Anda di halaman 1dari 10

Bahasa dan Budaya

A. Bahasa dan Budaya


Hubungan bahasa dan budaya merupakan topik yang masih menjadi perdebatan
baik dalam kajian bahasa maupun antropologi. Dari sudut pandang bahasa, khususnya
sosiolinguistik, Wardhaugh (2015: 10-11) merangkum hubungan bahasa dan budaya
tersebut menjadi empat kemungkinan. Pertama, bahasa dan struktur sosial saling
memengaruhi. Kemungkinan ini didasarkan pada pandangan bahwa pembaharuan sistem
bahasa terjadi karena perubahan norma sosial, namun di sisi lain, bahasa juga dapat
mengubah cara pandangan manusia. Wardhaugh mencontohkan, perubahan bahasa dan
kesadaran akan kesetaraan gender terjadi secara bersama-sama.
Kedua, bahasa dan struktur sosial tidak saling memengaruhi. Pandangan ini
menganggap bahasa dan budaya berdiri sendiri, tidak ada hubungan antara keduanya.
Namun demikian, terdapat variasi lain dari kemungkinan ini yang mengatakan, meskipun
terdapat hubungan antara bahasa dan budaya, usaha pembuktian yang dilakukan sampai
saat ini masih prematur.
Ketiga, struktur sosial memengaruhi struktur bahasa. Fakta pembuktian pandangan
ini adalah fenomena age-grading (bahasa anak-anak berbeda dari bahasa remaja, bahasa
remaja berbeda dari bahasa orang dewasa) dan keragaman bahasa yang merefleksikan
perbedaan wilayah, sosial, suku, dan jenis kelamin.
Keempat, struktur bahasa memengaruhi struktur sosial (worldview). Pandangan ini
lebih dikenal dengan istilah hipotesis Whorf.
B. Hipotesis Whorf
Hipotesis Whorf, dikenal juga dengan istilah Hipotesis Sapir-Whorf, menyatakan
bahwa struktur bahasa memengaruhi pandangan penuturnya terhadap dunia (Wardhaugh,
2000: 216). Terdapat dua versi hipotesis ini: versi kuat dan versi yang lebih lemah.
Terpecahnya hipotesis ini terjadi karena Whorf menuliskan pemikirannya sejak tahun
1925 sampai 1941 sehingga terjadi perkembangan pola pikir (Strazny, 2005: 927).
Strazny

melanjutkan,

hipotesis

versi

kuat,

atau

disebut

juga

determinisme linguistik (linguistic determinism), menyatakan bahwa


bahasa menentukan pemikiran manusia terhadap dunia. Versi ini sulit
untuk dibuktikan kebenarannya karena dua alasan: penerjemahan dari
bahasa satu ke bahasa lain sangat mungkin dilakukan, dan pemikiran

dapat diungkapkan melalui media selain bahasa, misal pelukis atau


pemahat menuangkan pemikirannya melalui jari.
Versi yang lebih lemah dikenal dengan istilah relativitas linguistik
(linguistic relativity). Versi ini menyatakan, struktur bahasa tidak
menentukan cara pandang manusia terhadap dunia, namun masih
sangat memengaruhi kecenderungan penuturnya dalam mengadopsi
cara pandang tertentu terhadap dunia (Wardhaugh, 2000: 216).
Strazny (2005: 928) mengilustrasikan versi ini dengan data Whorf:
bahasa Hopi hanya memiliki satu kata untuk segala sesuatu yang
terbang, kecuali burung. Bukti lain adalah dialek Arab Badui memiliki
6000 leksim yang berbeda untuk menyebut berbagai jenis unta
beserta

perlengkapannya,

sebaliknya,

bahasa

Hottentot

hanya

memiliki angka satu dan dua. Untuk menyebut angka tiga dan
seterusnya hanya digunakan kata banyak.
Hipotesis ini diperoleh Whorf dengan

dua

cara:

melalui

pengalamannya selama bekerja sebagai teknisi kebakaran dan melalui


penelitian kebahasaannya sebagai murid Sapir (Wardhaugh, 2000:
218). Selama bekerja sebagai teknisi, Whorf sering mendengar temantemannya memperingatkan untuk selalu berhati-hati jika berada di
sekitar drum yang penuh dengan minyak, namun mereka merokok di
dekat drum kosong yang sebenarnya penuh dengan gas yang juga
mudah meledak. Dari pengamatannya tersebut, Whorf menyimpulkan,
tingkah laku manusia sering dibentuk oleh analogi formula bahasa di
mana bahasa tersebut diucapkan.
Wardhaugh, (2000: 219) melanjutkan,

hipotesis

versi

kuat

diperoleh Whorf dari penelitiannya pada bahasa Hopi di Arizona. Dia


membandingkan struktur bahasa Hopi dengan bahasa standar Eropa
yang disebutnya dengan istilah Standard Average European (SAE).
Dari penelitiannya tersebut diperoleh kesimpulan bahwa bahasa Hopi
berorientasi pada proses, sedangkan SAE lebih menekankan pada
ruang dan waktu. Perbedaan ini berdampak pada perbedaan cara
pandang penutur Hopi dan SAE terhadap dunia. Penutur Hopi
memandang dunia sebagai proses yang terus berlangsung, sedangkan
penutur SAE menganggap segalanya yang ada di dunia memiliki cirri

khas masing-masing, dapat dihitung dan diukur, dan berulang. Setiap


bahasa memiliki kategori tata bahasa yang harus dipenuhi, sehingga
setiap kali penutur Hopi atau SAE berbicara, mereka harus melakukan
observasi tentang bagaimana dunia terstruktur karena struktur bahasa
yang mereka ucapkan.
Pendukung Hipotesis Whorf berargumen bahwa bahasa yang
diucapkan seseorang memengaruhi hubungan orang tersebut dengan
dunia luar (Wardhaugh, 2000: 219). Jika suatu bahasa memiliki konsep
tertentu,

maka

mudah

bagi

penutur

bahasa

tersebut

untuk

membicarakan konsep tersebut daripada bahasa yang tidak mengenal


konsep itu. Jika suatu bahasa mensyaratkan perbedaan tertentu harus
dibuat karena struktur bahasanya, misalnya waktu, jumlah, dan jenis
kelamin, maka penutur bahasa itu akan sadar tentang perbedaan
tersebut. Beberapa data yang mendukung pendapat tersebut antara
lain adalah penutur Garo di Assam, India. Bahasa Garo memiliki
puluhan kata untuk menyebut keranjang, beras, dan semut yang
ketiganya merupakan benda penting dalam kebudayaan mereka.
Bahasa Jerman dan Perancis memiliki dua kata ganti untuk kamu,
tunggal dan jamak. Sistem ini juga dikenal dalam bahasa Indonesia,
yakni dengan penggunaan kata kamu untuk tunggal dan kalian
untuk jamak.
Penggunaan

sistem

honorifik

dalam

bahasa

juga

dapat

menyebabkan penutur sadar akan tingkatan sosial yang melekat pada


suatu

masyarakat

tertentu.

Salah

satu

bahasa

yang

sangat

memerhatikan sistem honorifik ini adalah bahasa Jepang. Bahasa


Jepang memiliki sistem honorifik yang luas. Hal tersebut tercermin
dalam banyaknya tingkatan bahasa masing-masing dibedakan dengan
penambahan afiks atau penggunaan istilah yang berbeda. Setiap
tingkatan bahasa tersebut memiliki aturan ketat pada siapa bahasa
tersebut dapat digunakan, misalnya bahasa untuk atasan memiliki
struktur yang berbeda dengan bahasa yang digunakan dengan
pelanggan atau teman sebaya. Dari perbedaan struktur bahasa
tersebut, penutur bahasa Jepang akan sadar dengan tingkatan sosial
lawan bicara.

Hal serupa juga dapat dilihat dalam bahasa Jawa. Bahasa jawa
memiliki tingkatan bahasa yang dikenal dengan istilah kromo inggil,
kromo madyo dan ngoko. Masing-masing tingkatan bahasa tersebut
hanya dapat diunakan pada orang tertentu pada situasi tertentu,
mislanya bahasa ngoko hanya dapat digunakan jika lawan bicara
berada pada tingkatan sosial yang sama atau lebih rendah dari
penutur, dan digunakan dalam situasi informal. Dengan demikian,
sama seperti penutur bahasa Jepang, penutur bahasa Jawa akan
sangat menyadari dengan siapa dan berada pada strata sosial mana
lawan bicara.
Perbedaan tingkat veodalisme juga tercermin dalam penggunaan
Sir dan Mr pada bahasa Inggris British dan bahasa Inggris Amerika.
Dalam bahasa Inggris British, kata sapaan Sir dan Mr harus
digunakan, namun keharusan tersebut tidak ada dala bahasa Inggris
Amerika. Tingkat veodalisme yang berbeda juga dapat dilihat pada
bahasa Jawa dan Bahasa Sunda. Nilai veodalisme bahasa sunda lebih
tinggi dari bahasa Jawa karena bahasa Sunda memiliki tujuh tingkatan
bahasa sedangkan bahasa Jawa hanya memiliki lima tingkatan bahasa.
Bahasa yang mengenal konsep waktu cenderung menggunakan
waktu untuk bertegur sapa. Bahasa yang menggambarkan pernyataan
tersebut adalah bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris dikenal konsep
lampau (past), sekarang (present), dan yang akan datang (future),
yang terlihat pada struktur kalimanya. Oleh karena itu, dalam bertegur
sapa pun, penutur bahasa Inggris menggunakan istiah yang berkaitan
dengan waktu, misalnya good morning, good afternoon, dan good
evening. Di sisi lain, bahasa Jawa tidak mengenal konsep waktu,
sehingga

untuk

menyapa,

penutur

bahasa

Jawa

menggunakan

kosakata yang menunjukkan aktivitas. Namun demikian, bahasa


Inggris yang menjadi lingua franca dunia ternyata juga memengaruhi
bahasa Jawa, hingga muncul istilah sapaan baru dalam bahasa Jawa
yang merupakan modifikasi dari sapaan bahasa Inggris, yakni sugeng
enjang atau sugeng ndalu.
Meskipun demikian, Wardhaugh (2000: 222) menganggap pendapat yang
mengatakan akan sulit bagi penutur suatu bahasa untuk mengungkapkan suatu konsep

yang tidak tersedia di dalam bahasanya hanya sebagian benar. Sanggahan ini didasarkan
pada perkembangan istilah teknologi yang berasal dari negara-negara maju, yang
kemudian menyebar ke negara dan kebudayaan lain. Wardhaugh menegaskan, tidak akan
ada suatu kebudayaan pun yang menolak kemajuan teknologi karena penuturnya tidak
memiliki sumber daya linguistik untuk menggunakannya.
Dilakukannya adopsi objek atau produk dari negara lain berarti juga dilakukan
adopsi istilah atau nama produk. Adopsi istilah ini dapat terjadi dengan penyesuaian
sistem fonologi dan gramatikal agar mudah diucapkan oleh penutur bahasa tersebut.
Misalnya, dulu dalam bahasa Indonesia, tidak dikenal istilah televisi dan radio. Namun
demikian, setelah terjadi impor produk tersebut dari negara lain, masyarakat Indonesia
kemudian memasukkan kedua istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena
itu, Wardhaugh menyimpulkan, Hipotesis Whorf masih belum dapat dibuktikan
kebenarannya.
C. Sistem Kekerabatan
Pemberian nama

untuk

anggota

keluarga

dalam

suatu

bahasa

dapat

menggambarkan budaya dari penutur bahasa tersebut; bagaimana nama tersebut


digunakan baik di dalam maupun di luar keluarga juga berkaitan erat dengan budaya
(Strazny 2005: 576). Sejalan dengan pendapat tersebut, Wardhaugh (2000: 223)
berarguman, sistem kekerabatan merupakan ciri universal bahasa karena tingkat
kepentingannya dalam organisasi sosial. Sistem ini berbeda dari satu bahasa dengan
bahasa lain. Satu bahasa mungkin lebih kaya, namun kesemuanya sama-sama
menggunakan faktor jenis kelamin, usia, hubungan darah, dan hubungan perkawinan
dalam organisasinya, misalnya sepupu dalam bahasa Inggris dan Indonesia tidak
dibedakan berdasarkan jenis kelamin, namun dalam bahasa Ceko dibedakan.
Dalam beberapa budaya istilah-istilah kekerabatan dapat digunakan untuk
menyebut seseorang yang bukan anggota keluarga (Wardhaugh, 2000: 224). Dalam
bahasa Vietnam, kata kakak, adik, paman, dan bibi dapat digunakan dalam berbagai
situasi sosial. Fakta serupa juga ditemukan dalam bahasa Indonesia. Kata bapak dan ibu
dapat dan umum digunakan untuk menyapa seseorang yang sama sekali tidak memiliki
hubungan darah dengan penutur.
Suku Ohama Indian memiliki sistem kekerabatan yang miring dan menggabungkan
kategori-kategori tertentu (Strazny 2005: 576). Pembedaan generasional dimiringkan
berdasarkan jenis kelamin, sehingga kakak laki-laki seorang perempuan dan ayah
perempuan tersebut memiliki kedudukan yang sama dan disebut dengan istilah yang

sama. Strazny menggunakan fakta tersebut untuk menyangkal hipotesis


Whorf dengan mengajukan pertanyaan retoris, Apakah kurangnya
pembagian kosakata dalam bahasa tertentu berarti penutur bahasa
tidak

dapat

menentukan

perbedaan?

Jawabannya

tentu

tidak.

Menggunakan istilah yang sama untuk menyebut kakak dan ayah


bukan berarti penutur tersebut tidak dapat membedakan siapa ayah
biologisnya.
Penamaan dalam sistem kekerabatan tidak hanya berfungsi
membedakan

hubungan

antar

anggota

keluarga,

namun

juga

membedakan hak dan kewajiban yang dipikul. Ketika istilah ayah atau
kakak digunakan dalam sistem kekerabatan, bersamaan dengan istilah
tersebut terdapat aturan bagaimana ayah dan kakak harus bertingkah
laku

dalam

masyarakat

(Wardhaugh,

2000:

226).

Wardhaugh

menekankan, sistem kekerabatanlan yang menentukan siapa dipanggil


apa, bukan berdasarkan tingkah laku individu tersebut. Oleh karena itu,
kakak laki-laki seseorang akan tetap dipanggil kakak walaupun dia
melakukan tugas ayah yaitu mencari nafkah.
Ketika kondisi sosial berubah, sistem kekerabatan juga berubah
untuk merefleksikan kondisi tersebut (Wardhaugh, 2000: 226). Kondisi
tersebut salah satunya terjadi dalam sistem kekerabatan di Rusia. Dulu
penggunaan kata ipar merupakan hal yang penting bagi penutur
bahasa Rusia, misalnya kata shurin digunakan untuk menyebut kakak
ipar. Saat ini istilah tersebut tidak lagi digunakan, dan diganti dengan
frase

brat

zheny

(kakak

dari

istri).

Pergantian

istilah

tersebut

menunjukkan bahwa keberadaan ipar sudah tidak signifikan bagi


masyarakat Rusia. Perubahan struktur keluarga telah menghilangkan
ipar dari kontak sehari-hari.
Fakta lain yang juga perlu diperhatikan dari contoh di atas adalah
istilah

frasa

baru

yang

lebih

panjang

mengindikasikan

kurang

pentingnya hubungan kekerabatan bagi seseorang. Hal ini didasarkan


pada prinsip dasar linguistik, yakni objek dan hubungan yang sangat
penting cenderung diekspresikan dengan satu kata. Berdasarkan
pernyataan tersebut, dapat juga disimpulkan bahwa keberadaan buyut
dalam

budaya

Jawa

memiliki

posisi

yang

lebih

penting

jika

dibandingkan dengan budaya Inggris yang menggunakan frase greatgrandparents dalam penyebutannya.
Istilah

kekerabatan

juga

dapat

menjadi

indikasi

tingkat

kekolektifan suatu budaya. Semakin banyak istilah kekerabatan yang


dimiliki suatu budaya maka akan lebih kolektif budaya tersebut. Dalam
bahasa Indonesia, hanya dikenal tiga istilah ke atas dan tiga ke bawah
dari ego. Di sisi lain, dikenal tujuh istilah ke atas dan tujuh istilah ke
bawah

dalam

bahasa

Jawa.

Oleh

karena

itu,

dari

tingkat

kekolektifannya dapat disimpulkan masyarakat Jawa lebih kolektif dari


masyakat Indonesia pada umumnya. Namun demikian, banyak dari
generasi muda penutur bahasa Jawa saat ini yang sudah tidak
mengenal beberapa kekerabatan tersebut. Hal itu dikarenakan jumlah
penduduk semakin banyak sehingga persaudaraan sudah tidak seerat
dulu lagi.
Bahasa, terutama dari aspek panggilan kekeluargaan, yang memengaruhi budaya
terlihat pada suku Batak. Jika berada di luar komunitas, penutur Batak cenderung
menggunakan nama marga sebagai panggilan karena ingin mempertahankan budayanya.
Usaha pemertahanan budaya, terutama nama marga, dari kepunahan tersebut juga terlihat
pada aspek pernikahan. Jika seorang Batak menikah dengan seseorang di luar etnik
mereka, maka ada upaya untuk memasukkan calon menantu tersebut ke dalam marga
sehingga dia akan memiliki nama marga, misalnya dengan menjadikannya anak angkat.
Upaya pemertahanan gelar tersebut juga dapat ditemukan dalam budaya Jawa, terutama
budaya Keraton. Jika anak Sultan perempuan, maka sebelum menikah, calon suami akan
diberi gelar terlebih dahulu. Dengan demikian, gelar bangsawan akan terus dapat
dipertahankan.
D. Terminologi Warna
Selain hubungan

kekerabatan,

terminologi

warna

juga

digunakan

untuk

mengeksplorasi hubungan antar bahasa dan budaya yang berbeda (Wardhaugh, 2000:
230). Wardhaugh melanjutkan, spektrum warna terdiri dari serangkaian wujud fisik yang
saling bersambungan, namun dapat dipetakkan dan dinamai menjadi komponen yang
beragam. Kadang, warna juga sulit diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa
mengubah maknanya.

Semua bahasa memiliki warna dasar. Warna dasar dicirikan oleh beberapa hal, antara
lain terdiri dari satu kata, dapat diaplikasikan pada semua objek, dan tidak terbatas pada
istilah yang digunakan oleh penutur spesifik (Wardhaugh, 2000: 230). Dalam sumber
yang berbeda, Davies et.al. (1998: 183) menambahkan, makna warna dasar tidak bolek
tercakup dalam istilah warna lain. Hierarki warna dasar menurut Berlin dan Kay (dalam
Davies et.al., 1998: 182) adalah sebagai berikut.

Putih
dan
Hitam

+ merah

+ hijau
Merah

+ kuning
Merah

+ kuning

+ hijau

+ biru

+ coklat

oranye dan/atau
pink dan/atau
+ ungu dan/atau
abu-abu

Davies melanjutkan,
warna dasar di atas juga memunculkan dua
Merah hierarkiMerah
pembatasan, yakni pembatasan secara sinkronik dan diakronik. Secara sinkronik, hierarki
di atas menunjukkan bahwa jika suatu budaya memiliki satu istilah untuk kategori warna
tertentu, budaya tersebut pasti memiliki istilah untuk semua warna yang berada di sebelah
kiri dalam table hierarki di atas. Batasan diakronik menggambarkan evolusi penemuan
warna-warna dasar. Menurut teori, semua bahasa memulai encoding dengan warna hitam
dan putin, selanjutnya adalah merah, diikuti dengan hijau atau kuning, dan seterusnya.
Woodworth (dalam McNeill, 1972: 21), dalam penelitiannya yang berjudul The
Puzzle of Color Vocabularies, menyusun kesimpulan yang serupa dengan Berlin dan Kay.
Urutan kemunculan warna dasar selalu melalui urutan yang sama; nomenklatur warna
selalu diawali dengan merah, dan berlanjut mengikuti urutan yang spektral, namun
melewati warna-warna transisional, seperti orange, biru-hijau, dan violet. Kesimpulan
lain yang dikemukakan oleh Woodworth adalah kemunculan istilah warna didasarkan
pada kepentingan fungsional dan frekuensi penggunaannya dalam suatu masyarakat. Jika
penggunaannya tidak terlalu penting, kondisi fluid warna sudah akan dirasa cukup.
Kondisi fluid menurut Woodworth adalah kondisi ketika warna suatu objek dikatakan
mirip dengan warna objek lain, namun referensi dasarnya masih belum tetap, sehingga
objek pembandingnya dapat berubah dari satu benda ke benda lainnya.
Kesimpulan Woodworth tersebut dibuktikan dengan penelitian Berlin dan Kay
(dalam McNeill, 1972: 23) tentang warna dalam budaya Navaho. Bahasa Navaho hanya
mengenal lima warna dasar, yakni lagai (putih), lidzin (hitam), lichi (merah), dotlish
(biru-hijau), dan litso (kuning). Kelima warna tersebut diambil dari nama mineral yang
biasanya dipakai dalam upacara adat. Fakta serupa juga ditemukan dalam terminology
warna bahasa Pukapukan. Bahasa Pukapukan hanya memiliki empat warna, yaitu kena

(putih), uli (hitam), kula (merah), dan yenga (biru atau kuning). Warna-warna tersebut
adalah warna berbagai varietas talo, makanan pokok masyarakat Pukapukan.
Selain tentang asal penamaan warna, penelitian tentang keluasan jangkauan istilah
warna yang dikaitkan dengan level kekompleksan budaya dan teknologi suatu masyarakat
bahasa telah dilakukan. Hasil menunjukkan bahwa komunitas dengan perkembangan
teknologi yang lebih pesat memiliki istilah warna yang lebih banyak (Wardhaugh, 2000:
231). Wardhaugh menunjukkan bukti dari pernyataannya tersebut dengan data dari
budaya Jale, Tiv, Garo, Hanunoo, dan Burma. Fakanya, semua warna ada di lingkungan,
namun ada budaya yang menganggapya etik dan ada budaya yang menganggapnya emik.
Warna yang etik bagi budaya Jale di Papua Nugini hanya dua, yakni terang dan gelap,
demikian juga dengan budaya Tiv di Nigeria hanya memiliki tiga istilah warna, Garo dari
Assam dan Hanunoo di Filipina mempunyai empat, dan Burma memiliki tujuh istilah
warna.
Dari pernyataan Wardaugh tersebut, dapat disimpulkan juga bahwa masyarakat
Indonesia memiliki pemikiran yang sederhana karena mereka mengelompokkan warna
secara sederhana. Dari spektrum warna Berlin dan Kay di atas, warna yang dikenali oleh
masyarakat Indonesia hanya sampai kolom coklat. Dari empat warna yang ada pada
kolom terakhir, hanya dua warna saja yang dikenali dalam bahasa Indonesia, yakni ungu
dan abu-abu. Warna merah jambu sudah tidak lagi menjadi warna dasar karena terdiri dari
dua kata, demikian juga istilah warna oranye yang diadopsi dari bahasa Inggris orange.
Selain itu, istilah lain untuk warna merah jambu yaitu pink lebih banyak digunakan pada
masa kini terutama oleh kalangan remaja. Bergesernya istilah merah jambu menjadi pink
tersebut, juga munculnya istilah warna oranye dalam budaya masyarakat Indonesia
merupakan akibat dari persinggungan budaya dan bahasa Indonesia dengan bahasa dan
budaya lain sehingga terjadi adaptasi.
Akhirnya, Wardhaugh menggarisbawahi dua hal yang menarik tentang penamaan
warna. Dua hal tersebut adalah (1) apapun bahasanya, manusia membagi spektrum warna
secara sistematik dengan praktik penamaan yang serupa mengikuti kebutuhan
kognitifnya; (2) penutur dari bahasa apapun akan kesulitan jika diminta mengidentifikasi
batasan warna tertentu pada spektrum warna.
E. Daftar Pustaka
Wardhaugh, R. & Fuller, J.M. (2015). An introduction to sociolinguistics
(7th ed.). West Sussex: Wiley Blackwell.
Wardhaugh, R. (2000). An introduction to sociolinguistics (3th ed.).
Oxford: Blackwell Publisher Ltd.

Strazny, P. (Ed.). (2005). Encyclopedia of linguistics. Oxon: Fitzroy


Dearborn.
McNeill, N. B. (1972). Colour and colour terminology. Journal of
Linguistics, Vol. 8, No. 1, 21-33.
Davies, I.R.L., Roling, P., Corbett, G.G., et.al. (1998). Color terms and
color term acquisition in Damara. Journal of Linguistic
Anthropology, 7(2), 181-207.

Anda mungkin juga menyukai