Anda di halaman 1dari 7

PEMANFAATAN DAN PERANCANGAN KAWASAN TEPI AIR SUNGAI TERPADU DAN

BERKELANJUTAN
Pengantar
Kota akan selalu mengalami perkembangan baik secara fisik maupun non fisik. Perkembangan kota
merupakan konsekwensi logis dari proses "urbaniasi dalam arti yang sangat luas. Pertambahan penduduk kota di
satu sisi, serta peningkatan jumlah fasilitas fisik kota merupakan suatu faktor yang mendorong perkembangan kota
semakin pesat. Tuntutan akan pemenuhan fasilitas kota serta adanya "keterbatasan lahan di perkotaan,
menyebabkan pemanfaatan ruang kota mengalami dilema dalam pengendaliaannya. Alih fungsi ruang kota dan
semakin tidak terkendalinya pemanfaatan kaasan-kawasan yang "tidak terawasi seperti Kawasan Tepi Air Sungai
(KTAS) atau yang lebih umum dengan istilah bantaran / stren sungai (baca; wilayah sempadan tepi air sungai),
merupakan salah satu masalah dihadapi oleh kota yang memiliki daerah aliran sungai.
Pemanfaatan KTAS pada saat ini mengalami kecenderungan tidak terkontrolnya penggunaan ruang,
kepadatan, serta fungsi ekologis yang mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan fisik serta kualitas air sungai.
Pemukiman kumuh di sepanjang KTAS merupakan suatu pemandangan yang "biasa dan pada akhirnya
menimbulkan masalah yang sangat serius dalam upaya pemanfaatannya. Kawasan TAS, khususnya daerah bantaran
sungai dalam pengendaliannya menghadapi masalah yang serius seperti; Kepadatan bangunan yang tinggi dengan
prasarana lingkungan yang minim; Kualitas visual yang terkesan "kumuh; Kerawanan terhadap bahaya banjir dan
tanah longsor; serta Pembuangan sampah rumah tangga yang mencemari sumber daya air sungai dan lain-lain.
Keadaan ini terjadi antara lain karena upaya perencanaan, perancangan, serta pengendalian pemanfaatan KTAS yang
masih sektoral. Upaya-upaya penataan kawasan yang sudah terlanjur "kumuh ini permasalahannya bukan hanya
sekedar perancangan fisik ruang saja tetapi justru permasalahan lingkungan dan sosial merupakan masalah krusial
yang sulit untuk diatasi dalam waktu yang relatif singkat.
Dalam upaya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan dalam pemanfaatan KTAS, diperlukan
pemahaman dan penanganan semua aspek yang menyertai secara komprehensif. Upaya penataan KTAS sebagai
suatu bentuk upaya intervensi fisik harus memperhatikan keberlanjutan kehidupan sosial, budaya serta ekologis
kawasan. Keberlanjutan pembangunan (sustainable development) sebagai suatu konsep penataan (intervensi fisik
berupa rancang bangun kawasan) kelihatannya merupakan salah satu solusi yang mampu menjembatani berbagai
kepentingan pembangunan di KTAS. Pembahasan dalam makalah ini akan ditekankan pada menghasilkan prinsipprinsip disain KTAS sesuai dengan peruntukan fungsi kawasan yang diperkenankan, dengan memperhatikan
konsepsi keberlanjutan pembangunan sebagai mainset. Kerangka acuan perancangan unsur fisik KTAS mengacu
kepada unsur-unsur perancangan kota seperti diungkapkan oleh Hamid Shirvani (1985) dalam bukunya Urban
Design Process.
Permasalahan yang sering muncul dalam upaya pemanfaan KTAS adalah bangaimana arahan atau prinsipprinsip disain untuk fungsi tertentu di KTAS yang mampu menjaga kelestarian lingkungan TAS. Dengan tetap
mengacu kepada ketentuan perundangan yang berlaku serta pendekatan-pendekatan perancangan kawasan
diharapkan prinsip-prinsip disain kawasan dapan memberikan arahan yang lebih jelas dalam pemanfaatan KTAS.
Upaya penyusunan prinsi-prinsip perancangan ini harus dibarengi dengan upaya-upaya pelibatan masyarakat di
sekitar KTAS untuk perperan aktif dalam upaya implementasi dan pengendaliannya.

Pemanfaatan KTAS Terpadu dan Keberlajutan


Strategi pembangunan yang hanya mengacu pada paradigma pertumbuhan dan "pemerataan telah terbukti
rentan terhadap masalah-masalah sosial. Menurut Tjokrowinoto (1987) pendekatan pembangunan harus disertai
dengan nilai kelestarian pembangunan atau sustainable development untuk menumbuhkan self sustaining capacity
masyarakat. Ini bermakna bahwa pembangunan harus berpusat pada manusia (poeple-centered development).
Strategi ini akan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Pelaksanaan UU No. 22 tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah, dan UU No. 25 tahun 2000 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai realisasi Otonomi Daerah (OTODA),
berimplikasi pada perubahan paradigma pembangunan di daerah. Pembangunan di daerah, seperti tercantum dalam
pasal 92 UU No. 22 disebutkan bahwa; dalam penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan, Pemerintah
daerah perlu mengikut sertakan masyarakat dan swasta (ayat 1); dan Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana
dimaksud ayat (1), merupakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan. Bila dikaitkan dengan
tiga strategi pembangunan yang dilakukan oleh David C. Korten (1984), yaitu strategi pertumbuhan, basic needs,
dan strategi people-centered development, maka paradigma pembangunan kota saat ini diarahkan pada strategi
pembangunan yang ketiga. Strategi ini merupakan strategi yang mendekati konsep pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development).
Pemahaman sustainable development sebenarnya bukan semata-mata keberlanjutan dalam pemahaman
perubahan social-cultural masyarakat, tetapi keberlanjutan dalam pengertian luas termasuk aspek ekologi
(sustainable environment). Terjaga dan terpeliharanya kualitas lingkungan secara ekologis dan sosial-budaya dan
ekonomi merupakan sasaran yang harus dicapai setiap upaya pembangunan kawasan. Hal ini bermakna bahwa
perubahan atau "intervensi fisik (baca: pembangunan) yang dilakukan harus mampu menjamin dan meminimalkan
cultural-lag dalam arti luas. Perancangan Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) sebagai bentuk "intervensi fisik dalam
upaya pemanfaatan ruang kota juga harus memperhatikan kepentingan tuntutan pengembangan (fungsi ruang),
kelestarian lingkungan serta kepentingan hajat hidup masyarakat di sekitar kawasan.
Konsep sustainability yang digagas oleh kaum environmentalist berawal dari sikap keprihatinan terhadap
konsekwensi jangka panjang terhadap tekanan daya dukung alami (natural support system). Dalam Brundtland
Commission Report yang berjudul Our Common Future, dijelaskan batasan tentang sustainable development
sebagai berikut (Blower, Andrew 1993):
"Sustainable development is defined as development that meet the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs.
Uraian di atas semakin jelas bagi kita bagaimana konsepsi pembangunan yang berkelanjutan menjadi tuntutan yang
semakin mengemuka. Dalam tataran operasional konsepsi keberlanjutan pembangunan sebenarnya masih menuntut
adanya prasyarat keterpaduan baik dalam perencanaan, perancangan, pelaksanaan maupun kontrol operasionalnya.
Pengertian terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih
sektor dalam perencanaan dan perancangan KTAS. Perencanaan terpadu dimaksudkan sebagai suatu upaya secara
terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk
memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi.
Dalam konteks perencanaan pembangunan sumber daya alam yang lebih luas, Hanson (1988) mendefinisikan
perencanaan sumberdaya secara terpadu sebagai upaya secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat
pemanfaatan sistem sumber daya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang

mungkin timbul. Menurut Lang (1986) keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam
hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level), yakni tataran teknis, tataran konsultatif dan koordinasi. Keterpaduan
dalam tataran teknis dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis, ekonomis, dan lingkungan secara
proporsional dalam setiap keputusan perencanaan dan pembangunan kawasan. Pada tataran konsultatif, segenap
aspirasi dan kebutuhan stakeholders atau yang terkena dampak pembangunan hendaknya dilibatkan (participation
approaches) sejak tahap awal perencanaan sampai pelaksanaan. Tataran koordinasi mensyaratkan adanya kerjasama
harmonis di antara stakeholders baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Pemanfaatan KTAS secara terpadu adalah suatu pendekatan pemanfaatan KTAS yang melibatkan dua atau lebih
ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan secara terintegrasi (integrated) guna tercapainya pembangunan
KTAS secara berkelanjutan. Menurut Dahuri, R. (2001), keterpaduan (integrated) pemanfaatan SDA mengandung
tiga dimensi; sektoral (horizontal and vertical integration), bidang ilmu (interdisciplinary approaches) dan
keterkaitan ekologis (ecological linkages).
Mengingat upaya pemanfaatan mengandung makna pengelolaan yang di dalamnya mengandung tiga tahapan
utama; tahap perencanaan, tahap implementasi, tahap monotoring dan evaluasi, maka jiwa keterpaduan perlu
diterapkan sejak tahap perencanaan sampai tahap evaluasi. Pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada tahap
perencanaan dengan menghasilkan prinsip-prinsip perancangan KTAS. Sehingga pembahasan dimensi keterpaduan
bidang ilmu (interdisciplinary approaches) dan keterkaitan ekologis (ecological linkages) lebih dominan.
Kawasan Tepi Air Sungai
Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) meruakan suatu kesatuan area/lahan yang letaknya berbatasan langsung dengan
tepian air sungai, yang masih memiliki pengaruh dominan karakteristik lingkungan tepi air baik secara morfologis,
maupun ekologis. Secara fungsional KTAS sebagai satuan wlayah dan atau bagian wilayah kota mempunyai fungsi
utama sebagai fungsi ekologis. Kaqasan TAS merupakan area konservasi yang diharapkan akan mampu "memfilter
serta melindungi sumber daya air sungai. Pada kenyataannya fungsi ekologis KTAS saat ini sudah mulai hilang
karena pemanfaatan KTAS semata-mata hanya diperuntukan bagi fungsi-fungsi hunian, perdagangan, tanpa
memperhatikan kepentingan-kepentingan kelestarian lingkungan. Hal ini berimplikasi pada kecenderungan
penurunan kualitas visual dan kualitas ekologi lingkungan kawasan.
Upaya-upaya pengendalian serta perlindungan terhadap kualitas lingkungan Tepi Air Sungai (TAS)
sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundangan yang berkaitan
dengan hal tersebut. Peraturan perundangan tersebut seperti diurai pada halaman 3 di depan. Peraturan teknis
mengatur yang pemanfaatan KTAS tertuang dalam Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di
Kawasan Tepi Air, yang dikeluarkan oleh Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum RI tahun 2000.
Walaupun boleh dikatakan terlambat, karena pada saat diterbitkan permasalahan pemanfaatan KTAS di beberapa
kota sudah demikian kronis. Tetapi paling tidak kita dapat gunakan pada upaya-upaya perancangan KTAS ke depan.
Selain perangkat peraturan tersebut, sebenarnya pemerintah lokal (kota dan kabupaten) yang wilayahnya
memiliki aliran sungai, telah mengeluarkan perangkat (perda) yang mengatur tentang pemanfaatan daerah
"bantaran sungai. Walaupun demikian kita juga harus menyadari bahwa permasalahan pengendalian dan penataan
KTAS saat ini bukan hanya masalah teknis penataan fungsi ekologis saja, tetapi justru masalah sosial masyarakat di
KTAS merupakan masalah yang sangat pelik. Sehingga keterpaduan horisontal dan vertikal seperti diharapkan oleh
Dahuri R (2001) harus dilakukan. Dalam tataran operasional kenyataannya perangkat peraturan sebagai
"pengendali belum mampu berperan optimal. Untuk itu diperlukan upaya-upaya kongkrit yang mampu
menjembatani berbagai kepentingan dalam pemanfaatan KTAS.
Perancangan Kawasan Tepi Air Sungai

Kawasan Tepi Air sungai dalam pembahasan ini adalah KTAS yang berada di lingkungan kota, sehingga
pembahasan perancangan KTAS merupakan bagian dari proses perancangan kota secara umum. Perancangan kota
(urban)

pada hakekatnya

merupakan pengelolaan kawasan kota yang terpadu, yang bertujuan

untuk

mengupayakan terbentuknya perangkat pengendali (urban regulation) yang mampu mengantisipasi semua
aspek perkembangan kota, termasuk KTAS. Menurut Shirvani, H. (1985), dalam bukunya The Urban Design
Process menyebutkan perancangan kota adalah merupakan bagian dari proses perencanaan yang berkaitan
dengan perancangan fisik dan ruang suatu lingkungan kota yang ditujukan untuk kepentingan umum. Seperti
diungkapkan oleh Barnett (1979), bahwa perancangan kota merupakan keputusan-keputusan kebijaksanaan
publik, dan menurut Gosling (1980) perancangan kota sebagai pernyataan politik.
Lingkup urban design (perancangan kota) menurut Beckley (1979 :62) dalam Introduction to Urban
Planning, mengatakan bahwa urban design adalah "jembatan" antara profesi perencana kota (urban planning)
dengan profesi arsitek. Dalam makalah Urban Design: Pengertian, permasalahan, dan Konsep Penerapan,
Danisworo (1993), mengungkapkan rancangan kota berkepentingan dengan kualitas ruang kota terutama yang
berkaitan dengan kepentingan umum pada suatu bagian dan/atau sektor kota.
Orientasi perancangan kota tersebut merupakan dasar kebijaksanaan yang harus diperhatikan dalam
perancangan kota. Pendekatan yang realistis untuk perancangan kota harus memasukkan
tersebut, dan

ketiga

orientasi

mencari keseimbangan antara ketiga orientasi tersebut di atas (Shirvani,H., 1985). Lebih lanjut

Shirvani menyatakan bahwa ruang lingkup perancangan kota adalah mulai dari eksterior bangunan pribadi
(individual building) sampai ke ruang terbuka. Perancangan kota merupakan bagian rangkaian dari proses
perencanaan

yang berfungsi sebagai

perangkat pengendali untuk mempermudah implementasi kebijakan

perencanaan kota, maka bentuk rancangan kota dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yakni;
1.

Urban design criteria atau kriteria-kriteria yang mendasari keputusan ruang kota, unsur dasar
(kriteria) yang harus diperhatikan dalam penataan fisik kawasan kota.

2.

Urban design guideline, merupakan panduan yang harus dipergunakan dalam perancangan atau
penataan suatu kawasan kota. Bentuk guideline ini harus sudah operasional dan terperinci secara
teknis.

3.

Urban design standart, merupakan patokan-patokan dasar atau ukuran minimum dan atau
maksimum bagi kriteria

perancangan kota dalam pelaksanaan pembangunan suatu kawasan.

Apabila ditinjau dari unsur pembentuk kota pada hakekatnya substansi urban design sebenarnya akan
menyangkut 3 unsur pokok yaitu;
1.

Faktor lingkungan alam, karakteristik alam merupakan unsur dasar yang akan memberikan
karakteristik yang spesifik suatu kawasan/kota. Faktor alam ini mencakup; iklim, topografi, geomorfologi, aliran, kelembaban, suhu udara, flora-fauna dan sebagainya.

2.

Faktor lingkungan buatan, kondisi-potensi lingkungan buatan sebagai produk budaya masyarakat
yang telah membentuk lingkungan yang spesifik perlu menjadi suatu pertimbangan sebagai satu
kesatuan produk aktifitas masyarakat.

3.

Faktor lingkungan non-fisik, kehidupan sosial-budaya, ekonomi, politik dan teknologi, sebagai
faktor yang melatar belakangi terbentuknya lingkungan binaan manusia.

Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling pengaruh mempengaruhi. Lingkungan alam
akan menentukan struktur dan pola kota yang spesifik, sebagai cerminan pola perilaku dan tata nilai sosialbudaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Produk perancangan kota menurut Hamid Shirvani
(1985), meliputi Kebijaksanaan, Rencana, Pedoman, dan Program. Kebijaksanaan perancangan kota merupakan
kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. Sebagai produk kebijaksanaan yang spesifik menuntut
setiap kota harus memiliki peraturan yang khas, seperti dikemukakan para pakar bahwa "No two cities are alike".
Rencana merupakan produk penting dalam perancangan kota yang berorientasi pada proses dan produk,
rencana tersebut harus dikembangkan mengikuti kerangka yang tertuang dalam kebijaksanaan perancangan
kota di atas. Rencangan kota sebagai peraturan yang diperlakukan harus menjadi landasan bagi arsitektur baru,
rencana baru, dan kualitas baru (Slamet Wirasondjaya, 1992). Kebijaksanaan dan rancangan kota dalam
operasionalisasinya perlu diterjemahkan ke dalam bentuk pedoman yang lebih spesifik dan operasional dengan
memperhatikan ruang kota dalam skala mikro termasuk perancangan KTAS.
Perancangan KTAS harus memperhatikan beberapa aspek yang berkaitan dengan bentuk morfologi sungai
serta ketentuan peraturan yang berlaku. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan upaya pemanfaatan kawasan tepi
air antara lain; (1) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung; (2) Peraturan
Pemeintah RI no 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; (3) Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum no.63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan
Bekas Sungai; (4) Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di Kawasan Tepi Air Oleh Dirjen Cipta
Karya Departemen Pekerjaan Umum RI tahun 2000. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga konsistensi serta
penegakan peraturan yang berlaku.
Dengan mengacu pada upaya pembangunan terpadu yang berkelanjutan jelas bahwa prioritas pemanfaatan
KTAS adalah upaya melindungi dan melestarikan lingkungan alam. Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa
dasar pertimbangan yang digunakan dalam menyusun prinsip-prinsip perancangan KTAS, antara lain:
1.

Bentuk tipologi-morfologi KTAS baik secara topografis, karakteristik tanah, jenis vegetasi, serta
bentuktepi air sungai (landai atau curam) akan mempengaruhi teknik, disain, dan konstruksi
pembangunan kawasan tersebut.

2.

Perancangan KTAS harus memperhatikan karakteristik lingkungan, sehingga karakter spesifik


kawasan tetap terjaga. Perlu ditetapkan fungsi peruntukan yang sesuai dengan karakteristik setempat.
Hal ini akan mempengaruhi sejauhmana pemanfaatan KTAS atau bahkan badan air sungai/danau akan
digunakan.

3.

Kawasan tepi air mempunyai batasan-batasan atau aturan dalam perancangannya baik dari sisi skala
(ukuran) maupun kompleksitasnya (Wrenn, 1983). Pembangunan di KTAS haruslah ditujukan untuk
perlindungan terhadap lingkunan serta memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif. Sehingga
perlu dilakukan AMDAL secara cermat sebelum pembangunan KTAS dilakukan.

4.

Dampak kepada aktivitas penduduk serta kelestarian lingkungan perlu dicermati. Pemanfaatan
lingkungan tepi air sungai dilakukan dengan menjaga kualitas air, penyediaan ruang terbuka, menjamin
kemudahan akses/pencapaian, serta antisipasi terhadap bencana (longsor, banjir) serta dampak sosial
bagi penduduk di kawasan tersebut.

5.

Harus diinventarisasi kegiatan-kegiatan sosial-budaya, peristiwa tertentu (event) dan/atau adat


kebiasaan penduduk berupa ritual/upacara yang dilakukan di tepi air dan/atau badan air. Hal ini penting
untuk dapat mengakomodasikan kepentingan-kepentingan penduduk dalam upaya pengembangan
kawasan.

6.

Orientasi bangunan sebaiknya ke arah tepi air. Tepi air harus dijadikan "latar depan sehingga
"penghargaan terhadap lingkungan tepi air menjadi lebih baik. Secara sosial, kontrol pemanfaatan
ruang tepi air menjadi lebih mudah dibandingkan jika tepi air dijadikan "daerah belakang.

Selain ke enam dasar pertimbangan di atas ada ada 4 aspek yang harus diperhatikan yakni; aspek keamanan,
kenyamanan, kemudahan aksesibilitas, kesehatan lingkungan, dan aspek estetika lingkungan alam dan buatan.
Karena KTAS sangat strategis dalam rangka upaya kelestarian lingkungan, maka dalam rangka pemanfaatan KTAS
yang terpadu dan berkelanjutan harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: (1) Pemanfaatan SDA harus
memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, (2) pembangunan harus memperhatikan keselarasan dan
keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (3) Pembangunan harus memberikan peluang untuk
berlangsungnya regenerasi ekosistem dan menjamin kualitas kehidupan yang lebih baik, (4) perlu dihindarkan
dampak pada kesenjangan sosial, (5) perlu upaya-upaya partisipasi dalam pengambilan keputusan, perencanaan
dalam semua level upaya peningkatan kualitas lingkungan.

Catatan Penutup
Pada akhir makalah ini secara khusus tidak dibuat kesimpulan. Beberapa catatan penting berkaitan dengan
pemanfaatan ruang dalam upaya perancangan KTAS yang harus diperhatikan dan menjadi bahan renungan kita
adalah sebagai berikut:
1.
Pemanfaatan KTAS secara terpadu adalah suatu pendekatan pemanfaatan KTAS yang melibatkan dua
atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan secara terintegrasi (integrated) guna
tercapainya pembangunan KTAS secara berkelanjutan. Keterpaduan (integrated) pemanfaatan SDA
mengandung tiga dimensi; sektoral (horizontal and vertical integration), bidang ilmu
(interdisciplinary approaches), dan dimensi keterkaitan ekologis (ecological linkages).
2.
Upaya intervensi fisik melalui perancangan KTAS sebagai upaya pembangunan fisik kawasan harus
memperhatikan 3 orientasi pembangunan yakni; (1) Development orientations; (2) conservation
orientations; dan (3) community orientations. Ke-tiga Orientasi tersebut merupakan dasar
kebijakan yang harus diperhatikan dalam perancangan KTAS.
3.
Perancangan KTAS mengacu pada pendekatan yang dilakukan oleh Shirvani, H., (1985), yang
mencakup delapan elemen perancangan yakni; (1) Tata guna tanah (land use); (2) Massa dan bentuk
bangunan (Bulding form and massing); (3) Sirkulasi dan parkir (Circulation and parking); (4) Ruang
terbuka (Urban Space); (5) Jalur pejalan kaki (Pedestrian ways); (6) Aktifitas penunjang (Activity
support); (7) Tanda-tanda (Signage); dan (8) Preservasi (Preservations). Kedelapan elemen
perancangan kota (baca; kawasan) inilah yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun prinsipprinsip perancangan KTAS (lihat tabel 1).
4.
Dalam rangka pemanfaatan dan perancangan KTAS terpadu dan berkelanjutan, maka harus
diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Pemanfaatan SDA harus memperhatikan kepentingan generasi
yang akan datang, (2) pembangunan harus memperhatikan keselarasan dan keseimbangan antara
lingkungan alam dan lingkungan buatan, (3) Pembangunan harus menjamin kualitas kehidupan yang
lebih baik, untuk generasi sekarang dan masa yang akan datang, (4) harus dihindarkan dampak pada

sosial dengan melakukan kajian AMDAL. (5) Upaya-upaya partisipasi dalam pengambilan keputusan,
perencanaan harus dilakukan di semua level proses upaya peningkatan kualitas lingkungan KTAS.

[1] Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya air terpadu dan Berkelanjutan
(Integrated and Sustainable Water Resource Management), Kerjasama antara: Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik
Universitas Merdeka Malang dengan; Pemkot Malang, Perum Jasa Tirta Malang, HATHI cabang Malang, 15 Januari
2005 di Ruang PPI lantai III, Gedung Pusat Unmer Malang.

Anda mungkin juga menyukai