Anda di halaman 1dari 17

Uji Toksisitas Subletal ABS Terhadap Ikan Nilem (Osteochilus vittatus)

Subletal Toxicity test with ABS For Nilem Carp (Osteochilus vittatus)
Annisa Putri Septiani*), Rezky Hartanto
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Sumedang
*)Email: annisaputriseptiani@ymail.com
ABSTRAK
Detergen merupakan bahan pembersih yang banyak digunakan oleh masyarakat. Kandungan
bahan organik pada detergen dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan perairan,
yang pengaruhnya dapat mengganggu kelangsungan hidup organisme air didalamnya salah
satunya ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mortalitas dan nilai toksisitas akut dari
benih ikan Nilem yang terpapar detergen. Penelitian dilaksanakan pada 1 November 2016 di
Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Padjadjaran. Pengamatan dilakukan dengan mengamati respon letal benih ikan nilem terhadap
penambahan bahan toksik detergen formulasi, ABS (Alkyl Benzene Sulphonate) dan SLS
(Sodium Lauryl Sulfate) pada berbagai konsentrasi (25%, 50%, 75% dan kontrol) dengan waktu
pemaparan selama 3 hari. Hasil uji toksisitas akut menunjukkan bahwa pemberian ABS dan SLS
dengan konsentrasi yang berbeda (25%, 50%, 75% dan kontrol) berpengaruh nyata terhadap
gejala klinis, fisiologis dan kelangsungan hidup ikan nilem. Kualitas air selama penelitian
menunujukkan bahwa kondisi air kurang layak digunakan untuk kehidupan ikan nilem.
Kata kunci: sub letal, ikan nilem, ABS, SLS, gejala, kelangsungan hidup
ABSTRACT
Detergent is a cleaning agent that is widely used by people. The content of organic substances in
detergents may result in pollution of the aquatic environment, which can influence the survival of
aquatic organisms interfere in it one fish. This study aims to determine mortality and acute
toxicity values of nilem carp exposed detergent. The research was conducted on 1 st November
2016 at the Laboratory of Aquatics Animal Physiology Faculty of Fisheries and Marine
Sciences, Padjadjaran University. Observations were made by observing the response of
sublethal nilem carp to the addition of toxic detergent formulations, ABS (Alkyl Benzene
sulphonate) and SLS (Sodium Lauryl Sulfate) (25%, 50%, 75% dan control) with an exposure
time of 3 days. Result of lethal toxicity test showed that ABS and SLS which has active compound
with different concentrations (25%, 50%, 75% dan kontrol) significantly affect to indication of
clinics, fisiologic and survival rate of tested fish. In addition, water quality during this study
period showed that all parameters were not suitable for tested fish.
Keyword: sub lethal, nilem carp, ABS, SLS, indication, survival rate

PENDAHULUAN

limbah cair. Limbah padat dan cair yang

Jumlah industri untuk menghasilkan

dibuang ke lingkungan langsung dapat

berbagai macam produk dan memenuhi

menimbulkan keseimbangan alam terganggu

kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi.

yaitu terjadi pencemaran tanah yang mampu

Selain menghasilkan produk yang dapat

merubah pH tanah, kandungan mineral

digunakan oleh manusia, kegiatan produksi

berubah dan ganguan nutrisi dari tanah

ini juga menghasilkan produk lain yang

untuk kehidupan tumbuhan serta sumber air

belum begitu banyak dimanfaatkan yaitu

tanah

limbah. Seiring dengan peningkatan industri

mengganggu biota air, perubahan BOD,

ini, juga akan terjadi peningkatan jumlah

COD serta DO, disamping itu dampak

limbah.

psikologis

Limbah
memberikan

yang
dampak

dihasilkan
negatif

tercemar. Pencemaran

akibat

dari

air

dapat

pencemaran

dapat

lingkungan yang tidak kalah berbahayanya

terhadap

jika dibandingkan dengan dampak secara

sumber daya alam dan lingkungan, seperti

fisik.

gangguan pencemaran alam dan pengurasan

Pemakaian bahan pembersih sintesis

sumber daya alam, yang nantinya dapat

yang dikenal dengan deterjen makin marak

menurunkan kualitas lingkungan antara lain

di masyarakat luas, di dalam deterjen

pencemaran tanah, air, dan udara jika limbah

terkandung

tersebut

dahulu.

surfaktan, baik bersifat kationik, anionik

Bermacam limbah industri yang dapat

maupun non-ionik. Produksi deterjen di

mencemari lingkungan antara lain limbah

Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380

industri tekstil, limbah agroindustri (limbah

ribu

kelapa sawit, limbah industri karet remah

konsumsinya, menurut hasil survey yang

dan lateks pekat, limbah industri tapioka,

dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di

dan limbah pabrik pulp dan kertas), limbah

wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per

industri

kapita

tidak

diolah

farmasi,

dan

terlebih

lain-lain.

Selain

ton.

komponen

Sedangkan

rata-rata

utamanya,

untuk

sebesar

yaitu

tingkat

8,232

kg

kegiatan industri, diperkotaan limbah juga

(Anonimous 2009). Perkembangan usaha

dihasilkan oleh hotel, rumah sakit dan

binatu atau laundry yang sebelumnya hanya

rumah

yang

dikhususkan bagi masyarakat menengah ke

dihasilkan oleh komponen kegiatan yang

atas, kini mengalami pergeseran hingga

disebut di atas adalah limbah padat dan

harganya dapat dijangkau semua kalangan

tangga.

Bentuk

limbah

masyarakat. Hal ini menyebabkan limbah

kosmetika dan produk perawatan diri,

deterjen semakin banyak kuantitasnya.

farmasi, pangan, cat dan pelapis, kertas,

Air

limbah

polutan atau

detergen termasuk

zat

yang

mencemari

lingkungan karena didalamnya terdapat zat


yang

disebut

pertambangan

dan

industri

perminyakan, dan lain sebagainya (Scheibel


J, 2004).

(alkyl

benzene

Dengan makin luasnya pemakaian

merupakan

deterjen

deterjen maka risiko bagi kesehatan manusia

tergolong keras. Deterjen tersebut sukar

maupun kesehatan lingkungan pun makin

dirusak

rentan. Limbah yang dihasilkan dari deterjen

sulphonate)

ABS

tekstil,

yang
oleh

berbagai

macam

mikroorganisme (nonbiodegradable) yang

dapat

ada

merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya

pada

perairan

sehingga

dapat

menimbulkan
atau

yang

menimbulkan kerusakan atau pencemaran

akan

lingkungan (Anonimous 2009).

kehidupan masyarakat (Heryani dan Puji

Surfaktan sebagai komponen utama

mengganggu

dampak

mempengaruhi

2008).

dalam deterjen dan memiliki rantai kimia


yang

sulit

didegradasi

(diuraikan)

DATA DAN PENDEKATAN

hanya

Penelitian Uji Toksisitas subletal ini

digunakan sebagai bahan utama pembuat

dilaksanakan pada Selasa, 1 November 2016

deterjen. Namun karena terbukti ampuh

di Laboratorium, Fisiologi Hewan Air

membersihkan

banyak

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

pencuci

Universitas Padjadjaran. Hewan uji yang

lain. Surfaktan merupakan suatu senyawa

digunakan dalam penelitian ini adalah ikan

aktif penurun tegangan permukaan yang

nilem (Osteochilus vittatus) yang berasal

dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi

dari Ciparanje, yang diuji pada skala

maupun biokimiawi. Sifat aktif permukaan

laboratorium dengan beberapa konsentrasi

yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu

deterjen (ABS dan SLS). Jumlah ikan yang

menurunkan tegangan permukaan, tegangan

digunakan

antarmuka dan meningkatkan kestabilan

adalah 10 ekor ikan ukuran sedang. Bahan

sistem emulsi. Hal ini membuat surfaktan

uji deterjen yang digunakan adalah ABS

banyak digunakan dalam berbagai industri,

yang mengandung konsentrasi 25%, 50%,

seperti industri sabun, deterjen, produk

75% dan kontrol. Wadah yang digunakan

alam. Pada

digunakan

mulanya surfaktan

kotoran,
sebagai

maka
bahan

pada

masing-masing

wadah

dalam penelitian ini berupa 1 unit akuarium

adalah mortalitas ikan, gejala klinis dan

untuk masing-masing perlakuan bahan aktif.

gejala fisiologis yang dihitung pada jam ke-

Digunakan pula pipet, saringan, gelas ukur 5

1, hari ke-1, 2, dan 3.

mL, beaker glass 250 mL, pengaduk kaca,

Kelangsungan

dan hand counter.

hidup

ikan

uji

diperoleh dengan mengikuti rumus Effendie

Dimasukkan 10 ekor ikan nilem

(1979):

sedang dengan bobot 8 g ke dalam

SR=

akuarium yang telah diisi air sebanyak 10


liter dan diaerasi. Deterjen ABS dimasukkan
terlebih dahulu kedalam akuarium dengan
konsentrasi yang telah ditentukan melalui
pengenceran menggunakan pipet.
Uji toksisitas Sub-Letal merupakan
bagian dari uji toksisitas kuantitatif yang
dilakukan dengan pendedahan larutan bahan
kimia atau polutan dalam jangka waktu
relatif lebih lama dibandingkan uji toksisitas
akut (beberapa hari, minggu). Parameter
yang diamati dari uji toksisitas sub-letal

Nt
x 100
No

Keterangan:
SR: Kelangsungan hidup hewan Uji (%)
Nt : Jumlah ikan uji di akhir penelitian
No: Jumlah ikan uji pada awal penelitian
Parameter

gejala

fisologis

merupakan hasil perhitungan rata-rata gerak


operkulum dari sampel ikan yang diambil
secara acak sebanyak 3 (tiga) ekor masingmasing selama satu menit dengan persamaan
sebagai berikut:
GO ratarata=

GO
N

pada ikan umumnya gejala fisiologis seperti


aktivitas gerak (gerak aktif /pasif, gerak
renang, gerak operkulum/ mulut ikan dalam
aktivitas

respirasi)

dan

gejala

Keterangan:
GO: Jumlah gerak operkulum ikan uji
N : Jumlah ikan uji yang diamati (ekor)

klinis

(produksi lendir pada sisik, serta keadaan


insang pada ikan akibat dari larutan bahan
toksik).
Selama

pengamatan

ikan

diberi

pakan 3% dari bobot tubuh dan dilakukan


pergantian air. Setiap perlakuan diberi aerasi
agar kematian ikan tidak disebabkan karena
kekurangan oksigen. Parameter yang diukur

Gambar 1. Daerah operkulum dan pengamatan


lendir ikan uji
(Sumber: Tim Asisten Ekotoksikologi 2015)

Kelautan, Universitas Padjadjaran.


Parameter gejala fisiologis berupa

HASIL DAN PEMBAHASAN

gerak operkulum dan aktivitas gerak, serta

Bahan toksik yang ditambahkan

gejala klinis diberi tanda (+) dengan

dengan konsentrasi 75% yaitu sebesar 75%

ketentuan sebagai berikut:

dari

(+)

: Kurang aktif/ sedikit lendir

pengamatan uji sub letal (sebesar 75% dari

(++)

: Aktif/ cukup berlendir

40 ppm, untuk bahan toksik ABS), sehingga

(+++) : Sangat aktif/ banyak lendir

konsentrasi

bahan

toksik

pada

diperoleh konsentrasi bahan toksik sebesar

Parameter kualitas air yang diamati

15 ppm. Pengamatan kelompok uji toksisitas

adalah, oksigen terlarut, suhu dan pH yang

sub

diamati

pemaparan 75% ABS dapat dilihat pada

pada

setiap

awal

dan

akhir

penggantian media uji, di Laboratorium

letal

benih

ikan

nilem

terhadap

tabel 1 berikut:

Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu


Tabel 1. Pengamatan Kelompok Uji Toksisitas Sub Letal Benih Ikan Nilem
Waktu Dedah

Gejala Fisiologis

Gejala Klinis

Mortalitas
(%)

SR (%)

Gerak Operkulum

Aktifitas Gerak

1 jam

150

++

100

1 hari

147

++

10

90

2 hari

116

++

++

10

90

3 hari

106

+++

10

90

pengamatan

kelompok

Berdasarkan Tabel 1 diatas, terlihat

Grafik

gerak

adanya perubahan tingkah laku benih ikan

operkulum ikan uji dapat dilihat pada

nilem uji akibat adanya pemaparan bahan

Gambar 1 berikut:

toksik ABS. Gejala fisiologis yang diamati


terdiri dari gerak operkulum dan aktifitas
gerak ikan, semakin lama gejala fisiologis
ikan uji mengalami perlambatan. Hal ini
dibuktikan dari semakin lambatnya gerak
operkulum ikan dan aktifitas gerak ikan
yang semakin lama semakin tidak aktif.

Gejala klinis yang diamati adalah

Gerak Operkulum

jumlah lender yang dihasilkan oleh ikan uji.

150 147

160
140
120
Ge rak Operkulum
100

116

Berdasarkan pengamatan diperoleh hasil


106

semakin lama waktu dedah, lender yang


dihasilkan oleh ikan uji pun semakin
banyak. Lendir yang dihasilkan oleh ikan uji

Waktu De dah

merupakan salah satu upaya ikan uji untuk


mempertahankan

Gambar 1. Grafik Pengamatan Kelompok


Gerak Operkulum Ikan Uji
Berdasarkan

Gambar

tersebut

dapat dilihat gerak operkulum ikan semakin


menurun seiring dengan semakin lama
waktu dedah. Pada pengamatan jam ke-1
gerak operkulum ikan uji memiliki rata-rata
sebesar 150, sedangkan pada hari ke-3 gerak
operkulum rata-rata ikan uji sebesar 106.
Selain gerak operkulum gerjala fisiologis
yang diamati adalah aktifitas gerak ikan.
Pada Tabel 1 dapat dilihat aktifitas gerak
ikan semakin menurun seiring dengan
lamanya waktu dedah. Aktifitas gerak ikan
ditandari dengan tanda +, dimana semakin
sedikit tanda + maka aktifitas gerak ikan pun
semakin rendah. Secara visual hewan uji
yang terkontaminasi ABS memperlihatkan
gejala stress, ditandai dengan nafsu makan
menurun, gerak renang kurang stabil dan
cenderung

berada

(Rudiyanti

dan

di

dasar

Ekasari

dibandingkan dengan kontrol.

akuarium

2009)

bila

diri

dari

kondisi

lingkungan yang tidak sesuai karena adanya


paparan bahan toksik yang diberikan.
Pertahanan pertama ikan terhadap
serangan penyakit berada di permukaan
kulit, yaitu mukus, jaringan epitelia, insang.
Mukus

melapisi

seluruh

permukaan

integumen ikan, termasuk kulit, insang dan


perut. Pada saat terjadi infeksi atau iritasi
fisik dan kimiawi, sekresi mukus meningkat.
Lapisan mukus secara tetap dan teratur akan
diperbarui sehingga kotoran yang menempel
di tubuh ikan juga ikut dibersihkan. Mukus
ikan

mengandung

lisosim, komplemen,

antibody (ig M) dan protease yang berperan


untuk

mendegradasi

dan

mengeliminer

patogen.
Persentase mortalitas dan Survival
Rate

(SR)

ikan

uji

pada

hari

ke-3

pengamatan menunjukkan hasil sebesar 10%


untuk mortalitas dan 90% untuk SR, dapat
dilihat pada Gambar 2 berikut:

dan suhu 25C, sementara pada hari ke-3

SR (%)
105
100
95
Persentase SR (% ) 90
85

pengamatan menunjukkan nilai pH sebesar

100
90

90

8,1, DO sebesar 4,44, dan suhu 26C.

90

Terjadi

perubahan

kualitas

air

pada

beberapa
awal

parameter
dan

akhir

pengamatan. Pada akhir pengamatan terhaji

Waktu Dedah

kenaikan nilai pH menjadi lebih basa dari


Gambar 2. Grafik Pengamatan Kelompok
Survival Rate (SR) Ikan Uji
Kematian ikan uji terjadi pada hari
ke-1 pengamatan. Hal ini diduga karena
adanya kompetisi antar ikan uji yang
ditandai dengan kondisi ikan uji yang
mengalami kematian kondisi tubuhnya telah
dimakan sebagian oleh ikan uji lainnya. Air
yang tercemari deterjen dapat mengancam
kehidupan

organisme

yang

hidup

di

dalamnya, salah satunya adalah ikan. Selain


ikan masih banyak organisme lain, seperti
fitoplankton, zooplankton atau protozoa,
cyanobacteria, dan lain-lain. Jika organismeorganisme seperti fitoplankton mati, maka
zooplanktonakan mati karena tidak ada
makanan, ikan-ikan pun akan mati karena
zooplanktonyang biasa dimakan tidak ada.
Dengan kata lain detergen dan polutan
lainnya

yang

memusnahkan

mencemari
seluruh

air

organisme

dapat
yang

hidup di dalamnya (Adit 2011).


Kualitas

air

pada

hari

ke-1

pengamatan menunjukkan nilai pH sebesar


7,20, DO (Dissolved Oxygen) sebesar 3,73,

awal pengamatan, hal ini dikarenakan


adanya penambahan bahan toksik ABS yang
merupakan detergen yang memiliki pH
tergolong basa. Pada masa kini, detergen
yang umum digunakan ialah alkil benzene
sulfonat

berantai

lurus.

Pembuatannya

melalui tiga tahap. Alkena rantai lurus


dengan jumlah karbon 10-14 direaksikan
dengan benzene dan katalis Friedeft-Craft
(AlCl3 atau HF) akan membentuk ikatan
alkil benzene. Sulfonasi dan penetralan
dengan basa akan melengkapi proses ini.
DO pada hari ke-3 pengamatan mengalami
kenaikan dibandingkan pada hari ke-1
pengamatan, hal ini diduga karena adanya
penggunaan

aerasi

selama

pengamatan

sehingga diduga menaikkan kadar oksigen


terlarut dalam air. Suhu pada awal dan akhir
pengamatan tidak jauh berbeda yaitu masih
memiliki suhu ruang (25-25 C).
Pengamatan terhadap uji toksisitas
sub letal benih ikan nilem dilakukan dengan
memaparkan bahan toksik berupa ABS dan
SLS dengan berbagai konsentrasi (25%,

50%, 75% dan kontrol) kedalam media air

cenderung

meningkat

(yang sudah dipersiapkan) dengan perlakuan

meningkatnya konsentrasi bahan toksik.

yang sama. Setelah pengujian dilakukan

Organ-organ yang terkontaminasi, seperti

hasil data yang diperoleh direkapitulasi satu

organ ingsang dan hati, tidak berfungsi

angkatan (Kelas A, B, C dan Kelautan), data

sebagaimana

kelas (rekapitulasi) hasil pengamatan pada

kerusakan jaringan (Arianti 2002).

mestinya

seiring

dengan

karena

terjadi

uji toksisitas sub letal untuk benih ikan

Data kelas pengamatan uji toksisitas

nilem terhadap gerak operkulum ikan uji

letal benih ikan nilem terhadap survival rate

dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:

(SR) ikan uji dapat dilihat pada Gambar 4


berikut:

Grafik Gerak Operkulum Rata-rata


200

184

150 127133 120


111113119
100 86
Rata-rata Gerak Operkulum

50

Grafik Persentase Rata-rata


Survival Rate
120.00

ABS
SLS

100.00

93.33

100
90
76.67

80.00
Persentase S R (%)

Perlakuan

70.00

60.00
40.00
20.00

Gambar 3. Grafik Pengamatan Gerak


Operkulum Rata-rata Ikan Uji
Berdasarkan

Gambar

0.00
Kontrol

25%

tersebut

Perlakuan

dapat dilihat rata-rata gerak operkulum ikan


uji pada untuk setiap perlakuan. Pada grafik
terlihat gerak operkulum rata-rata pada

Gambar 4. Grafik Pengamatan Persentase


Rata-rata SR Ikan Uji
Berdasarkan

perlakuan 50% dengan pemaparan bahan

dapat

dengan

dan

survival rate ikan uji akibat pemaparan

terendah pada perlakuan 75% yaitu sebesar

bahan toksik ABS dan SLS. Persentase SR

120.08, sedangkan pada ikan uji yang

ikan uji yang terpapar bahan toksik ABS

terpapar bahan toksik SLS gerak operkulum

cenderung

sebesar

184,42

meningkatnya

perbandingan

tersebut

toksik ABS memiliki nilai tertinggi yaitu


rata-rata

dilihat

Gambar

menurun

persentase

seiring

konsentrasi

ABS

dengan
yang

50

dipaparkan. Pada penambahan bahan toksik

toksik maka persentase SR semakin rendah.

dengan konsentrasi 25% terlihat persentase

Persentase SR pada perlakuan SLS dengan

SR sebesar 76,67% dan menurun pada

konsentrast 50% lebih rendah dibandingkan

penambahan

dengan

konsentrasi

ABS

dengan

perlakuan

SLS

75%

dapat

konsentrasi 50% dan 75% yaitu sebesar 70%

dikarenakan oleh beberapa hal. Diduga hal

dan 46,67%. Hal ini menunjukkan semakin

tersebut

tingginya konsentrasi bahan toksik ABS

kualitas benih ikan yang digunakan selama

yang ditambahkan menyebabkan semakin

pengamatan serta adanya ketidakmampuan

rendah pula derajat kelangsungan hidup ikan

ikan uji untuk tinggal di lingkungan barunya

uji. Hal ini sesuai dengan penyataan Idris

yang berupa akuarium dengan media air

(2013), Apabila konsentrasi zat tersebut

yang diberi paparan bahan toksik. Namun,

yang masuk ke perairan melebihi ambang

penyebab utama kematian ikan uji bukan

batas, maka akan membunuh ikan yang ada

berkurangnya

di perairan tersebut karena senyawa kimia

melainkan adanya limbah deterjen dalam

aktif tersebut mampu untuk merusak insang

container. Hal ini diperjelas oleh Wardhana

ikan, sehingga menyebabkan ikan kesulitan

(1995) bahwa bahan buangan organic dapat

bernapas.

menurut

bereaksi dengan oksigen terlarut mengikuti

Mangkoediharjo (1999) yakni, efek negatif

reaksi oksidasi biasa; semakin banyak

tersebut

buangan organic di air, semakin sedikit sisa

Selain
dapat

itu

adapun

bersifat

akut

atau

kronis/subkronis, tergantung pada jangka

dikarenakan

oksigen

adanya

akibat

perbedaan

respirasi

kandungan oksigen terlalut.

waktu pemaparan zat yang dapat mematikan


50% atau lebih populasi biota yang terpapar.
Pada

Gambar

terlihat

pula

persentase SR ikan uji aibat penambahan


bahan toksik SLS, dapat dilihat terjadi
penurunan persentase SR pada konsentrasi
SLS

50%

dan

mengalami

kenaikan

persentase SR pada konsentrasi SLS 75%.


Hal ini berbeda dengan persentase SR akibat
penambahan bahantoksik ABS sebelumnya,
dimana semakintinggi konsentrasi bahan

KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan diperoleh,
hasil jika penambahan bahan toksik berupa
ABS menunjukkan respon yakni perubahan
tingkah laku benih ikan nilem uji akibat
adanya pemaparan bahan toksik tersebut.
Pertahanan pertama ikan terhadap serangan
penyakit berada di permukaan kulit, yaitu
mukus, jaringan epitelia, insang. Mukus
melapisi seluruh permukaan integumen ikan,
termasuk kulit, insang dan perut. Hasil uji

toksisitas sublethal menunjukkan bahwa


pemberian ABS dan SLS dengan konsentrasi
yang berbeda (25%, 50%, 75% dan kontrol)
berpengaruh nyata terhadap gejala fisiologis,
gejala klinis dan kelangsungan hidup benih
ikan nilem, terutama dengan konsentrasi
50%-75%. Kualitas air selama penelitian
menunjukkan bahwa kondisi air kurang
layak digunakan untuk kehidupan ikan
nilem.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Tim Asisten
Laboratorium dan Dosen Pengampu mata
kuliah Ekotoksikologi atas pengarahan dan
bimbingannya dalam pelaksanaan praktikum
dan

pembuatan

laporan

mengenai

uji

toksisitas sub letal ini.


DAFTAR PUSTAKA
Adi, Sapto. 2011. Analisi Usaha Perikanan
Budidaya. Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kelautan dan
Perikanan. Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Hal 1-8
Anonymous, 2009. Report from the midyear fisheries assessment plenary,
November 2009: stock assessments
and yield estimates. Ministry of
Fisheries, Wellington, New Zealand,
209 p.

Arianti F. D. 2002. Toksisitas Insektisida


Endosulfan terhadap Ikan Nila
(Oreochromis
niloticus)
dalam
Lingkungan Air Tawar. Tesis.
Program
Pascasarjana,
Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 87 hlm.
Heryani. A, Puji, H. 2008. Pengolahan
Limbah Deterjen Sintetik dengan
Trickling Filter. Makalah Penelitian.
UNDIP. Semarang.
Idris, M., Emiyarti., Sabilu, K. 2013.
Penuntun Praktikum Ekotoksikologi
Perairan.
Tim
Pengajar
Ekotoksikologi Jurusan Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Haluoleo.
Kendari
Mangkoedihardjo S. 1999. Ekotosikologi
Keteknikan.
Jurusan
Teknik
Lingkungan, ITS, Surabaya.
Rudiyanti, S. dan Ekasari, A. D. 2009.
Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan
Mas (Cyprinus carpio Linn) pada
Berabagai Konsentrasi Pestisida
Regent 0,3 G. Jurnal Saintek
Perikanan, 5(1) : 39-47
Scheibel J. 2004. The Evolution of Anionic
Surfactan Tehnology to Meet the
Requirement of the Laundry
Deterjent
Industry. Journal
of
Surfactan and Detergent. Vo7. No. 5.
Wardhana WA. 1995. Dampak Pencemaran
Lingkungan.
Andi
Offset.
Yogyakarta.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Penelitian
Disiapkan benih ikan nilem

Diisi akuarium dengan 10 liter air

Dimasukkan 10 ekor benih ikan ke dalam akuarium

Dimasukkan bahan toksik ke dalam akuarium dengan


konsentrasi yang ditentukan
Diamati mortalitas, gejala fisiologis dan klinsis benih
ikan nilem selama 3 hari

Lampiran 2. Kegiatan Praktikum Uji Toksisitas Sub Letal

Benih Ikan Nilem

Stok Bahan Toksik ABS

Persiapan Akuarium dengan Aerasi

Aklimatisasi Ikan dalam Akuarium

Penimbangan Bobot Ikan Uji

Pengukuran Volume Bahan Toksik ABS

Penimbangan Pakan

Pakan Ikan Uji per Hari

Pemasukan Bahan Toksik Ke Dalam Akuarium

Keadaan Awal Akuarium Setelah Diberi


Perlakuan

Keadaan Jam ke-1 Akuarium Setelah Diberi


Perlakuan

Keadaan Hari ke-1 Akuarium Setelah Diberi


Perlakuan

Keadaan Hari Ke-2 Akuarium Setelah Diberi


Perlakuan

Keadaan Hari Ke-3 Akuarium Setelah Diberi


Perlakuan

Pengukuran pH

Pengukuran DO

Hasil Pengukuran pH

Hasil Pengukuran Suhu

Lampiran 3. Rekapitulasi Data Angkatan Toksisitas Sub Letal Angkatan


Kel.
1A
2A
3A
4A
5A
6A
7A
8A
9A
10A
11A
12A
13A
14A
15A
16A
17A
18A
19A
20A
21A
1B
2B
3B
4B
5B
6B
7B
8B
9B
10B
11B
12B
13B
14B
15B
16B
17B
18B
19B
20B
21B
22B
23B
1C
2C

Bahan
Toksik
ABS

SLS

ABS

SLS
ABS
SLS

ABS

SLS

ABS

SLS

ABS

SLS
ABS

Konsentrasi
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
25%
50%
75%
25%
50%
75%
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
25%
50%
75%
Kontrol
25%

Gejala Fisiologis
GO RataAG RataRata
Rata
126
++
158,5
++
125,05
+
100,5
++
108,5
++
101
+++
160
++
167
++
147,4
++
125,2
++
176
++
132
++
273,9
++
151,6
++
131,82
+
101
+++
85,5
+++
139
++
166,3
+++
94
++
190
+++
125
++
147
++
172
++
109,25
+
137,7
++
115
+++
86
++
126,5
+++
136
++
150
++
188,75
++
130
++
119
++
113,75
++
123
++
147
++
120
++
103,4
+
192,5
++
121
+
103
++
130
++
84
+
155
++
168
++

Gejala
Klinis

SR

Suhu
(C)

pH

DO
(mg/L)

+
++
++
++
++
++
+
+
++
++
++
++
++
++
++
++
+++
++
++
++
+++
++
++
++
+
++
+
++
+
++
+
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
+
+
`++

100%
60%
90%
0%
80%
10%
100%
80%
100%
90%
30%
30%
100%
90%
80%
100%
100%
50%
100%
90%
100%
100%
100%
100%
40%
100%
100%
100%
80%
100%
100%
100%
90%
100%
90%
50%
80%
80%
30%
10%
10%
80%
0%
0%
100%
100%

26
24
24
26
27
25
25
25
25
25
21
25,5
26
26
25
25
25
26
25,5
26
25
25
26
`25
26
25
26
25
26
25,5
26
25
26
25
20
25
25
25
27
37,6
25,5
25
25
24
25
24

7,81
7,44
7,56
7,65
7,79
7,68
8
8,7
7,98
8,01
7,53
8,18
7,89
8,1
7,86
8,03
8,2
7,68
8,13
7,67
7,7
7,83
7,75
8,08
7,95
7,94
8,14
7,79
7,95
7,96
7,95
7,94
8,1
8,4
8
7,94
8,15
8,20
8,17
8,14
8,32
6,6
8,32
6,83
7,77
7,89

4,03
2,88
2,30
3,74
32,3
3,82
3,85
3,95
5,62
5,42
3,13
4,18
5,10
4,23
3,93
5,38
4,85
3,76
4,36
3,79
4,04
4,03
3,02
4,98
4,58
4,96
4,33
4,18
4,42
5,01
4,85
3,35
4,22
5,28
3,24
5,13
4,42
4,54
4,36
5,74
5,16
3,88
5,01
3.62
3,77
3,77

Kel.
3C
4C
5C
6C
7C
8C
9C
10C
11C
12C
13C
14C
15C
16C
1K
2K
3K
4K
5K
6K
7K
8K
9K
10K
11K
12K
13K
14K
15K
16K

Bahan
Toksik

SLS

ABS

SLS

ABS

SLS

ABS

SLS

Konsentrasi
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%
Kontrol
25%
50%
75%

Gejala Fisiologis
GO RataAG RataRata
Rata
163
++
170,5
++
202,5
++
178,2
++
193,75
++
145,33
++
106
++
207
++
99
++
78,5
++
96
+++
109
++
124,92
++
115
++
146
++
77
++
231
++
158
+
122
+++
160
+++
141
++
95
+
136
++
70
++
119
++
179
++
143
++
160
++
153
++
146
++

Gejala
Klinis

SR

Suhu
(C)

pH

DO
(mg/L)

++
++
++
++
+++
++
+
++
++
++
+
+
++
++
++
+
++
+
+++
+++
+++
++
++
++
++
+
+
+
++
++

100%
62,5%
100%
100%
87,5%
0%
100%
100%
100%
10%
100%
100%
100%
0%
100%
100%
100%
0%
100%
100%
32,5%
100%
100%
30%
30%
0%
100%
0%
90%
100%

25
24
24
26
25
25
26
25,5
26
25
25
25
25
26
26
25
25
31
25
26
37,8
25
25
26
25
25
25

7,97
8,03
7,81
8,06
8
8,3
7,64
8,21
8,09
4,90
8,05
4,93
8,16
7,95
7,62
8,11
7,72
7,62
8,25
7,75
7,77
7,77
7,83
7,6
7,29
7,77
7,83

4,75
4,88
4,81
4,87
4,57
3,95
3,77
5,55
3,37
4,81
4,78
7,82
5,03
4,42
3,26
5,56
3,87
3,26
4,43
4,35
4,12
4,65
4,55
3,94
4,66
3,90
3,37

Anda mungkin juga menyukai