RINGKASAN
BAB II
KONSTITUSI NEGARA RI
1. KONSTITUSI YANG PERNAH DIGUNAKAN DI INDONESIA
Seorang pemikir Romawi kuno yang bernama Cicero (106 43 SM) menyatakan, Ubi
societas ibi ius, yang berarti dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Ungkapan ini
menunjukkan bahwa dalam setiap kehidupan kelompok masyarakat dimanapun senantiasa
terdapat aturan yang mengikat warganya guna menjamin keamanan dan ketertiban dalam
pergaulan hidup bermasyarakat.
Lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan kehidupan kelompok
manusia yang sedemikian banyak dan sedemikian kompleks permasalahannya, maka sangat
diperlukan adanya aturan-aturan yang menjamin keamanan dan ketertiban, yang harus ditaati
oleh seluruh warga negaranya. Aturan tertinggi dalam suatu Negara adalah Konstitusi atau
Undang-Undang Dasar (UUD).
Secara umum, Negara bisa dibagi dua yaitu Negara konstitusional dan Negara
absolut. Negara konstitusional adalah Negara yang berdasarkan pada konstitusi atau UUD
yang biasanya
memuat hal-hal pokok tentang berdirinya negara, bagaimana cara pengaturan Negara, serta
apa hak dan kewajiban pemerintah dan warga negara. Sedangkan Negara Absolut adalah
negara yang tidak berdasarkan konstitusi tetapi berdasarkan pada kekuasaan mutlak dari
penguasa, sehingga dalam prakteknya mengarah pada system pemerintahan yang dictator
(sewenang-wenang) dan membuat rakyatnya tertindas. Namun demikian dewasa ini negara
absolut sudah hamper tidak ada, setiap negara telah memiliki konstitusi atau UUD.
1. Istilah dan Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis, Constitere yang artinya menetapkan atau
membentuk. Dalam bahasa Inggris disebut Constitution. Sedangkan dalam bahasa Belanda
digunakan istilah Constitutie disamping kata Grondwet.
Dalam istilah sehari-hari konstitusi sering disamakan dengan Undang-Undang Dasar yang
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda Grondwet, grond artinya dasar dan wet artinya
undang-undang. Namun dalam praktek, pengertian konstitusi lebih luas dari UUD, karena
konstitusi mencakup keseluruhan peraturan, baik yang tertulis (UUD) maupun yang tidak
tertulis (convention, konvensi). Jadi UUD hanya bagian dari konstitusi, dan menurut
beberapa ahli bahwa istilah konstitusi lebih tepat diartikan sebagai hukum dasar.
Pengertian bahwa konstitusi itu lebih luas daripada UUD dikemukakan oleh Herman
Heller dalam bukunya Verfassunglehre (Ajaran Konstitusi) sebagaimana dikutip oleh Moh.
Koesnardi dan Bintan Saragih (1994 : 140) yang membagi konstitusi dalam tiga tingkat,
yaitu :
1. Konstitusi sebagai pengertian social politik.
Pada tingkat ini konstitusi baru mencerminkan keadaan social politik, keadaan yang ada
dalam masyarakat, belum merupakan pengertian hukum.
1. Konstitusi sebagai pengertian hukum.
Pada tingkat ini keputusan-keputusan yang ada dalam masyarakat tersebut dijadikan rumusan
yang normatif, yang harus ditaati. Pada tingkat ini konstitusi tidak selalu tidak tertulis, tetapi
ada juga yang tertulis dalam arti terkodifikasi (dibukukan).
3)
1. C.F. Strong, Konstitusi itu sebagai sekumpulan asas-asas yang mengatur kekuasaan
peme-rintahan, hak-hak yang diperintah (rakyat) dan hubungan antara pemerintah
dengan yang diperintah.
2. E.C.S. Wade dan G. Philips, Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan
tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan
pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
3. K.C. Wheare, Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara,
berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau
memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
2. Pembagian Konstitusi
Dalam ketatanegaraan dikenal ada dua macam konstitusi (hukum dasar) yaitu :
1. Hukum dasar tertulis yang disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD).
2. Hukum dasar tidak tertulis yang disebut dengan konvensi (convention).
Hukum dasar tertulis (UUD) adalah piagam-piagam tertulis yang sengaja diadakan dan
memuat segala apa yang dianggap fundamental (mendasar) bagi negara pada masa itu.
Karena dibuat dengan sengaja, maka UUD ini lebih terang dan tegas dari hukum dasar yang
tidak tertulis. Selain itu, UUD lebih menjamin kepastian hukum dari pada konvensi. Oleh
karena cara pembuatannya melalui suatu badan tertentu yang mnempunyai tingkat tertinggi
dalam suatu negara, menyebabkan UUD relatif sulit untuk diadakan perubahan, sehingga
UUD bersifat lebih kaku (rigid) dari pada konvensi. Negara-negara yang mempunyai UUD
misalnya : Amerika Serikat (1787), Perancis (1791), Belanda (1814), Uni Soviet (1918),
Indonesia (1945), dan lain-lain. Dewasa ini hampir semua negara mempunyai UUD. Bahkan
India adalah salah satu negara yang memiliki UUD yang amat panjang, yakni mencapai 395
pasal.
Adapun konvensi adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul dan terpelihara dalam praktek
ketatanegaraan. Meskipun tidak tertulis, konvensi mempunyai kekuatan hukum yang kuat
dalam ketatanegaraan. Bahkan konvensi ini lebih bersifat fleksibel/soepel (tidak rigid/kaku),
luwes dan mudah diubah, sehingga mudah menyesuaikan dengan keadaan. Konvensi ini
berkedudukan sebagai pelengkap dari UUD, sehingga tidak boleh bertentangan dengan UUD.
Bahkan di Indonesia, konvensi bisa dikukuhkan menjadi Ketatapan MPR.
Ada suatu pengecualian, yakni Inggris yang tidak mempunyai UUD, tapi pemerintahannya
didasarkan pada konvensi, antara lain :
1. Piagam Magna Charta, tahun 1215.
2. Petition of Rights, tahun 1628.
3. The Habeas Corpus Act, tahun 1679.
4. Bill of Rights, tahun 1689.
5. Piagam Westminter, tahun 1931.
Negara Indoneisa, selain memiliki UUD juga memiliki dan menerapkan konvensi dalam
praktek ketatanegaraannya. Adapun contoh-contoh konvensi di Indonesia antara lain :
1. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (lihat pasal 2 ayat
(3) UUD 1945).
2. Pidato Kenegaraan Presiden di depan Sidang DPR setiap tanggal 16 Agustus.
3. Pertanggung-jawaban Presiden di akhir masa jabatannya di depan Sidang MPR serta
penilaiannya dari MPR atas pertanggung-jawaban tersebut.
4. Prakarsa Presiden menyusun program pembangunan.
5. Ratifikasi perjanjian-perjanjian oleh DPR.
3. Sifat dan Kedudukan Konstitusi
Sebagai aturan/hukum dasar dalam negara, maka konstitusi (UUD) mempunyai kedudukan
tertinggi dalam peraturan perundang-undangan suatu negara.
Hukum dasar tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945. Dengan demikian semua jenis
peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannya di bawah UUD 1945. UUD 1945
merupakan sumber hukum tertinggi yang resmi, artinya segala peraturan yang lebih rendah
tingkatannya harus bersumber pada UUD 1945. Dan karena itu pula, UUD 1945 berfungsi
sebagai alat control bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya, apakah sesuai atau
tidak dengan hakikat isi UUD 1945.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 bersifat mengikat, mengikat pemerintah, mengikat setiap
lembaga negara dan lembaga masyarakat, serta mengikat setiap warga negara Indonesia.
4. Fungsi Konstitusi
Konstitusi yang memuat seperangkat ketentuan atau aturan dasar suatu negara tersebut
mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara. Mengapa ? Sebab, konstitusi
menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain,
penyelenggaraan negara harus didasarkan pada konstitusi dan tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, maka
pemerintah tidak dapat dan tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara sewenangwenang.
Menurut Karl Loewenstein, Konstitusi adalah suatu sarana dasar untuk mengawasi prosesproses kekuasaan. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa memiliki dua tujuan, yaitu :
1. Untuk pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.
2. Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa serta menetapkan
batas-batas kekuasaannya.
C.J. Frederich menyebutkan, konstitusi sebagai proses (tata cara) yang membatasi perilaku
pemerintahan secara efektif. Dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme
menyelenggarakan sistem pemerintahan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Jadi
konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari
hukum yang tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat tetapi juga oleh
pemerintah.
Menurut Joeniarto, secara umum konstitusi atau UUD mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Ditinjau dari tujuannya, yakni untuk menjamin hak-hak anggota warga
masyarakatnya, terutama warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasanya.
2. Ditinjau dari penyelenggaraan pemerintahannya, yakni untuk dijadikan landasan
struktural penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang
pasti, yang pokok-pokoknya telah digambarkan dalam aturan-aturan konstitusi/UUD.
5. Isi Muatan Konstitusi
Konstitusi atau UUD berisi ketentuan yang mengatur hal-hal yang mendasar dalam
bernegara, seperti tentang batas-batas kekuasaan penyelenggara pemerintahan negara, hakhak dan kewajiban warga negara dan lain-lain. Berikut adalah isi muatan konstitusi atau UUD
menurut para ahli :
1. A.A.H. Struycken, UUD (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen
formal yang berisi :
1) Tingkat perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun
untuk masa yang akan datang.
4) Suatu keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
1. Sri Soemantri, Konstitusi berisi tiga hal pokok yaitu :
1) Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan warga negara.
2) Susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
3) Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.
1. Miriam Budiardjo, Setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai :
1) Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
2) Hak-hak asasi manusia.
PERIODE
Dengan demikian di Indonesia telah pernah dipergunakan tiga jenis konstitusi/UUD dalam
lima periode.
1. Periode Pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949)
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, negara RI belum memiliki
konstitusi/UUD. Namun sehari kemudian, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI
mengadakan siding pertama yang salah satu keputusannya adalah mengesahkan UUD yang
kemudian disebut UUD 1945. Pada saat itu UUD 1945 belum ditetapkan oleh MPR
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, sebab pada saat itu MPR belum terbentuk dan
PPKI dianggap sebagai badan resmi yang mewakili seluruh bangsa Indonesia.
Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasannya yang dimuat dalam
Berita Negara RI No. 7 tahun II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu
Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab yang terbagi
dalam 37 pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 pada saat itu ? Terutama mengenai
bentuk negara, kedaulatan dan sistem pemerintahan dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Sebagai negara kesatuan, maka di negara
RI hanya ada satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan Pemerintah Pusat. Di sini
tidak ada pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk
negara serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk republic, maka kepala negara
dijabat oleh Presiden yang diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasarkan keturunan
seperti di kerajaan.
Kedaulatan negara diatur dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Atas dasar itu, maka
2)
3)
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya
penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD/Konstitusi RIS, yang
rancangannya dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada KMB.
Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai tanggal 27 Desember
1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama Konstitusi RIS. Konstitusi ini terdiri dari
Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah
lampiran.
Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi,
RIS yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk
federasi. Dengan berubah menjadi negara serikat/federasi, maka di dalam RIS terdapat
beberapa negara bagian, yang masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah
negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah : negara RI, Indonesia Timur, Pasundan,
Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuansatuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau,
Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan
Timur.
Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara
bagian RI yang wilayahnya meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta.
Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa itu adalah sistem parlementer, sebagaimana
diatur dalam pasal 118 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa,
Presiden tidak dapat diganggu gugat. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan
kepala pemerintahan.
Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung-jawab atas tugas
pemerintahan ?
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa, Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan
pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggung-jawabkan
tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam hal ini, kepala pemerintahan dijabat
oleh Perdana Menteri.
Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung-jawab ? Dalam sistem pemerintahan
parlementer, pemerintah bertanggung-jawab kepada parlemen (DPR).
Perlu diketahui bahwa lembaga-lembaga negara menurut Konstitusi RIS adalah sebagai
berikut :
1)
Presiden
2)
Menteri-menteri
3)
Senat
4)
5)
6)
4) MA
5) DPK
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara yang nampakm pada rumusan pasal
134 bahwa, Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan UUD RI yang akan menggantikan UUDS ini. Anggota
Konstituante dipilih melalui pemilu bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10
November 1956 di Bandung.
Sekalipun Konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun belum
juga berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebabnya adalah adanya pertentangan
pendapat di antara partai-partai politik yang ada di Konstituante dan di DPR serta di badanbadan pemerintahan.
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran
untuk kembali ke UUD 1945, yang pada dasarnya saran tersebut dapat diterima oleh para
anggota Konstituante, tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Karena tidak ada kata
sepakat, akhirnya diadakanlah pemungutan suara. Namun setelah tiga kali pemungutan suara,
ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi
persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.
Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli
1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah :
1)
2)
Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3)
Dengan DP 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusional
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara RI.
1. Periode Keempat (5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999)
Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959 s/d 19
Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran, bahkan terjadinya beberapa
penyimpangan. Oleh karena itu pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat
dipilah menjadi dua periode yaitu Orde Lama (1959 1966) dan periode Orde Baru (1966
1999).
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi
penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Artinya, UUD 1945 belum dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan
seorang Presiden (Soekarno) dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap
kebijakan-kebijakan Preiden.
Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga
situasi politik, keamanan dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi
tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan
keselamatan bangsa dan negara.
Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan
perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban dan
ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap
sebagai awal masa Orde Baru (Soeharto).
Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Apakah terwujud tekad tersebut ? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip
demokrasi, prinsip negara hukum dan keadilan social ternyata masih terdapat banyak hal
yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya
kekuasaan Presiden dan lemahnya control DPR.
Selain itu, kelemahan tersebut terletak pula pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat
dan luwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan
untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan
pemerintah Orde Baru bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.
1. Periode Kelima (19 Oktober 1999 s/d Sekarang)
Pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan momentum penting dalam ketatanegaraan RI, dimana
Presiden Soeharto turun dan diganti oleh Wakil Presiden, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie.
Pergantian ini didasarkan pada pasal 8 UUD 1945 tentang keadaan presiden dan wakil
presiden RI berhalangan.
Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 menyiratkan adanya tiga hal penting yang berkaitan dengan
ketatanegaraan RI, yaitu :
1)
2)
UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar, yang menyangkut
kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden,
memperkuat kedudukan DPR, pemerintah daerah, dan ketentuan-ketentuan yang rinci tentang
HAM.
UUD 1945 hasil amandemen memang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena
memang masa berlakunya belum lama dan masih dalam masa transisi. Namun setidaknya,
setelah perubahan ada beberapa praktek kenegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung,
seperti dalam pemilihan Presiden, Wapres, Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal ini tentu lebih
mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara kita.
Perlu diketahui bahwa setelah perubahan UUD 1945 terdapat lembaga-lembaga negara baru
yang dibentuk serta ada pula yang dihapus seperti DPA. Adapun lembaga-lembaga negara
menurut UUD 1945 setelah amandemen adalah :
1)
2)
MPR
3)
DPR
4)
5)
BPK
6)
MA
7)
8)
Aspek/Bidang
UUD 1945
Bentuk Negara
Republik
Susunan Negara
Kesatuan
Sistem Pemerintahan
Presidensil
Penjelasan :
1) Bentuk Negara Republik artinya negara itu dikepalai oleh Presiden, bukan raja atau
nama lainnya.
2) Susunan Negara :
b) Kesatuan, yaitu dimana dalam negara hanya ada satu pemegang kekuasaan pemerintahan
yakni Pemerintah Pusat yang berdaulat penuh ke dalam dan ke luar, memiliki satu UUD,
tidak mengenal adanya negara bagian, tetapi dikenal adanya pembagian daerah atas beberapa
provinsi.
c) Serikat/Federasi, yaitu negara yang memiliki negara-negara bagian yang berdaulat ke
dalam, sedangkan kedaulatan ke luar ada pada pemerintah federal. Menurut C.F. Strong,
cirri-ciri negara federal ialah :
Adanya supremasi konstitusi dimana federal itu terwujud.
Adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dengan negara bagian.
Adanya satu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan perselisihan antara
pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian.
3) Sistem Pemerintahan :
a) Presidensil, yakni sistem pemerintahan yang dipegang dan dikendalikan langsung oleh
Presiden. Kabinet dibentuk oleh Presiden, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
b) Parlementer, yaitu sistem pemerintahan yang dipegang dan dikendalikan oleh Parlemen.
Kabinet bertanggung-jawab kepada Parlemen (DPR), kedudukan cabinet ditentukan oleh
Parlemen, dan cabinet (menteri-menteri) dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang
bertanggung jawab kepada Parlemen.
1. PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN TERHADAP KONSTITUSI
2. Indonesia Negara Konstitusional
Negara Indonesia adalah negara konstitusional, yaitu negara yang berdasarkan pada
konstitusi, tidak bersifat absolutism yang berdasarkan pada kekuasan mutlak. Oleh karena itu
pemerintahan Indonesia merupakan pemerintahan yang konstitusional, artinya pemerintahan
yang berdasarkan pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar, yakni UUD 1945.
Indonesia sebagai negara konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 yaitu :
1. Pasal 1 ayat (2) berbunyi, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.
2. Pasal 4 ayat (1) berbunyi, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.
3. Dalam Penjelasan disebutkan, Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum
dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).
Negara konstitusional memiliki konstitusi yang bercirikan :
1. Membatasi kekuasaan pemerintah.
2. Menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara.
3. Sistem Ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945
Berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen secara terperinci sistem ketatanegaraan
Indonesia adalah sebagai berikut :
1)
Bentuk negara Indonesia adalah kesatuan sedangkan bentuk pemerintahan adalah
republik (pasal 1 ayat 1).
2) Negara Indonesia adalah negara demokrasi yakni kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD (pasal 1 ayat 2).
3)
4) Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutism
(kekuasaan yang tidak terbatas). (Penjelasan).
5)
Sistem pemerintahan adalah presidensiil. Presiden berkedudukan sebagai kepala
negara dan sekaligus kepala pemerintahan (pasal 4 ayat 1). Presiden dan wakil presiden
dipilih rakyat secara langsung dalam satu paket (pasal 6.A ayat 1).
6) Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas artinya kekuasaan kepala negara (presiden)
memang besar, tetapi tetap ada batasnya antara lain UUD dan berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan lainnya (pasal 10 15).
7)
8) DPD adalah perwakilan dari daerah provinsi yang anggotanya dipilih oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan (pasal 22.C).
9)
Selain DPR dan DPD terdapat MPR yang memiliki jabatan selama 5 tahun (Pasal 2
dan 3).
10) Kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) adalah DPR. Selain itu DPR
menetapkan anggaran belanja negara dan mengawasi jalannya pemerintahan. (pasal 20.A)
11) Kekuasaan yudikatif berada pada MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya
serta sebuah Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat 2) dan juga Komisis Yudisial (pasal 24.B).
12)
13) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi serta
DPRD kabupaten/kota serta memilih paket presiden dan wakil presiden (pasal 22.E ayat 2).
14) Indonesia menjalankan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung-jawab (pasal
18 ayat 5)
15)
3. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Lama (1945 1965)
Selama pemerintahan Orde Lama (pemerintahan Soekarno) sejak awal kemerdekaan 1945
hingga 1965 terdapat beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945 yang dapat kita temui
dalam tiga periode yaitu :
1. Periode tahun 1945 1949 (UUD 1945)
1) Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor : X (baca: eks) tanggal 16 Oktober 1945
yang mengubah fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP yang dibentuk PPKI pada
tanggal 22 Agustus 1945) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan
legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum terbentuknya MPR, DPR dan
DPA. Padahal fungsi tersebut seharusnya dilakukan oleh lembaga DPR dan MPR. Hal
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 Aturan Peralihan yang berbunyi, Sebelum
MPR, DPR dan DPA terbentuk, segala kekuasaan dilaksanakan oleh Presiden dengan bantuan
sebuah komite nasional.
2) Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 berdasarkan usul Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang merubah sistem pemerintahan
presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Hal ini bertentangan dengan pasal 4
ayat (1) dan pasal 17 UUD 1945.
1. Periode tahun 1949 1950 (Konstitusi RIS)
Bertepatan dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, maka Konstitusi RIS
diberlakukan sejak tanggal 27 Desember 1945. Dengan berlakunya Konstitusi RIS jelas
terdapat penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pada saat itu hanya berlaku di negara
bagian RI yang wilayahnya meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota Yogyakarta.
Penyimpangan terhadap UUD 1945 antara lain :
1) Berubahnya bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara serikat atau federal. Hal ini
berdasarkan ketentuan Konstitusi RIS pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, RIS yang merdeka
dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi. Hal ini
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, Negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik.
2) Berubahnya sistem pemerintahan presidensil menurut UUD 1945 menjadi sistem
parlementer, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS. Pada ayat
(1) ditegaskan bahwa, Presiden tidak dapat diganggu gugat. Artinya, Presiden tidak dapat
dimintai pertanggung-jawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala
negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4
ayat (1) yang berbunyi, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD.
1. Periode tahun 1950 1959 (UUDS 1950)
Pada tanggal 20 Juli 1950 Pemerintah RIS dan RIS menyetujui Rancangan UUDS yang telah
disusun oleh kedua belah pihak. Rancangan UUDS ini kemudian mendapat pengesahan dari
DPR RIS dan BP-KNIP. Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Soekarno di hadapan rapat
gabungan DPR dan Senat menandatangani naskah UU Federasi No. 7 tahun 1950 yang
memuat perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 yang mulai berlaku sejak tanggal 17
Agustus 1950.
Sejak berlakunya UUDS 1950 bentuk negara kembali menjadi negara kesatuan. Hal ini
terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi, RI yang merdeka dan berdaulat
ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.
Namun demikian sistem pemerintahan yang dianut masih sistem pemerintahan parlementer,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 bahwa, Presiden dan Wakil
Presiden tidak dapat diganggu gugat. Kemudian pada ayat (2) disebutkan, Menteri-menteri
bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya
maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Hal ini berarti yang bertanggung
jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang bertanggung jawab
kepada parlemen atau DPR.
1. Periode tahun 1959 1966 (UUD 1945 pasca Dekrit).
Dengan dasar yang kuat dan dukungan dari sebagian besar rakyat, pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu :
1)
Pembubaran Konstituante.
2)
Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3) Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah utusan daerah
dan golongan, serta DPAS akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit inilah yang menjadi dasar hukum berlakunya kembali UUD 1945. Namun demikian
pelaksanaan UUD 1945 pada masa ini tercatat ada beberapa penyimpangan, antara lain :
1) Diterapkannya demokrasi terpimpin yang pelaksanaannya jauh menyimpang dari
ketentuan Pancasila dan UUD 1945.
2) Presiden telah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden, yang
hal itu tidak dikenal dalam UUD 1945.
3) MPRS dengan Ketetapan No. I/MPRS/1960 telah menetapkan Pidato Presiden tanggal
17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik RI)
sebagai GBHN yang bersifat tetap.
4) Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai menteri-menteri negara,
yang berarti menempatkannya sejajar dengan pembantu presiden.
5) Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan
RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang
bersangkutan.
6) Pada tanggal 5 Maret 1960, melalui Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960, Presiden
membubarkan anggota DPR hasil Pemilu 1955. Kemudian melalui Penetapan Presiden No. 4
tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR Gotong-Royong (DPR-GR) yang
anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hal ini bertentangan dengan UUD
1945 pasal 19 ayat (1) yang menyatakan, Susunan DPR ditetapkan dengan undangundang. Kemudian Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara RI
menyatakan, Kedudukan DPR adalah kuat. Dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh
Presiden.
7) Dibentuknya MPRS yang seluruh anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yakni dengan :
1. Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan, Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
2. Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, MPR terdiri atas anggota-anggota DPR
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
3. Penjelasan UUD 1945 tentang pokok-pokok sistem pemerintahan negara RI yang
menyatakan,Kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR (Die Gezamte Staatgewalt
liegi allein bei der Majelis). Majelis ini memegang kekuasaan negara tertinggi,
sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR,
serta presiden diangkat oleh Majelis, bertindak dan bertanggung-jawab kepada MPR.
8) MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan
Nomor III/MPRS/1963. Hal ini sangat bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945 yang
menyatakan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
9) Kedaulatan rakyat dan semua kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif
ada dalam satu tangan, yaitu dalam kekuasaan Presiden Soekarno. Hal ini jelas bertentangan
dengan UUD 1945 dimana terdapat pembagian kekuasaan eksekutif (presiden), legislatif
(DPR) dan Yudikatif (MA).
4. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Baru (1966 1998)
Masa Orde Baru atau masa pemerintahan Soeharto ditandai dengan dikeluarkannya Surat
Perintah tanggal 11 Maret 1966 oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Di masa Orde Baru inipun tercatat beberapa
penyimpangan terhadap UUD 1945, antara lain :
a) Dalam prakteknya kekuasaan negara bertumpu pada kekuasaan Presiden Soeharto sejalan
dengan tidak berjalannya fungsi control dari MPR dan DPR.
b) MPR berketetapan tidak berkehendak dan akan melakukan perubahan terhadap UUD
1945 serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR
Nomor I/MPR/1983 tentang Tata Tertib MPR). Hal ini bertentangan dengan pasal 3 UUD
1945 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan UUD dan GBHN, serta
pasal 37 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah UUD.
c) MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang
mengatur tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai dengan pasal 37 UUD 1945.
d) Umumnya menteri menjadi anggota MPR, bahkan gubernur otomatis menjadi anggota
MPR dari utusan daerah. Hal ini tidak sesuai dengan apirasi rakyat, karena di satu pihak
menteri dan gubernur adalah pelaksana pemerintahan yang berada di bawah Presiden, tetapi
di pihak lain mereka menjadi anggota MPR yang harus menilai pertanggung-jawaban
Presiden.
5. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Reformasi (1998
Sekarang)
Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 dianggap sebagai momentum penting dalam ketatanegaraan
Indonesia, karena pada saat itu telah berakhir kekuasaan Orde Baru dan diganti dengan Orde
Reformasi.
Di masa Orde Reformasi inilah UUD 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat
tahap, yakni tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. UUD 1945 hasil perubahan belum begitu
lama dilaksanakan, karena itu keterlaksanaannya belum banyak dipersoalkan. Lebih-lebih
mengingat agenda reformasi itu sendiri antara lain adalah perubahan (amandemen) UUD
1945.
Namun demikian, terdapat ketentuan UUD 1945 hasil amandemen yang belum dapat
dipenuhi oleh pemerintah, yaitu anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD yang belum
mencapai 20%. Hal ini dianggap bertentangan dengan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang
menyatakan, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Akan tetapi mulai tahun 2009 ini Pemerintah Pusat telah menentukan anggaran pendidikan
sebanyak 20% dalam APBN, maka tinggal menunggu kebijakan daerah-daerah tentang hal
yang sama.
6. Usaha Membatasi Kekuasaaan Pemerintah
Untuk menghindari kekuasaan pemerintah yang mutlak, maka dalam UUD 1945 telah diatur
adanya pembatasan kekuasan pemerintah, yaitu :
1. Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
MPR atas usul DPR. (pasal 7.A)
2. Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR. (pasal 7.C)
3. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
(pasal 7)
4. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain. (pasal 11 ayat 1)
5. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan DPR. (pasal 11 ayat 2)
6. Presiden mengangkat duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
(pasal 13)
7. Presiden member grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA.
(pasal 14 ayat 1)
8. Presiden member amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
(pasal 14 ayat 2)
9. Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UndangUndang (Perpu), yang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan
berikutnya. (pasal 22)
Untuk menjamin hak-hak warga negara dan hak asasi manusia, maka dalam UUD 1945 telah
diatur sebagai berikut :
1. Pasal 27 sampai dengan pasal 34 mengenai hak dan kewajiban warga negara.
2. Pasal 28.A sampai dengan 28.J mengenai hak asasi manusia.
3. Dampak penyimpangan konstitusi terhadap sistem demokrasi di Indonesia
Penyimpangan terhadap konstitusi akan menyebabkan timbulnya krisis konstitusional, krisis
konstitusional yang berlarut-larut akan menimbulkan krisis politik dan krisis politik yang
berkepanjangan akan meluas ke dalam krisis dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pernah kita alami, maka dapat
dirasakan pula dampak negatifnya terhadap kehidupan demokrasi dalam negara, antara lain :
1. Hilangnya pembagian kekuasaan dan kekuasaan negara menjadi tumpang tindih
bahkan bertumpu pada satu tangan, seperti pada tangan Presiden.
2. Kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga negara menjadi tumpang tindih menurut
kehendak pemegang kekuasaan yang inkonstitusional.
3. Hak asasi manusia dan hak warga negara menjadi terabaikan bahkan tidak dapat
terjamin oleh negara.
4. Kehidupan politik tidak stabil menimbulkan keamanan negara pun tidak stabil,
sehingga pembangunan nasional praktis tidak dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan
melahirkan krisis di berbagai bidang.
5. Ketidak-stabilan politik juga akan dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang
hendak memecah-belah keutuhan NKRI, seperti dengan mengadakan pemberontakan
untuk merebut kekuasaan negara atau memisahkan diri dari bingkai NKRI.
1. HASIL-HASIL AMANDEMEN UUD 1945
2. Cara Perubahan Konstitusi
Konstitusi merupakan peraturan yang mengatur kehidupan warga negara, maka harus sesuai
dengan perkembangan kehidupan warga negara. Oleh karena itu suatu konstitusi pada masa
tertentu memerlukan adanya perubahan atau amandemen.
Dalam Hukum Tata Negara dikenal adanya dua cara perubahan UUD sebagai konstitusi
tertulis, yaitu :
1. Verfassung Anderung, yakni perubahan secara konstitusional, artinya perubahan
dilakukan menurut prosedur yang diatur sendiri oleh UUD yang bersangkutan.
2. Verfassung Wandlung, yakni perubahan secara revolusioner, artinya perubahan yang
dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD yang bersangkutan.
3. Teknik Perubahan Konstitusi
Teknik perubahan UUD dikenal dengan adanya dua tradisi, yaitu tradisi Eropa Kontinental
dan tradisi Amerika Serikat.
1. Eropa Kontinental. Dalam tradisi ini perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD.
Jika perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD yang asli tidak
banyak mengalami perubahan. Tetapi jika materi yang diubah banyak, apalagi kalau
perubahannya mendasar, maka biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru
sama sekali. Jadi dalam hal ini bukan perubahan, tetapi penggantian.
2. Amerika Serikat. Dalam tradisi ini perubahan dilakukan terhadap materi tertentu
dengan menetapkan naskah amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD.
3. Dasar Pemikiran Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD atau sering pula digunakan istilah amandemen UUD adalah salah satu
agenda reformasi. Perubahan itu dapat berupa pencabutan, penambahan dan perbaikan.
Mengenai amandemen UUD 1945 sendiri dilandasi oleh beberapa dasar pemikiran sebagai
berikut :
1. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden yang meliputi
kekuasaan eksekutif dan legislatif, khususnya dalam membentuk undang-undang.
2. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes (fleksibel), sehingga dapat
menimbulkan lebih dari satu tafsir (multitafsir).
3. Kedudukan Penjelasan UUD 1945 seringkali diperlakukan dan mempunyai kekuatan
hukum seperti pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945.
4. Dasar Politis dan Yuridis Perubahan UUD 1945
Pelaksanaan amandemen UUD 1945 memiliki dasar politis dan yuridis. Yang menjadi dasar
politis, yaitu mempelajari, menelaah dan mempertimbangkan dengan seksama dan sungguhsungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara.
Sedangkan yang menjadi dasar hukum (yuridis) amandemen UUD 1945 adalah UUD 1945
itu sendiri yaitu pasal 37 sebagai berikut :
1. Ayat 1 : Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
MPR harus hadir.
2. Ayat 2 : Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada
jumlah anggota yang hadir.
3. Prosedur Perubahan UUD 1945
Prosedur perubahan UUD 1945 secara eksplisit telah ditentukan oleh pasal 37 ayat (1) dan (2)
UUD 1945, yakni :
1. Perubahan dilakukan melalui Sidang MPR.
2. Dalam siding tersebut sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus
hadir.
3. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
yang hadir.
4. Latar Belakang dan Tujuan Perubahan UUD 1945
Ada dua hal yang menjadi latar belakang perubahan UUD 1945, yaitu :
1. Tuntutan demokrasi. UUD 1945 disusun pada masa persiapan kemerdekaan
Indonesia dengan situasi yang serba mendesak. Oleh karena itu terdapat pasal-pasal
yang diarahkan untuk kepentingan pemimpin terdahulu, serta tidak adanya pasal-pasal
yang secara rinci dan tegas menjamin hak asasi manusia. Oleh karena itu, perubahan
UUD 1945 dilakukan dalam rangka memenuhi tuntutan kehidupan yang lebih
demokratis.
2. Perkembangan zaman. Dalam hal ini UUD 1945 (sebelum amandemen)
mengandung beberapa pasal yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi
dan permasalahan kenegaraan dewasa ini. Oleh karena itu diperlukan perubahan agar
dapat lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Amandemen UUD 1945 memiliki beberapa tujuan, antara lain :
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan
nasional dan memperkukuh NKRI.
2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat
serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham
demokrasi.
3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan HAM agar sesuai
dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang merupakan
syarat bagi suatu negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945.
Isi Perubahan
Pasal 5 ayat 1
Pasal 7
Pasal 14 ayat 1
Pasal 14 ayat 2
Pasal 15
Pengangkatan Menteri
Pasal 20 ayat 1 4
10
Pasal 21
1. Perubahan Kedua
Perubahan kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 yang meliputi 27 pasal yang
tersebat dalam 7 bab, yaitu :
No
Isi Perubahan
Bab VI
Pemerintahan daerah
Bab VII
DPR
Bab IX.A
Wilayah negara
Bab X
Bab X.A
Bab XII
Bab XV
1. Perubahan Ketiga
Perubahan ketiga ditetapkan pada tanggal 10 November 2001, meliputi 23 pasal yang
tersebar dalam 7 bab, yaitu :
No
Isi Perubahan
Bab I
Bab II
MPR
Bab III
Bab V
Kementerian negara
Bab VII.A
DPR
Bab VII.B
Pemilu
Bab VIII.A
BPK
1. Perubahan Keempat
Perubahan keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002, meliputi 16 pasal yang terdiri
atas 31 butir ketentuan serta 1 butir yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini
ditetapkan bahwa :
1) UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan
keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan
kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
2) Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI ke-9 tanggal 18 Agustus
2000 Sidang Tahuhan MPR-RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
3) Bab IV tentang DPA dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya ke dalam bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.
Hasil perubahan keempat terhadap UUD 1945 secara terperinci adalah sebagai berikut :
No
Isi Perubahan
Pasal 2 ayat 1
MPR
Pasal 8 ayat 3
Pasal 16
Pasal 23.B
Pasal 23.D
Bank sentral
Pasal 24 ayat 3
Kekuasaan kehakiman
Pasal 31 ayat 1 5
Pendidikan
Kebudayaan
10
Perekonomian nasional
11
Pasal 34 ayat 1 4
Kesejahteraan sosial
12
Pasal 37 ayat 1 5
Perubahan UUD
13
Peraturan perundang-undangan
14
Lembaga negara
15
Mahkamah Konstitusi
16
MPR
17
Secara umum dilihat dari jumlah bab, pasal dan ayatnya, hasil perubahan UUD 1945 adalah
sebagai berikut :
No
Sebelum Perubahan
Setelah Perubahan
16 bab
21 bab
37 pasal
73 pasal
49 ayat
170 ayat
Dilengkapi Penjelasan
Tanpa Penjelasan