Anda di halaman 1dari 34

Hubungan antara Ekspresi BCL-2 dengan EBV pada Pasien Nasofaring

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan pada epitel nasofaring yang sulit
dideteksi secara dini karena letak keganasan awalnya yang tersembunyi. Hal ini menjadi
masalah besar karena prognosis penderita KNF sangat bergantung pada stadium klinis saat
dilakukan diagnosis, dimana lebih dari 80% keberhasilan terapi terjadi pada stadium awal
(stadium III) dan bila penderita didiagnosis pada stadium lanjut (stadium IIIIV), angka
keberhasilan kurang dari 40%. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu tipe
kanker yang paling dominan di Cina bagian selatan dan Asia Tenggara, lebih dari 50.000
kasus KNF baru dilaporkan setiap tahun di daerah-daerah ini (Lo et al. 2006). KNF
merupakan tumor ganas yang paling banyak ditemukan pada daerah kepala dan leher, di
Indonesia prevalensinya adalah 6,2 per 100.000 penduduk setiap tahun dan di Medan
prevalensinya adalah 4,3 per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Adham et al. 2012). Di
RSUP. H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita KNF dari
1370 (10,5%) pasien baru onkologi kepala leher dan pada tahun 2006-2010 ditemukan 335
kasus baru KNF (Lutan 2003; Puspitasari 2011). KNF lebih sering dijumpai pada pria
dibanding wanita yaitu 2-3:1 (Chew 1997; Munir 2009).
Epstein-Barr virus (EBV) adalah human herpes virus yang dapat menyebabkan infeksi
mononucleosis akut dan berhubungan dengan kanker dan penyakit autoimun (Dunmire et al,
2015). Ebstein-Barr virus diteliti dengan cara pemeriksaan imunohistokimia dan hibridisasi in
situ dimana telah diteliti dalam sepuluh kasus KNF sembilan diantaranya ditemukan adanya
EBV (Osman et al., 2012). Immunohistikimia merupakan pemeriksaan dengan pewarnaan
untuk menunjukan adanya aktifitas positif virus EBV pada sel epitel (Barnes et al, 2005).

American Cancer Society (2016) memperkirakan bahwa sekitar 98% dari kasus KNF di
seluruh dunia terkait dengan infeksi EBV. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya
keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel
yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein-protein yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai penanda (marker)dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1
dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50%
serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum
semua pasien karsinoma nasofaring (Mungerson et al, 2003). Hubungan antara karsinoma
nasofaring dan infeksi virus Epstein-barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti, yang
menyimpulkan dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus.
Apoptosis adalah kematian sel terprogram yang diperlukan untuk menghancurkan sel yang
terinfeksi, sel yang rusak atau sel-sel yang tidak diinginkan. Gangguan pada pengaturan
apoptosis ini dapat menimbulkan karsinoma, autoimunitas maupun gangguan degeneratif.
Proses apoptosis ini dikontrol oleh keluarga sistein protease (kaspase).Aktivasi dari kaspase
ini nantinya akan menyebabkan kerusakan sel dengan cara merusaksubstrat vital seluler.
keluarga protein Bcl-2 merupakan regulator pentingdari aktivasi caspase (Willis et al., 2003).
B-cell lymphoma-2 atau Bcl-2 merupakan proto oncoprotein pada manusia yang
terletak di membrane nucleus, reticulum endoplasma dan membrane terluar dari mitokondria
(Yang et al 2001 dalam Tulalamba & Janvilisri., 2012). Bcl-2 berperan penting dalam
pengaturan apoptosis lewat mekanisme proapoptotic yang memfasilitasi terjadinya apoptosis
dan mekanisme antiapoptotic yang mencegah terjadinya apoptosis. Keluarga protein Bcl-2
yang termasuk kedalam jenis proapoptotic adalah BAX, BAD, BID danBCLXS, sementara
yang termasuk ke dalam jenis antiapoptotic yaitu BCL2, BCLXL dan BCLW (Youle &

Strasser., 2008 dalamKontos et al., 2013). Perbandingan rasio antara protein Bcl-2
proapoptotic dan antiapoptotic nantinya akan menentukan resistensi maupun sensitivitas sel
pada stimulasi apoptosis (Reed., 2000, Korsmeyer et al., 1993, Shinoura et al., 1999 dalam
Kontos et al., 2013). Gangguan regulasi gen yang mengkodekan protein Bcl-2 proapoptotic
maupun antiapoptotic dapat menimbulkan kanker (Tsujimoto et al., 1985 dalam Yip & Reed.,
2008).
Berdasarkan penjelasan diatas terkait dengan tingginya insidensi KNF di Indonesia,
Epstein-Barr Virus yang dapat menyebabkan karsinoma nasofaring dan Bcl-2 berperan
penting dalam pengaturan apoptosis penulis tertarik meneliti hubungan antara ekspresi
protein Bcl-2 dan EBV pada sediaan blok parafin kanker nasofaring di wilayah Nusa
Tenggara Barat.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
-

Apakah terdapat ekspresi Epstein-Barr virus (EBV) pada pasien Kanker Nasofaring

Apakah terdapat ekspresi BCL-2 pada pasien Kanker Nasofaring

Adakah hubungan antara ekspresi protein Bcl-2 dan EBV pada pada pasien Kanker
Nasofaring

Tujuan Penelitian
Tujuan umum :
-

Mengetahui apakah terdapat ekspresi BCL-2 pada pasien Kanker Nasofaring

Mengetahui apakah terdapat ekspresi Epstein-Barr virus (EBV) pada pasien Kanker
Nasofaring

Tujuan khusus :

Mengetahui adakah hubungan antara ekspresi BCL-2 dengan epstein-barr virus (EBV) pada
sediaan blok parafin kanker nasofaring
Manfaat Penelitian
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Menjadi sumber atau referensi bagi dunia penelitian, secara khusus yang berkaitan
dengan epstein-barr virus (EBV) pada kanker nasofaring
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi peneliti dan sebagai
media pembelajaran dalam mengaplikasikan dan memperdalam ilmu pengetahuan
yang diperoleh selama pendidikan dalam segi ilmu pengetahuan penelitian.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi berbasis ilmiah mengenai
ekspresi dari Epstein-Barr virus (EBV) dan BCL-2 pada blok parafin pasien yang
mengidap kanker nasofaring.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Nasofaring adalah lubang sempit yang terletak pada belakang rongga hidung. Pada
bagian atap dan dinding belakang disusun oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama
tulang belakang. Bagian depan nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana.
(Barnes et al., 2005). Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian,
nasofaring, orofaring, dan hipofaring. Nasofaring adalah lubang berbentuk pipa dengan ujung
menyempit, terletak di belakang rongga hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk
oleh basi sfenoid, basi oksiput dan ruas pertama vertebra. Bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana. Orifisium dari tuba Eustachian terletak pada dinding lateral, di
bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus
tubarius. Bagian atas dan samping dari torus tubarius merupakan ceruk dari nasofaring yang
disebut dengan fossa Rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian
palatum mole. Nasofaring merupakan bagian dari Waldeyer ring.

Gambar 2.1. Pemotongan sagital kepala menunjukkan nasofaring, rongga hidung dan sinus
paranasal. 1. Sinus sfenoidalis; 2. Meatus superior; 3. Meatus media; 4.Tuba elevation; 5.
Tonsil faringeal; 6. Pharyngeal orifice of Eustachian tube; 7. Salpingopharyngeal fold; 8.
Pharyngeal recess; 9. Palatum mole; 10. Uvula; 11. Sinus frontalis; 12. Sphenoethmoidal

recess; 13. Superior nasal concha; 14. Middle nasal concha; 15. Inferior nasal concha; 16.
Vestibulum; 17. Meatus inferior; 18. Palatum durum; 24. Atrium1
2.1.2 Histologi
Mukosa nasofaring dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 50 cm2. Sebagian
besar dilapisi oleh epitel skuamous berlapis dan sekitar 40% dilapisi oleh epitel kolumnar tipe
respiratorius. Epitel skuamous terutama melapisi dinding anterior dan posterior bagian
bawah, juga bagian anterior dinding lateral. Epitel kolumnar bersilia terutama melapisi regio
posterior nares (choanae) dan atap dari dinding posterior. Sambungan antara skuamous dan
kolumnar dapat secara langsung atau berupa zona intermediet atau transisional, yang terdiri
atas sel-sel basaloid dengan sitoplasma minimal dan biasanya berbentuk bulat atau kuboid.
Kadang-kadang pada saat biopsi zona ini diduga sebagai daerah displasia atau karsinoma in
situ. Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta yang menjorok ke dalam stroma.
Stroma kaya akan jaringan limfoid yang sering dengan folikel limfoid yang reaktif.
Permukaan mukosa dan kripta biasanya diinfiltrasi oleh sel-sel limfoid yang banyak, yang
meluas dan mengubah epitel sehingga menghasilkan pola retikular. Beberapa kelenjar
seromusinus dapat dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat di mukosa hidung.

Gambar 2.2. Submukosa nasofaring dengan agregat limfoid merupakan keadaan normal
dan tidak boleh diinterpretasi sebagai suatu proses peradangan
Kanker Nasofaring
Definisi dan Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan sel skuamosa yang berasal dari epitel
nasofaring dengan lokasi paling sering pada daerah fossa Rosenmuller yang selanjutnya akan
menyebar ke struktur anatomi di sekitarnya (Chua et al., 2016).
KNF termasuk penyakit yang kejadiannya jarang dan memiliki distribusi geografis
yang khas. Angka kejadian kanker nasofaring pada tahun 2012 dilaporkan terdapat 86.500
kasus KNF dimana 71% diantaranya ditemukan di asia timur dan tenggara sedangkan sisanya
ditemukan di Asia selatan-tengah serta Afrika bagian utara dan timur (Chua et al., 2016).
Perbandingan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan yang mengalami KNF yaitu 3:1
dimana secara umum lebih sering terjadi pada laki laki ketimbang perempuan. Kejadian KNF
lebih sering pada orang dewasa dengan kejadian puncak pada usia 40 dan 60 tahun,KNF juga
dapat terjadi pada anak-anak namun kejadiannya jarang. Pada anak-anak kanker nasofaring

lebih sering terjadi di afrika ketimbang di china. Berbeda dengan orang dewasa dimana
penyakit ini lebih sering terjadi di asia timur dan tenggara. (Thompson., 2007).

Patogenesis
Kanker nasofaring merupakan suatu tumor ganas yang diasosiasikan dengan virus
EBV. Kenaikan titer antibody anti-EBV yang konsisten menjadi salah satu faktor risiko yang
dapat mempengaruhi perkembangan KNF. Sampai saat ini mekanisme dan hubungan
patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih belum jelas secara keseluruhan
(Yoshizaki et al., 2013)
Kanker nasofaring sangat sering diasosiasikan dengan EBV, namun EBV tidak
mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meskipun ia dapat
mentransformasi sel B primer. Untuk terjadinya KNF, awalnya dibutuhkan adanya infeksi
laten dan litik EBV yang diduga didukung oleh perubahan genetik yang dapat diidentifikasi
pada epitel nasofaring premalignan. Selanjutnya infeksi laten dan litik terjadi kemudian
menghasilkan produk-produk tertentu, barulah terjadi ekspansi klonal dan transformasi dari
sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker (Tsao et al., 2014).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi teerjadinya KNF seperti faktor lingkungan
yang dapat berupa konsumsi karsinogen dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat
mengakibatkan peningkatan risiko KNF karena dapat terjadi akumulasi dari lesi genetik.
Terdapat juga faktor-faktor lainnya seperti pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya
formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di nasofaring (Tsao et al.,
2014).
Faktor genetik dan lingkungan akan merangsang perubahan pada epitel nasofaring,
keaadan epitel tersebut akan di perberat dengan adanya virus EBV. Ebstein-Barr virus akan
menginfeksi sel KNF secara laten dan selanjutnya EBV akan memasuki fase infeksi litik yang

produktif. EBV memiliki 2 tipe antigen yaitu nuclear dan litik. Antigen nuclear meliputi
Epstein-Barr nuclear antigen (EBNAs) 1 sampai 6 dan antigen litik meliputi laten membrane
protein (LMPs) 1, 2, dan 3 (Yoshizaki et al., 2013).
Laten membrane protein1 (LMP1)diduga memiliki peran sentral dalam perkembangan
KNF. Laten membrane protein 1 (LMP1) akan disekresi melalui eksosom kemudian masuk
ke dalam sel-sel yang tidak terinfeksi EBV melalui mekanisme endositosis. Jaringan di
sekitar tumor juga akan di pengaruhi oleh LMP1. Laten membrane protein 1 (LMP1)adalah
onkogen primer yang bisa meniru fungsi salah satu reseptor Tumor Nekrosis Faktor(TNF)
yaituCluster of differentiation40 (CD40). Laten mem
brane protein1 (LMP1) dapat menginisasi beberapa pathway persinyalan yang akan
merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga mengakibatkan
peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal transition) (Yoshizaki et al., 2013).
Proses yang terjadi pada EMT yaitu sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda
epitel tertentu dan meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan
perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh karena itu, LMP1
juga berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari KNF. Peningkatan EMT oleh LMP1
ini diikuti dengan ekspresi penanda sel punca kanker/sel progenitor kanker serta pemberian
sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor kepada sel. Protein-protein lainnya serta
ekspresiRibonucleic Acid(RNA) virus juga memiliki peranan dalam karsinogenesis KNF,
contohnya LMP2 yang mempertahankan latensi virus (Yoshizaki et al., 2013).
2.2.3. Manifestasi klinis
Pasien yang terdiagnosis KNF hampir semuanya memiliki gejala. Pasien KNF yang
tidak menunjukkan gejala dan terdiagnosis secara kebetulan presentasenya kurang dari 1%
dari total pasien KNF (Flint et al., 2015). Manifestasi klinis dari KNF dapat berhubungan
dengan berbagai hal seperti, infiltrasi tumor pada struktur di sekitar nasofaring lokasi tumor

primer atau terdapat metastasis ke limfonodi servikal (Johnson & Rosen., 2014). Pasien
kanker nasofaring memiliki beberapa gejala klinis yang dikeluhkan seperti tercnantum dalam
Tabel 2.1 (Barnes et al., 2005).
Tabel 2.1 Tabel gejala klinis KNF beserta besaran persentasenya
Gejala klinis karsinoma nasofaring
Persentase (%)
Massa pada leher
42
Hidung (post nasal drip, cairan, perdarahan, 46
obstruksi)
Telinga (tinnitus, cairan, sakit telinga, tuli)
Sakit kepala
Mata (double vision, juling, kebutaan)
Mati rasa pada wajah
Penurunan berat badan
Masalah bicara/menelan

42
16
6
5
4
2

Gejala klinis pada kanker nasofaring yang paling sering dikeluhkan atau di temukan
adalah gangguan pada hidung kemudian adanya massa pada leher dan gangguan pada telinga
(Barnes et al., 2005). Gejala yang dapat di timbulkan oleh massa tumor pada nasofaring yaitu
hidung tersumbat dan keluarnya discharge. Ukuran dari massa tumor nasofaring
mempengaruhi seberapa berat gejala dari hidung tersumbat. Obstriksi yang ditimbulkan oleh
masa tumor awalnya bersifat unilateral kemudian seiring dengan pertumbuhan tumor gejala
dapat menjadi bilateral. Pasien akan mengeluhkan adanya epistaxis dengan perdarahan yang
minimal dan biasanya terjadi pada pagi hari jika tumor sudah mengalami ulserasi (Johnson &
Rosen., 2014).
Tuli unilateral, otalgia dan tinnitus juga dapat dikeluhkan oleh pasien KNF dimana
keluhan tersebut disebabkan oleh terganggunya fungsi tuba Eustachius karena terdapat massa
tumor di rongga paranasofaring sehingga akan mengakibatkan penumpukan cairan pada
telinga tengah (Ho et al., 2008 dalam Johnson & Rosen., 2014).

Tumor primer KNF yang telah tumbuh ke bagian superior dan menginfiltrasi basis
kranii kepala dapat menyebabkan pasien mengeluhkan sakit kepala. Pasien akan mengalami
diplopia karena terpengaruhinya saraf kranial III, IV dan VI jika bagian teratas tumor
mempengaruhi sinus kavernosus dan dinding lateralnya. Pasien akan mengalami nyeri wajah
dan mati rasa karena terpengaruhnya saraf kranial V jika tumor tumbuh kearah foramen ovale
(Cui et al., 2009 dalam Johnson & Rosen., 2014).
Metastasis dari KNF cenderung ke limfonodi servikal sehingga menimbulkan gejala
seperti adanya benjolan pada leher yang tidak disertai rasa nyeri. Metastasis selain di
limfonodi servikal yang sering ditemukan adalah

vertebra, paru paru dan liver. Lokasi

tersering ditemukannya benjolan adalah pada leher bagian atas dan bersifat bilateral. Kanker
nasofaring jarang terjadi metastasis yang jauh. (Johnson & Rosen., 2014).
Klasifikasi & Histopatologi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi tipe 1 karsinoma
sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel
berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik,
tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial
dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis
tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer
antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan
berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus
Epstein-Barr (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).
KNF diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO) menjadi 3 tipe histologi, yaitu:
Tipe 1 :Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (keratinizing squamous cell carcinoma)
Tipe 2 :Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratinisasi (non keratinizing squamous cell
carcinoma)

Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma)


Tipe 2 dan tipe 3 memiliki hubungan dengan Epstein-Barr Virus (Lutzky et al. 2008).
Keratinizing squamous cell carcinoma
Keratinizing squamous cell carcinoma adalah karsinoma invasif yang menunjukkan
adanya diferensiasi skuamosa yang jelas terlihat dengan mikroskop cahaya, dalam bentuk
intercellular bridge atau keratinisasi. Tingkat diferensiasi dapat lebih dinilai sebagai:
berdiferensiasi, cukup berdiferensiasi dan berdiferensiasi buruk. Tumor biasanya tumbuh
dalam bentuk pulau-pulau tidak teratur disertai dengan stroma yang desmoplastic yang
melimpah dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinophil.
Bentuk dari sel-sel tumornya poligonal dan berlapis. Sel-sel pada bagian tengah pulau
menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi. Ditemukan
juga adanya keratin pearls. Pada Gambar 2.2 (A) Tumor menunjukkan invasi ke strom. (B)
Pulau-pulau sel tumor yang invasif berbentuk ireguler dengan stroma desmoplastik. Sel-sel
tumor menunjukkan diferensiasi skuamous yang jelas dan adanya keratinisasi (Barnes et al.,
2005).

Gambar 2.2Nasopharyngeal keratinizing squamous cell carcinoma.

2.2.4.2 Nonkeratinizing carcinoma (differentiated or undifferentiated)


Secara histopatologi tumor terdiri dari lembaran padat, pulau-pulau yang tidak teratur,
lembaran diskohesiv dan trabekula bercampur dengan limfosit dan sel plasma yang

jumlahnya

bervariasi.

Subklasifikasi

untuk

menjadi

subtipe

undifferentiated

dan

differentiated adalah opsional, karena perbedaan keduanya tidak terdapat pada area klinis
atau prognosis. Perbedaan lokasi biopsi dalam satu tumor atau biopsi yang diambil dalam
interval waktu yang berbeda dari pasien yang sama mungkin menunjukkan gambaran subtipe
yang berbeda. Ketika kedua subtipe terlihat dalam spesimen, tumor dapat diklasifikasikan
sesuai dengan subtipe yang menonjol, atau sebagai nonkeratinizing carcinoma dengan
gambaran dari kedua subtype (Barnes et al., 2005).

Gambar 2.3 Kanker nasofaring nonkeratinizing. Tampak pulau tumor yang jelas dalam
stroma limfoid.
Subtipe undifferentiated merupakan jenis yang lebih umum dijumpai, ditandai dengan
munculnya sel tumor besar dengan batas sel tidak jelas, inti vesikuler bentuk bulat sampai
oval dan nukleus yang jelas di tengah. Sel-sel sering muncul bergerombol atau bahkan
tumpang tindih. Kadang-kadang, kaya akan kromatin daripada vesikular. Sitoplasma sedikit
yaitu baik yangamphophilic atau eosinophilic. Pada gambar 2.4 (A) sel-sel menunjukkan
kualitas syncytial, dan memiliki inti vesikuler, nukleolus menonjol dan sitoplasma
amphophilic. (B) munculnya sel-sel syncytial memiliki inti vesikular, nukleolus dan
sitoplasma eosinofilik (Barnes et al., 2005).

Gambar 2.4 Differentiated nonkeratinizing carcinoma

Subtipe differentiated berbeda dari subtipe tidak berdiferensiasi dalam menunjukkan


stratifikasi seluler dan pavementing, biasanya dengan pertumbuhan plexiform, yang hampir
sama dengan karsinoma sel transisional dari kandung kemih Sel-sel menunjukkan batas antar
sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang tidak jelas. Dibandingkan
dengan subtipe tidak berdiferensiasi, sel sedikit lebih kecil, rasio nuklir sitoplasma lebih
rendah, inti bisa lebih kaya akan kromatin, dan nukleolus biasanya tidak menonjol (Barnes et
al., 2005).

Gambar 2.5 Undifferentiated nonkeratinizing carcinoma

2.2.4.3 Basaloid squamous cell carcinoma

Basaloid karsinoma sel skuamosa mengandung neoplasma basaloid dengan daerah


fokal diferensiasi skuamosa, karsinoma sel skuamosa in situ atau karsinoma sel skuamosa
invasif. Tipe kanker ini jarang ditemukan, hanya ada beberapa kasus yang dilaporkan,
sehingga membuat pembahasan yang berarti dari nilai klinisnya terbatas (Thompson., 2007).
Gambar 2.6 Basaloid squamous cell carcinoma pada nasofaring(Barnes et al., 2005).

Stadium Karsinoma Nasofaring


2.6.1 T = Tumor
Tumor Primer (T)
TX - tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak ada bukti tumor primer
Tis - Karsinoma in situ
T1 - Tumor terbatas pada nasofaring yang
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan / atau hidung fosa
T2a - Tanpa ekstensi parafaring
T2b - Dengan perpanjangan parafaring

T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal


T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan SSP, fosa infratemporal,
hypopharynx, atau orbit (Roezin,Anida, 2007 dan National Cancer Institute,2009).
2.6.2 N = Nodule
N Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB). N0 - Tidak ada pembesaran. N1 Terdapat metastesis unilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan ukuran
terbesar diatas fossa supraklavikular

N2 - Terdapat metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan ukuran
terbesar diatas fossa supraklavikular
N3 - Terdapat metastesis
N3.a- KGB dengan ukuran kurang dari 6cm
N3.b- KGB diatas fossa supraklavikular (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009).
2.6.3 M = Metastasis
Mx = Adanya Metastesis jauh yang tidak ditentukan.
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
2.6.4 Stadium
Stadium 0 Tis, n0, M0
Stadium I - T1, n0, M0
Stadium IIA - T2a, n0, M0
Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b, N0, M0)
Stadium III - ( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3, N0, M0),( T3, N1, M0),
( T3, N2, M0)
Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)
Stadium IVB - Setiap T, N3, M0
Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1(Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009).
Bcl-2 ( B cell lymphoma-2)
Bcl-2 merupakan B-cell lymphoma / leukemia-2 dan protein kedua dari berbagai
protein yang ditemukan pada limfoma. Sesuai dengan namanya, gen ini ditemukan karena
keterlibatannya dalam keganasan sel-B, dimana terjadi translokasi kromosomal yang

kemudian mengaktifkan sebagian besar gen pada non-Hodgkins sel-B limfoma folikuler.Gen
Bcl-2 memiliki lebih dari 230 kb dari DNA dan terdiri dari tigaexons yang mana exon 2 dan
sebagian kecil dari exon 3 mengkodeprotein. Bcl-2 mengkode 2 mRNA, yaitu Bcl-2 dan
Bcl-2, yang manahanya Bcl-2 yang sepertinya memiliki relevansi biologis. Protein Bcl2merupakan membran protein yang memiliki berat molekul 26 kDa terletakpada bagian
sitosolik dari amplop nuklear, retikulum endoplasma danbagian luar membran mitokondria
dan sitoplasma. Berdasarkan dari struktur dan fungsi, protein Bcl-2 adalah suaturegulator
utama pada proses apoptosis meliputi antiapoptosis danproapoptosis. Saat ini ada 18 anggota
family Bcl-2 yang telah
diidentifikasi dan dibagi kedalam 3 grup, yaitu
1. The anti apoptotic channel-forming protein meliputi Bcl-2, Bcl-xl,Mcl-1.
2. The proapoptotic channel-forming protein diwakili Bax ( Bcl-2 associated x protein) dan
Bak ( Bcl-2 associated killer), aktifitas dari kelompok sub grup ini bersifat menstimulasi
pelepasan sitokrom c dari membran mitokondria.
3. The proapoptotic channel-forming protein yaitu Bid ( BH3 domainonly death agonist ),
Bik, NOxa, Puma, Hrk, BNIP3, Bad (Bcl-2 associated death-only death promoter)
merupakan molekul proapoptosis. Protein kelompok ini mendorong kematian sel sebagai
protein adaptor yang terikat pada jalur upstream untuk memutuskan berlangsungnya program
apoptosis.

Epstein-Barr virus
Infeksi EBV merupakan infeksi yang sangat umum, dapat mempengaruhi semua
populasi manusia dan sebagian besar infeksinya bersifat asimtomatik dan seumur hidup.
Infeksi EBV dapat disebabkan multifaktorial oleh beberapa faktor seperti lingkungan
(terutama makanan), jenis kelamin, dan adanya kerentanan genetic (Adham et al.,2012).

Pada tahun 1964, Tony Epstein dan Yvonne Barr mengidentifikasi partikel jenis virus
herpes dengan mikroskop elektron dalam subpopulasi Burkitt Lymphoma (BL) sel tumor
berasal in vitro. Anehnya, antibodi antigen spesifik BL serupa juga hadir dalam serum dari
pasien dengan karsinoma ruang post-nasal, dan antibodi ini ditemukan dalam proporsi yang
tinggi pada pasien dari Afrika dan Amerika Serikat. Sebuah uji imunofluoresensi lebih
spesifik untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen replikatif EBV dikembangkan oleh de
Schryver dan pengujian ini dikonfirmasi oleh titer antibodi yang tinggi terhadap EBV virus
capsid antigen (VCA) dan membran antigen (MA) pada KNF. Pada tahun 1970, DNA EBV
juga ditemukan pada ekstrak dari tumor KNF menggunakan teknologi DNA hibridisasi
(Young & Dawson., 2014).

Latensi
Infeksi EBV dapat mengadopsi terutama empat program yang berbeda dari latensi,
yang dinamakan tipe 0, I, II, dan III latensi. Program latency yang diterapkan tergantung pada
beberapa faktor sel-spesifik seperti peristiwa epigenetic yang meliputi metilasi DNA,
modifikasi histon dan organisasi dari kromatin. EBV latency dalam sel B biasanya
berkembang dari Latency III ke Latency II latency I. Selain itu, program latency juga telah
terbukti berkorelasi dengan jenis penyakit yang berhubungan dengan EBV (Oliveira., 2015).\

Pengaruh Bcl-2 pada kanker Nasofaring


Apoptosis diatur oleh beberapa gen. diantara gen tersebut, yang termasuk faktor
penting adalah golongan gen Bcl-2. Bcl-2 merupakan gen anti-apoptosis yang pertama
diidentifikasi pada limfoma non-hodgkin.Gen tersebut memiliki kemampuan menghambat
berbagai macam sinyal apoptosis, dan ekspresi dari gen ini telah ditemukan meningkat pada
neoplasma pada manusia, termasuk keganasan mammae, prostat, tiroid, dan karsinoma sel

paru sel besar. Bax merupakan gen lain yang merupakan golongan dari Bcl-2, tetapi
berlawanan dengan Bcl-2, gen ini cenderung menginduksi terjadinya apoptosis. Gen-gen
yang merupakan golongan dari kelompok Bcl-2 dapat membentuk homo atau heterodimer
satu sama lain. Pro-apoptosis dari royein Bax tergantung pada pembentukan Bax yang
bersifat homodimer pada membrane mitkondria. Efek antagonis dari gen Bcl-2 telah
dipengaruhi sebagian oleh Bcl-2-Bax heterodimer yang mencegah terbentuknya Baxhomodimer. Telah diduga bahwa rasio selular dari Bcl-2/Bax merupakan faktor kunci penting
yang membuat sel resisten terhadap stimulus apoptosis, sedangkan rasi yang rendah
menginduksi kematian sel. TNF- merupakan sitokin yang menginduksi apoptosis melalui
reseptor spesifik. Aktivasi dari reseptor TNF memicu aktivasi dari enzim proteolitik (kaskase)
yang bertanggung jawab terhadap eksekusi dari apoptosis. Bagaimanapun untuk menunjang
apoptosis, TNF- dapat mengawali sinyal lain termasuk mengaktivasi NF-B, sebuah fakor
transkriptase yang terlibat dalam regulasi dari gen pada respon imun, perkembangan
embrionik, onkogenesis, dan apoptosis.

EBV pada Kanker Nasofaring


Ekspresi EBNA-1 dan LMP-1 selalu ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada sel
KNF dimana hal ini tidak ditemukan pada sel nasofaring yang normal (Flint et al.,
2015).EBV encoded early RNAs (EBERs) juga ditemukan dalam jumlah yang berlimpah
(Barnes et al., 2005).
Infeksi EBV pada KNF menunjukan latensi tipe II. Latensi tipe II ditandai dengan
ekspresi gen EBV yaitu EBNA1, LMP1 dan LMP2, EBERs. Ekspresi tipe ini pertama kali
terdeteksi dalam sel epitel pada KNF.EBNA1 berfungsi menjaga episomes virus pada sel-sel
tumor sedangkan LMP1 berfungsi menginduksi pertumbuhan sel dengan menginduksi
hiperplasia epitel dan mengurangi ekspresi cytokeratin dan menghambat diferensiasi sel

skuamosa. (Flint et al., 2015). LMP2 berfungsi mempertahankan supresi latensi virus pada
diferensiasi sel yang memicu metastasis (Barnes et al., 2005).

Immunohistokimia
Pemeriksaan immunohistokimia merupakan salah satu pemeriksaan yang digunakan
untuk mendeteksi adanya antigen dari EBV. Salah satu antigen yang dapat diperiksa dengan
menggunakan pemeriksaan immunohistokimia adalah LMP1. Gambaran positif ekspresi
LMP1 pada pasien KNF dengan pemeriksaan imunohistokimia akan terlihat berwarna coklat
muda, sedangkan gambaran negative dari ekspresi LMP1 akan terlihat gambaran dengan
gambar latar berwarna biru (Chou., 2012).

Gambar 2.8 Pemeriksaan immunohistokimia LMP1 pasien KNF. (A) LMP1 positif (B) LMP1
negatif(Chou., 2012).

Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup


banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki

agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan
gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan
ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika
dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung
antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen
dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi.
Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring
aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak
berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (non-keratinizing)
yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel
skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional Cancer
Institute, 2009).
3. Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma
nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin,
Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007 dan
Nasir, 2009).
The six hallmark of cancer (6 karakter sel kanker) adalah enam perubahan mendasar dalam
fisiologi sel yang secara bersama-sama menentukan, fenotip keganasan, yaitu (Barnes,
2002) : 1) Growth signal anatomy, sel normal memerlukan sinyal eksternal untuk
pertumbuhan dan pembelahannya, sedang sel kanker mampu memproduksi growth factor dan

growth receptor sendiri. Dalam proliferasinya sel kanker tidak tergantung pada sinyal
pertumbuhan normal. Mutasi yang dimiliki memungkinkan sel kanker untuk memperpendek
growth factor pathway. 2) Evasion Growth inhibitory signal, sel normal merespon sinyal
penghambatan pertumbuhan untuk mencapai homeostasis. Jadi ada waktu tertentu bagi sel
normal untuk proliferasi dan mencapai pendewasaan. 3) Evasion of Apoptosis Signal, pada
sel normal kerusakan DNA akan dikurangi jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada
kerusakan DNA yang tidak bisa lagi direparasi. Sel kanker tidak memiliki kepekaan terhadap
sinyal apoptosis. 4) Unlimited replicative potential, sel normal mengenal dan mampu
menghentikan pembelahan selnya bila sudah mencapai jumlah tertentu dan mencapai
pendewasaan. 5) Angiogenesis (formation of blood vessel), sel normal memiliki
ketergantungan terhadap pembuluh darah untuk mendapatkan oksigen dan nutrient yang
diperlukan untuk hidup. Namun bentuk dan karakter pembuluh darah sel 24 normal lebih
sederhana atau konstan sampai dengan sel dewasa. Sel kanker mampu menginduksi
angiogenesis, yaitu pertumbuhan pembuluh darah baru di sekitar jaringan kanker.
Pembentukan pembuluh darah itu baru diperlukan untuk survival sel kanker dan ekspansi ke
bagian lain dari tubuh (metastasis). 6) Invasion and metastasis, sel normal memiliki
kepatuhan untuk berpindah ke lokasi lain di dalam tubuh. Perpindahan sel kanker dari lokasi
primernya ke lokasi sekunder atau tertiernya merupakan faktor utama adanya kematian yang
disebabkan karena kanker. Gambar 2.3 Enam tanda utama kanker (The hallmarks of cancer)
(dikutip dari Barnes, 2002) 2.4 Epstein Barr Virus (EBV) EBV merupakan Gamma Herpes
Virus yang ditemukan pada tahun 1964 oleh Michael Epstein dan Yvonne Barr. EBV
menyebar ke seluruh infeksi primer dan menetap sebagai infeksi latent maka ekspresi gen
EBV terbatas, dan yang pasti hanya 25 terdapat LMP-2A yaitu suatu protein laten yang
memberikan signal kehidupan dan menginhibisi aktivitas sel B dan pintu masuk siklus litik.
Ketika reaktif terjadi, litik yang berat pada protein viral akan diekspresikan dengan aktivasi

inhibisi mekanisme immun. Termasuk interleukin 10 homolog yang menginhibisi costimulator antigen presenting fungsi monosit, makrofag dan beberapa interferon yang
mengurangi pelepasan sitokin, interferon dan . Sebagai tambahan bcl-2 homolog prolog
sel dari survival untuk inhibisi apoptosis (Gourzones dkk., 2013). Keganasan seperti KNF
dapat muncul dari klon sel terinfeksi EBV setelah terinfeksi beberapa tahun. Pada klonal,
EBV dapat menetapkan derajat dari perkembangan tumor. Genom EBV merupakan
monoclonal yang alami dan menunjukkan bahwa infeksi EBV pada KNF terjadi lebih dulu
oleh ekspansi dari klon yang malignansi, spesifik kesalahan dari imun, stimulasi proliferasi
sel B oleh infeksi lain dan abrasi genetik sekunder atau mutasi merupakan faktor tambahan
dari karsinogenesis (Jeon dkk., 2005) Pada undifferentiated nasopharynx carcinoma, EBV
menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rosenmullers di Waldeyer ring.
Walaupun hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat diuraikan dan
EBV banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA-mediated endocytosis. EBV juga dapat
dideteksi pada karsinoma in situ, suatu prekursor undifferentiated nasopharyngeal carcinoma.
Infeksi EBV dapat terjadi sebelum neoplasma dan berkembang menjadi keganasan
(Gourzones dkk., 2013).

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

Apoptosis
Autoimunitas

Karsinoma

Gangguan Degeneratif

Karsinoma
Nasofaring
EBV

Hibridisasi in situ

Bcl-2

Imunohistokimia

Hipotesis

marker

EBNA-1

LMP-1

LMP-2A

LMP-2B

Hipotesis
Terdapat hubungan antara ekspresi Bcl-2 dengan EBV pada blok paraffin pasien
kanker nasofaring.

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian potong
lintang (cross-sectional) studi retrospektif.

B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu : November s/d Desember
2016 di laboratorium Biomedik dan Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum
Provinisi Nusa Tenggara Barat.

C. POPULASI DAN SUBJEK PENELITIAN


Populasi penelitian ini adalah pasien kanker nasofaring yang didiagnosis di poliklinik
THT RSUP NTB. Subyek penelitian adalah pasien kanker nasofaring yang hasil biopsinya
menunjukkan gambaran histopatologis WHO I-III.
Kriteria inklusi subyek penelitian adalah pasien yang rekam medisnya lengkap dan
blok paraffin sediaan biopsy nasofaringnya masih tersimpan di laboratorium patologi anatomi
RSUP NTB dan rumah sakit Islam Siti Hajar. Kriteria ekslusi penelitian ini adalah pasien
karsinoma nasofaring yang rekam mediknya tidak lengkap dan pasien yang tidak memiliki
atau tidak tersedia blok paraffin biopsy nasofaring di laboratorium patologi anatomi RSUP
NTB dan Rumah Sakit Islam Siti Hajar.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah consecutive
sampling yaitu semua subjek yang memenuhi criteria pemilihan dimasukkan menjadi sampel

penelitian sampai jumlah sampel yang dibutuhkan tercapai (Dahlan, 2013). Besar sample
minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus analitik
_____. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Ekspresi BCL-2 pada kanker Nasofaring
2. Variabel terikat : Epstein-Barr virus (EBV)
Definisi Operasional
Variabel

Definsi

Penelitian
Karsinoma

Sebuah karsinoma yang timbul pada mukosa nasofaring yang ketika

Nasofaring

dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop cahaya atau pemeriksaan ultras

Ekspresi EBV

tuktur lain menunjukkan bukti diferensiasi skuamosa (Barnes et al., 2005)


Ekspresi EBV adalah terlihat adanya gambaran antigen virus EBV pada blok
paraffin pasien kanker nasofaring dengan menggunakan pemeriksaan
immunohistokimia dan dinilai menggunakan mikroskop cahaya.

Bcl-2

Pemeriksaanimunohistokimiapadapenelitianiniakanmenunjukkanhasilpositif
mengekspresikan Bcl-2 bilasel yang yangterpulasdiatas 1% dari 5 sampai 10
high power field yang dilihat pada mikroskop dengan pembesaran 40 kali.
Hasil positif ini dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan kuat ekspresinya
yaitu + (1-9% selterpulas), ++ (10-50% selterpulas), dan +++ (>50%
selterpulas). Bcl-2 dikatakan negative bila jumlah sel yang terpulas kurang
dari 1% (Yu et al., 2003). Penelitian ini hanya menghitung jumlah sel yang
terpulas (warnacoklat) tanpa melihat kualitas warna pulasan.

Prosedur Penelitian
Alat

Mikroskop cahaya

Microwave

PAP PEN

Antibodi EBV, monoclonal; DAKO Jepang, dilusi 1:1000)

Sediaan paraffin biopsi pasien KNF

Rekam mediak pasien KNF

Xilol I dan II

Alkohol absolut, alkohol 95% dan alkohol 80%

0,5% Hidrogen Peroksida(H2O2) dalam methanol

Antigen retrieval solution ,target retrieval solution

Phosphat buffer saline

Biotinilated rabbit antimouse (BRAM)

Chromogen diamino benzidine

Hematoxilin lilie mayer

Larutan karbonat

Bahan

Streptavidin horse radish peroxidase-conjugated goat anti-mouse dako


jepang, dilusi 1:10000.

Chromogen

Prosedur Kerja
Tim Peneliti akan mengajukan telaah etik penelitian ke Komisi Etik Penelitian
Kesehatan Unram. Setelah mendapat rekomendasi dari Komisi Etik selanjutnya
dilakukan pengurusan perizinan dari instansi terkait.
Langkah berikutnya adalah melakukan pengumpulan data dan pemeriksaan
imunohistokimia dengan prosedur sebagai berikut:
Imunohistokimia adalah teknik untuk mendeteksi adanya antigen pada jaringan dengan
menggunakan antibodi yang terikat enzim sehingga presipitat terwarnai dan lokasi
antigen dapat dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan imunohistokimia vimentin
dilaksanakan dengan cara blok parafin dipotong setebal 4-6 mikron, dan sediaan
dipanaskan di atas slide warmer selama 60 menit dengan suhu 60 derajat celcius. Sediaan
dideparafinisasi dengan xilol I selama 5 menit, xilol II selama 5 menit, alkohol absolut
selama 5 menit, alkohol 95% selama 5 menit, alkohol 80% selama 5 menit, kemudian
dicuci dengan air mengalir selama 3 menit. Setelah itu dilanjutkan blocking peroksidase
endogen (0,5% H2O2 dalam metanol) selama 30 menit, dilanjutkan dengan pencucian air
mengalir selama 3 menit. Kemudian sediaan dimasukkan dalam antigen retrieval solution
dan dipanaskan dengan microwave menggunakan target retrieval solution (TRS):Lalu
didinginkan selama kurang lebih 45 menit dalam TRS. Selanjutnya dilakukan pencucian

sediaan dengan phosphat buffer saline (PBS) dengan pH 7,4 sebanyak dua kali, masingmasing selama 3 menit. Lingkari dengan PAP PEN. Dilakukan blocking serum normal
selama 20 menit. Dilakukan inkubasi antibodi primer vimentin (mouse) dalam serum
normal semalam dalam suhu ruangan, kemudian dicuci dengan PBS pH 7,4 sebanyak 2
kali masing-masing selama 3 menit. Selanjutnya antibodi biotinilated rabbit antimouse
(BRAM) sekunder diinkubasi dalam serum normal selama 30 menit dan dilakukan
pencucian dengan PBS pH 7,4 sebanyak 2 kali masing-masing 3 menit. Setelah itu
dilakukan inkubasi streptavidin dalam serum normal dengan pengenceran 1:1000 selama
60 menit. Pada langkah selanjutnya dilakukan pencucian dengan PBS pH 7,4 sebanyak 2
kali masing-masing selama 3 menit, dengan chromogen diamino benzidine (DAB) selama
lebih kurang 10 menit (50 ml Tris HCl 330 ul DAB + 50 ul H2O2 30%). Setelah itu
dilakukan pencucian dengan PBS pH 7,4, kemudian dengan air mengalir. Counterstain
dilakukan dengan hematoxilin Lilie mayer pada air jernih, kemudian dicelupkan ke
larutan karbonat 2 kali celupan. Sediaan dicuci dengan air mengalir, dilakukan dehidrasi
dengan alkohol bertingkat (alkohol 95% selama 5 menit, alkohol absolut I selama 5
menit), Xilol II selama 5 menit, dan terakhir ditutup dengan enthelan.
Imunohistokimia dilakukan menggunakan antibodi primer COX-2 dan antibodi primer
BCL-2 (code M3617, clones CX-294, monoclonal; DAKO Jepang, dilusi 1:1000). Untuk
antibodi sekunder digunakan streptavidin horse radish peroxidase-conjugated goat antimouse
Pasca pemeriksaan imunohistokimia selanjutnya dilakukan pengecekan blok
paraffin dengan mikroskop menggunakan pembesaran 400x. Berikut gambaran yang
didapatkan jika suatu sampel menunjukkan hasil positif mengekspresikan Bcl-2.

Pemeriksaan imunohistokimia pada penelitian ini akan menunjukkan hasil positif


bila sel yang yang terpulas diatas 1% dari 5 sampai 10 high power field yang dilihat pada
mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Bcl-2 dikatakan negative bila jumlah sel yang
terpulas kurang dari 1% dalam 5 sampai 10 high power field yang dilihat pada
mikroskop dengan pembesaran 40 kali. (Yu et al., 2003). Data yang didapatakan akan
diklasifikasikan berdasarkan kuat ekspresi dari Bcl-2 tersebut. Berikut klasifikasi kuat
ekspresi Bcl-2 berdasarkan jumlah sel yang terpulas dalam 5-10 high field power.
Tabel 4.2. InterpretasiKuatEkspresi Bcl-2 BerdasarkanJumlahSel yang Terpulas
(Yu et al., 2003)
Kuatekspresi Bcl-2
+
++
+++

Interprestasi
<1% sel
1-9% sel
10-50% sel
>50% sel

Analisis Data
Analisis data menggunakan uji Asosiasi kategorikal. Data yang diperoleh dilakukan
uji Kruskal Wilk. Uji ini dianggap bermakna jika nilai p < 0,05. Data diolah dengan
bantuan software komputer dan disajikan dalam bentuk tabel (Dahlan MS, 2009).

Alur Penelitian

Pasien terdiagnosis KNF berdasarkan


pemeriksaan histopatologi

Blok parafin jaringan nasofaring yang sudah


tersimpan di laboratorium patologi anatomi
RSUP NTBdanRumahSakit Islam SitiHajar

Proses pemeriksaan Imunohistokimia

Pemeriksaan mikroskop

Protein bcl-2 ditemukan atau tidak

Ekspresi EBV pasien

serta tentukan kuat ekspresinya

Mencari adanya hubungan


BCL-2 dengan peningkatan
titer EBV

Jadwal Rencana Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

AKTIVITAS

Waktu
Agustu
s 2016

Persiapan

Pembuatan
proposal
Persiapan
penelitian
Pelaksanaan
Pengumpulan
data
Pemeriksaan
Imunohistokim
ia
Penyelesaian

Analisa data

Penulisan
Laporan

September Oktobe
2016
r 2016

Novembe Desembe
r 2016
r 2016

Anda mungkin juga menyukai