Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus RNA yang
dapat menyebabkan penyakit klinis yang dikenal dengan Acquired
Immunodeificiency Syndrome (AIDS). Transmisi dari ibu ke anak merupakan
sumber utama penularan infeksi HIV pada anak. Peningkatan transmisi dapat
diukur dari status klinis, imunologis dan virology maternal. Menurut
beberapa penelitian, kehamilan dapat meningkatkan progresi imunosupresi
dan penyakit maternal. Ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat
meningkatkan resiko komplikasi pada kehamilan2
Pada tahun 2001, United Nation General Assembly Spescial Session
untuk HIV/AIDS berkomitmen untuk menurunkan 50% proporsi infeksi HIV
pada bayi dan anak, pada tahun 2010 program tersebut termasuk intervensi
yang berfokus pada pencegahan primer infeksi HIV pada wanita dan
pasangannya, pencegahan transmisi dari ibu ke anak, penatalaksanaan,
perawatan serta bantuan bagi wanita yang hidup dengan HIV/AIDS, anak dan
keluarga mereka. Oleh karena itu, untuk memberantas transmisi vertical yang
terus meningkat diperlukan penatalaksanaan yang tepat pada ibu dan bayi
selama masa antepartum, intrapartum dan postpartum1,2
Dengan demikian, karena adanya potensi yang serius dari HIV/AIDS
pada kehamilan dan anak, setiap ibu hamil dan anak-anak yang menderita
HIV/AIDS perlu manajemen atau penanganan yang lebih intensif, sehingga
morbiditas maupun mortalitas ibu maupun janinnya serta anak-anak dapat
ditekan serendah mungkin.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah penatalaksanaan HIV/AIDS dalam kehamilan dan
anak?
C. Tujuan
Untuk mengetahui manajemen atau penatalaksanaan HIV/AIDS dalam
kehamilan dan anak.
D. Manfaat
Untuk mengetahui tatalaksana terapi HIV/AIDS dalam kehamilan dan
anak agar komplikasi dari penyakit ini dapat segera ditangani.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk family retrovirus. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV1
B. ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili
Retrovirus dan subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua
serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy
associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada
kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang
menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom
defisiensi imun (AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T
cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus
(LAV) dan AIDS-associated virus3,4
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti
(core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid
bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA
virus ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus
mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum
diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan
enzim reverse transkriptase5
Pada selubung (envelope) terdapat glikoprotein permukaan, terdiri dari
dua protein yang mengkordinasi masuknya HIV kedalam sel. Glikoprotein
yang lebih besar dinamakan gp 120, adalah komponen yang menspesifikasi sel
yang diinfeksi. gp 120 ini terutama akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu

suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit,
sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel
kripta dan sel-sel enterokromafin). Glikoprotein yang besar ini adalah target
utama dari respon imun terhadap berbagai sel yang terinfeksi. Glikoprotein
yang lebih kecil, dinamai gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat
bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor
sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu
membentuk sinsitium5
C. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan

Penelitian

yang

dilakukan

oleh

World

Health

Organization ( WHO) pada tahun 2008, lebih dari 15,7 juta wanita dan 2,1 juta
anak dibawah umur 15 tahun hidup dengan AIDS. Di Amerika Serikat sendiri,
tercatat 71% terinfeksi HIV terjadi pada wanita berumur 25 sampai 44 tahun
dan 20% dari kasus mengidentifikasi wanita berkulit hitam. Sebanyak 80%
kasus disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20% akibat terkontaminasi
jarum suntik dan sisanya melalui transfuse darah dan transmisi perinatal1,2
HIV tipe 1 lebih banyak ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan
HIV tipe 2 merupakan virus endemic di Afrika, Portugal, Perancis2
Di Indonesia diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi
HIV adalah 90.000 sampai 130.000. Survey yang dilakukan di Tanjung Balai
Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil yang
terinfeksi HIV yaitu 1% pada tahun 1996 dan menjadi lebih dari 8,3% pada
tahun 20001
D. PATOFISIOLOGI
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan
menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya.
Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul gp 120 dari selubung virus. Diantara sel tubuh

yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4 yang paling
banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada
limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel
limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga seluruh
komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali
selubungnya. Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse
transcriptase. Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan
diubah menjadi suatu DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai
mekanisme proofreading (mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka
terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini.
Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini
menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi yang
berkelanjutan terhadap pengobatan3,6
Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse.
Akibat aktivitas enzim ini, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan
seuntai DNA yang tadi telah terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi
dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini
kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke
dalam DNA sel penjamu dangan bantuan enzim integrase, dan DNA ini
disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan
laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada
aktivitas dan diferensiasi sel penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai
kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu DNA ini untuk keluar dari
DNA inang dan menjadi aktif, serta selanjutnya terjadi replikasi dalam
kecepatan yang tinggi. Keadaan laten ini dapat berlangsung selama 1 sampai
12 tahun dari infeksi awal HIV dan dalam keadaan ini pasien tidak
mempunyai gejala (asimptomatik). Pada stadium laten ini, HIV dan respon
imun anti HIV dalam tubuh pasien dalam keadaan steady state1,6
Infeksi akut dengan cepat meningkatkan viral load dan menyebabkan
viremia yang ringan sampai moderat. Walaupun viral load cenderung menurun

dengan cepat setelah infeksi akut pada orang dewasa, viral load menurun lebih
lambat pada anak-anak yang terinfeksi secara vertical (2-3 bulan setelah
terinfeksi, jumlah viral load dalam tubuh mereka menetap sekitar
750.000/mL) dan dapat tidak mencapai level steady state sampai mereka
berumur 4-5 tahun. Hal ini disebabkan karena imaturitas sistem imun mereka.
Walaupun bayi-bayi mempunyai sejumlah antigen presenting cell dan sel-sel
efektor lebih banyak daripada orang dewasa, produksi sitokin, proliferasi dan
sitotoksisitas sel-sel tersebut pada mereka jauh lebih berkurang karena infeksi
HIV ini. Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas mengakibatkan perubahan
pada fungsi dan penghancuran sel T-CD4, hingga populasinya berkurang.
Mekanisme disfungsi dan penurunan jumlah sel limfosit T-CD4 ini diduga
melalui proses pengaruh sitopatik langsung HIV (single cell killing),
pembentukkan sinsitium, respon imun spesifik, limfosit T sitolitik yang
spesifik untuk HIV, mekanisme autoimun dan anergi. Dengan menurunnya
jumlah dan fungsi sel T-CD4 yang merupakan orchestrator dari suatu sistem
imun, maka individu yang terinfeksi HIV akan lebih berisiko untuk terkena
infeksi opportunistik, infeksi sistemik berat, penyakit sistem organ yang
kemudian berakhir dengan kematian1,3,5,
Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, secara
horizontal maupun vertikal (dari ibu ke anak).
1. Melalui hubungan seksual
Baik secara vaginal, oral ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini
adalah cara yang umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia.
Lebih mudah terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan
ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonore. Resiko
pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vaginal dan resiko juga lebih
besar pada yang reseptive daripada yang insertie. Diketahui juga epitel
silindris pada mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis
ternyata mempunyai reseptor CD4 yang merupakan target utama HIV7

2. Transmisi horisontal (kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum


suntik).
a. Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, resikonya sekitar 0,51% dan telah terdapat 5-10% dari total kasus sedunia7
b. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik pada
para pecandu narkotik suntik. Resikonya sangat tinggi sampai lebih
dari 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia7
c. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
Resikonya sekitar kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari
0,1% dari total kasus sedunia7
3. Infeksi HIV secara vertikal terjadi pada satu dari tiga periode berikut :
a. Intra-uterine
Terjadi sebelum kelahiran atau pada masa awal kehamilan sampai
trisemester kedua, yang mencakup kira-kira 30-50% dari penularan secara
vertikal. Janin dapat terinfeksi melalui transmisi virus lewat plasenta dan
melewati selaput amnion, khususnya bila selaput amnion mengalami
peradangan atau infeksi5
b. Intra-partum
Transmisi vertikal paling sering terjadi selama persalinan, kurang
lebih 50-60%, dan banyak faktor-faktor mempengaruhi resiko untuk
terinfeksi pada periode ini. Secara umum, semakin lama dan semakin
banyak jumlah kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi serviks dan
vagina, maka semakin besar resiko penularan. Bayi prematur dan BBLR
mempunyai resiko terinfeksi lebih tinggi selama persalinan karena barier
kulitnya yang lebih tipis dan pertahanan imunologis pada mereka lebih
lemah1,5
c. Post-partum
Bayi baru lahir terpajan oleh cairan ibu yang terinfeksi dan bayi
dapat tertular melalui pemberian air susu ibu yang terinfeksi HIV kira-kira
7-22%. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama
dalam kandungan, persalinan dan menyusui5
E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada
beberapa macam klasifikasi. Yang paling umum dipakai adalah klasifikasi
yang dibuat oleh Center for Disease Control (CDC), USA,8 sebagai berikut :

Stadium awal infeksi HIV


Stadium tanpa gejala
Stadium ARC (AIDS related complex)
Stadium AIDS
Stadium gangguan susunan saraf pusat.

Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya
gejala pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Dari
penelitian pada sebagian besar kasus dikatakan masa inkubasi rata-rata 510 tahun, dan bervariasi sangat lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih
dari 10 tahun. rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang
dewasa walaupun belum ada gejala, tetapi yang bersangkutan telah dapat
menjadi sumber penularan.

Stadium awal infeksi


Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus umumnya yaitu berupa

demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, mialgia, pembesaran kelenjar dan


rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran
menurun.10 Sindrom ini akan menghilang dalam beberapa minggu. Dalam
waktu 3-6 bulan kemudian tes serologi baru akan positif, karena telah
terbentuk antibodi. Masa 3-6 bulan ini disebut window periode, dimana
penderita dapat menularkan naamun secara laboratorium hasil tes HIV-nya
negative8

Stadium tanpa gejala


Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya bisa

bertahun-tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-pelan
terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya. Walaupun tidak ada gejala, kita
tetap dapat mengisolasi virus dari darah pasien dan ini berarti bahwa selama
fase ini pasien juga infeksius. Tidak diketahui secara pasti apa yang terjadi

pada HIV pada fase ini. Mungkin terjadi replikasi lambat pada sel-sel tertentu
dan laten pada sel-sel lainnya. Tetapi jelas bahwa aktivitas HIV terjadi dan ini
dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu.
Mungkin sampai jumlah virus tertentu tubuh masih dapat mengantisipasi
sistem imun7,8

Stadium AIDS related complex


Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi 2 atau lebih

gejala klinis yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :

Berat badan turun lebih dari 10%


Demam lebih dari 380C
Keringat malam hari tanpa sebab yang jelas
Diare kronis tanpa sebab yang jelas
Rasa lelah berkepanjangan
Herpes zoster dan kandidiasis mulut
Pembesaran kelenjar limfe, anemia,

trombositopenia Ditemukan antigen HIV atau antibody terhadap HIV4


Stadium AIDS

leucopenia,

limfopenia,

Dalam stadium ini kekebalan tubuh penderita telah demikian rusaknya,


sehingga pada tahap ini penderita mudah diserang infeksi oportunistik antara
lain : TBC, kandidiasistoxoplasmosis, pneumocystis, disamping itu juga dapat
terjadi sarkoma kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) dan limfoma3
Orang dewasa dicurigai menderita AIDS bila dijumpai minimal 2
gejala mayor dan 1 gejala minor1,3,4
Gejala-gejala mayor tersebut adalah:
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari 1 bulan
Demam lebih dari 1 bulan (terus-menerus/intermitten).
Gejala-gejala minor yaitu :

Batuk lebih dari 1 bulan


Dermatitis Herpes zoster rekuren
Kandidiasis orofaring
Limfadenopatia umum
Herpes simpleks diseminata yang kronik&progresif.

Anak-anak diduga menderita AIDS bila didapati minimal 2 gejala


mayor dan minor dengan catatan tidak ada riwayat imunosupresi, misalnya
kanker atau malnutrisi berat3
Gejala mayor :

o
o
o
o

Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat dan abnormal.


Diare kronik lebih dari 1 bulan
Demam lebih dari 1 bulan
Gejala minor :
Limfadenopatia umum
Kandidiasis orofaring Infeksi umum (otitis, faringitis)
Batuk persisten
Dermatitis umum Infeksi HIV maternal
Stadium gangguan susunan saraf pusat
Virus AIDS selain menyerang sel limfosit T4 yang merupakan sumber

kekebalan tubuh, ternyata juga menyerang organ-organ tubuh lain. Organ yang
paling sering adalah otak dan susunan saraf lainnya. Selain itu akibat infeksi
oportunistik juga dapat menyebabkan gangguan susunan saraf pusat.
F. KEHAMILAN DAN INFEKSI HIV/AIDS
1. Pengaruh kehamilan pada perjalanan HIV
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian,
progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita
yang terinfeksi HIV6
Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh
Burns, dkk. Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada
awal kehamilan untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak
menderita HIV, presentase sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester
ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang
terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah melahirkan
walaupun tidak bermakna secara statistik. Nemun penelitian dari European
Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sample
yang lebih besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4 selama
kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap stabil. Kehamilan ternyata

10

hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV. Kadar virus HIV
meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistik tidak
bermakna. Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi
AIDS. Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi
HIV dan pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi
AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari 2002,3,5
2. Pengaruh infeksi pada HIV
Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan
bahwa HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir
rendah atau gangguan pertumbuhan intra uterin. 3 Sedangkan di negara
berkembang, infeksi HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas,
gangguan pertumbuhan intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama
pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga
karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi3
3. Transmisi vertical HIV
Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang
dilaporkan berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di
negara

berkembang

dibandingkan

dengan

negara

maju

(21%-43%

dibandingkan 14%-26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin,


intrapartum dan post partum. Sebagian besar penularan terjadi intra partum.
Pada ibu yang tidak menyusui, 24%-40% penularan terjadi intra uterin dan
60%-75% terjadi selama persalinan. Sedangkan pada ibu yang menyusui
bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin, 60%-70% intra
partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah persalinan. Resiko
infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan 4%
dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif3,5
a. Transmisi Intra-uterin
Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA
HIV, IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama
membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Walaupun
masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan

11

patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit
atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat
mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara
tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel
Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD41
Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme
yang masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human
chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui
beberapa cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta,
mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis
sel-sel yang terinfeksi HIV-1. Menurut Pediatric Virology Committee of the
AIDS Clinical Trials Group (PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/infeksi
awal, jika tes virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes
berikutnya juga positif5
Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang berperan pada
transmisi antepartum seperti yang tercantum pada table 1. Malnutrisi yang
seringkali ditemukan pada wanita dengan HIV-AIDS akan meningkatkan
resiko

transmisi

karena

akan

menurunkan

imunitas,

meningkatkan

progresivitas penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan lahir rendah dan
prematuritas dan menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan integritas
fetus. Pada penelitian prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A
(kurang dari 1,05 mmol/L) yang dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T
dan sel B ternyata berhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun
penelitian Dreyfuss, dkk tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi
mikronutrien akan meningkatkan transmisi antepartum atau sebaliknya7
b. Transmisi Intra-Partum
Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan
virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu
berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui5

12

Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal


yang mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada
jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi HIVAIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan
sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan
dengan duh tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi
vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan
menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga
akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV secara
vertical. Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus
serviks atau vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya,
persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan
vakum atau forceps, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah
lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi
antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
4 jam sebelum persalinan5
Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan
atau menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu,
resiko penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV
primer. Namun, belum ada angka pasti pada kadar HIV berapa penularan
dapat terjadi. Penelitian dari Women and Infants Transmission Study
menunjukkan pada kadar HIV ibu <> 1,2 Garcia, dkk melaporkan 21%
penularan HIV pada ibu dengan kadar HIV menjelang atau saat persalinan
<100.000>100.000 kopi/mL penularan yang terjadi 63%.1 John, dkk
menemukan penularan empat kali lebih tinggi pada ibu dengan kadar
HIV>43.000 kopi/mL. Namun, kadar HIV yang rendah atau tidak terdeteksi
tidak menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada beberapa kasus
penularan tetap terjadi. John, dkk pada penelitiannya mengemukakan
transmisi yang terjadi pada tiga orang ibu dengan kadar HIV<5000>1 juta
kopi/mL. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat persalinan juga akan
menentukan kadar HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener, dkk

13

mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3
bulan pertama kehidupannya. Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga
mempengaruhi transmisi perinatal. Prematuritas dan berat badan lahir rendah
diduga berperan karena sistem imunitas pada bayi tersebut belum berkembang
baik. Beberapa penelitian menghubungkan kelahiran prematur dengan stadium
penyakit HIV ibu, penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar, urutan
kelahiran juga memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi yang lahir
pertama kali mempunyai resiko penularan dua kali lebih tinggi dibandingkan
bayi yang lahir kedua. Hal tersebut disebabkan bayi yang lahir pertama lebih
lama berada dijalan lahir dan biasanya berukuran lebih besar, sehingga secara
tidak langsung membersihkan jalan lahir untuk bayi yang lahir berikutnya5,7,8
c. Transmisi Post-Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup banyak.
Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV
adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan
non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV ditemukan pada 58%
pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu
ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV
dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9
bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling
tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada
bulan-bulan berikutnya8
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4
ibu, defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di
dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada
yang tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat
mempertinggi resiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis
atau luka diputing susu, abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi,
prematuritas dan respon imun bayi5,7
Periode
Antepartum

Factor
Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu,

14

defisiensi vitamin A, mutasi koreseptor HIV gp120 dan gp160,


malnutrisi, perokok, pengambilan
sample vili korion, amniosentesis.
Kadar
HIV
pada
cairan

Intrapartum

servikovaginal ibu, cara persalinan,


ketuban pecah sebelum waktunya,
persalinan prematur, penggunaan
elektrode

pada

kepala

janin,

penyakit

ulkus

genital

aktif,

laserasi vagina, korioamnionitis,


episiotomi,

persalinan

dengan

vakum atau forseps


Air susu ibu, mastitis

Pascapersalinan

Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan diatas, resiko transmisi


juga dipengaruhi jenis virus. Transmisi vertikal pada ibu yang menderita HIV2 jauh lebih rendah daripada HIV-1, hanya 1%. Demikian juga angka
kematian bayi yang terinfeksi HIV-1 lebih tinggi daripada bayi yang
terinfeksi HIV-23
G. DIAGNOSIS INFEKSI HIV/AIDS
Seperti penyakit lain, diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium.
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :
o Lahir dengan ibu resiko tinggi.
o Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.
o Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan
tanpa uji HIV.
o Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu
narkotika)
o Homoseksual atau biseksual2,9

15

Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit


menular seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh,
adanya ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitiel,
keganasan sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang
pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana
hingga yang relatif sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya
antibodi anti-HIV misalnya dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant
Assay) yang dilanjutkan dengan uji yang lebih pasti seperti Western blot assay
dan lain-lainnya2
1. PEMERIKSAN LABORATORIUM
Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas tiga
kelompok, yaitu :
o Pembuktian adanya antibodi atau antigen HIV
HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri dari
protein yang bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukkan
antibodi dalam tubuh yang terinfeksi. Jenis antibodi yang telah diketahui
banyak sekali, tetapi yang penting untuk diagnostik adalah : antibodi gp41.
gp120 dan p249
Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :
a. Tes untuk menguji antibody HIV
Terdapat berbagai macam cara yaitu: ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay), Western Blot, RIPA (RadioImmunoPresipitation
Assay) dan IFA (ImmunoFluorescence Assay).
o Pemeriksaan status imunitas
Untuk ini dapat dilakukan pemeriksaan Hb, jumlah leukosit, trombosit,
jumlah limfosit dan sediaan apus darah tepi atau sumsum tulang. Pada pasien
AIDS dapat ditemukan anemia, leukopenia/limfopenia, trombositopenia, dan
displasia sumsum tulang normo atau hiperseluler. Dapat dilakukan
perhitungan jumlah sel limfosit T, limfosit B, sel limfosi CD4 dan CD8.
Dikatakan terjadi gangguan sistem imun bila telah terjadi penurunan jumlah
16

sel limfosit, sel CD4 dan menurunnya ratio CD4/CD8. Tes kulit DTH
(Delayed Type Hypersensitivity) untuk tuberkulin dan kandida yang hasilnya
negatif atau anergi menunjukkan kegagalan imunitas seluler. Mungkin saja
jumlah CD4 masih normal, tetapi fungsinya sudah menurun. Dapat terjadi
poliklonal hipergammaglobulinemia (IgA dan IgG) yang menunjukkan adanya
rangsangan non apesifik terhadap sel B untuk membentuk imunitas seluler5,9
o Pemeriksaan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan
Setiap infeksi oportunistik atau kanker sekunder yang ada pada pasien
AIDS diperiksa sesuai dengan metode diagnostik penyakitnya masing-masing.
Misalnya pemeriksaan untuk kandidiasis, PCP, TBC paru, dan sebagainya.
Kadang-kadang perlu pemeriksaan penunjang lain, seperti laboratorium rutin,
serologis, radiologis, USG, CT scann, bronkoskopi, pembiakan, histopatologi
dan sebagainya7
2. Diagnosis infeksi HIV pada wanita
Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan,
waktu dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi
spesifik IgG merupakan tes dengan spesifikasi yang tinggi. Sering yang reaktif
terhadap anti HIV pada uji saring, sebaiknya diuji ulang dan hasilnya
dikonfirmasikan dengan sistem uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera
harus diambil ulang untuk mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada
umumnya wanita yang terinfeksi menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8
minggu setelah infeksi, meskipun pada beberapa kasus antibodi tersebut tidak
timbul setelah 6-9 bulan kemudian. Hasil negatif tes antibodi berarti wanita
tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6 bulan yang lalu, tetapi dapat
juga berarti uji negatif palsu (false negatif), bila wanita itu diuji pada waktu
periode jendela (window periode) antara infeksi dan serokonversi8,9
3. Diagnosis HIV pada anak
Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan
Western Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum
usia 18 bulan. Hal ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu
yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan.

17

Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga
dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan
tetapi, sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah4
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan
antara lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk
mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24.1 Infeksi HIV
ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan
kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak
terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif.
Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan
antibodi menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut
tidak terinfeksi bila dua kali pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif.
Pemeriksaan

antibodi

ini

kemudian

pemeriksaan Western Blot1,3,4

18

dilanjutkan

dengan

konfirmasi

Bila timbul kecurigaan anak terinfeksi HIV, penting untuk melakukan


konseling pada ibunya dan meminta persetujuan sebelum melakukan tes darah
ibu. Bila ibu positif terinfeksi, maka perlu juga melakukan tes pada suaminya.
Selanjutnya konseling pasca tes juga diperlukan bila hasilnya pada anaknya
terbukti positif agar orangtua mengetahui gambaran mengenai penyakit
anaknya, cara melakukan perawatan di rumah, menjaga kualitas hidup anak
sebaik mungkin, cara pencegahan penularan perinatal pada anak selanjutnya
dan bekerja sama dengan pihak-pihak lain seperti psikolog, lembaga sosial,
tokoh agama dan petugas-petugas kesehatan lainnya.
Di Indonesia untuk mendefinisikan kasus HIV pada anak dipakai
kriteria WHO/UNAIDS :
Anak berumur 18 bulan atau kurang :
Ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2 gejala minor dengan
ibu yang HIV positif. Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang
tidak berkaitan dengan infeksi HIV.

Anak berumur diatas 18 bulan :


Menunjukkan tes HIV yang positif, dan sekurang-kurangnya
didapatkan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dibawah ini dengan ibu HIV
positif dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak
berkaitan dengan infeksi HIV.
Gejala mayor :
o Berat badan menurun atau gagal tumbuh
o Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
19

o Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
o Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
o Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali
o Kandidiasis oral atau tenggorokan
o Infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang (misalnya otitis media akut,
faringitis Batuk kronis
o Dermatitis yang luas
o Ensefalitis.
Manifestasi lain yang mungkin timbul tetapi tidak termasuk dalam
kriteria

diagnosis,

antara

lain

masalah

persarafan,

keterlambatan

perkembangan, pembesaran kelenjar parotis pada kedua sisi, abses berulang,


meningitis dan herpes simplex yang berulang dan persisten.
Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji
HIV pada orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat
ASI pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila
ASI sudah dihentikan selama > 6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan
lagi sumber nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk
menghentikan ASI sebelum dilakukan diagnosis HIV.

20

21

Profilaksis kotrimoksasol dapat dihentikan bila:


o Untuk bayi dan anak yang terpajan HIV saja dan tidak terinfeksi
(dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, baik PCR 2 kali atau
antibodi pada usia sesuai), profilaksis dapat dihentikan sesudah status
ditetapkan (sesingkatnya umur 6 bulan atau sampai umur 1 tahun)
o Untuk anak yang terinfeksi HIV:
a) Umur < 1 tahun profilaksis diberikan hingga umur 5 tahun atau diteruskan
seumur hidup tanpa penghentian
b) Umur 1 sampai 5 tahun profilaksis diberikan seumur hidup.
c) Umur > 5 tahun bila dimulai pada stadium berapa saja dan CD4< 350 sel,
maka dapat diteruskan seumur hidup atau dihentikan bila CD4>350 sel/ml
setelah minurm ARV 6 bulan. Bila dimulai pada stadium 3 dan 4 maka
profilaksis dihentikan jika CD4 > 200 sel/ml.
H. PENATALAKSANAAN HIV//AIDS

22

1) Penilaian Dan Tata Laksana Setelah Diagnosis Infeksi HIV/AIDS

Ditegakkan pada Anak


Kaji status nutrisi dan pertumbuhan, dan kebutuhan intervensinya.
Pemberian vitamin A berkala
Kaji status munisasi.
Kaji tanda dan gejala infeksi oportunistik dan pajanan TB. Bila dicurigai
terdapat infeksi oportunistik (IO), lakukan diagnosis dan pengobatan IO

sebelum pemberian ART.


Lakukan penilaian stadium penyakit HIV menggunakan kriteria klinis

(Stadium klinis WHO 1 sampai 4).


Pastikan anak mendapat kotrimoksazol (prosedur III).
Identifikasi pemberian obat lain yang diberikan bersamaan, yang mungkin

mempunyai interaksi obat dengan ARV.


Lakukan penilaian status imunologis (stadium WHO dari mulai tidak ada

supresi hingga supresi imunologis berat) (prosedur VI)


Periksapersentase CD4 (pada anak < 5 tahun) dan nilai absolut CD4 (pada

anak 5 tahun).
Nilai CD4 dan persentasenya memerlukan pemeriksaan darah tepi

lengkap.
Kaji apakah anak sudah memenuhi kriteria pemberian ARV.
Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko

terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya


Identifikasi orang yang mengasuh anak ini dan kesediaannya untuk

mematuhi pengobatan ARV dan pemantauannya.


Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta

informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga.


Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai perjalanan
ke klinik, kemampuan membeli

atau

menyediakan

tambahan

makanan untuk anak yang sakit dan kemampuan membayar bila ada
penyakit yang lain.
Kriteria Pemberian ARV
Penetapan kriteria klinis Segera setelah diagnosis infeksi HIV
ditegakkan, dilakukan penilaian stadium klinis (lihat lampiran). Penilaian

23

stadium ditetapkan menurut kondisi klinis paling berat yang pernah dialami,
dibandingkan dengan tabel11

Penetapan kelas imunodefisiensi Kelas imunodefisiensi ditetapkan


berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, terutama nilai persentase pada anak
umur < 5 tahun11

Indikasi terapi

ARV menggunakan kombinasi kriteria klinis

dan

imunologis Anak berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka
terindikasi untuk mendapat pengobatan ARV sesegera mungkin11

Pemberian ARV pada bayi dan anak < 18 bulan dengan diagnosis
presumtif Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV11

24

Segera setelah diagnosis konfirmasi dapat dilakukan (mendapat


kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu
sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang);
maka dilakukan penilaian ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV atau
tidak. Bila hasilnya negatif maka pemberian ARV dihentikan11
Rekomendasi ARV
Paduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI)
Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat 3 kombinasi paduan ARV (pilih
warna yang berbeda)

Gunakan 3TC sebagai NRTI pertama


dikombinasi dengan 3Tca 1 NNRTI

25

1 NRTI lain untuk

Lini pertama alternative untuk anak > 2 tahun: TDF + 3TC/FTC +


EFV/NVP

26

Pemantauan Respon Terhadap ARV


Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus dalam terapi ARV merupakan
masa penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga
harus

diwaspadai

kemungkinan

toksisitas

obat

dan/atau

Immune

Reconstitution Syndrome (IRIS). Beberapa anak gagal mencapai perbaikan


dan bahkan menunjukkan tanda deteriorasi klinis. Komplikasi yang terjadi
pada minggu-minggu pertama umumnya lebih banyak ditemukan pada anak
defisiensi imun berat. Meskipun demikian tidak selalu berarti respons yang
buruk, karena untuk mengontrol replikasi HIV dan terjadinya perbaikan
sistim imun memerlukan waktu. Juga diperlukan waktu untuk membalik
proses katabolisme akibat infeksi HIV yang sudah terjadi selama ini, terutama
pada anak dengan wasting. Selain itu ada anak yang menunjukkan
eksaserbasi infeksi subklinis yang selama ini sudah ada seperti contohnya TB,
sehingga tampak seperti ada deteriorasi klinis. Hal ini bukan karena
kegagalan terapi tetapi karena keberhasilan mengembalikan fungsi sistim
imun (immune reconstitution). Oleh karena itu penting untuk mengamati hasil
terapi lebih lama sebelum menilai efektivitas paduan pengobatan yang dipilih
dan mempertimbangkan terjadinya IRIS. Pada waktu penting ini yang perlu
dilakukan adalah mendukung kepatuhan berobat dan bukan mengganti obat11
Tata Laksana Kegagalan Pengobatan ARV Lini Pertama
Kegagalan terapi ARV dinilai dari klinis, imunologis dan virologis.
Parameter yang lebih dahulu muncul adalah kegagalan virologis (bila VL
kembali mencapai 5000 copieRNA/ml, diperiksa dalam 2 kali pemeriksaan
pada saat yang berbeda), diikuti dengan kegagalan imunologis (bila nilai CD4
turun pada 2 kali pemeriksaan yang dilakukan dengan jarak 3 bulanan) dan
terakhir muncul kegagalan klinis berupa munculnya penyakit baru yang
tergolong pada stadium 3 atau 4. Pada anak yang patuh minum obat, kriteria
gagal imunologis adalah:

27

Pada anak > 2 tahun- < 5 tahun, nilai CD4 <200 sel/mm3 atau CD4 <10%
Pada anak > 5 tahun hitung CD4 <100 sel/mm3

Panduan Lini Kedua Yang Direkomendasikan Untuk Bayi Dan Anak

2) Penilaian dan Tatalaksana Setelah Diagnosis HIV/AIDS Pada


Wanita Hamil
a. Menghindari Faktor Resiko
Menghindari faktor-faktor resiko tersebut antara lain dengan cara :
1. A : Abstinence ( jauhi seks), maksudnya menghindari hubungan
seksual di luar pernikahan dengan siapapun.
2. B : Be faithful (setia dengan pasangan), maksudnya hindari bergantiganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual
3. C : Condom, pakailah kondom setiap melakukan hubungan seksual
penetratif (terutama bagi lesbian yang menggunakan alat-alat bantu)
yaitu melakukan hubungan kelamin, baik secara anal, vaginal maupun
oral. Karena kondom dapat mencegah pertukaran cairan tubuh yang
mungkin mengandung HIV.
4. Hindari hubungan dengan tuna susila (wanita maupun pria) meskipun
di daerah yang dikatakan bebas AIDS.
5. Perhatikan cara sterilisasi bila kita menggunakan alat-alat seperti
jarum, jarum suntik, alat tusuk untuk tato, tindik. Hindari perilaku
pemakaian jarum suntik secara bergantian atau bersamaan7,10
Peranan konseling tes HIV sangat diperlukan melihat banyaknya faktorfaktor resiko untuk terjadinya HIV-AIDS. Konseling dan tes HIV sebaiknya

28

dilakukan oleh setiap pasangan. Konseling dan tes HIV sukarela atau sering
disebut Voluntary counseling and testing (VCT) adalah kegiatan melakukan
konseling dan tes HIV secara sukarela atas kemauan pasien sendiri. Di dalam
VCT ada 2 kegiatan utama yaitu konseling dan tes HIV. Konseling dalam
rangka VCT terutama dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV.. Konseling
setelah tes HIV dapat dibedakan menjadi dua yakni konseling untuk hasil tes
positif dan konseling untuk hasil tes negatif. Namn demikian sebenarnya
masih banyak jenis konseling lain yang sebenarnya perlu diberikan kepada
pasien berkaitan dengan hasil VCT yang positif, seperti konseling
pencegahan, konseling kepatuhan berobat, konseling keluarga, konseling
berkelanjutan, konseling menghadapi kematian dan konseling untuk masalah
psikiatris yang menyertai klien/keluarga dengan HIV-AIDS10
Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang sudah terinfeksi HIV-AIDS dan keluarganya, atau semua
orang yang mencari pertolongan karena merasa telah melakukan tindakan
berisiko di masa lalu dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun
berisiko tinggi10
Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni :

Dilakukan dengan sukarela, tanpa paksaan


Dengan persetujuan klien ( informed consent )
Adanya proses konseling
Tidak boleh dilakukan tanpa adanya konselor atau dilakukan diam-diam
Tes dilakukan dengan menjaga kerahasiaan
Pada wanita hamil deteksi dini infeksi HIV tergantung saat yang tepat

seorang wanita mengetahui status HIV nya. Sehingga perlu di pertimbangkan


peran konseling dan tes HIV bagi ibu hamil. Dukungan psikososial sangat
penting untuk wanita yang diidentifikasi sebagai penderita HIV semasa
kehamilan yang secara emosional akan terganggu8,10

29

Sejak pertama kali seorang perempuan dirinya hamil dan mengunjungi


bidan, puskesmas, klinik bersalin, bagian kebidanan rumah sakit, maupun
dokter kandungan untuk memeriksakan kandungannya maka disaat itulah
peranan konselor, petugas kesehatan, dan para penolong persalinan untuk
memberikan informasi dan pendidikan HIV/AIDS. Informasi mengenai
HIV/AIDS sangatlah tepat disisipkan pada kunjungan pemeriksaan kehamilan
tersebut. Setelah mendapat penyuluhan dan konseling, tes HIV secara sukarela
juga dapat disertakan atas persetujuan ibu dalam paket pemeriksaan darah
lainnya8
Konseling pra dan pasca tes HIV
Konseling pra dan pasca tes bagi perempuan hamil menyangkut
beberapa hal di bawah ini :
1. Konseling pra tes
Informasi mengenai penularan HIV melalui hubungan seksual dan

bagaimana mencegahnya8
Informasi mengenai penularan HIV dari ibu ke anak dan
bagaimana

penanggulangannya

Jaminan

kerahasiaan

dan

bagaimana mendiskusikan kerahasiaan dan kemungkina konseling

bagi pasangan8
Implikasi dari tes negatif : termasuk program promosi menyusui

dengan asi8
Implikasi dari tes positif : keuntungan dan kerugiannya intervensi

yang di pilih8
2. Konseling pasca tes
Informasi untuk mencegah penularan masa depan
Dianjurkan untuk melakukan tes kembali
Promosi ASI eksklusif kepada ibu hamil yang tidak terdeteksi HIV
b. Pemberian Antiretrovirus ART
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi
HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal.
Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai

30

dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20%
dengan terapi antiretrovirus10
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah
menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki
kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang
menyertai HIV10
1. Monoterapi Zidovudine
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko
transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology
Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang
diberikan peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin
intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup
yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu8,9,10

2. Neviravin
Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan
disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2
atau 3 hari. Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali
wanita hamil terinfeksi HIV-AIDS baru dating pada saat melahirkan8,9,10

31

Keterangan :
Kategori B

: Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada

hewan, namun belum terdapat penelitian pada wanita hamil; atau


penelitian pada hewan menunjukkan efek samping yang yang tidak sesuai
dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemestar pertama (dan
tidak beresiko pada trisemester berikutnya).
Kategori C

: Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin

(teratogenik atau embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat penelitian


kontrol pada wanita hamil atau belum terdapat penelitian efek samping
obat pada hewan ataupun wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan
jika keuntungannya melebihi resiko potensial pada janin.
Kategori D

: Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin

manusia, namun keuntungan pada wanita hamil dapat diterima


dibandingkan resikonya terutama untuk penyelamatan jiwa.

32

33

34

Semua wanita hamil yang memiliki indikasi ART sebaiknya menerima

ART (A-III)10
Ibu hamil dengan HIV harus diberikan rejimen kombinasi ART untuk
menekan secara maksimal replikasi virus, yang efektif untuk mencegah
perkembangan resistensi dan meminimalkan resiko transmisi perinatal (A-

II)10
Wanita dengan indikasi ART harus diberikan ART tanpa memandang usia

kehamilan (A-IV)10
Regimen lini pertama untuk terapi antiretroviral untuk wanita hamil adalah

AZT+3TC+NVP (A-IV)10
Wanita hamil yang pernah menerima profilaksis ART pada kehamilan
sebelumnya, dapat kembali menerima profilaksis ART sesuai yang

35

direkomendasikan oleh PMTCT, selayaknya wanita hamil yang belum


pernah terpapar ART (A-III)10
c. Penanganan Intrapartum
Kewaspadaan

menyeluruh

atau

Universal

Precaution

harus

diperhatikan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penularan dari ibu


ke bayi, penolong maupun petugas kesehatan lainnya. Hindari memecahkan
ketuban pada awal persalinan, terjadinya partus lama dan laserasi pada ibu
maupun bayi. Karena itu pada kemacetan persalinan maka tindakan Seksio
Sesarea adalah lebih baik dari memaksakan persalinan per vaginam. Petugas
kesehatan harus memakai sarung tangan vynil, bukan saja pada pada
pertolongan persalinan tetapi juga pada waktu membersihkan darah , bekas
air ketuban dan bahan lain dari pasien yang melahirkan dengan HIV.
Penolong persalinan harus memakai kaca mata pelindung, masker, baju
operasi yang tidak tembus air dan sering kali membersihkan atau mencuci
tangan. Membersihkan lendir atau air ketuban dari mulut bayi harus memakai
mesin isap, tidak dengan catheter yang diisap dengan mulut. Bayi yang baru
lahir segera dimandikan dengan dengan air yang mengandung dasinfectan
yang tidak mengganggu bayi1,2,9
Pemberian ART Intrapartum
o Intrapartum AZT intravena AZT direkomendasikan untuk semua
perempuan
hamil terinfeksi HIV, terlepas dari rejimen antepartum, untuk
mengurangi penularan perinatal HIV (AI)2,10
o Wanita yang menerima antiretroviral antepartum (ART) rejimen
obat harus meneruskan obatnya selama persalinan (AIII)10
o Perempuan dengan status HIV tidak diketahui harus menjalani
rapid test (AII). Jika hasilnya positif, tes HIV konfirmasi harus
dilakukan sesegera mungkin dan ART ibu / bayi ART diberikan
menunggu hasil uji konfirmasi (AII). Jika tes HIV konfirmasi
positif, ART bayi harus dilanjutkan selama 6 minggu (AI), jika tes
ini negatif, ART bayi harus dihentikan8,10

36

o AZT intravena direkomendasikan untuk ibu terinfeksi HIV yang


dalam persalinan yang belum menerima ART antepartum (AII)2
d. Penatalaksanaan Post-Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak.
Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV
adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan
non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk, HIV ditemukan pada 58%
pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu
ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV
dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9
bulan setelah persalinan. Risiko penularan pada bayi yang disusui paling
tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada
bulan-bulan berikutnya. Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar HIV
serum ibu, CD4+ ibu, dan definisi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan
bahwa kadar HIV di dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya
terinfeksi HIV dari pada yang tidak. Berbagai macam faktor lain yang dapat
mempertinggi risiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis
atau luka di putting susu, abses payudara, lesi di mukosa mulut bayi,
prematuritas, dan respons imun bayi1,2,9,10

Pemberian Air Susu Ibu


- Ibu yang telah diketahui terinfeksi HIV (dan memiliki bayi yang
tidak terinfeksi atau tidak diketahui status infeksi HIV-nya)
Sebaiknya berikan ASI eksklusif kepada bayi mereka sampai usia
bayi mereka 6 bulan, kemudian kenalkan bayi dengan makanan
pendamping ASI sampai dengan usia 12 bulan. ASI dapat
dihentikan jika tersedia makanan pengganti ASI yang keamanan
-

dan nutrisi yang terkandung adekuat.


Jika bayi atau anak yang telah diketahui terinfeksi HIV Ibu
sebaiknya dihimbau untuk memberikan ASI ekslusif sampai usia
bayi mereka 6 bulan, kemudian lanjutkan pemberian ASI sampai
dengan rekomendasi yang ada pada populasi tersebut, bisa sampai
2 tahun atau kurang3,6,9,10
37

e. Kontrasepssi
Kontrasepsi tidak hanya mencegah kehamilan yang tidak diinginkan,
tetapi juga berperan dalam pencegahan penularan HIV secara seksual
termasuk HIV. Masalah-masalah yang berkaitan dengan kontrasepsi dan HIV
lebih kompleks dari pada perempuan yang tidak terinfeksi. Konsisten,
penggunaan kondom yang benar telah terbukti memberikan tingkat
perlindungan yang tinggi terhadap penularan HIV. Penggunaan kondom
cukup efektif dengan tingkat kegagalan sebesar 3%, serta memiliki efek
perlindungan terhadap infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Hal ini dikenal
sebagai "perlindungan ganda". Ada interaksi antara obat terapi ARV dan
kontrasepsi hormonal dengan peningkatan risiko kegagalan kontrasepsi.
Penggunaan Kontrasepsi Intra Uterine (IUD) tidak secara signifikan
mengubah prevalensi transmisi HIV. Oleh karena itu penggunaan IUD
tampaknya aman dari sudut pandang pasangan seksual. Komplikasi secara
keseluruhan rendah pada perempuan yang terinfeksi setelah pemasangan
AKDR. Spermisida menawarkan perlindungan yang sangat terbatas dari
kehamilan dan dapat meningkatkan risiko penularan HIV. Secara etis, tidak
ada alasan medis untuk menolak atau memaksa sterilisasi untuk pasien
dengan HIV9,10

Kondom merupakan satu-satunya pilihan metode kontrasepsi terbukti

mencegah kehamilan dan transmisi HIV secara seksual10


Jika IUD dan kontrasepsi hormonal menjadi pertimbangan, harus

digunakan bersama dengan kondom10


Tidak ada indikasi medis untuk KB steril pada individu yang terinfeksi
HIV10

BAB III
KESIMPULAN

38

Penatalaksanaan HIV pada ibu dan anak harus dilakukan untuk


mencegah terjadinya perburukan kondisi umum ataupun terjadinya infeksi
sekunder. Terapi yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang menderita
HIV meliputi pengobatan suportif, pengobatan infeksi oportunistik dengan
antibiotik, antijamur, antiparasit, antivirus serta pengobatan dengan anti
retroviral (ARV). Pengobatan ARV anjuran pada ibu hamil adalah
AZT+3TC+NVP sedangkan pada anak berupa 1 NRTI selain 3TC (AZT,
D4F, TDF) +3TC+NNRTI (NVP, EFP). Setelah dilakukan pengobatan perlu
juga dilakukan pemantauan efektifitas terhadap reaksi obat ARV agar dapat
diobati secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

39

1. Djoerban. Z., Djauzi. S., 2009. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi III. Jakarta : Interna
Publishing.
2. Valerian. C.M.,

Kemara.

K.P.,

Megadhana.I.W.,

2015.

The

Management of HIV Infection in Pregnancy. Department of Obstetric


and Gynecology Udayana University.
3. Suwendra. P. 2001. Human Immunodeficiency Virus. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi&Penyakit Tropis. Edisi I. IDAI.
Jakarta.
4. Behrman. K.J. 2004. Acquired Immunodeficiency Syndrome. In :
Nelson Texbook of Pediatric. Edisi 17th. Philadelphia : WB Saunders
Company.
5. Djauzi. S., Djoerban Z. 2009. Penatalaksanaan Infeksi HIV di
Pelayanan Kesehatan Dasar. Edisi III. Jakarta : FKUI.
6. Walker. K., Stratton. P., 2008. Human Immunodeficiency Virus In Non
Pregnant Women. In : Texbook of Gynecology. Edisi II. USA: WB
Saunders Company.
7. Murati. T.P. 2009. Acquired Immunodeficiency Syndrome. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi III. Jakarta : Interna
Publishing.
8. http://www.google.com. 2002. HIV/AIDS. Diakses 3 November 2016.
9. Yunihastuti. E., Wibowo. N., Djauzi. S., 2009. Infeksi HIV pada
Kehamilan. Jakarta : FKUI
10. http://www.google.com 2008. Pedoman Pelaksanaan HIV/AIDS pada
Kehamilan. Diakses 3 November 2016.
11. Kemenkes. 2013. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak. Jakarta:
Kemenkes

40

Anda mungkin juga menyukai