Anda di halaman 1dari 17

Makalah Kasih Sayang, Kewibawaan, dan

Tanggung Jawab
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidik merupakan orang dewasa yang membimbing anak agar si anak tersebut bisa
menuju ke arah kedewasaan. Peran orang dewasa di dalam proses pembelajaran sangat
penting karena tidak mungkin orangyang belum dewasa mendewasakan orang yang belum
dewasa. Sosok pendidik begitu besar dalam proses pembelajaran dalam mendidik, mengajar ,
membimbing, mengarahan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, namun selain
itu seorang pendidik harus memiliki suatu kasih sayang, kewibawaan dan tanggung jawab
terhadap peserta didiknya.
Pada prakteknya, ternyata menerapkan kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung
jawab dalam proses pendidikan tidak mudah, banyak hambatan dan kendala yang dihadapi
pendidik, baik berkaitan dengan pemahaman maupun kemampuan pendidik. Untuk itu,
kemauan dan ketulusan pendidik dalam menjalankan tugasnya menjadi dasar dalam
memahami sifat dan sikap anak didik.
Kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab pendidikan, merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena suatu ruh dari pendidikan atau menjadi suatu
yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik. Tanpa kasih sayang anak akan berkembang
menurut kemauan-kemauannya sendiri, karena pendidik sama sekali tidak peduli terhadap
perkembangan peserta didiknya. Tanpa kewibawaan, pendidik akan kehilangan kepercayaan
dari peserta didiknya. Peserta didik bertindak semaunya tanpa peduli terhadap pendidiknya.
Semua upaya pendidik mungkin akan dilecehkan oleh peserta didiknya. Tanpa tanggung
jawab dari pendidik, upaya pendidik tidak akan memiliki arah tujuan, karena pendidik akan
acuh dalam melaksanakan tugasnya sebagai orang dewasayang harus membawa anak kepada
kedewasaan. Maka dari itu kami dalam malakah ini akan membahas tentang kasih sayang,
kewibawaan, dan tanggung jawab pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab?
2. Bagaimana kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam pendidikan?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui kasih sayang, kewibawaan, dan tangung jawab.
2. Mengetahui bagaimana kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam pendidikan.
D. Manfaat
Makalah ini disusun dengan harapan agar pendidik dan bagi calon pendidik dapat
mengetahui makna dan bagaimana kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam
pendidikan sehingga seorang pendidik dapat menjadi seseorang pendidik yang baik bagi
peserta didiknya di dalam proses pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kasih Sayang
Kasih sayang merupakan fitrah manusia, artinya setiap manusia ditakdirkan oleh
Allah memiliki kasih sayang terhadap semuanya. Dalam hal pendidikan, kasih sayang harus
mendasari semua upaya dalam membawa anak menuju tujuannya, yaitu kedewasaan.
1. Makna Kasih Sayang
Sadulloh (2011, hlm. 156) mengemukakan bahwa kasih sayang merupakan pola
hubungan yang unik diantara dua orang manusia atau lebih. Pola hubungan ini ditandai oleh
adanya perasaan sayang, saling mengasihi, saling mencintai, saling memperhatikan dan
saling memberi. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kasih sayang merupakan
kebutuhan asasi manusia, sehingga akan mempengaruhi kehidupanya. Anak-anak yang besar
dalam limpahan kasih sayang orang tua akan menjadi anak-anak yang memiliki ketajaman
hati nurani. Dengan kasih sayang yang dilimpahkan orang tuanya, anak nantinya akan
mampu memperlakukan orang lain dengan penuh kecintaan.
Kasih sayang adalah kebutuhan alami manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa
makanan dan minuman, demikian juga manusia manusia tidak bisa hidup tanpa kasih sayang.
Manusia mencintai dirinya sendiri dan ingin di cintai oleh orang lain. Anak-anak lebih
membutuhkan kasih sayang dari pada orang dewasa. Kasih sayang merupakan suatu
penyerahan diri secara total dari pendidik (orang dewasa) tanpa pamrih kepada anak didik,
dengan tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu kedewasaan. Dengan kasih sayang
seorang pendidik menyerahkan seluruh pribadinya demi kepentingan anak didik,tanpa
memikirkan pembalasan apa yang diharapkan dari si anak.
Semua orang tua sayang kepada anak-anaknya, mereka tidak mau anak-anaknya
berkarakter buruk. Namun, pada kenyataanya sering terjadi orang tua membiarkan kenakalan
anak-anaknya tanpa sedikitpun ditanggapi dengan kesungguhan karena sayang pada
anaknya,banyak orang yang tidak memberikan teguran atau peringatan kalau anaknya
melakukan kesalahan karena takut anaknya tersinggung.
Kadang-kadang orang tua melihat anaknya sendiri melakukan kenakalan, atau
melakukan perilaku yang menyimpang dari kebiasaan anak-anak, misalnya menganggu anakanak lain, merusak dan mengotori dinding rumah orang lain, mengeluarkan kata-kata yang
dipantas dan bahkan mencuri uang orang lain, namun orang tuanya malah tertawa seperti
memberi semangat dan bukan menegur. Orang tuanya seperti itu sebetulnya melakukan
penipuan dan pengkhianatan terhadap anak anak mereka. Pengkhianatan itu tidak terasa

karena tertutupi kasih sayang semu, pemahaman terhadap makna kasih sayang yang keliru,
kasih sayang itu bukan berarti membiarkan kesalahan kesalahan anak.semua orang tua harus
menyatakan kasih sayang,tetapi jangan sampai tidak mendidiknya. Orang tua yang
membiarkan anaknya melakukan kesalahan, tanpa menegurnya, tanpa mengarahkanya,tanpa
melarangnya berarti orang tua orang tersebut tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap
anaknya, dan orang tua tadi tidak mampu melaksanakan pendidikan bagi anaknya.
Orang tua tidak boleh berlebihan dalam memberikan kasih sayang kepada anakanaknya, tetapi harus bisa menempatkan kasih sayang dan mendidik anak pada tempatnya
yang tepat. Meskipun semua orang tua sangat menyayangi anak-anak dengan setulusnya,
namun mereka juga harus sadar dengan kenyataan yang ada pada anak-anaknya. Jadi anak
tidak di bolrh kehilangan kasib sayang orang tuanya akan tapi juga jangan dibiarkan bebas
begitu saja. Anak harus menyadari bahwa, karena kasih sayang orang tua ingin mendidik
anaknya.
Guru sebagai pendidik, sikap dan perilaku orang tua dalam memberikan kasih sayang
pada anak-anaknya seyogianya di terapkan di sekolah, guru menyayangi anak didiknya harus
seperti kedua orang tua menyayangi anaknya. Dalam hal imi sekolah akan menjadi rumah
kedua yang dapag memberikan kasih sayang.
Kasih sayang dapat mempengaruhi kehidupan rohaniyah (mental) maupun jasmaniah
(fisik). Secara rohaniah anak dalam hidupan akan penuh keceriaan, kesenangan, dan
kebahagiaan. Secara jasmaniah ank-anak yang penuh limpahan kasih sayang orang tuanya,
pertumbuhan jasmaniah lebih sehat dari anak-anak yang kurang mendapat kasih sayang.
Anak yang besar dalam limpahan kasih sayang orang tua akan menjadi anak-anak yang
memiliki kepribadian yang hangat, karena sudah merasakan kebahagiaan kasih sayang dari
orang tuanya, maka dia juga akan memperlakukan orang lain dengan penuh kecintaan. Ketika
dewasa ia akan belajar mencintai istrinya, anak-anaknya, sahabat dan masyarakat sekitarnya
secara maksimal.
Kasih sayang juga akan menyelamatkan anak-anak dari sifat-sifat kerdil. Anak-anak
yang kurang atau tidak mendapatkan kasih sayang orang tuanya akan tumbuh sebagai anak
yang merasa terkucilkan. Ia akan membenci orang tua dan orang lain dan besar kemungkinan
akan menjadi anak-anak yang suka melakukan hal-hal yang berbahaya.
Dalam suatu riwayat, Nabi musa as. bertanya kepada Allah SWT.,"amalan apakah
yang paling utama?" "kasih sayang kepada anak-anak karena fitrah mereka itu atas tauhid dan
kalau aku wafatkan anak-anak tersebut maka akan ku masukan ke surga!"
2. Kasih Sayang yang Berlebihan dan Hidup Tanpa Kasih Sayang
a. Kasih sayang yang Berlebihan
Kasih sayang orang tua memang penting tapi kalau berlebihan maka akan
mendatangkan akibat yang tidak diharapkan. Kasih sayang iti seperti air atau makanan, kalau
di berikan dengan ukuran yang tepat dan dengan jumlah yang tepat, maka akan memberikan
hasil yang optimal,tapi kalau tidak demikian akan berubah menjadi sesuatu yang tidak baik.
Kasih sayang yang berlebihan untuk anak-anak sangat merugikan bagi perkembangan anak
didik dan mungkin dapat dikatakan sebagai sesuatu pengkhianatan.
Sebagai orang tua yang baik,mereka harus mempersiapkan sesuatu untuk masa depan
anak-anak mereka. Anak harus dididik supaya menjadi manusia yang tangguh pada saat ia
telah dewasa. Jangan membiakan mereka menjadi anak yang tidak berdaya, lemah dan selalu
mengharapkan uluran tangan orang lain.

1)

2)

3)

4)

5)

Sadulloh (2011, hlm. 159) menyatakan bahwa kasih sayang yang berlebihan dapat
menimbulkan dampak negatif diantaranya:
Akan tumbuh sikap yang selalu ingin diperlakukan secara istimewa. Sifat-sifat seorang
otoriter dalam diri anak semakin berkembang ketika orang tua selalu memenuhi segala
keinginanan-keinginanya. Benih-benih kediktoratan semakin bersemi di dalam dirinya.
Ketika hidup di tengah-tengah masyarakat, ia ingin semua orang memperlakukan dirinya
seperti orang tuanya dulu melayano dirinya. Orang seperti itu akan mudah putus asa kalau
keinginanya tidak ada yang memperhatikan dan tidak memperoleh simpati dari orang lain.
Anak yang selalu di manja dapat mengalami masalah dalam kehidupan rumah tangganya
dikemudian hari, mungkin ia akan meminta dilayani istrinya secara sempurna mungkin yang
lebih tidak baik lagi ia suka memperlakukan istrinya seperti pembantu yang harus tunduk
pada perintahnya.
Anak yang dibesarkan dalam asuhan kasih sayang berlebihan dapat menjadi anak yang
sangat rentan dengan masalah, kehilangan kepercayaan diri, tidak mengambil risiko, tidak
mau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting dan selalau mengharapkn uluran tangan
orang lain.
Anak tidak mau mengembangkan diri karena merasa cukup dengan apa yang diterimanya.
Orang tuanya telah memenuhi segala keinginannya, pujian dan segalanya menjadi gambaran
semu dirinya si anak jadi kehilangan kenyataan tentang dirinya.
Anak yang selalu dimanjakan dengan segala kesenangan dan segala keinginanya selalu
dipenuhi oleh orang tuanya, kalau sudah besar mungkin akan tumbuh menjadi manusia yang
sombong, suka memaksakan kehendak.
b. Hidup Tanpa Kasih Sayang
Husain Mazhahiri dalam buku Sadulloh (2010, hlm.160), mengemukakan bahwa
kecintaan/kasih sayang meninggalkan bekasnya secara positif pada anak, dan menjadikan
perilakunya dimasa yang akan datang memiliki sifat kasih sayang dan kecintaan. Sebaliknya,
andaikan suatu kecintaan hilang dari rumah tangga, dan rumah tangga menjadi korban dan
kebekuan dan kekerasan, maka masa depan anak akan terlempar pada marabahaya,dan
kepribadiamya, di masa datang akan memiliki sifat-sifat kekerasan dan emosional yang
melampui batas.
Selanjutnya menurut mazhahiri, jika seorang anak lelaki, dengan tabiatnya yang keras
ia akan kehilangan syarat pertama dari kehidupan dari suami istri yang baik dan berhasil,
yang menuntut adanya kecintaan dan kasih sayang yang melimpah. Apabila seorang anak
perempuan, maka ia akan kehilangan kelayakan untuk di pimpin oleh suami dan
keharmonisan bersamanya serta pendidikan anak-anaknya. Ia akan menampakkan
kebencianya kepada masyarakat yang hidup disekitrnya dan memperhatikan
ketidakpedulianya terhadap orang lain.
Jadi anak yang hidup tanpa kasih sayang orang tuanya, pada masa yang akan datang
setelah ia dewasa akan menampakkan. Kebencianya terhadap masyarakat sekitarnya, dan
menunjukan ketidak pedulianya terhadap orang lain. Ia tidak menunjukan jiwa tolong
menolong dan belas kasih sayang terhadap masyarakat sekitarnya, sehingga ia menjadi
manusia yang tidak berperasaan.
3. Kasih Sayang di Sekolah
Dalam proses pendidikan disekolah dimana peran orang tua digantikan oleh guru,
pola hubungan guru-anak perlu dilandasi kasih sayang agar terjalin ikatan perasaan yang

dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Peranan kasih sayang dalam pendidikan di
sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan sikap, kepribadian dan
perilaku anak disamping peran keluarga dan masyarakat. Banyak peran yang semestinya
dilakukan oleh seorang guru dalam menjalankan proses pendidikan diantaranya:
a. Guru Sebagai Pembimbing
Realitas di masyarakat menunjukan bahwa perilaku menyimpang dari ank-anak
seperti kebrutalan, kecanduan narkoba, pemurung, apatis dan sebagainya muncul karena
dilatar belakangi oleh kondisi dimana anak tumbuh dalam keluarga yang tidak memberikan
kepuasan kasih sayang terhadap dirinya . Hal ini menjadi tantangan pendidikan manakala
kehidupan di kota besar dipenuhi oleh kesibukan orang tua dengan berbagai aktifitas
pekerjaan.
Dengan kasih sayang yang diberikan oleh guru, anak akan mendapatkan bimbingan
untuk menjalani kehidupan ,baik yang di jalani saat ini maupun bekal di masa yang akan
datang. Guru bagi anak sebagai tempat bertanya, mengadu meminta pendapat, berkeluh
kesah, curhat berlindungan, dan posisi lainya dalam diri seorang anak didik.
b. Guru Pembentuk kepribadian
Pembentukan kepribadian anak disekolah merupakan hal yang tidak mudah, sulit
kiranya dilakukan tanpab disertai dengan kasih sayang guru di sekolah bertanggung jawab
membimbing anak didik, menjadi manusia bermoral, berhati nurani, kasih sayang terhadap
sesama, dan sebagainya. Guru harus menunjukan sosok pribadi yang utuh, berpribadi stabil
tidak emosionalan, penghayatan dan pelaksanaan moral dalam semua aspek kehidupan,
sehingga akan menjadi telada bagi anak didiknya.
Tindakan kriminal seperti mencuri, bunuh diri, atau kejahatan lain bisa dilakukan
seorang anak karena kepribadian yang labil, karena kehilangan kasih sayang dari orang tua
atau siapa saja. Kata 'siapa saja' mengidentifikasikan disamping orang tua ada pihak lain yang
dapat menjadi penyebab hancurnya, kepribadian seorang anak anak. Dalam kehidupan seharihari, keterlibatan atau pergaulan anak tidak hanya terjadi dalam keluarha atau masyarakat,
tetapi juga di sekolah.
Di sekolah, guru yang baik akan menperhatikan hal ini sebagian dari perannya dalam
menjalankan proses pendidikan. Pembentukan kepribadian anak di sekolah merupakan hal
yang tidak mudah, pernah kita dikejutkan oleh pemberitaan media masa, seperti media cetak:
koran, majalah, juga media elektronik: radio, televisi, ada anak yang bunuh diri karena ingin
menyelamatkan harga diri dan rasa malau yang di alaminya karena tidak dapat membayar
uang sekolah.
c. Guru Sebagai Tempat Perlindungan
Di sekolah anak akan minta perlindungan kepada gurunya, gurulah yang menjadi
perlindungan bagi anak-anak tersebut. Pada kondisi ini, guru semestinya bijaksana,
mendengarkan masalah yang dihadapi anak, memberikan nasihat dan sebisa mungkin
menyadarkan tindakan yang dilakukan anak atau bahkan berupaya menjebati permasalahan
anak dengan orang tuanya.
Ada anak yang kabur dari rumah akibat tidak menemukan kasih sayang dirumahnya.
Dalam tindakan ini anak akan mencari perlindungan kepada siapa saja yang dianggap dekat
atau yang dapat memberikan perhatian, beruntung jika mereka mendapat tempat berlindung
pada orang yang berlatar belakang baik, misalnya kepada gurunya disekolah. Tetapi apabila

anak bertemu dan bergaul dengan pemakan/pengedar narkoba misalnya maka anak akan
berakibat merusak masa depannya.
Menyikapi kasus ini, selayaknya disekolah seorang guru dapat memberikan kasih
sayang, maka anak akan merasa diperhatikan dan dilindungi. Pada kondisi ini, guru
semestinya berlaku bijaksana, mendengarkan masalah yang dihadapi anak,
memberikan nasihat dan mungkin menyadarkan tindakan yang dilakukan anak atau bahkan
berupaya menjembatani permasalahan anak dengan orang tuanya.
d. Guru Sebagai Figur Teladan
Kasih sayang harus tergambarkan dalam perilaku ayah-ibu mereka, kasih sayang itu
harus terlihat dalam pelukan, senyuman, bahkan dalam nada bicara orang tua mereka. Kasih
sayang harus terwujud melalui perilaku secara kongkret atau tidak hanya bicara "saya
menyayangi" atau "saya mencintai". Kasih sayang yang terwujud melalui perilaku, di
samping secara psikologis akan dirasakan anak, juga perilaku itu akan menjadi contoh atau
teladan apalagi anak yang menginjak remaja. Anak remaja memerlukan kasih sayang dengan
kadar yang lebih besar dalam bentuk yang kongkret, ia masih hidup dalam lautan
kebimbangan dan masa-masa yang sangat kritis.
Seorang guru yang ramah, hangat dan selalu tersenyum, tidak memperlihatkan muka
kusam atau kesal, merespon pembicaraan atau pertanyaan anak didik, akan menumbukan
kondisi psikologis yang menyenangkan bagi anak. Anak tidak berbicara, dapat merencanakan
isi hatinya saat menghadapi masalah dan anak akan senang melibatkan diri dalam kegiatan
disekolah. Perilaku anak didik yang terbentuk ini pada dasarnya merupakan hasil dari
mencontoh atau meneladani perilaku yang diperlihatkan pendidik dengan penuh kasih
sayang.
e. Guru Sebagai Sumber Pengetahuan
Dalam proses pembelajaran dimana terjadi transformasi pengetahuan, sikap memberi
dan melarang semestinya dilakukan dengan hati-hati terhadap anak didik. Pengetahuan dapat
merubah sikap dan prilaku anak, perubahan dapat positif apabila pengetahuan yang diterima
anak sesuai dengan hati-hati terhadap anak didik. Pengetahuan dapat merubah sikap dan
perilaku anak sesuai dengan masanya dan sebaliknya apabila tidak sesuai akan membentuk
perilaku anak yang negatif. Misalnya, pendidikan seks yang di berikan guru dengan
tidak hati-hati akan berdampak pada perilaku anak yang salah tentang kehidupan seks. Oleh
karena itu, seorang guru dalam menyampaikan pengetahuan harus didasari oleh kasih sayang.
Sadulloh (2011, hlm. 163) Beberapa hal yang mungkin terjadi apabila guru tidak hatihati dalam menyampakain pengetahuan:
1) Akan merusak jalinan kasih sayang di antata guru dan anak didil. Anak mulai meragukan dan
bahkan mungkin menganggap guru tidak dapat mengajar dengan baik.
2) Anak akan belajar pada sumber lain yang apabila tidak dibimbing tidak menutup
kemungkinan menghasilkan perilaku yang tidak diharapkan.
3) Kurangnya bimbimngan dari guru sebagai pendidik akan menumbuhkan perilaku yang tidak
bertanggung jawab atas perbuatanya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kasih sayang memegang peranan penting, tidak
hanya dilingkungan keluarga,tetapi seharusnya di sekolah, guru sebagai pengganti orang tua
menumbuh kembangkan hubungan kasih sayang dengan anak didiknya. Dengan ketulusan
dan rasa kasih sayang guru, anak didik akan merasa senang mengikuti proses pendidikan
disekolah dan tujuan pendidikan akan mudah diwujudkan. Di masyarakat, kasih sayang

dapat merupakan cerminan kasih sayang yang diperoleh anak akan berguna dan dapat
beradaptasi dalam masyarakat dengan baik.
B. Kewibawaan dalam Pendidikan
Guru sebagai pendidik harus memiliki kewibaan, baik dalam pembelajaran di dalam
kelas ataupun kegiatan lain di luar kelas. Kewibawawan mempunyai peranan penting dalam
usaha menentukan dan merumuskan tujuan hakiki dan arti pendidikan.

1. Makna Kewibawaaan
Ciri utama pendidik adalah adanya kewibawaan yang terpancar dari dirinya terhadap
anak didik. Pendidik harus memiliki kewibawaan (kekuasaan batin mendidik) menghindari
penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan yang semata-mata didasarkan kepada unsur
wewenang jabatan. Kewibawaan merupan suatu pancaran batin yang dapat menimbulkan
pada pihak lain sikap untuk mengetahui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian
atas pengaruh tersebut.
Sadulloh (2011, hlm. 164) mengemukakan bahwa kewibawaan adalah suatu
pengaruh yang diakui kebenaran dan kebesarannya, bukan sesuatu yang memaksa.
Kewibawaan harus berbanding denganketidak berdayaan anak didik, jika pendidik
kemampuannya tidak berbeda dengan anak didik, maka kewibawan tersebut sukar
ditegakkan. Dengan demikian kewibawaan seorang pendidik akan diakui apabila pendidik
mempunyai kelebihan dari anak didiknya baik sikap, pengetahuan maupun keterampilannya.
Kewibawaan hanya dimiliki oleh manusia yang sudah dewasa, suatu kedewasaan
rohaniah yang didukung kedewasaan jasmaniah. Kewibawaaan jasmaniah tercapai apabila
seseorang telah mencapai puncak perkembangan jasmani yang optimal. Kedewasaan
rohaniah tercapai apabila seseorang telah memiliki cita-cita hidup dan pandangan hidup yang
tetap. Bagi seorang pendidik melaksanakan cita-cita dan pandangan hidupnya secara nyata
berlangsung melalui statusnya sebagai orang tua maupun sebagai pendidik pengganti orang
tua (guru misalnya).
Kewibawaan itu ada pada orang dewasa terutama pada orang tua (ayah dan ibu) dan
itu merupakan kewibawaan asli. Orang tua dengan langsung memberikan tugas dari Allah
untuk mendidik anak-anakanya. Orang tua mendapatkan haknya untuk mendidik anakanaknya, suatu hak yang yang tidak dapat dicabut karena terikat oleh kewibawaan. Hak dan
kewajiban yang melekat pada orang tua dalam mendidik anak-anaknya tidak dapat
dipisahkan.
Pendidik harus memiliki kewibawaaan di mata anak didik, karena anak didik
membutuhkan perlindungan, bantuan, bimbingan dan seterusnya dari pendidik, dan pendidik
bersedia untuk memenuhinya. Pendidik dapat memenuhi kebutuhan anak didik tersebut
sepangjang terjadi hubungan harmonis antara keduanya, sehingga selama itu pula terdapat
pengakuan akan adanya kewibawaan pendidik oleh anak didik.
Kewibawaan adalah suatau daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang,
sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia, secara sadar dan suka rela menjadi tunduk
dan patuh padanya. Jadi barang siapa yang memiliki kewibawaan, akan dipatuhi secara sadar,
dengan tidak terpaksa, dengan tidak merasa diharuskan dari luar, dengan penuh kesadaran,
keinsyafan, tunduk, patuh, menuruti semua yang dikehendaki oleh pemiliki kewibawaaan itu.

Anak kecil (sampai usia 3 tahun) belum mengenal kewibawaaan, artinya anak kecil
belum dapat tunduk kepada sesuatu pengarauh atas kesadaran dan kerelaan sendiri. Misalnya
anak kecil yang menuruti perintah ibunya, bukan karena si kecil tadi sadar atau insaf akan
perlunya menuruti atau mematuhi wibawa dan pengaruh ibunya, tetapi karena terdorong oleh
perasaan takut akan muka yang muram dari ibunya atau karena ibunya meninggalkan dirinya
sehingga dengan begitu anak melakukan segala perintah ibunya. Pada anak kecil belum ada
kesadaran akan kepentingan larangan atau anjuran dari si ibu, tetapi karena pigur atau atau
person ibu tersebut.
Pengenalan dan pengakuan terhadap wibawa membutuhkan bahasa, sehingga
pengenalan dan pengakuan wibawa itu berjalan sejajar dengan tumbuhnya memahami bahasa
pada kanak-kanak. Bahasa merupakan tempat pertemuan anatara pendidik dan anak didik.
Dengan bahasa anak didik dapat mengerti apa arti anjuran dan larangan pendidik, sehinga
dengan demikian dapatlah dikenal dan diakui berwibawa.
Apabila orang tua tiadak menggunakan kesempatan untuk bertemu dengan anak di
dalam bahsasa, artinya bila orang tua tidak pernah memberikan anjuran dan larangan kepda
anak, atau kalau orang tua tidak pernah menggunakan wibawa yang ada padanya, maka dapat
mengakibatkan anak mempunyai sikap yang tidak dapat didekati, anak akan menjadi asing
terhadap kekerasan anak, menjadi tidak dapat lagi dinasehati atau didekati.
Sebaliknya apabila orang tua terlalu banyak menggunakan kesempatan bertemu
dengan anak dalam bahasa, terlalu banyak memberi banyak nasehat, anjuran, atau larangan,
akan memberi akibat yang dapat merugikan dalam pendidikan. Hal ini dapat menjadikan
anak didik bersikap ragu dalam segala hal, tidak dapat menentukan jalan mana yang hendak
ditempuhnya. Dan dapat pula membuat anak didik menjadi acuh tak acuh, atau besikap
mengelakan diri sebagai pernyataan protes, karena anak merasakan nasihat atau anjuran dan
larangan yang berlebihan sebagai suatau tuntutan yang sukar untuk dilaksanakan.
Menghadapi situasi di mana anak didik menunjukan sikap menentang atau protes
sebagia suatu pernyataan bahwa anak telah menemukan dirinya, telah mempunyai keinginan,
telah mempuyai kemapuan sendiri, seakan-akan orang tua kehilangan kewibawaannya,
adalah tidak bijaksana bila berlaku keras terhadap anak didik. Karena dengan sikap keras
hanya akan menghancurkan benih-benih kesadaran akan kewibawaan yang mulai mulai
tumbuh pada diri anak.
2. Awal Penerimaan Kewibawaaan oleh Anak
Apa yang telah dibicarakan tadi adalah kewibawaan di dalam hubungannya dengan
pendidik. Pembicaraan ini akan lengkap, apabila kita juga berbicara tentang kewibawaan
dalam kaitannya dengan anak didik dalam arti kapankah anak bisa menerima kewibawaan
pendidik? Betapapun besarnya kewibawaan pendidik, tidak ada gunanya, bilamana
kewibawaan itu sama sekali tidak dihayati oleh anak didiknya. Karena ada kemungkinan
anak didik tidak mengakui dan menghayati kewibawaan pendidiknya. Bagi anak kecil yang
belum mengenal bahasa, belum dapat menuruti apapun yang dikemukakan oleh orang tua
dengan bahasa.
Kewibawaan itu menentukan bentuk perlakuan yang harus diikuti serta menghalangi
atau menolak yang tidak dikehendaki. Seandainya hal terkahir ini hanya dapat dilakukan
dengan pembuktian atau atas dasar keterikatan pada pribadi pendidik ataupun dengan
paksaan, maka si anak akan tetap tinggal tak terdidik. Sebab itu kewibawaan merupakan
syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk mendidik.

Dari manakah anak didik mendapatkan keberanian moal untuk mencoba menjalankan
dan menuruti kewibawaan? Mereka mendapatkannya dalam rsa kasih sayang yang menjadi
pengikat bagi mereka. Dalam kasih itu anak didik yang tidak berdaya menurut kodratnya itu
menaruh (mencurahkan kepercayaannya), yang karena kemurniaannya menjadi pendorong
dan pemberi semangat bagi pendidik untuk melakukan tugsnya serta memeberi kepadanya
keyakinan akan kesanggupan diri sendiri.
Anak sudah memiliki kontak dengan orang tua tetapi kontak itu bukan melalui
bahasa, melainkan melalui perasaan. Pemebentukan tingkah laku anak bukan hanya dengan
pendidikan, melainkan dengan pembiasaan. Pembiasaan adalah pembentukan tingkah laku
pada anak, dengan usaha menguasai insting anak, misalnya melatih anak supaya bangun pagipagi, dengan jalan membangunkannya setiap pagi.
Di dalam arti luas, pendidikan itu mencakup tindakan diatas, tetapi dalam arti sempit,
pendidikan baru dimulai setelah anak menghayati kewibawaan pendidik, seperti dikatakan
oleh Langeveld dalam buku Sadulloh (2010, hlm.168), bahwa pendidikan itu baru dapat
dimulai, apabila anak sudah mengakui atau menghayati kewibawaan orang tua atau
pendidiknya, dan anak dapat mengakui kewibawaan pendidiknya, apabila anak sudah
memahami (mengerti) bahasa. Anak baru dipandang mengerti bahasa apabila anak sudah
berumur 3 tahun.
Karena itulah Langeveld berpendapat, bahwa pendidikan anak yang sesungguhnya
baru dimulai pada umur 3 tahun. Kalau ada usaha pendidikan yang dimulai atau diberikan
sebelum anak berusia 3 tahun, ini disebutnya dengan pendidikan pendahuluan. Dalam
pendidikan pendahuluan ini, karena anak belum mengenal dan mengakui kewibawaan, maka
boleh menggunakan rasa takut, atau peringatan, agar anak mau menuruti apa yang
dikehendaki atau yang dilarang oleh pendidik.
Seperti telah dikemukakan bahwa, anak yang masih kecil belum dapata dikatakan
memilki sifat penurut. Yang terjadi dengan mereka itu ialah ketularan. Mereka melakukan
sesuatu karena takut akan muka marah ayah atau ibu, yang berarti penjauhan diri oleh ayah
atau ibu. Hal demikian menyinggung sesuatu yang amat halus pada si anak,
ketergantungannya dan keinginannya akan keselamatan terganggu, sekurang-kurangnya ia
merasa terancam akan terlepas dari lingkungan kasih saying orang tua, yang menuru
pengalamannya melindungi dirinya selama ini. Oleh karena itu, pada saat belum adanya
penyadaran hubungan kewibawaan dalam arti anak belum bisa menerima kewibawaan
pendidik, upaya pembiasaan dan kekuatan (dresser) dapat dilakukan terhadap diri anak.
3. Kewibawaan dan Penerimaan Norma oleh Anak
Kalau anak sudah dapat mengakui kewibawaan pendidik, maka dapatlah dimulai
pendidikan yang sesungguhnya, anak mulai dapat dikenalkan dengan norma yang
sesungguhnya. Anak bukan sekedar harus berbuat yang sesuai dengan norma secara paksa
tanpa mengetahui normanya, melainkan norma itu sendirilah yang diperkenalkan kepada
anak didik. Kepada anak diperkenalkan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang
buruk, dengan contoh larangan, nasihat, dongeng, teladan, dan lain-lain.
Agar anak mengikuti norma tertentu, maka pendidikanlah yang harus pertama kali
menjadi perwujudan dakam dirinya dari norma tersebut. Apabila pendidik menginginkan
anak didiknya bangun pagi-pagi, maka pendidikan harus punya kebiasaan bangun pagi pula,
sebab anak itu sifatnya suka meniru, terlebih-lebih meniru tingkah laku tokoh yang, menjadi
idolanya, atau siapa yang menjadi pujaannya.

a.

b.
c.

d.

1)
2)

4.

Untuk mendidik anak harus dimulai dari pendidik itu sendiri (ibdabinafsika), untuk
mengajarkan pengetahuan, pendidik harus terlebih dahulu berpengetahuan, untuk mendidik
moral/hati pendidik terlebih dahulu harus bermoral dan berhati nurani. Bagi pendidik harus
ada kesesuaian antara kata dan perbuatan, seperti firman Allah: Hai orang-orang yang
beriman mengapa kamu katakan sesuatu padahalkamu tidak melakukannya, besar sekali
murka disisi Allah bagi orang yang mengatakan sesuatu padahal ia sendiri tidak
melakukannya (QS. As-Shaf: 2-3)
Sifat anak didik menghadapi norma juga terpengaruh oleh hadir tidaknya pendidik.
Misalnya pendidik (orang tua) memberi peraturan, siang harus tidur. Jika pendidik ada di
rumah, maka anak akan tidur siang, tetapi jika pendidik tidak berada di rumah, anak tentu
tidak tidur, dan akan bermain-main. Namun gejala semacam ini lama kelamaan akan hilang,
sesuai dengan bertambahnya umur anak. Semakin dewasa anak, maka subyektivitasnya juga
semakin berubah menjadi obyektivitas, artinya anak akan menjalankan dna patuh kepada
norma yang diajarkannya, dengan hadir atau tidaknya pendidik.
Sehubungan dengan penerima norma itu, kiranya perlu di paparkan bagaimana proses
penerimaan norma itu oleh anak. Sadulloh (2011, hlm. 170) menyatakan bahwa tahap-tahap
proses penerimaan norma adalah, sebagai berikut:
Anak menghadapi pendidik sebagai pendukung norma tertentu, yang selalu dilihatnya
melaksanakan norma itu. Pada mulanya anak berpikir, tindakan itu baik, karena dilakukan
oleh pendidiknya, dan tindakan itu adalah tindak baik, karena dilarang oleh pendidik.
Anak kemudian mengerti bahwa tindakan-tindakan itu atau tingkah laku pendidiknya itu
diatur oleh sesuatu yang disebut norma.
Setelah anak dapat melihat norma terlepas dari si pendukung norma, maka tindakan atau
tingkah laku pendidik sebagai pendukung norma, selalu dibandingkan dengan norma yang
diketahui anak, juga dengan peraturan atau norma yang dikatakan oleh pendidiknya itu.
Bila ternyata pendidik mempunyai tingkah laku yang cocok dengan norma yang
dikemukakan atau dinasihatkan, maka anak kan merima norma itu dengan sukarela.
Tetapi bila anak didik tahu bahwa tindakan atau perbutan pendidik itu tidak cocok
bahkan tindakan atau perbuatan pendidik itu tidak cocok atau bahkan bertentangan dengan
norma yang dinasehatkan, maka anak didik akan menolaknya, dan tidak akan melaksanakan
norma itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kewibawaan anak didik
ditandai dengan tumbuhnya kepercayaan. Dimana hal ini merupakan syarat teknik pergaulan
yang juga merupakan model kewibawaan dalam berbagai lingkungan. Dalam lingkungan
pendidikan, menurut Sadulloh (2011, hlm. 170) menyatakan bahwa kepercayaan yang
diberikan oleh pendidik kepada anak didik mempunyai dua arti:
Bahwa keinginan pendidik untuk terus mengikat pribadi anak didik pada dirinya telah dapat
diatasi oleh pendidik.
Bahwa kepercayaan itu merupakan tempat sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan
berkembang.
Kepercayaan merupakan sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan berkembang.
Artinya anak didik mendapatkan kepercayaan itu harus dapat berdiri sendiri, karena pendidik
yakin bahwa ia dapat berdiri sendiri. Kepercayaan itu memberikan dorongan kepada anak
didik agar ia berani dan penuh keyakinan dan keinginan berusaha supaya ia menjadi dewasa.
Mempertahankan Kewibawaan

a.
b.

c.

d.

a.

b.

Pendidik harus mempertahankan kewibawaan yang dimilikinya, sehingga


kewibawaan tersebut harus dipelihara dan dibinany. Langeveld dalam buku Sadulloh (2010,
hm.171) mengemukakan bahwa ada tiga sendi kewibawaan untuk memeliharanya ,
yaitu : kepercayaan, kasih sayang, dan kemampuan mendidik.
Dalam hal kepercayaan, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa dan mampu
mendidik dan juga harus percaya bahwa anak didik dapat dididik. Kasih sayangmengandung
dua makna, yakni penyerahan diri kepada yang dikasih sayangi dan pengendalian terhadap
yang disayangi. Dengan penyerahan diri, pada pendidik timbul kesediaan untuk berkorban
berupa pengabdian dalam bekerja. Pengendalian terhadap yang disayangi bertujuan agar anak
didik tidak dapat berbuat sesuatu yang merugikan dirinya. Kemampuan mendidik dapat
dikembangkan melalui beberapa cara, diantaranya pengkajian terhadap ilmu pengetahuan
khususnya ilmu pendidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, dan lain-lain. Bagi
guru menguasai bahan/materi merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan
kewibawaan.
Selain ketiga hal diatas, Sadulloh (2011, hlm. 171) menyatakan bahwa dalam
mempertahankan kewibawaan tersebut perlu didukung oleh keadaan batin pemilik
kewibawaan (orang dewasa: orang tua, guru dan yang lainnya), yaitu:
Adanya rasa cinta: Kewibawaan itu dapat dimiliki oleh seseorang, apabila hidupnya penuh
kecintaan dengan atau kepada orang lain.
Adanya rasa demi kamu: Demi kamu atau you attitude, adalah sikap yang dapat dilakukan
sebagai suatu tindakan, perintah atau anjuran bukan untuk kepentingan orang yang
memerintah, tetapi untuk kepentingan orang yang diperinta, menganjurkan demi orang yang
menerima anjuran, melarang juga demi orang dilarang.
Misalnya seorang guru yang memerintahkan agar anak didik belajar keras dalam menghadapi
ujian, bukan agar dirinya mendapat nama karena anak didiknya banyak yang lulus, melainkan
agar anak didik mendapatkan nilai yang bagus dan mudah untuk meneruskan sekolahnya.
Adanya kelebihan batin: Seorang guru yang menguasai bidang studi yang menjadi tanggung
jawabnya, bisa berlaku adil dan obyektif, bijaksana, merupakan contoh-contoh yang dapat
menimbulkan kewibawaan batin.
Adanya ketaatannya kepada norma: Menunjukan bahwa dalam tingkah lakunya dia sebagai
pendukung norma yang sungguh-sungguh selalu menepati janji yang pernah dibuat, disiplin
dalam hal-hal yang telah digariskan.
Selanjutnya Sadulloh (2011, hlm. 172) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan
kewibawaan, pendidik hendaknya memperhatikan beberapa faktor berikut:
Perkembangan anak sebagai pribadi. Pendidik hendaknya mengabdi kepada perkembangan
anak, mengembangkan seluruh pribadi anak, intelektualnya, emosinya, dan spiritualnya.
Anak yang seluruh potensi dan kemampuannya berkembang secara optimal akan menjadikan
anak tersebut sebagai manusia mandiri.
Pendidik memberi kesempatan pada anak untuk berinisiatif, anak melakukan kegiatan atas
inisiatif sendiri. Makin berkembang anak, memberi inisiatif padanya makin besar dan luas,
dan akhirnya diharapkan segala perbuatannya atas dasar inisiatif sendiri, bukan atas perintah
orang lain, dalam hal ini pendidik. Anak harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
melatih diri bersikap patuh, sehingga kepatuhan anak terhadap peraturan akan didasarkan atas
pertimbangan nuraninya sendiri, tidak karena paksaan atau pengaruh oranglain.

c.
5.

a.

b.

c.

d.

Kewibawaan dilaksanakan atas dasar kasih sayang pada anak. Pendidik berbuat sesuatu demi
kepentingan anak didik, mengabdi kepada anak didik, bukan untuk kepentingan pendidik.
Mengurangi Kewibawaan dalam Pendidikan
Pendidik lama kelamaan harus mengurangi kewibawaannya, hal ini berarti, bahwa
semakin lama anak harus diberi kesempatan untuk berdiri sendiri. Anak harus semakin diberi
kesempatan mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri. Pada akhirnya, bila anak
sudah dewasa, kewibawaan pendidik harus sudah dihilangkan sama sekali. Jika tidak
demikian, justru dapat timbul konflik antara pendidik dan anak didik, sebab yang sudah
dewasa itu akan merasa diinjak kedewasaannya, merasa dilanggar pribadinya.
Kewibawaan yang dimiliki pendidik, pada suatu saat akan mengalami masa-masa
krisis, kadang tampak melemah, tampak goyah. Maka, menjadi tugas pendidik sendiri untuk
tetap menegakkan kewibawaannya yang dimilikinya itu. Sadulloh (2011, hlm. 173)
menyatakan bahwa agar kewibawaannya yang dimiliki oleh pendidik tidak goyah, tidak
melemah, maka hendaknya pendidik itu selalu:
Bersedia memberi alasan.
Pendidik harus siap dengan alasan yang mudah diterima anak didik supaya berlaku begini,
mengapa pendidik melarang anak didik, mengapa pendidik memberikan nasihat begitu,
penjelasan hendaknya singkat dan dapat diterima anak dengan jelas, menggunakan bahasa
yang sesuai dengan perkembangan anak. Dengan adanya kejelasan ini, akan membuat anak
didik menerima semuanya penuh dengan kerelaan dan kesadaran.
Bersikap demi kamu (You Attitude).
Pendidik selalu harus menunjukkan sikap demi kamu (you attitude). Sikap ini tidak perlu
ditonjolkan, tetapi harus dengan jelas nampak kepada anak, atau mudah diketahui oleh anak.
Pendidik menuntut anak didik, menasihati, melarang memerintah berbuat itu, semuanya demi
anak didik sendiri bukan untuk kepentingan pendidik.
Bersikap sabar.
Pendidik harus selalu bersikap sabar, memberi tenggang waktu kepada anak didik untuk mau
menerima perintah dan nasihat yang diberikan oleh pendidik. Mungkin pendidik harus
memberikan nasihatnya berkali-kali kepada seorang anak, pendidik dituntut kesabarannya
sungguh-sungguh, tidak boleh lekas putus asa. Putus asa adalah sikap yang salah.
Bersikap memberi kesabaran.
Semakin bertambah umur anak didik, atau semakin menuju dewasa, pendidik hendaknya
semakin memberi kebebasan, memberi kesempatan kepada anak didik, agar belajar berdiri
sendiri, belajar bertanggung jawab, dan belajar mengambil keputusan, sehingga pada
akhirnya anak tidak lagi memerlukan nasihat dalam kewibawaan melainkan anak diberi
kebebasan untuk memilih mana yang paling baik sesuai dengan pilihan hati nuraninya, pada
saat itulah anak mencapai kedewasaannya, dan pada saat itu pulalah kewibawaan pendidik
berakhir.

C. Tanggung Jawab
Manusia adalah makhluk yang mempunyai tanggung jawab dan kewajiban. Setiap
manusia mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain terutama terhadap orang-orang
yang berada di bawah kekuasaannya.
1. Pengertian Tanggung Jawab
Dalam pergaulan sehari-hari bertanggung jawab pada umumnya diartikan sebagai
berani menanggung resiko (akibat) dari suatu tindakan/perbuatan yang di lakukan. Atau

sering pula diartikan sebagai berani mengakui suatu perbuatan/tindakan yang telah dilakukan.
Pengertian tanggung jawab tersebut belum cukup, karena yang bersangkutan tidak pernah
memikirkan apakah perbuatan/tindakannya sesuai dengan nilai-nilai susila yang berlaku
dalam kehidupan bersama manusia yang sopan dan beradab.
Untuk memperjelas pengertian bertanggung jawab, mari kita ikuti contoh cerita
berikut ini. Seseorang tanpa sebab apapun tiba-tiba melempari kaca-kaca tetangganya hingga
hancur berantakan. Penghuni rumah tersebut segera keluar dan memanggil si pelaku
pelemparan. Sipelakupun segera menghampiri sipenghuni rumah tersebut dan berkata bahwa
dialah yang melempari kaca-kaca jendela tadi serta berani menanggung resiko segala
perbuatannya baik jika dilaporkan kepada polisi atau diharuskan mengganti kerugian kacakaca yang pecah tadi, dan semuanya akan ia lakukan. Apakah perbuatan semacam itu
merupakan suatu pernyataan dari bertanggung jawab? Seandainya perbuatan dari melempari
kaca-kaca jendela tadi dilandasi oleh alasan tertentu, misalnya sipenghuni rumah suka
menghina, apakah perbuatan tersebut dapat digolongkan perbuatan dengan penuh tanggung
jawab? Untuk dapat menggolongkan tindakan atau perbuatan ke dalam tindakan yang
bertanggung jawab atau bukan, terlebih dahulu harus menentukan apa pengertian
bertanggung jawab itu.
Sadulloh (2011, hlm. 176) mengemukakan bahwa bertanggung jawab dimaksudkan
sebagai suatu keadaan dimana semua perbuatan atau tindakan atau sikap merupakan
penjelmaan dari nilai-nilai moral serta nila-nilai luhur kesusilaan dan atau keagamaan. Bisa
juga dikatakan bahwa bertanggung jawab berarti dapat di dakwa berdasarkan nilai-nilai moral
dan susila maupun nilai agama. Dengan kata lain bertanggung jawab berarti berada dalam
tatanan norma,nilai kesusilaa, dan agam dan tidak diluarnya. Segala tindakan ,perbuatan atau
sikap yang berada di luar bidang nilai atau norma kesusilaan dan agama tidak dapat di
pertanggung jawabkan.
Dari contoh diatas, bahwa seseorang yang bertanggung jawab tidak akan melakukan
tindakan atau perbuatan atau sikap yang bertentangan atau melanggar nilai-nilai susila
maupun agama.
2. Tindakan yang Berkaitan dengan Bertanggung Jawab
Di kelas seorang guru harus seorang yang bertanggung jawab. Seorang guru harus
bertanggung jawab terhadap tugasnya sebagai guru, yaitu mendidik dan mengajar anak-anak
yang telah di percayakan orang tua anak kepadanya. Sekarang sudah ada Undang-Undang No
14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen yang merupakan suatu landasan moral bagi guru
untuk menjalankan tugasnya secara professional. Oleh karena itu guru yang bertanggung
jawab senantiasa akan berbuat dan bertindak tidak keluar dari undang-undang tersebut.
3. Tanggung Jawab dalam Pendidikan
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Di sekolah guru merupakan pendidik yang bertanggung jawab dalam membimbing
anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Bagian akhir dari tujuan pendidikan nasional
adalah warga negara yang bertanggung jawab. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya,

a.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

b.

manusia dapat dilihat dari dua aspek,yaitu: 1). Manusia sebagai makhluk tuhan 2). Manusia
dalam hubungannya dengan sesame manusia dan alam.
Manusia Sebagai Makhluk Tuhan
Manusia sebagai makhluk Tuhan berkewajiban untuk melaksanakan segala perintah-Nya
dan segala larangan-Nya. Dalam ajaran islam ada tiga inti ajaran islam, yaitu : Iman, Islam,
dan Ihsan. Dalam hal ini Allah telah memberi petunjuk melalui Al-Quran san Sunnah
,bagaimana manusia harus beriman (ingat rukun iman), bagaimana manusia harus
menjalankan syariat islam (ingat rukun islam) dan bagaimana manusia harus berbuat baik
,dalam berbuat baik kepada Allah, kepada sesame manusia, maupun berbuat baik kepada
makhluk lain (misalnya hewan), serta berbuat baik kepada alam dan lingkungannya, manusia
sama sekali tidak boleh merusak alam (menjarah hutan, merusak keseimbangan kehidupan).
Menurut akal dan dan agama,manusia wajib mengertahui mengenal dan mengetahui
pencipta alam, yang merupakan pemilik dan pemberi kenikmatan kepada seluruh makhluk
dan tunduk serta beribadah kepada-Nya. Manusia wajib tunduk dan menerima perintahperintah-Nya yang di turunkan dengan perantaraan nabi, dan mengamalkannya dalam
kehidupannya. Tanggung jwab manusia terhadap Tuhannya, yakni menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu.
Seorang mukmin mempunyai tujuh kewajiban yang harus dilaksanakan atas mukmin
lainnya dan jika salah satu dari kewajiban tersebut diabaikan, maka dia telah keluar dari
kepemimpinan Allah ,sudah tidak taat lagi kepada-Nya dan tidak lagi memiliki bagian dari
kepemimpinan Allah. Ketujuh kewajiban tersebut adalah:
Apa yang engkau sukai untuk dirimu, maka engkau juga harus sukai bagi saudaramu dan apa
yang engkau benci untuk dirimu maka engkau juga harus benci untuknya.
Engkau harus membantunya dengan diri,harta,lidah,tangan dan kakimu.
Mengikuti keinginannya, menghindari kemarahannya, dan menuruti perintahnya.
Menjadi mata,petunjuk dan cermin baginya.
Jangan engkau kenyang sementara dia kelaparan atau kehausan, dan jangan engkau
berpakain sementara dia telanjang.
Jika kamu punya pembantu sementara dia tidak, maka kamu kirim pembantumu supaya
mencucikan pakainnya, memasakan makanannya,dan menghamparkan permandiannya.
Membenarkan kesaksiannya, memenuhi undangannya, menjenguknya manakala sakit, dan
mengurusi jenazahnya. Jika ia mempunyai keperluan ,maka segeralah ,memenuhinya dan
jangan paksa ia sampai meminta-minta darimu.
Seorang guru sebagai pendidik di sekolah sudah seharusnya memahami nilainilai/norma-norma agama dan sekaligus sudah dapat melaksanakannya dalam segala aspek
kehidupannya.
Manusia dalam Hubungannya dengan Sesama Manusia dan Alam
Manusia mempunyai kecenderungan kepada masyarakat dan kehidupan sosial.
Kehidupan sosial manusia memiliki sebuah bentuk hubungan khusus, dia tidak akan dapat
memenuhi segala kebutuhannya dengan tanpa kerja sama dan keikutsertaan yang lain.
Berbagai aktivitas manusia memiliki esensi sosial ,dan oleh karena itu mau tidak mau mereka
harus membagi pekerjaan diantara mereka. Sehingga dengan begitu mereka dapat
memberikan manfaat kepada yang lain dan sekaligus mengambil manfaat dari mereka.
Berkaitan dengan hak dan kewajiban, tercermin manusia berbagai tanggung jawab manusia
seperti :

1. Tanggung jawab manusia terhadap keluarga


Allah SWT telah berfirman didalam Al-Quran, Wahai orang-orang yang beriman,
perihalah dirimu dan keluagamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
baku penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa-apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan-Nya (Q.S. At-Tahrim : 60). Rasullah saw telah bersabda , Sebaik-baiknya
kamu ialah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling
baik terhadap keluargannya.
2. Tanggung jawab terhadap sanak kerabat
Rasulullah saw bersabda aku berpesan kepada umatku baik yang hadir maupun yang
tidak hadir, maupun mereka yang kini masih berada dalam tulang suylbi atau rahim ibu
mereka hingga hari kiamat, hendaklah mereka menjalin silaturahmi dengan sanak kerabat
mereka karena silaturahmi merupakan bagian dari agama.
3. Tanggung jawab terhadap tetangga
Rasulullah saw telah bersabda Siapa yang menghianati tetangganya meskipun hanya
sejengkal tanah maka Allah akan jadikan tanah itu hingga tingkat ketujuhnya sebagai tali
pelana dilehernya hingga Allah menghinakannya pada hari kiamat, kecuali jika ia bertobat.
Siapa saja yang menyakiti tetanggnya maka Allah haramkan wangi surga baginya dan
tempatnya adalah neraka Jahannam dan itulah seburuk-buruknya tempat.
4. Tanggung jawab terhadap ayah dan ibu
Allah SWT telah berfirman didalam Al-Quran Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali kali kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentuk mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya
sebagaimana mereka telah mendidik aku waktu kecil. (Q.S.Al-Isra :23-24).
5. Tanggung jawab terhadap anak
Kebaikan dan keburukan anak di dunia ini akan dikaitkan dengan orang tuanya. Engkau
juga berkewajiban membantunya dalam masalah akhlak yang baik ,mengenal Allah dan
ketaatan kepada-Nya. Maka berkenaan dengan anak hendaklah engkau seperti orang yang
yakin akan mendapat pahala jika berbuat kebajikan kepadanya dan mendapat siksa jika
berbuat jelek kepadanya.
Selain itu masih terdapat berpuluh-puluh tanggung jawab social lainnya, seperti tanggung
jawab pemerintah terhadap rakyat dan tanggung jawab rakyat terhadap pemerintah, tanggung
jawab orang kaya terhadap orang miskin dan tanggung jawab orang miskin terhadap orang
kaya, tanggung jawab ulama terhadap masyarakat dan tanggung jawab masyarakat terhadap
ulama, tanggung jawab atasan terhadap bawahan dan tanggung jawab bawahan terhadap
atasan, tanggung jawab yang tua terhadap anak-anak dan para muda dan sebaliknya,
tanggung jawab diantara teman, tanggung jawab kaum muslimin, tanggung jawab terhadap
anak yatim dan para janda, tanggung jawab terhadap orang-orang cacat dan para lansia dan
tanggung jawab guru terhadap murid dan tanggung jawab murid terhadap guru.
6. Tanggung jawab manusia terhadap alam

Manusia di takdirkan oleh Allah sebagai Khalifah dimuka bumi. Sebagai khalifah manusia
harus mampu mengelola alam khususnya bumi dimana manusia tinggal. Allah swt telsh
menciptsksn slsm ini dsn memberiksn kemampuan kepada manusia untuk menyingkap
berbagai rahasia alam, dan memanfaatkannya untuk membangun alam dan kehidupan yang
lebih baik.
Allah swt. telah menciptakan langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada padanya, seperti
gunung ,sungai dan berbagai macam bahan tambang dan benda logam, berbagai jenis pohon
dan tumbuhan ,dan berbagai jenis binatang daratan maupun lautan, baik yang jinak maupun
yang luas untuk di manfaatkan oleh manusia, Allah swt. telah menciptakan alam semesta
dengan susunan yang sangat teliti.
Hal tersebut merupakan tanggung jawab yang besar pada pundak manusia. Oleh
karena itu, manusia harus menghargai nikmat Allah dan menggunakannya pada tempatnya.
Seandainya manusia tidak memeliharanya, tidak menjaga system lingkungan akan timbul
bencana bagi kehidupan manusia itu sendiri dan segala bencana itu merupakan peringatan
dari Allah kepada manusia.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kasih Sayang, Kewibawaan, dan Tanggung Jawab Pendidikan, merupakan ruh dari
pendidikan, tidak dapat di pisahkan satu sama lainya . ketiga hal tersebut dapat dikatakan
merupakan prasyarat dalam melaksanakan pendidikan. Pada praktiknya, ternyata menerapkan
kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab dalam proses pendidikan tidak mudah,
banyak hambatan dan kendala yang dihadapi pendidik, baik berkaitan dengan pemahaman
maupun kemampuan pendidik.
B. SARAN
A.

Kita sebagai calon pendidik hendaknya mempunyai rasa kasih sayang karena tanpa kasih
sayanag anak akan berkembang menurut kemauanya sendiri, maka dari itu seorang calon
pendidik harus mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak didiknya. Seorang guru harus
memilki kewibawaan tapa kewibawaan pendidik akan kehilangan kepercayaan dari anak
didiknya. Seorang pendidik harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap
tugasnya sebagi guru yaitu mendidik dan mengajar anak-anak yang telah dipercayakan orang
tua anak kepadanya.

Daftar Pustaka
Sadulloh, Uyoh. (2011). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: ALFABETA
Link :
https://panjirifat.blogspot.co.id/2016/06/makalah-kasih-sayang-kewibawaan-dan_29.html

Anda mungkin juga menyukai