Bahasa Dan Budaya
Bahasa Dan Budaya
melanjutkan,
hipotesis
versi
kuat,
atau
disebut
juga
perlengkapannya,
sebaliknya,
bahasa
Hottentot
hanya
memiliki angka satu dan dua. Untuk menyebut angka tiga dan
seterusnya hanya digunakan kata banyak.
Hipotesis ini diperoleh Whorf dengan
dua
cara:
melalui
hipotesis
versi
kuat
maka
mudah
bagi
penutur
bahasa
tersebut
untuk
sistem
honorifik
dalam
bahasa
juga
dapat
masyarakat
tertentu.
Salah
satu
bahasa
yang
sangat
Hal serupa juga dapat dilihat dalam bahasa Jawa. Bahasa jawa
memiliki tingkatan bahasa yang dikenal dengan istilah kromo inggil,
kromo madyo dan ngoko. Masing-masing tingkatan bahasa tersebut
hanya dapat diunakan pada orang tertentu pada situasi tertentu,
mislanya bahasa ngoko hanya dapat digunakan jika lawan bicara
berada pada tingkatan sosial yang sama atau lebih rendah dari
penutur, dan digunakan dalam situasi informal. Dengan demikian,
sama seperti penutur bahasa Jepang, penutur bahasa Jawa akan
sangat menyadari dengan siapa dan berada pada strata sosial mana
lawan bicara.
Perbedaan tingkat veodalisme juga tercermin dalam penggunaan
Sir dan Mr pada bahasa Inggris British dan bahasa Inggris Amerika.
Dalam bahasa Inggris British, kata sapaan Sir dan Mr harus
digunakan, namun keharusan tersebut tidak ada dala bahasa Inggris
Amerika. Tingkat veodalisme yang berbeda juga dapat dilihat pada
bahasa Jawa dan Bahasa Sunda. Nilai veodalisme bahasa sunda lebih
tinggi dari bahasa Jawa karena bahasa Sunda memiliki tujuh tingkatan
bahasa sedangkan bahasa Jawa hanya memiliki lima tingkatan bahasa.
Bahasa yang mengenal konsep waktu cenderung menggunakan
waktu untuk bertegur sapa. Bahasa yang menggambarkan pernyataan
tersebut adalah bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris dikenal konsep
lampau (past), sekarang (present), dan yang akan datang (future),
yang terlihat pada struktur kalimanya. Oleh karena itu, dalam bertegur
sapa pun, penutur bahasa Inggris menggunakan istiah yang berkaitan
dengan waktu, misalnya good morning, good afternoon, dan good
evening. Di sisi lain, bahasa Jawa tidak mengenal konsep waktu,
sehingga
untuk
menyapa,
penutur
bahasa
Jawa
menggunakan
yang tidak tersedia di dalam bahasanya hanya sebagian benar. Sanggahan ini didasarkan
pada perkembangan istilah teknologi yang berasal dari negara-negara maju, yang
kemudian menyebar ke negara dan kebudayaan lain. Wardhaugh menegaskan, tidak akan
ada suatu kebudayaan pun yang menolak kemajuan teknologi karena penuturnya tidak
memiliki sumber daya linguistik untuk menggunakannya.
Dilakukannya adopsi objek atau produk dari negara lain berarti juga dilakukan
adopsi istilah atau nama produk. Adopsi istilah ini dapat terjadi dengan penyesuaian
sistem fonologi dan gramatikal agar mudah diucapkan oleh penutur bahasa tersebut.
Misalnya, dulu dalam bahasa Indonesia, tidak dikenal istilah televisi dan radio. Namun
demikian, setelah terjadi impor produk tersebut dari negara lain, masyarakat Indonesia
kemudian memasukkan kedua istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena
itu, Wardhaugh menyimpulkan, Hipotesis Whorf masih belum dapat dibuktikan
kebenarannya.
C. Sistem Kekerabatan
Pemberian nama
untuk
anggota
keluarga
dalam
suatu
bahasa
dapat
dapat
menentukan
perbedaan?
Jawabannya
tentu
tidak.
hubungan
antar
anggota
keluarga,
namun
juga
membedakan hak dan kewajiban yang dipikul. Ketika istilah ayah atau
kakak digunakan dalam sistem kekerabatan, bersamaan dengan istilah
tersebut terdapat aturan bagaimana ayah dan kakak harus bertingkah
laku
dalam
masyarakat
(Wardhaugh,
2000:
226).
Wardhaugh
brat
zheny
(kakak
dari
istri).
Pergantian
istilah
tersebut
frasa
baru
yang
lebih
panjang
mengindikasikan
kurang
budaya
Jawa
memiliki
posisi
yang
lebih
penting
jika
dibandingkan dengan budaya Inggris yang menggunakan frase greatgrandparents dalam penyebutannya.
Istilah
kekerabatan
juga
dapat
menjadi
indikasi
tingkat
dalam
bahasa
Jawa.
Oleh
karena
itu,
dari
tingkat
kekerabatan,
terminologi
warna
juga
digunakan
untuk
mengeksplorasi hubungan antar bahasa dan budaya yang berbeda (Wardhaugh, 2000:
230). Wardhaugh melanjutkan, spektrum warna terdiri dari serangkaian wujud fisik yang
saling bersambungan, namun dapat dipetakkan dan dinamai menjadi komponen yang
beragam. Kadang, warna juga sulit diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa
mengubah maknanya.
Semua bahasa memiliki warna dasar. Warna dasar dicirikan oleh beberapa hal, antara
lain terdiri dari satu kata, dapat diaplikasikan pada semua objek, dan tidak terbatas pada
istilah yang digunakan oleh penutur spesifik (Wardhaugh, 2000: 230). Dalam sumber
yang berbeda, Davies et.al. (1998: 183) menambahkan, makna warna dasar tidak bolek
tercakup dalam istilah warna lain. Hierarki warna dasar menurut Berlin dan Kay (dalam
Davies et.al., 1998: 182) adalah sebagai berikut.
Putih
dan
Hitam
+ merah
+ hijau
Merah
+ kuning
Merah
+ kuning
+ hijau
+ biru
+ coklat
oranye dan/atau
pink dan/atau
+ ungu dan/atau
abu-abu
Davies melanjutkan,
warna dasar di atas juga memunculkan dua
Merah hierarkiMerah
pembatasan, yakni pembatasan secara sinkronik dan diakronik. Secara sinkronik, hierarki
di atas menunjukkan bahwa jika suatu budaya memiliki satu istilah untuk kategori warna
tertentu, budaya tersebut pasti memiliki istilah untuk semua warna yang berada di sebelah
kiri dalam table hierarki di atas. Batasan diakronik menggambarkan evolusi penemuan
warna-warna dasar. Menurut teori, semua bahasa memulai encoding dengan warna hitam
dan putin, selanjutnya adalah merah, diikuti dengan hijau atau kuning, dan seterusnya.
Woodworth (dalam McNeill, 1972: 21), dalam penelitiannya yang berjudul The
Puzzle of Color Vocabularies, menyusun kesimpulan yang serupa dengan Berlin dan Kay.
Urutan kemunculan warna dasar selalu melalui urutan yang sama; nomenklatur warna
selalu diawali dengan merah, dan berlanjut mengikuti urutan yang spektral, namun
melewati warna-warna transisional, seperti orange, biru-hijau, dan violet. Kesimpulan
lain yang dikemukakan oleh Woodworth adalah kemunculan istilah warna didasarkan
pada kepentingan fungsional dan frekuensi penggunaannya dalam suatu masyarakat. Jika
penggunaannya tidak terlalu penting, kondisi fluid warna sudah akan dirasa cukup.
Kondisi fluid menurut Woodworth adalah kondisi ketika warna suatu objek dikatakan
mirip dengan warna objek lain, namun referensi dasarnya masih belum tetap, sehingga
objek pembandingnya dapat berubah dari satu benda ke benda lainnya.
Kesimpulan Woodworth tersebut dibuktikan dengan penelitian Berlin dan Kay
(dalam McNeill, 1972: 23) tentang warna dalam budaya Navaho. Bahasa Navaho hanya
mengenal lima warna dasar, yakni lagai (putih), lidzin (hitam), lichi (merah), dotlish
(biru-hijau), dan litso (kuning). Kelima warna tersebut diambil dari nama mineral yang
biasanya dipakai dalam upacara adat. Fakta serupa juga ditemukan dalam terminology
warna bahasa Pukapukan. Bahasa Pukapukan hanya memiliki empat warna, yaitu kena
(putih), uli (hitam), kula (merah), dan yenga (biru atau kuning). Warna-warna tersebut
adalah warna berbagai varietas talo, makanan pokok masyarakat Pukapukan.
Selain tentang asal penamaan warna, penelitian tentang keluasan jangkauan istilah
warna yang dikaitkan dengan level kekompleksan budaya dan teknologi suatu masyarakat
bahasa telah dilakukan. Hasil menunjukkan bahwa komunitas dengan perkembangan
teknologi yang lebih pesat memiliki istilah warna yang lebih banyak (Wardhaugh, 2000:
231). Wardhaugh menunjukkan bukti dari pernyataannya tersebut dengan data dari
budaya Jale, Tiv, Garo, Hanunoo, dan Burma. Fakanya, semua warna ada di lingkungan,
namun ada budaya yang menganggapya etik dan ada budaya yang menganggapnya emik.
Warna yang etik bagi budaya Jale di Papua Nugini hanya dua, yakni terang dan gelap,
demikian juga dengan budaya Tiv di Nigeria hanya memiliki tiga istilah warna, Garo dari
Assam dan Hanunoo di Filipina mempunyai empat, dan Burma memiliki tujuh istilah
warna.
Dari pernyataan Wardaugh tersebut, dapat disimpulkan juga bahwa masyarakat
Indonesia memiliki pemikiran yang sederhana karena mereka mengelompokkan warna
secara sederhana. Dari spektrum warna Berlin dan Kay di atas, warna yang dikenali oleh
masyarakat Indonesia hanya sampai kolom coklat. Dari empat warna yang ada pada
kolom terakhir, hanya dua warna saja yang dikenali dalam bahasa Indonesia, yakni ungu
dan abu-abu. Warna merah jambu sudah tidak lagi menjadi warna dasar karena terdiri dari
dua kata, demikian juga istilah warna oranye yang diadopsi dari bahasa Inggris orange.
Selain itu, istilah lain untuk warna merah jambu yaitu pink lebih banyak digunakan pada
masa kini terutama oleh kalangan remaja. Bergesernya istilah merah jambu menjadi pink
tersebut, juga munculnya istilah warna oranye dalam budaya masyarakat Indonesia
merupakan akibat dari persinggungan budaya dan bahasa Indonesia dengan bahasa dan
budaya lain sehingga terjadi adaptasi.
Akhirnya, Wardhaugh menggarisbawahi dua hal yang menarik tentang penamaan
warna. Dua hal tersebut adalah (1) apapun bahasanya, manusia membagi spektrum warna
secara sistematik dengan praktik penamaan yang serupa mengikuti kebutuhan
kognitifnya; (2) penutur dari bahasa apapun akan kesulitan jika diminta mengidentifikasi
batasan warna tertentu pada spektrum warna.
E. Daftar Pustaka
Wardhaugh, R. & Fuller, J.M. (2015). An introduction to sociolinguistics
(7th ed.). West Sussex: Wiley Blackwell.
Wardhaugh, R. (2000). An introduction to sociolinguistics (3th ed.).
Oxford: Blackwell Publisher Ltd.