalian di-hisab (pada hari kiamat), dan
perhatikanlah apa yang telah kalian persiapkan berupa amal kebaikan sebagai bekal
kembali dan menghadap kepada Rabb kalian.
Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik untuk tetap teguh berada di atas jalan
kebenaran-Nya, bersegera untuk melakukan instrospeksi diri sebelum datang hari di-

hisab-nya semua amalan, dan menjauhkan dari perbuatan maksiat yang bisa membuat
noda hitam di hati kita. Wallahu Taala alam.
Penulis : Raksaka Indra (Alumni Mahad Al Ilmi Yogyakarta)
Murojaah : Ustadz Abu Salman

BULAN MUHARAM DALAM ISLAM

MUHARRAM DALAM PANDANGAN ISLAM


1.
Muharram Adalah Bulan Yang Mulia. Allah Taala berfirman: Sesungguhnya bilangan
bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu (QS. At-Taubah : 36)
Imam Ath-Thabari berkata, Bulan itu ada dua belas, 4 diantaranya merupakan bulan haram
(mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka
mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu
dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan yang empat
itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzulqodah, Dzulhijjah dan Muharram.
Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah . Kemudian At-Thabari
meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya hadits dari sahabat Abu Bakrah , yang diriwayatkan
Imam Bukhari (no. 4662), Rasulullah bersabda, Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu
berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram,
pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) dan Syaban, kemudian
Dzulqodah, Dzulhijjah dan Muharram (Jamiul Bayan 10/124-125)
Qotadah berkata, Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan
dhzalim di dalamnya merupakan kedhzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya,
walaupun yang namanya kedhzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar (Maalimut
Tanzil 4/44-45)
Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan
pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah Taala
telah menyelamatkan Nabi Musa alaihis sallam dan kaumnya serta menenggelamkan Firaun dan
kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak
dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura. (Durusun Aamun, Abdul Malik AlQasim, hal.10)
2.
Disyariatkan Puasa Asyura. Berdasarkan hadits-hadist berikut ini. Dahulu Rasulullah
memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka bagi
siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak usah berpuasa (HR.
Bukhari no. 2001)
Tatkala Nabi hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu,
lalu beliau bertanya kepada mereka, Kenapa kalian berpuasa? Mereka menjawab,
Sesungguhnya pada hari ini Allah Taala telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan

membinasakan Firaun beserta kaumnya. Dan Musa berpuasa pada harinya, maka kamipun
berpuasa. Kemudian beliau berkata, Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian. (HR
Bukhari no. 2004, Muslim no. 1130). Maka Nabi berpuasa pada hari itu dan memerintahkan
untuk melakukan puasanya.
3.
Keutamaan Puasa Asyura. Ibnu Abbas d ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya, Saya
tidak mengetahui bahwa Rasulullah puasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain
hari ini (Asyura) dan bulan Ramadhan (HR. Bukhari no. 1902, Muslim no. 1132)
Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu, berdasarkan hadits berikut, Rasulullah
ditanya tentang puasa Asyura, jawab beliau , Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang
lalu (HR. Muslim no. 1162, Tirmidzi no. 752)
4.
Asyura Adalah Hari Ke-10. dari Ibnu Abbas , tatkala Rasulullah berpuasa Asyura dan
memerintahkan untuk berpuasa, para sahabat berkata, Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang
diagungkan oleh Yahudi dan Nashara, Maka beliau bersabda, Tahun depan insya Allah kita
akan berpuasa hari ke-9. Ibnu Abbas berkata, Tahun berikutnya belum datang Rasulullah
keburu meninggal (HR. Muslim no. 1134)
Imam Nawawi berkata, Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari Asyura adalah
hari ke-10. Yang berpendapat demikian diantaranya adalah Said bin Musayyib, Al-Hasan AlBashri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak lagi. Pendapat ini
sesuai dengan (dzahir) teks hadits dan tuntutan lafadznya. (Syarah Shahih Muslim 9/205)
Hanya saja Rasulullah berniat untuk berpuasa hari ke-9 sebagai penyelisihan terhadap ahlul
kitab, setelah dikhabarkan kepada beliau bahwa hari tersebut diagungkan oleh orang-orang
Yahudi dan Nashara. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata, Imam Syafii dan para sahabatnya,
Ahmad, Ishaq dan selainnya berpendapat ; Disunnahkan untuk berpuasa hari ke-9 dan ke-10
karena Nabi berpuasa hari ke-10 serta berniat untuk puasa hari ke-9. Sebagian Ulama berkata,
Barangkali sebab puasa hari ke-9 bersama hari ke-10 adalah agar tidak menyerupai orang-orang
Yahudi jika hanya berpuasa hari kesepuluh saja. Dan dalam hadits tersebut memang terdapat
indikasi ka arah itu (Syarah Shahih Muslim 9/205)
Selain ada yang berpendapat seperti diatas, sebagian ulama berpendapat hendaknya berpuasa
satu hari sebelum dan sesudahnya berdasarkan hadits. Rasulullah bersabda, Berpuasalah hari
Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi, (dengan) berpuasalah 1 hari sebelumnya dan
sesudahnya (HR. Ahmad no. 2155).
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, sudah sepatutnya bagi seorang muslim yang baik
untuk mengisi bulan Muharram ini dengan amal shalih, dan menjalankan ibadah puasa Asyura.
KEYAKINAN YANG SALAH TERHADAP BULAN MUHARRAM

1.
Anggapan Sial. Dalam pandangan masyarakat Jawa, Muharram (Suro) merupakan bulan
keramat. Sehingga sebagian dari mereka tidak berani untuk menyelenggarkan suatu acara
terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di-indah-kan akan menimbulkan petaka dan
kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh
seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya, Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di
bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari
acara pernikahan dan hajatan.
2.
Nuansa Kesyirikan Yang Aneh. Selain itu, untuk memperoleh keselamatan, diadakan
berbagai kegiatan aneh. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam 1 Suro , entah
di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung, dst. Sebagiannya lagi mengadakan
sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung
(dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau dengan keyakinan supaya sang ratu pantai
selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat
disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.
Di Solo, acara kondang yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab
kerbau bule yang terkenal dengan nama Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini
sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela bersusah-payah
mendatanginya dengan jalan kaki, dst. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang
kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan laris, dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik.
Padahal, dalam pandangan banyak orang, kerbau merupakan simbol kebodohan, sehingga
muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya, bodo ela-elo koyo kebo. Acara lainnya
adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.
Pembaca yang budiman, itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa
terhadap bulan Muharram (Suro). Tahayul semacam ini, diwarisi dari zaman sebelumnya mulai
animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut
masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran). Ini bisa
dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan
selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh tersebut. Lalu, apakah
budaya seperti ini patut kita lestarikan ?
KOREKSI TERHADAP KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEPUTAR MUHARRAM (SURO)
1.
Keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial. Seperti yang dianut orang Jawa
sebagaimana kami paparkan di atas, dalam pembahasan ilmu agama Islam biasa disebut dengan
Tathayyur ( ) atau Thiyarah ( ) yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau
kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau
menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan
syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala
sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah Taala dan membebaskan hati ini dari ketergantungan

kepada selain-Nya. Allah Taala berfirman, Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu
adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al Araf:
131)
Maka, seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara pernikahan atau
hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang
tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Taala. Rasulullah mengkabarkan hal
tersebut dalam sabdanya ,

Artinya: Thiyarah itu adalah kesyirikan. (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Parapembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena
beberapa hal, yaitu:
a)
Seseorang yang ber-thiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah Taala.
Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah Taala perintahkan kepada
hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan
kehendak-Nya. Keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah
Taala.
Allah Taala berfirman, Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu,
tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai
sepenuhnya). (QS. Hud: 56)
b) Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang
tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang
menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang
lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat
atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah Taala
berfirman, Allah adalah satu-satunya tempat bergantung. (QS. Al Ikhlash: 2)
Orang yang ber-tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan,
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada
dirinya.
2.
Kemudian, keyakinan yang terkait dengan Kerbau Kiai Slamet, Jamasan, pusaka-pusaka
tertentu dan sebaginya, ini merupakan keyakinan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari

agama Islam. Hal ini karena pelaku ngalap berkah yang seperti itu, mempunyai keyakinan bahwa
ada dzat lain yang mampu mendatangkan keselamatan/berkah serta menolak bahaya selain Allah
Taala. Dalam Al-Quran Allah Taala menerangkan, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka:Siapakah yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka menjawab:
Allah.Katakanlah:Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah,
jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu
dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku,
apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya. Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku. KepadaNyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS. Az-Zumar: 38)
Pembaca, ibadah apa pun bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah Taala.
Dan tawakkal, istighatsah (minta keselamatan), istianah (minta pertolongan), takut dan
mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam ibadah semuanya hanya
untuk Allah Taala. Inilah prinsip tauhid, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Taala
semata, yang menjadi landasan paling mendasar di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya
maka ia jatuh ke dalam kesyirikan. Kecil atau besar-nya kesyirikan tersebut tergantung jenis
pelanggarannya.
Dan sudah merupakan prinsip agama ini bahwa Allah Taala adalah satu-satunya Dzat yang
berhak di-ibadahi. Setiap peribadahan kepada selain Allah Taala adalah ibadah yang batil dan
pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat dari perbuatannya. Allah
Taala berfirman,

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang
Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Al Hajj: 62)
Barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka ia adalah musyrik
dan kafir. Firman Allah Taala, Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di
samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka
benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang kafir
itu. (QS. Al-Muminun: 117).
Dan Allah Taala menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan kekal di neraka jahannam pada ayatNya,Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orangorang zalim itu seorang penolongpun. (QS. Al Maidah: 72)
Maka, apakah patut kita samakan kekuasaan Allah Taala Yang Maha Esa dengan makhluk yang
lemah? Apalagi dengan hewan, keris, akik, dan batu, yang merupakan benda mati?

Kesimpulannya, bahwa bulan Muharram atau dikenal dengan Suro merupakan bulan yang mulia.
Maka tidak sepantasnya apabila kaum muslimin mempunyai anggapan miring terhadapnya,
dengan menjadikan sebagai bulan keramat. Sehingga menyeret mereka jatuh ke lembah
kesyirikan, dengan melakukan acara-acara yang merupakan cerminan dari keyakinan mereka
yang keliru. Akibatnya dosa yang disandang semakin banyak karena dilakukan pada bulan yang
mulia.

Anda mungkin juga menyukai