Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS UJIAN

OD AFAKIA POST OP KATARAK ET CAUSA KATARAK


SENILIS , OS PSEUDOAFAKIA POST OP KATARAK ET CAUSA
KATARAK SENILIS DAN ODS PTERYGIUM DERAJAT II

Disusun Oleh :
Clara Verlina Suhardi
406147043
Pembimbing :
dr. Rosalia Septiana, Sp. M

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Mata


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
Periode 5 Oktober 2015 7 November 2015

BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. N

Umur

: 50 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: Prambatan Kidul - Kudus

Tanggal Pemeriksaan : 24 Oktober 2015

II. ANAMNESIS
Anamnesis secara

: Autoanamnesis

Keluhan Utama

Pandangan mata kanan dan kiri buram


Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Kudus pada tanggal 24
Oktober 2015 dengan keluhan pandangan mata kanan dan kiri buram. Keluhan
mata kanan kabur dirasakan kurang lebih 3 tahun SMRS, pasien mengatakan
pandangannya seperti tertutup kabut, awalnya hanya sebagian tapi lama
kelamaan semakin memburuk, kemudian pasien berobat ke dokter spesialis,
dan disarankan untuk melakukan operasi katarak, setelah operasi pasien
mengeluh pandangan mata kanan lebih buram dan disertai penglihatan pecah
dan silau saat melihat cahaya. Keluhan mata merah (-), gatal (-), lengket (-),
nyeri (-) , berair (-).
Pasien juga mengeluhkan hal yang sama pada mata kiri sejak 2 tahun
SMRS, kemudian pasien disarankan untuk melakukan operasi katarak dan
setelah operasi pasien mengatakan penglihatan masih kabur, tetapi lebih baik.
Selain itu pasien merasakan mata cepat lelah terutama saat menonton tv, dan

silau saat melihat cahaya.Keluhan mata merah (-), gatal (-),lengket (-),nyeri
(-).

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat operasi katarak mata kanan 3 tahun yang lalu dan operasi katarak
-

mata kiri 2 tahun yang lalu


Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat trauma pada mata (-)
Riwayat pemakaian steroid jangka panjang (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat menggunakan kaca mata (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit serupa.


Riwayat sosial ekonomi:
Pasien seorang wiraswasta. Biaya pengobatan ditanggung BPJS.
III.

PEMERIKSAAN FISIK
A. VITAL SIGN
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernafasan
Keadaan Umum
Kesadaran
Status Gizi

:
:
:
:
:
:
:

110/80 mmHg
84x/ menit
Afebris
20x / menit
Baik
Compos mentis
Cukup

B. STATUS OFTALMOLOGI
Gambar:
OD

OS
2

Keterangan:

1
OD

1.
2.
3.
4.

OS

Afakia
Bekas Jahitan
Iridodenesis
Pupil anisokor, hitam, iregular , 4mm

OCULI DEXTRA(OD)
1/60
Gerak bola mata normal,

PEMERIKSAAN
Visus

enoftalmus (-),
eksoftalmus (-),

Pseudoafakia
Bekas Jahitan

OCULI SINISTRA(OS)
6/120
Gerak bola mata normal,
enoftalmus (-),

Bulbus okuli

eksoftalmus (-),

strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-), nyeri

strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-),

tekan(-),

nyeri tekan (-),

blefarospasme (-), lagoftalmus


(-),

Palpebra

ektropion (-),
entropion (-)
Edema (-),

blefarospasme (-),
lagoftalmus (-)
ektropion (-),

Konjungtiva

entropion (-)
Edema (-),

injeksi konjungtiva (-),

injeksi konjungtiva (-),

injeksi siliar (-),

injeksi siliar (-),

infiltrat (-),

infiltrat (-),

hiperemis (-),pertumbuhan

hiperemis (-),pertumbuhan

fibrovaskuler konjungtiva

fibrovaskuler konjungtiva

berwarna putih, dari nasal,

berwarna putih, dari nasal,

bentuk segitiga, puncak ke

bentuk segitiga, puncak ke

arah limbus ,sudah melewati

arah limbus ,sudah melewati

limbus kornea tetapi tidak

limbus kornea tetapi tidak

lebih dari 2 mm.

lebih dari 2 mm.

Putih

Sklera

Bulat, edema (-),


keratik presipitat(-),

Putih
Bulat, edema (-),

Kornea

keratik presipitat(-),

infiltrat (-), sikatriks (-)

infiltrat(-), sikatriks (-)

Arkus senilis (-),tampak bekas

Arkus senilis (-), tampak bekas

operasi pada limbus kornea

operasi pada limbus kornea

arah jam 12

arah jam 12

Jernih, kedalaman dalam,

Camera Oculi Anterior

Jernih, kedalaman cukup,

hipopion (-),

(COA)

hipopion (-),

hifema (-),
Kripta(N), warna coklat,(-),

hifema (-),
Iris

iridodenesis (+), coloboma (-),

Kripta(N), warna coklat,(-),


edema(-), synekia (-),

edema(-), synekia (-)


Anisokor, ireguler , diameter :
5mm,

bulat, diameter 3 mm,


Pupil

letak sentral,

refleks pupil langsung (-),

refleks pupil langsung (+),

refleks pupil tak langsung (-)

refleks pupil tak langsung (+)

(-)

Lensa

Jernih, tampak pantulan


seperti kaca (IOL)

Jernih

Vitreus

Papil NII bulat, batas tegas,


ablatio (-), mikroaneurisma (-),

Jernih
Papil NII bulat, batas tegas,

Retina

ablatio (-), mikroaneurisma (-),

eksudat (-), perdarahan (-),

eksudat (-), perdarahan (-),

CD ratio (N)

CD ratio (N)

(+)cemerlang

Fundus Refleks

(+)cemerlang

Normal

TIO digital

Normal

Epifora (-), lakrimasi (-)

Sistem Lakrimasi

Epifora (-), lakrimasi (-)

IV. RESUME
Subjektif:
Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Kudus pada tanggal 24
Oktober 2015 dengan keluhan pandangan mata kanan dan kiri buram. Keluhan
mata kanan kabur dirasakan kurang lebih 3 tahun SMRS, pasien mengatakan
pandangannya seperti tertutup kabut, awalnya hanya sebagian tapi lama
kelamaan semakin memburuk, kemudian pasien berobat ke dokter spesialis,
dan disarankan untuk melakukan operasi katarak, setelah operasi pasien
mengeluh pandangan mata kanan lebih buram dan disertai penglihatan pecah
dan silau saat melihat cahaya. Keluhan mata merah (-), gatal (-), lengket (-),
nyeri (-) , berair (-).
Pasien juga mengeluhkan hal yang sama pada mata kiri sejak 2 tahun
SMRS, kemudian pasien disarankan untuk melakukan operasi katarak dan
setelah operasi pasien mengatakan penglihatan masih kabur, tetapi lebih baik.,
selain itu pasien merasakan mata cepat lelah terutama saat menonton tv, dan
silau saat melihat cahaya. Keluhan mata merah (-), gatal (-), lengket (-), nyeri
(-) , berair (-).

Objektif:

OCULI DEXTRA(OD)

PEMERIKSAAN

OCULI SINISTRA(OS)

1/60

Visus

6/120

Edema (-),

Konjungtiva

Edema (-),

injeksi konjungtiva (-),

injeksi konjungtiva (-),

injeksi siliar (-),

injeksi siliar (-),

infiltrat (-),

infiltrat (-),

hiperemis (-),pertumbuhan

hiperemis (-),pertumbuhan

fibrovaskuler konjungtiva berwarna

fibrovaskuler konjungtiva

putih, dari nasal, bentuk segitiga,

berwarna putih, dari nasal,

puncak ke arah limbus , ,sudah

bentuk segitiga, puncak ke

melewati limbus kornea tetapi tidak

arah limbus , ,sudah

lebih dari 2 mm
Bulat, edema (-),

melewati limbus kornea


Kornea

tetapi tidak lebih dari 2 mm


Bulat, edema (-),

keratik presipitat(-),

keratik presipitat(-),

infiltrat (-), sikatriks (-)

infiltrat (-), sikatriks (-)

tampak bekas operasi pada limbus

,tampak bekas operasi pada

kornea arah jam 12

limbus kornea arah jam 12

Jernih, kedalaman dalam,

Camera Oculi

Jernih, kedalaman cukup,

hipopion (-),

Anterior (COA)

hipopion (-),

hifema (-)
Kripta(N), warna coklat,(-),

hifema (-)
Iris

iridodenesis (+), coloboma (-) ,

Kripta(N), warna coklat,(-),


edema(-), synekia (-)

edema(-), synekia (-)


Anisokor, ireguler , diameter :

Pupil

bulat, diameter 3 mm,

5mm

letak sentral,

refleks pupil langsung (+),

refleks pupil langsung (+),

refleks pupil tak langsung (+)

refleks pupil tak langsung(+)

Lensa

Jernih, tampak pantulan


seperti kaca (IOL)

V. DIAGNOSIS BANDING

OD

o Afakia post op katarak ec katarak senilis ditegakkan, karena dari


anamnesis pasien mengaku pernah menjalani operasi katarak. Pada
pemeriksaan didapatkan bekas jahitan operasi pada limbus arah jam
12, COA dalam, iridodenesis (+), coloboma (+), pupil anisokor,
ireguler, hitam, diameter 5mm
o Pseudoafakia post op katarak ec katarak senilis disingkirkan,
karena pasien mengaku pernah menjalani operasi katarak, dan pada
pemeriksaan didapatkan bekas jahitan pada limbus arah jam 12, dan
lensa tampak ada pantulan seperti kaca (IOL)

OS

o Pseudoafakia post op katarak ec katarak senilis ditegakkan, karena


pasien mengaku pernah menjalani operasi katarak, dan pada
pemeriksaan didapatkan bekas jahitan pada limbus arah jam 12, dan
lensa tampak ada pantulan seperti kaca (IOL)
o Afakia post op katarak ec katarak senilis disingkirkan, karena pada
pemeriksaan fisik pada afakia biasanya didapatkan bekas jahitan pada
limbus, COA dalam, iridodenesis (+),coloboma (+), pupil berwarna
hitam.

ODS
o Pterygium ditegakkan, karena terdapat jaringan fibrovaskuler, di
nasal, bentuk segitiga, puncak ke arah limbus, warna lebih merah
dibanding jaringan sekitarnya. Riwayat terpapar sinar matahari terus
menerus dan sering kelilipan debu saat bekerja (+)
o Pseudopterygium disingkirkan, karena letaknya tidak harus pada
celah kelopak atau fissura palpebra, pada anamnesis ditemukan ada
riwayat

kelainan

kornea

sebelumnya

(ulkus

kornea).

Pada

pseudopterigium dapat diselipkan sonde dibawahnya, pterigium tidak


dapat.
o Pinguecula disingkirkan, karena pinguekula berupa nodul yang
terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang
bertumbuh besar.

VI. DIAGNOSIS KERJA


OD Afakia post op katarak ec katarak senilis
OS Pseudoafakia post op katarak ec katarak senilis
ODS Pterygium
VII. TERAPI
Preventif
o Lindungi mata dari debu dan sinar matahari langsung dengan
menggunakan kacamata berwarna gelap.
Kuratif

OD insersi IOL sekunder

VIII. PROGNOSIS
OKULI DEKSTRA (OD)
Quo Ad Visam:
Quo Ad Sanam
:
Quo Ad Kosmetikam :
Quo Ad Vitam
:

OKULI SINISTRA(OS)

Malam
Dubia ad bonam
Malam
Bonam

Bonam
Dubia ad bonam
Bonam
Bonam

TINJAUAN PUSTAKA
AFAKIA
1. Afakia

Definisi
Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa sehingga
mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi. Karena pasien memerlukan pemakaian
lensa yang tebal, maka akan memberikan keluhan pada mata tersebut sebagai berikut:1
a) Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibanding normal
b) Terdapat efek prisma lensa tebal, sehingga benda terlihat seperti melengkung
c) Pada penglihatan terdapat keluhan seperti badut di dalam kotak atau fenomena jack
in the box, dimana bagian yang jelas terlihat hanya pada bagian sentral, sedang
penglihatan tepi kabur.
Dengan adanya keluhan di atas maka pada pasien hipermetropia dengan afakia
diberikan kacamata sebagai berikut:1

Pusat lensa yang dipakai letaknya tepat pada tempatnya


Jarak lensa dengan mata cocok untuk pemakaian lensa afakia
Bagian tepi lensa tidak mengganggu lapang pandangan kacamata tidak terlalu

berat.
Melihat benda lebih besar sebesar 25%
Melihat seperti boneka dalam kotak (Jack in the box)

Epidemiologi
Penelitian di Swedia pada tahun 1997-2001 menyebutkan bahwa satu dari dua
ratus operasi katarak adalah afakia. Alasan paling sering terjadinya afakia yang tidak
direncanakan adalah adanya masalah kapsul ketika operasi dan prolaps vitreous.2
Penyebab Afakia
1. Absen lensa kongenital. Keadaan ini jarang.
2. Afakia setelah operasi pengangkatan lensa. Ini adalah penyebab paling umum
afakia.
3. Afakia karena absorbsi bahan lensa yang jarang dipalorkan setelah trauma
pada anak.
4. Trauma ekstrusi pada lensa. Ini juga jarang menyebabkan afakia
5. Dislokasi posterior lensa di badan vitreous menyebabkan afakia optikal.
Gejala
Afakia menyebabkan tajam penglihatan menurun dekat dan jauh.
Tanda

Visus 1/60 atau lebih rendah jika afakia tidak ada komplikasi
Limbal scar yang dapat ditemukan pada afakia akibat pembedahan
Pasien mengalami penurunan tajam penglihatan(biasanya hiperopia yang sangat

tinggi) yang dapat dikoreksi dengan lensa positif.


Bilik mata depan dalam
Iris tremulans
Jet black pupil
Test bayangan purkinje hanya memperlihatkan 2 bayangan (normalnya 4 bayangan)
Pemeriksaan fundus memperlihatkan diskus kecil hipermetropi
Retinoscopy memperlihatkan hipermetropi tinggi
Biasanya terlihat bekas operasi
Jika sudah mengalami komplikasi dapat ditemukan edema kornea, peningkatan TIO,
iritis, kerusakan iris, CME(cystoid macular edema)

Optik pada Afakia

Optik pada afakia dapat dibagi menjadi 5, yaitu:4


1. Perubahan data kardinal mata
Perubahan optik yang terjadi setelah pengangkatan lensa adalah:
a. Mata menjadi hipermetropi tinggi
b. Penurunan total power pada mata menjadi +44 D dari +60 D
c. Titik fokus anterior menjadi 23,3 mm didepan kornea
d. Titik fokus posterior 31 mm dibelakang cornea (panjang anteriorposterior
bola mata 24 mm)
e. 2 titik prinsipal hampir terletak di permukaan anterior kornea
f. Titik nodul sangat dekat dengan yang lain dan terletak 7,75mm dibelakang
permukaan anterior kornea

Sumber: Dr Sunita Agarwal, Dr Athiya Agarwal, David J. Apple,


M.D.Textbook of Ophthalmology. India: Jaypee Brothers Medical Publisher.
2002
2. Pembentukan bayangan pada afakia
Pada afakia, bayangan yang terbentuk membesar 33%. Panjang fokus anterior
pada emetrop adalah 17,05 mm, sedangkan pada afaki adalah 23,22 mm.
Rasio panjang fokus anterior emetrop dan afakia adalah 23,22/17,05=1,32,
artinya bayangan yang terbentuk pada afakia 1,32 kali lebih besar(33%)
dibandingkan pada emetrop.

3. Tajam penglihatan pada afakia


4. Akomodasi pada afakia
terjadi kehilangan akomodasi karena tidak terdapat lensa
5. Penglihatan binokular dan afakia
Afakia monokuler pada anak terjadi aniseikonia sebesar 30% disebabkan oleh
anisometropia.

Tatalaksana
Afakia dapat dikoreksi menggunakan lensa kontak, kacamata, atau operasi.
Kaca mata afakia hanya dapat digunakan jika kondisinya afakia bilateral, jika hanya
satu mata maka akan terjadi perbedaan ukuran bayangan pada kedua mata
(aniseikonia). Jika pasien tidak dapat memakai lensa kontak atau kaca mata, maka
dipertimbangkan penanaman lensa intraokuler(pseudofakia). Dan diperlukan
tatalaksana untuk komplikasi.
Pada afakia bilateral, koreksi dapat dikoreksi dengan kacamata. Sedangkan
pada afakia unilateral, koreksi menggunakan kacamata tidak dapat ditoleransi karena
anisometrop. Lensa kontak dapat mengurangi aniseikonia. Namun, pasien biasanya
tidak nyaman menggunakan lensa kontak karena kesusahan memasang lensa, tidak
nyaman, dapat terjadi komplikasi seperti konjungtivitis giant papil.
Tabel perbedaan mata normal(1), koreksi katarak dengan lensa intraokuler bilik mata
belakang(2), lensa kontak(3), dan kacamata katarak(4)

Sumber: Gerhard, Lang. Ophtalmology A Short. New York: Thieme Stutgart, 2000.

Prognosis
Prognosis untuk afakia adalah bagus jika tidak terjadi komplikasi seperti edema
kornea, glaukoma sekunder, CME (cystoid macular edema). Namun, pada afakia
terjadi peningkatan resiko ablasio retina, khususnya pada miopi tinggi dan jika kapsul
posterior tidak intak.

TINJAUAN PUSTAKA
PSEUDOAFAKIA
Pseudoafakia adalah sebuah kondisi dimana mata aphakia telah dilengkapi
dengan lensa intraocular untuk mengganti lensa kristal. Lensa intraocular adalah lensa
buatan yang terbuat dari semacam plastic (polimetilmetakrilat) yang stabil, transparan
dan ditoleransi oleh tubuh dengan baik. Lensa ini sangat kecil, lunak dengan diameter
antara 5-7 mm dan tebal 1-2 mm sehingga dapat menggantikan posisi lensa mata
manusia yang telah keruh/katarak. Karena dapat ditoleransi tubuh dengan baik maka
lensa tanam ini dipasang untuk seumur hidup.
Karena lensa tanam ini menggantikan posis lensa yang telah katarak maka
tidak akan terjadi pembesaran benda yang dilihat, pandangan samping tetap jelas,
tidak perlu buka pasang dan penglihatan terasa lebih nyaman.
Status refraksi pseudofakia tergantung pada kekuatan IOL yang ditanamkan
sebagai berikut:
1. Emmetropia terjadi ketika kekuatan IOL ditanamkan adalah tepat. Ini adalah
situasi yang paling ideal. Beberapa pasien hanya membutuhkan kacamata
plus untuk penglihatan dekat.
2. Consecutive myopia terjadi ketika IOL implan terlalu berlebihan dalam
pembiasan mata. Beberapa pasien memerlukan kacamata untuk mengoreksi
miopia
untuk
jarak jauh dan mungkin memerlukan kacamata untuk jarak dekat, tergantung
pada derajat miopia.
3.

Consecutive hypermetropia terjadi saat IOL yang ditanamkan mempunyai


kekuatan yang kurang sesuai. Pasien tersebut membutuhkan kacamata untuk
penglihatan jarak jauh dan tambahan untuk jarak dekat + 2 - 3 D.
Tanda-tanda pseudophakia (dengan Posterior Chamber IOL).

1. Bedah bekas luka dapat dilihat di dekat limbus.


2. Anterior chamber sedikit lebih dalam dari biasanya.
3. Iridodonesis derajat sedang (tremulousness) dari iris

4. Purkinje image test menunjukkan empat gambar.


5. Pupil berwarna kehitaman tetapi ketika cahaya menyinari daerah pupil maka
akan terjadi shining reflex. Ketika pemeriksaan dilakukan saat pupil
dilatasi maka akan terlihat IOL.
6. Status Visual dan refraksi akan bervariasi tergantung pada kekuatan IOL
ditanamkan.

Lensa tanam ini juga dapat menjadi infeksi yang disebut infeksi intraokuler,
dimana sebagian besar berasal dari :

Cairan yang tercemar


Konjungtivitis menahun atau infeksi pinggir kelopak mata menahun atau
dacriocystitis menahun.
Pembedahan yang memakan waktu terlalu lama.

TINJAUAN PUSTAKA
PTERYGIUM

I.

DEFENISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygium akan berwarna merah. (1)
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya wing
atau sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi
patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang
tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. (2)

Gambar 1. Pterygium
II.

EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah
<370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di
daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.(3)
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang

dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien di bawah umur 15
tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur,
terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49
tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar
rumah.(3,4)
III. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan
epitel kornea dilimbus.(5)
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata
dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola
mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan
forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus
sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut
membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang
bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior.
Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat
ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal.
Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.(6)
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior
kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi
konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam
kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona

marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada


mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada
sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk
komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona
tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang
melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen.
Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus
hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal
konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional,
konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa
ditemui.(6)
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva
bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang
memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga
melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon.
Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon
dan sklera.(6)
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada
struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan
struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva
forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi. (6)

Gambar 2. Konjugtiva
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.(6)
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan
basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel
skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan
oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet
ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.
(6)

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial


dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi
2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung
struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.(6)

Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3


bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat
papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.
Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva.(6)
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal
aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip
kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause
berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di
tepi tarsus atas.(6)
IV.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.(1)
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.
Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.
Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea.
Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor
Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula
pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis
tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja
normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. (7)
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan
atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium
memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor
herediter). (7)

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab


dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui
namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra
violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri
dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan
sinar ultra violet ke area nasal tersebut. (7)
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,
antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis
ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan
yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degeneratif. (7)
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa
insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat
equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan. (7)
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium
adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu,
polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen
pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi
seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi
adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran
Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. (7)
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada
usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat
pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. (7)
2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering


dengan sinar UV. (7)
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei
yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei
lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. (7)
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan. (7)
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium. (7)
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium. (7)
V.

PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet,
kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya.
UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor
suppressor gene pada stem sel di basal limbus. (8)
Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor
beta (TGF-) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperanan
penting dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel angiogenesis. (8)
Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi
kolagen elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada kornea
nampak kerusakan pada membrane bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan

fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel
bisa normal, tebal atu tipis dan kadang-kadang terjadi dysplasia. (8)

VI.

KLASIFIKASI PTERYGIUM
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera , yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari
kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel
kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau
ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh
pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah
-

operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.


Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan
zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai
kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan

gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan


2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm).
o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterigium stadium 1

Gambar 3. Pterigium stadium

Gambar 4.Pterigium stadium 3

Gambar 5. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


-

Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa


infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari
pterigium)

Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya


menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan


harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
-

T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat


T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.(5,9)

Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal dan
temporal pada satu mata pasien.
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata
sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. (10)
Pterigium memiliki tiga bagian :

i.

Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu
pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini
menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea.
Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian

ii.

anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.
Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah
lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya

iii.

kepala.
Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda
khas

yang

paling

penting

untuk

dilakukannya

koreksi

pembedahan. (11)
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan
tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan
keluhan berupa gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan
adanya diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik,
keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada yang mengganjal. (2)
Pemeriksaan fisis
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular
dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.(10)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang disebabkan oleh pterigium.(4)
IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun
paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan
pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.(7)
2. Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico,


yaitu:
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b.
Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
d.
Mendahului suatu operasi intraokuler
e. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Progresif, resiko rekurensi > luas


Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Masalah kosmetik
Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
Terjadi kongesti (klinis) secara periodik. (7)
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan

operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam


penanganan pterigium di antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya
2.

tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.(7,3)


Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,

3.

diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil. (7,3)
Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

4.

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. (7,3)


Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas
eksisi untuk

5.

membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang

kemudian diletakkan pada bekas eksisi. (7,3)


Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil
dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran
luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan
perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,
Illionis).(7,3)

Gambar 7. Teknik Operasi Pterigium


X.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada
orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar
matahari, debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan
pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan
elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. (7)
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak

kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering


dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya
berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi
jam 3 atau jam 9. (7)

Gambar 8. Pinguekula
Gambar 9. Pseudopterigium
XI.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
-

Distorsi dan penglihatan berkurang


Mata merah
Iritasi
Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat
menyebabkan terjadinya diplopia. (3)

Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:


-

Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva


graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,

vitreous hemorrhage atau retinal detachment.


Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau

melting pada sclera dan kornea.


Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren
pterygium post operasi. (3)

XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan
pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva
autograft atau transplantasi membran amnion. (4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Kelainan Refrakasi dan Koreksi Penglihatan. Jakarta : Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.
2. Lundstrm M, Brege KG, Florn I, Lundh B, Stenevi U, Thorburn W.
Postoperative aphakia in modern cataract surgery: part 2: detailed analysis of
the cause of aphakia and the visual outcome.J Cataract Refract Surg. 2004
Oct;30(10):2111-5.

3. A.K. khurana. Opthalmology. New Delhi: New Age International. 2003.


4. Neil J. Friedman, M.D., Peter K. Kaiser, M.D. Essentials of Ophthalmology.
Elsevier Inc. 2007.
5. Mukherjee. Clinical Examination In Ophthalmology. India : Elsevier India.
2006.
6. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2007.
7. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Widya Medika: Jakarta. 2000.
8. Ilyas, Sidarta. Katarak (lensa mata keruh) cetakan ketiga. Jakarta: Balai
penerbit FKUI. 2003.

Anda mungkin juga menyukai