Hiv Pada Wanita Hamil Dan Anak
Hiv Pada Wanita Hamil Dan Anak
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus RNA yang
dapat menyebabkan penyakit klinis yang dikenal dengan Acquired
Immunodeificiency Syndrome (AIDS). Transmisi dari ibu ke anak merupakan
sumber utama penularan infeksi HIV pada anak. Peningkatan transmisi dapat
diukur dari status klinis, imunologis dan virology maternal. Menurut
beberapa penelitian, kehamilan dapat meningkatkan progresi imunosupresi
dan penyakit maternal. Ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat
meningkatkan resiko komplikasi pada kehamilan2
Pada tahun 2001, United Nation General Assembly Spescial Session
untuk HIV/AIDS berkomitmen untuk menurunkan 50% proporsi infeksi HIV
pada bayi dan anak, pada tahun 2010 program tersebut termasuk intervensi
yang berfokus pada pencegahan primer infeksi HIV pada wanita dan
pasangannya, pencegahan transmisi dari ibu ke anak, penatalaksanaan,
perawatan serta bantuan bagi wanita yang hidup dengan HIV/AIDS, anak dan
keluarga mereka. Oleh karena itu, untuk memberantas transmisi vertical yang
terus meningkat diperlukan penatalaksanaan yang tepat pada ibu dan bayi
selama masa antepartum, intrapartum dan postpartum1,2
Dengan demikian, karena adanya potensi yang serius dari HIV/AIDS
pada kehamilan dan anak, setiap ibu hamil dan anak-anak yang menderita
HIV/AIDS perlu manajemen atau penanganan yang lebih intensif, sehingga
morbiditas maupun mortalitas ibu maupun janinnya serta anak-anak dapat
ditekan serendah mungkin.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah penatalaksanaan HIV/AIDS dalam kehamilan dan
anak?
C. Tujuan
Untuk mengetahui manajemen atau penatalaksanaan HIV/AIDS dalam
kehamilan dan anak.
D. Manfaat
Untuk mengetahui tatalaksana terapi HIV/AIDS dalam kehamilan dan
anak agar komplikasi dari penyakit ini dapat segera ditangani.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk family retrovirus. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV1
B. ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili
Retrovirus dan subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua
serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy
associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada
kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang
menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom
defisiensi imun (AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T
cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus
(LAV) dan AIDS-associated virus3,4
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti
(core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid
bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA
virus ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus
mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum
diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan
enzim reverse transkriptase5
Pada selubung (envelope) terdapat glikoprotein permukaan, terdiri dari
dua protein yang mengkordinasi masuknya HIV kedalam sel. Glikoprotein
yang lebih besar dinamakan gp 120, adalah komponen yang menspesifikasi sel
yang diinfeksi. gp 120 ini terutama akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu
suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit,
sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel
kripta dan sel-sel enterokromafin). Glikoprotein yang besar ini adalah target
utama dari respon imun terhadap berbagai sel yang terinfeksi. Glikoprotein
yang lebih kecil, dinamai gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat
bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor
sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu
membentuk sinsitium5
C. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
World
Health
Organization ( WHO) pada tahun 2008, lebih dari 15,7 juta wanita dan 2,1 juta
anak dibawah umur 15 tahun hidup dengan AIDS. Di Amerika Serikat sendiri,
tercatat 71% terinfeksi HIV terjadi pada wanita berumur 25 sampai 44 tahun
dan 20% dari kasus mengidentifikasi wanita berkulit hitam. Sebanyak 80%
kasus disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20% akibat terkontaminasi
jarum suntik dan sisanya melalui transfuse darah dan transmisi perinatal1,2
HIV tipe 1 lebih banyak ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan
HIV tipe 2 merupakan virus endemic di Afrika, Portugal, Perancis2
Di Indonesia diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi
HIV adalah 90.000 sampai 130.000. Survey yang dilakukan di Tanjung Balai
Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil yang
terinfeksi HIV yaitu 1% pada tahun 1996 dan menjadi lebih dari 8,3% pada
tahun 20001
D. PATOFISIOLOGI
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan
menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya.
Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul gp 120 dari selubung virus. Diantara sel tubuh
yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4 yang paling
banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada
limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel
limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga seluruh
komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali
selubungnya. Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse
transcriptase. Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan
diubah menjadi suatu DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai
mekanisme proofreading (mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka
terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini.
Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini
menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi yang
berkelanjutan terhadap pengobatan3,6
Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse.
Akibat aktivitas enzim ini, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan
seuntai DNA yang tadi telah terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi
dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini
kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke
dalam DNA sel penjamu dangan bantuan enzim integrase, dan DNA ini
disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan
laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada
aktivitas dan diferensiasi sel penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai
kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu DNA ini untuk keluar dari
DNA inang dan menjadi aktif, serta selanjutnya terjadi replikasi dalam
kecepatan yang tinggi. Keadaan laten ini dapat berlangsung selama 1 sampai
12 tahun dari infeksi awal HIV dan dalam keadaan ini pasien tidak
mempunyai gejala (asimptomatik). Pada stadium laten ini, HIV dan respon
imun anti HIV dalam tubuh pasien dalam keadaan steady state1,6
Infeksi akut dengan cepat meningkatkan viral load dan menyebabkan
viremia yang ringan sampai moderat. Walaupun viral load cenderung menurun
dengan cepat setelah infeksi akut pada orang dewasa, viral load menurun lebih
lambat pada anak-anak yang terinfeksi secara vertical (2-3 bulan setelah
terinfeksi, jumlah viral load dalam tubuh mereka menetap sekitar
750.000/mL) dan dapat tidak mencapai level steady state sampai mereka
berumur 4-5 tahun. Hal ini disebabkan karena imaturitas sistem imun mereka.
Walaupun bayi-bayi mempunyai sejumlah antigen presenting cell dan sel-sel
efektor lebih banyak daripada orang dewasa, produksi sitokin, proliferasi dan
sitotoksisitas sel-sel tersebut pada mereka jauh lebih berkurang karena infeksi
HIV ini. Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas mengakibatkan perubahan
pada fungsi dan penghancuran sel T-CD4, hingga populasinya berkurang.
Mekanisme disfungsi dan penurunan jumlah sel limfosit T-CD4 ini diduga
melalui proses pengaruh sitopatik langsung HIV (single cell killing),
pembentukkan sinsitium, respon imun spesifik, limfosit T sitolitik yang
spesifik untuk HIV, mekanisme autoimun dan anergi. Dengan menurunnya
jumlah dan fungsi sel T-CD4 yang merupakan orchestrator dari suatu sistem
imun, maka individu yang terinfeksi HIV akan lebih berisiko untuk terkena
infeksi opportunistik, infeksi sistemik berat, penyakit sistem organ yang
kemudian berakhir dengan kematian1,3,5,
Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, secara
horizontal maupun vertikal (dari ibu ke anak).
1. Melalui hubungan seksual
Baik secara vaginal, oral ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini
adalah cara yang umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia.
Lebih mudah terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan
ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonore. Resiko
pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vaginal dan resiko juga lebih
besar pada yang reseptive daripada yang insertie. Diketahui juga epitel
silindris pada mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis
ternyata mempunyai reseptor CD4 yang merupakan target utama HIV7
Manifestasi klinis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada
beberapa macam klasifikasi. Yang paling umum dipakai adalah klasifikasi
yang dibuat oleh Center for Disease Control (CDC), USA,8 sebagai berikut :
Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya
gejala pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Dari
penelitian pada sebagian besar kasus dikatakan masa inkubasi rata-rata 510 tahun, dan bervariasi sangat lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih
dari 10 tahun. rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang
dewasa walaupun belum ada gejala, tetapi yang bersangkutan telah dapat
menjadi sumber penularan.
bertahun-tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-pelan
terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya. Walaupun tidak ada gejala, kita
tetap dapat mengisolasi virus dari darah pasien dan ini berarti bahwa selama
fase ini pasien juga infeksius. Tidak diketahui secara pasti apa yang terjadi
pada HIV pada fase ini. Mungkin terjadi replikasi lambat pada sel-sel tertentu
dan laten pada sel-sel lainnya. Tetapi jelas bahwa aktivitas HIV terjadi dan ini
dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu.
Mungkin sampai jumlah virus tertentu tubuh masih dapat mengantisipasi
sistem imun7,8
leucopenia,
limfopenia,
o
o
o
o
kekebalan tubuh, ternyata juga menyerang organ-organ tubuh lain. Organ yang
paling sering adalah otak dan susunan saraf lainnya. Selain itu akibat infeksi
oportunistik juga dapat menyebabkan gangguan susunan saraf pusat.
F. KEHAMILAN DAN INFEKSI HIV/AIDS
1. Pengaruh kehamilan pada perjalanan HIV
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian,
progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita
yang terinfeksi HIV6
Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh
Burns, dkk. Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada
awal kehamilan untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak
menderita HIV, presentase sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester
ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang
terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah melahirkan
walaupun tidak bermakna secara statistik. Nemun penelitian dari European
Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sample
yang lebih besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4 selama
kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap stabil. Kehamilan ternyata
10
hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV. Kadar virus HIV
meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistik tidak
bermakna. Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi
AIDS. Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi
HIV dan pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi
AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari 2002,3,5
2. Pengaruh infeksi pada HIV
Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan
bahwa HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir
rendah atau gangguan pertumbuhan intra uterin. 3 Sedangkan di negara
berkembang, infeksi HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas,
gangguan pertumbuhan intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama
pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga
karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi3
3. Transmisi vertical HIV
Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang
dilaporkan berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di
negara
berkembang
dibandingkan
dengan
negara
maju
(21%-43%
11
patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit
atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat
mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara
tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel
Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD41
Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme
yang masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human
chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui
beberapa cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta,
mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis
sel-sel yang terinfeksi HIV-1. Menurut Pediatric Virology Committee of the
AIDS Clinical Trials Group (PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/infeksi
awal, jika tes virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes
berikutnya juga positif5
Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang berperan pada
transmisi antepartum seperti yang tercantum pada table 1. Malnutrisi yang
seringkali ditemukan pada wanita dengan HIV-AIDS akan meningkatkan
resiko
transmisi
karena
akan
menurunkan
imunitas,
meningkatkan
progresivitas penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan lahir rendah dan
prematuritas dan menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan integritas
fetus. Pada penelitian prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A
(kurang dari 1,05 mmol/L) yang dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T
dan sel B ternyata berhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun
penelitian Dreyfuss, dkk tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi
mikronutrien akan meningkatkan transmisi antepartum atau sebaliknya7
b. Transmisi Intra-Partum
Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan
virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu
berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui5
12
13
mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3
bulan pertama kehidupannya. Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga
mempengaruhi transmisi perinatal. Prematuritas dan berat badan lahir rendah
diduga berperan karena sistem imunitas pada bayi tersebut belum berkembang
baik. Beberapa penelitian menghubungkan kelahiran prematur dengan stadium
penyakit HIV ibu, penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar, urutan
kelahiran juga memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi yang lahir
pertama kali mempunyai resiko penularan dua kali lebih tinggi dibandingkan
bayi yang lahir kedua. Hal tersebut disebabkan bayi yang lahir pertama lebih
lama berada dijalan lahir dan biasanya berukuran lebih besar, sehingga secara
tidak langsung membersihkan jalan lahir untuk bayi yang lahir berikutnya5,7,8
c. Transmisi Post-Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup banyak.
Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV
adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan
non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV ditemukan pada 58%
pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu
ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV
dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9
bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling
tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada
bulan-bulan berikutnya8
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4
ibu, defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di
dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada
yang tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat
mempertinggi resiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis
atau luka diputing susu, abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi,
prematuritas dan respon imun bayi5,7
Periode
Antepartum
Factor
Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu,
14
Intrapartum
pada
kepala
janin,
penyakit
ulkus
genital
aktif,
persalinan
dengan
Pascapersalinan
15
sel limfosit, sel CD4 dan menurunnya ratio CD4/CD8. Tes kulit DTH
(Delayed Type Hypersensitivity) untuk tuberkulin dan kandida yang hasilnya
negatif atau anergi menunjukkan kegagalan imunitas seluler. Mungkin saja
jumlah CD4 masih normal, tetapi fungsinya sudah menurun. Dapat terjadi
poliklonal hipergammaglobulinemia (IgA dan IgG) yang menunjukkan adanya
rangsangan non apesifik terhadap sel B untuk membentuk imunitas seluler5,9
o Pemeriksaan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan
Setiap infeksi oportunistik atau kanker sekunder yang ada pada pasien
AIDS diperiksa sesuai dengan metode diagnostik penyakitnya masing-masing.
Misalnya pemeriksaan untuk kandidiasis, PCP, TBC paru, dan sebagainya.
Kadang-kadang perlu pemeriksaan penunjang lain, seperti laboratorium rutin,
serologis, radiologis, USG, CT scann, bronkoskopi, pembiakan, histopatologi
dan sebagainya7
2. Diagnosis infeksi HIV pada wanita
Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan,
waktu dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi
spesifik IgG merupakan tes dengan spesifikasi yang tinggi. Sering yang reaktif
terhadap anti HIV pada uji saring, sebaiknya diuji ulang dan hasilnya
dikonfirmasikan dengan sistem uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera
harus diambil ulang untuk mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada
umumnya wanita yang terinfeksi menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8
minggu setelah infeksi, meskipun pada beberapa kasus antibodi tersebut tidak
timbul setelah 6-9 bulan kemudian. Hasil negatif tes antibodi berarti wanita
tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6 bulan yang lalu, tetapi dapat
juga berarti uji negatif palsu (false negatif), bila wanita itu diuji pada waktu
periode jendela (window periode) antara infeksi dan serokonversi8,9
3. Diagnosis HIV pada anak
Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan
Western Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum
usia 18 bulan. Hal ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu
yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan.
17
Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga
dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan
tetapi, sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah4
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan
antara lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk
mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24.1 Infeksi HIV
ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan
kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak
terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif.
Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan
antibodi menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut
tidak terinfeksi bila dua kali pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif.
Pemeriksaan
antibodi
ini
kemudian
18
dilanjutkan
dengan
konfirmasi
o Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
o Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
o Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali
o Kandidiasis oral atau tenggorokan
o Infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang (misalnya otitis media akut,
faringitis Batuk kronis
o Dermatitis yang luas
o Ensefalitis.
Manifestasi lain yang mungkin timbul tetapi tidak termasuk dalam
kriteria
diagnosis,
antara
lain
masalah
persarafan,
keterlambatan
20
21
22
anak 5 tahun).
Nilai CD4 dan persentasenya memerlukan pemeriksaan darah tepi
lengkap.
Kaji apakah anak sudah memenuhi kriteria pemberian ARV.
Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko
atau
menyediakan
tambahan
makanan untuk anak yang sakit dan kemampuan membayar bila ada
penyakit yang lain.
Kriteria Pemberian ARV
Penetapan kriteria klinis Segera setelah diagnosis infeksi HIV
ditegakkan, dilakukan penilaian stadium klinis (lihat lampiran). Penilaian
23
stadium ditetapkan menurut kondisi klinis paling berat yang pernah dialami,
dibandingkan dengan tabel11
Indikasi terapi
dan
imunologis Anak berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka
terindikasi untuk mendapat pengobatan ARV sesegera mungkin11
Pemberian ARV pada bayi dan anak < 18 bulan dengan diagnosis
presumtif Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV11
24
25
26
diwaspadai
kemungkinan
toksisitas
obat
dan/atau
Immune
27
Pada anak > 2 tahun- < 5 tahun, nilai CD4 <200 sel/mm3 atau CD4 <10%
Pada anak > 5 tahun hitung CD4 <100 sel/mm3
28
dilakukan oleh setiap pasangan. Konseling dan tes HIV sukarela atau sering
disebut Voluntary counseling and testing (VCT) adalah kegiatan melakukan
konseling dan tes HIV secara sukarela atas kemauan pasien sendiri. Di dalam
VCT ada 2 kegiatan utama yaitu konseling dan tes HIV. Konseling dalam
rangka VCT terutama dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV.. Konseling
setelah tes HIV dapat dibedakan menjadi dua yakni konseling untuk hasil tes
positif dan konseling untuk hasil tes negatif. Namn demikian sebenarnya
masih banyak jenis konseling lain yang sebenarnya perlu diberikan kepada
pasien berkaitan dengan hasil VCT yang positif, seperti konseling
pencegahan, konseling kepatuhan berobat, konseling keluarga, konseling
berkelanjutan, konseling menghadapi kematian dan konseling untuk masalah
psikiatris yang menyertai klien/keluarga dengan HIV-AIDS10
Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang sudah terinfeksi HIV-AIDS dan keluarganya, atau semua
orang yang mencari pertolongan karena merasa telah melakukan tindakan
berisiko di masa lalu dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun
berisiko tinggi10
Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni :
29
bagaimana mencegahnya8
Informasi mengenai penularan HIV dari ibu ke anak dan
bagaimana
penanggulangannya
Jaminan
kerahasiaan
dan
bagi pasangan8
Implikasi dari tes negatif : termasuk program promosi menyusui
dengan asi8
Implikasi dari tes positif : keuntungan dan kerugiannya intervensi
yang di pilih8
2. Konseling pasca tes
Informasi untuk mencegah penularan masa depan
Dianjurkan untuk melakukan tes kembali
Promosi ASI eksklusif kepada ibu hamil yang tidak terdeteksi HIV
b. Pemberian Antiretrovirus ART
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi
HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal.
Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai
30
dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20%
dengan terapi antiretrovirus10
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah
menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki
kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang
menyertai HIV10
1. Monoterapi Zidovudine
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko
transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology
Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang
diberikan peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin
intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup
yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu8,9,10
2. Neviravin
Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan
disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2
atau 3 hari. Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali
wanita hamil terinfeksi HIV-AIDS baru dating pada saat melahirkan8,9,10
31
Keterangan :
Kategori B
32
33
34
ART (A-III)10
Ibu hamil dengan HIV harus diberikan rejimen kombinasi ART untuk
menekan secara maksimal replikasi virus, yang efektif untuk mencegah
perkembangan resistensi dan meminimalkan resiko transmisi perinatal (A-
II)10
Wanita dengan indikasi ART harus diberikan ART tanpa memandang usia
kehamilan (A-IV)10
Regimen lini pertama untuk terapi antiretroviral untuk wanita hamil adalah
AZT+3TC+NVP (A-IV)10
Wanita hamil yang pernah menerima profilaksis ART pada kehamilan
sebelumnya, dapat kembali menerima profilaksis ART sesuai yang
35
menyeluruh
atau
Universal
Precaution
harus
36
e. Kontrasepssi
Kontrasepsi tidak hanya mencegah kehamilan yang tidak diinginkan,
tetapi juga berperan dalam pencegahan penularan HIV secara seksual
termasuk HIV. Masalah-masalah yang berkaitan dengan kontrasepsi dan HIV
lebih kompleks dari pada perempuan yang tidak terinfeksi. Konsisten,
penggunaan kondom yang benar telah terbukti memberikan tingkat
perlindungan yang tinggi terhadap penularan HIV. Penggunaan kondom
cukup efektif dengan tingkat kegagalan sebesar 3%, serta memiliki efek
perlindungan terhadap infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Hal ini dikenal
sebagai "perlindungan ganda". Ada interaksi antara obat terapi ARV dan
kontrasepsi hormonal dengan peningkatan risiko kegagalan kontrasepsi.
Penggunaan Kontrasepsi Intra Uterine (IUD) tidak secara signifikan
mengubah prevalensi transmisi HIV. Oleh karena itu penggunaan IUD
tampaknya aman dari sudut pandang pasangan seksual. Komplikasi secara
keseluruhan rendah pada perempuan yang terinfeksi setelah pemasangan
AKDR. Spermisida menawarkan perlindungan yang sangat terbatas dari
kehamilan dan dapat meningkatkan risiko penularan HIV. Secara etis, tidak
ada alasan medis untuk menolak atau memaksa sterilisasi untuk pasien
dengan HIV9,10
BAB III
KESIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
39
Kemara.
K.P.,
Megadhana.I.W.,
2015.
The
40