Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
melantik dan mensahkan presiden dan juga wakil presiden. Tentu saja, presiden dan
juga wakil presiden terlebih dahulu sudah dinyatakan terpilih dalam event pemilihan
umum yang sudah dilakukan. Setelah itu, barulah MPR dalam siding paripurna akan
mengangkat dan juga melantik presiden dan juga wakil presiden untuk mengabdi
kepada Negara dan memimpin Indonesia dalam waktu 5 tahun ke depan.
3. Memberhentikan kekuasaan eksekutif, yaitu presiden dan juga wakil presiden
dalam masa jabatan yang masih berjalan
Tugas dan wewenang lainnya dari lembaga MPR adalah untuk melakukan
pemberhentian kekuasaan eksekutif, yaitu presiden dan juga wakil presiden, baik
salah satu, ataupun keduanya, ketika terbukti melakukan hal yang melanggar
hukum, kode etik, dan sebagainya. Biasanya, MPR dalam hal ini akan melakukan
proses penyelidikan terlebih dahulu mengenai kasus ataupun perilaku yang
melanggar yang dilakukan oleh pemimpin Negara tersebut yang menjadi penyebab
terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan. Apabila kekuasaan eksekutif
terbukti melakukan kesalahan dan pelanggaran, maka hal ini dapat menjadi acuan
bagi MPR untuk melakukan pemberhentian teradap kekuasaan eksekutif, yaitu
presiden dan atau waki presiden.
4. Mengangkat wakil presiden menjadi presiden ketika presiden meninggalkan kursi
jabatannya, diberhentikan, ataupun mengundurkan diri
Terkadang dalam Negara demokrasi yang dipimpin oleh seorang presiden, hal ini
sering terjadi, dimana presiden meninggalkan kursi jabatannya. Presiden dapat
meninggalkan kursi jabatannya karena banyak hal, mulai dari presiden yang sakit,
tidak mampu mengayomi kebutuhan rakyat, hingga presiden yang terlibat kasus
atau skandal. Ketika presiden sudah berhenti dan meninggalkan jabatannya, maka
MPR memiliki kewenangan dan juga tugas untuk melantik dan mengangkat wakil
presiden menjadi presiden, untukmengisi kursi kosong yang ditinggalkan presiden
terdahulu.
5. Memilih wakil presiden yang diajukan oleh presiden, apabila terdapat kekosongan
jabatan wakil presiden
Sama seperti point sebelumnya, MPR juga memiliki tugas dan juga kewenangan
untuk memilih wakil presiden, apabila posisi wakil presiden kosong. Dalam hal ini,
MPR dapat memilih beberapa pilihan wakil presiden yang diajukan oleh presiden,
untuk menduduki posisi wakil presiden.
Fungsi
Menurut Undang-Undang dasar 1945 yang menjadi salah satu landasan hukum dari
Negara Indonesia, terdapat beberapa fungsi utama dari MPR sebagai salah satu
lembaga legislative Negara. Berikut ini adalah beberapa fungsi MPR sebagai
lembaga legislative Negara :
1. MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat mengawasi jalannya pemerintahan
Fungsi pertama dari lembaga pemerintahan MPR yang pertama adalah untuk
mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan
eksekutif, yang dalam hal ini adalah presiden. Fungsi ini dilakukan tidak lain dan
juga tidak bukan adalah untuk mengawasi kinerja presiden, dan juga mengawasi
segala bentuk kebijakan dan juga peraturan yang dibuat oleh presiden. Dengan
adanya fungsi pengawasan ini, maka MPR mampu untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh presiden yang berpotensi untuk
merugikan rakyat. Hal ini juga membantu agar kegiatan kekuasaan legislative yang
dimiliki oleh presiden tidak dilaksanakan secara sewenang wenang.
2. Sebagai pemegang kekuasaan legislative
Fungsi berikutnya dari MPR menurut UUD 1945 adalah sebagai pemegang
kekuasaan legislative. Hal ini berarti MPR memiliki fungsi untuk membuat dan juga
menyusun undang-undang, yang dapat menyuarakan suara rakyat, sehingga dapat
memunculkan suatu peraturan perundang-undangan baru yang dapat mengayomi
kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia secara luas dan umum.
Hak dan Kewajiban MPR - Anggota MPR mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan bagi setiap anggota MPR. Hak dan kewajiban MPR adalah sebagai
berikut...
1.Hak-Hak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota MPR mempunyai hak. Hakhak MPR adalah sebagai berikut..
Mengajukan usul perubahan pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945;
Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan
Memilih dan dipilih
Membela diri
Imunitas
Protokoler
Keuangan dan administrasi
2.Kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota MPR mempunyai
kewajiban. Kewajiban MPR adalah sebagai berikut..
HUKUM PIDANA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Istilah dan Pengertian
Pidana berasal kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman.
Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan
terjemahan darirecht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan
dengan hukum pidana
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak
pidana (strafbaar feit).
Selanjutnya istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht sedangkan
dalam bahasa Inggris adalah Criminal Law.
Adapun pengertian hukum pidana dibawah menurut pendapat para ahli sebagai
berikut :
1.
2.
MOELJATNO, hukum pidana adalah aturan yang menentukan : a) Perbuatan yang tidak
boleh dilakukan, dilarang, serta ancaman sanksi bagi yang melanggarnya, b) Kapan dan
dalam hal apa kepada pelanggar dapat dijatuhi pidana, c) Cara pengenaan pidana kepada
pelanggar tesebut dilaksanakan
3.
Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata
pidana berarti hal yang dipidanakan yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan
kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak
sehari-hari dilimpahkan.
4.
Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata
pidana berarti hal yang dipidanakan yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan
kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak
sehari-hari dilimpahkan.
5.
WLG. LEMAIRE, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusankeharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu
sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian
dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma yang
menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana
yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (pengertian ini nampaknya dalam arti
hukum pidana materil).
6.
WFC. HATTUM, hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan
peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya,
dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang
dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan
pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan suatu penderitaan yang bersifat
khusus berupa hukuman.
7.
WPJ. POMPE, hukum pidana adalah hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata
negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrahir dari
keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
8.
KANSIL, hukum
pidana
adalah
hukum
yang
mengatur
tentang
pelanggaran-
ADAMI CHAZAWI, dilihat dari garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai
sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari
hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan di dakwa
sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan
dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha
melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara
menegakkan hukum pidana tersebut.
Berpijak dalam garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama
atau sumber pokok hukum pidan, hukum pidana merupakan bagi dari hukum publik
yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
1.
2.
3.
Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa
sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan
dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha
melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara
menegakkan hukum pidana tersebut
2.
Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan
pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam
masyarakat (fungsi represif).
Jadi dapat disimpulkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.
Menurut para ahli tujuan hukum pidana adalah :
1.
2.
3.
4.
Reformation, yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan
berguna bagi masyarakat. Namun ini tidak menjamin karena masih banyak juga residivis.
2.
Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar dari masyarakat sehingga timbul rasa aman
masyarakat
3.
4.
Deterrence, yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual
maupun orang lain yang potensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk
melakukankejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Hak-hak (rechten)
2.
3.
4.
Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :
1.
2.
3.
Ketiga kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Contoh
kepetingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) larangan mencuri
(pasal 362), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338). Pasal 363 melindungi dan
mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi dan
pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak
individu/nyawa orang. Untuk melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui
sanksi pidana/straf (hukuman penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam
hukuman penjara maksimum 5 tahun dan pasal 338 dapat diancam hukuman penjara
maksimum 15 tahun, dsb.
1.
Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi
mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
Fungsi hukum pidana yang dimaksud disini adalah adalah tiada lain memberi dasar
legitimasi bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan
melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan sebaikbaiknya. Fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana, yang telah
dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yakni UU No. 8 tahun 1981. Dalam hukum acara pidana telah diatur
sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara negara
mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Misalnya
bagaimana cara negara melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap terjadinya tindak
pidana seperti melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan, vonis,
dll. Semua tindakan negara diatas tentu berakibat tidak menyenangkan bagi siapa saja.
Namun atas dasar kepentingan hukum dan negara tindakan negara tersebut
dibenarkan, melalui prosedur KUHAP diatas.
1.
Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan
fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua diatas adalah hukum
pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar
dapat menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi
dengan sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas harus dibatasi.
Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum
yang dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara tidak
melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi manusia. Pengaturan
hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan
fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi yang secara umum dapat
disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu,
menjadi wajib. Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana materi dan formil
dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang dilindungi pada
sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara apabila terjadi
pelanggaran hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara dalam
setiap melakukan tindakan hukum. Misalnya jika seseorang membunuh (pasal 338
KUHP) negara tidak boleh menghukum melebihi ancaman maksimum 15 tahun. Begitu
juga ketika negara menahan seseorang ada batas masa penahanan misalnya penyidik
hanya selama 20 hari. Jika ketentuan diatas dilanggar oleh negara maka akan terjadi
kesewenangan. Dengan demikian masyarakat sendiri dirugikan. Jika akibat suatu
tindakan negara justru merugikan masyarakat, maka tujuan dan fungsi hukum pidana
tersebut tidak tercapai. Tujuan hukum untuk kebenaran dan keadilan hanya semboyan
saja.
D. Sumber Hukum Pidana
1.
Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasan = MVT yang terdiri dari buku I
tentang aturan umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran
2.
Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8
tahun 1958, PP No. 1 tahun 1960)
3. Hukum Adat (Pasal 5 ayat 3 (b) UU Darurat No. 1 tahun 1951 yaitu berbunyi :
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang
sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orangorang yang dahulu
diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan
pengertian :
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak
diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim
dengan besar kesalahan yang terhukum,
bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui
padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas
kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi
dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam
dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada
perbuatan pidana itu.
Aliran klasik
Aliran yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari ancietn regime di Perancis
dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum
dan ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak
(free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga
dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya
hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran
ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik
ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan
kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak
memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya
merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya
seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan
terstruktur. Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tokoh dalam aliran klasik ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremi Bentham. Beccaria
meyakini konsep kontrak sosial dimana individu menyerahkan kebebasan atau
kemerdekaannya secukupnya kepada negara dan oleh karenanya hukum harusnya
hanya ada untuk melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang
dikorbankan terhadap persamaan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip
dasar yang digunakan sebagai pedoman adalah kebahagiaan yang terbesar untuk
orang sebanyak-banyaknya. Sementara Jeremy Bentham melihat suatu prinsip baru
yaitu utilitarian yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem
yang irrasional yang absolut, tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham
menyatakan bahwa hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk
mencegah kejahatan.
1.
Aliran ini muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang
menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia
dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak
lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan
dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang
subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk
mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana,
tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian
hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri
harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini
menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa
kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah
begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undang-undang.
Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
Doktrin determinisme
4.
5.
6.
Marc Ancel mempelopori gerakan perlindungan masyarakat baru (new social defence)
yang bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat ke
dalam konsepsi baru hukum pidana. Tokoh-tokoh lain yang merupakan pelopor aliran
modern adalah Cesare Lambroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. Lambroso
menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the
indeterminate sentence), pidana mati merupakan seleksi terakhir yang bilamana
penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatan yang
mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus diberi kompensasi atas kerugian
yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar pada pencegahan
kejahatan. Gorofalo mengusulkan konsep kejahatan natural (natural crime) yang
merupakan pengertian paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang
oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa
pidana. Ferri menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju
kejahatan tetapi bilamana ia mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup
terus tanpa melanggar pidana ataupun hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan
oleh tipe masyarakat darimana kejahatan itu datang, oleh karena itu pembuat undangundang harus selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan
politik di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya dapat diatasi dengan
mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat.
1.
Aliran ini muncul pada abad ke-19 mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik,
yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan
bahwa pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat
kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini
didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum
dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle
of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan
yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan
kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.
Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut :
1.
Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi,
ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain;
2.
3.
4.
Dualisme istilah ini berkisar pada pesoalan, apakah seorang manusia pada hakikatnya
adalah bebas dari pengaruh (indeterminisme) atau justru selalu terpengaruh oleh kekuatan
dari luar (determinisme)
Determinisme adalah bahwa kekuatan menentukan dari luar itu adalah termasuk tabiat
atau watak dari seorang dan alasan yg mendorong orang itu untuk pada akhirnya
mempunyai kehendak tertentu itu, dan kekuatan2 ini didorong pula oleh keadaan dalam
masyarakat tempat orang itu hidup. Jadi kehendak melakukan perbuatan pidana menurut
determinisme dikarenakan kehendak itu selalu ditentukan oleh kekuatan itu.
Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di
Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon
dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada
permulaan abad 19.
Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab
undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar
mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman.
Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undangundang hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) dengan
Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang
sekaligus menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang
diberlakukan bagi semua penduduk di Indonesia.
Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya
untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda,
kemudian untuk seleuruh Indonesia.
KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh invoeringsverordening berupa Firman
raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara
terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru.
Tidak kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur
kedua kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana
peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah.
Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada
permulaan kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari
pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan
peralihan yang bebrunyi :
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini.
Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam
Berita Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang
berlaku di Republik Indonesia., disebutkan :
Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia
tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2.
Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut :
Pasal 1 : Segala badang negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya
negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru
menurut UUD, masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut.
Isi peraturan ini hampir sama dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersbeut
diatas. Perbedaannya adalah bahwa kini disebutkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai
tanggal pembatasan dan bahwa ditentukan peraturan-peraturan yang dulu itu dianggap
tidak berlakuapabila bertentangan dengan UUD.
Ketentuan yang terakhir ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap
semua peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau
diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal diantara peraturan-peraturan itu ada
beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan kolonial.
Penyimpangan dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946
adalah apa yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana
yang sekrang (26 Februari 1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana
yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah
kepada Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di Indonesia sampai dengan
tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama bahwa semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak berlaku lagi
Ini memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945
Nomr 2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17
Agustus 1945 tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan
setahu saya, pada tanggal 26 Februari 1946 belum ada undang-undang Republik
Indonesia yang memuat peraturan hukum pidana.
Pasal II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu
(Verordeningen van het Militair Gezag).
Beberapa waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam
keadaan perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer HindiaBelanda secara sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh Undangundang Nomor 1 tahun 1946 semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah peraturanperaturan hukum pidana sebelum 8 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil
Hindia-Belanda.
Selanjutnya oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :
Pasal III : Jikalau dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis perkataan
Nederlandsch-Indie atau Nederlandch-Indich (e) (en)2, maka perkataan-perkataan itu
harus dibaca Indonesie atau Indonesisch (e) (en) 2.
Pasal IV : Jikalau dalam ssuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban
kekuasaan atau perlindungan diberikan atas suatu larangan ditujukan kepada suatu
pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi maka hak,
kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut
ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap
menggantinya.
Pasal V : Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat
dijalankan atau betentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara
merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian
sementara tidak berlaku.
Pasal VI :
(1)
Nama undang-undang hukum pidana Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strarecht.
(2)
Pasal VII : Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam Pasal III, maka semua
perkataan Nederlandch onderdaan dalam Kitab Undnag-undang Hukum Pidana diganti
dengan warga negara Indonesia.
Pasal VIII : Beberapa paal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah atau
dicabut.
Pasal-pasal IX s.d XVI memuat beberapa tindak pidana baru yaitu pasal IX s/d XIII
mengenai alat pembayaran yangs ah berupa mata uang atau uang kertas, pasal XIV
mengenai penyiaran kabar bohong yang denagan itu sengaja diterbitkan keonaran di
kalangan rakyat, pasal XV mengenai penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang
berlebihan atau yang tidak lengkap, pasal XVI mengenai penghinaan terhadap bendera
kebangsaan Indonesia.
Pada akhirnya ditetapkan bahwa undnag-undang ini mulai berlaku untuk pulau Jawa
dan Madura pada hari diumumkannya (26 Februari 1946) dan untuk daerah lain pada
hari yang akan diteapkan oleh presiden.
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita
Republik Indonesia II 20-21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera
ditetapkan berlaku mulai tanggal 8 Agustus 1946.
Pada waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah
federal, sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura
dan Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undangundang yang mengubah beberapa pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi
daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada dua KUHP.
Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan
Republik Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29
September 1958 melalui Undang-undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul undangundang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik
Indonesia tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia
dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan demikian pada saat itu
jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI dengan Kitan Undangundang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya.
Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek
larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi
siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidna objektif memili arti yang
sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel
Suringa, ius poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandunbg larangan
dan perintah dan keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana
bagi si pelanggarnya. Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek
subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau
kewenangan negara :
1.
2.
3.
Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar
hukum pidana tadi.
Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak
fundamental yakni :
1.
2.
Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada
si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan
3.
Hak
untuk
menjalankan
sanksi
pidana
yang
telah
dijatuhkan
pada
pembuatnya/petindaknya.
materiil dan hukum pidana formil. Misalnya dalam hukum pidana materil pasal 362
KUHP tentang larangan perbuatan mengambil benda milik orang lain dengan maksud
memiliki benda itu secara melawan hukum (disebut pencurian) yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimum Rp. 900.000. Terhadap si
pelanggar larangan ini, hak negara dibatasi tidak boleh menjatuhkan pidana :
1.
2.
Jika penjara tidak boleh melebihi 5 tahun, dan jika denda tidak diperkenankan diatas Rp.
900.000.
Juga dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara sebelum, pada
saat dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur dan ditentukan
secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan pemutusan (vonis) dan
barulah vonis dijalankan (eksekusi). Perlakuan-perlakuan negara terhadap
pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah ditetapkan dalam
hukum pidan formil.
2. Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Tentang hukum pidana materil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut
pendapat ahli dibawah ini :
1.
van HAMEL memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum pidana
formil. Hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang
mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman. Sedangkan hukum pidana formil
menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum
pidana materil.
2.
van HATTUM, hukum pidana materil adalah semua ketentuan dan peraturan yang
menujukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan
yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap
orang tersebut (hukum pidana materil kadang disebut juga hukum pidana abstrak).
Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang
bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara
nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah hukum acara pidana.
3.
dapat
dihindari
adanya
Hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat.
Dengan berkembangnya masyarakat berarti berubahnya hal-hal yang dianutnya, dan nilainilai ini dapat mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat. Hukum
tertulis bersifat kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan
masyarkat. Oleh karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu
acap kali praktik hukum menggunakan suatu penafsiran.
2.
Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat ssuatu hal yang tidak diatur karena tidak
menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan
dijalanka, barulah muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk
memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan
yang mendeak dapat menggunakan suatu penafsiran.
3.
Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undnag-undang itu
sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting
dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan
ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah
pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat
penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam
banyak hal, pembentuk undnag-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui
penafsiran-penafsiran hakim. Oleha karena itu, salahy satu pekerjaan hakim dalam
menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
4.
Acap kali suatu norma dirumuskan secara singkat dan besifat sangat umum sehingga
menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi
akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakuakn jalan menafsirkan.
Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang
terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur
aturan yang paling menguntungkan terdakwa mengandung ketidakjelasan arti dan maksud
dari aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan bermacam
pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat seperti ini karena
adanya penafsiran.
Penafsiran autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang
pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau
penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal, misalnya Pasal 98 KUHP
: arti waktu malam berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal
101 KUHP: ternak berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi
(periksa KUHP Buku I Titel IX).
Contoh lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1) UU No 20 tahun 2001,
menjelaskan yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-Cuma dan fasiltas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
sarana tanpa elektronik.
Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara esmi dalam undnag-undang artinya
berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim.
Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh
memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran
resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.
b. Penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie), disebut juga penafisran menurut
atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang
sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang
sebenarnya menurut bahasa sehar-hari yang digunakan masyarakat yang
bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan
perundangan melarang orang memparkir kenderaannya pada suatu tempat tertentu.
Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah
kendaraan itu.
Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan kenderaan
itu, hanyalah kenderaan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain kata dipercayakan sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432
KUHP secara gramatikal diartikan dengan diserahkan, kata meninggalkan dalam
pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan menelantarkan.
Contoh lain adalah kasus melalui putusan Pengadilan Tinggi Meda tanggal 8-8-1983
No. 144/Pid/PT Mdn telah memberikan arti bonda (bahasa Batak) dari unsur
benda (goed) dalam penipuan adalah juga temasuk alat kelamin wanita. Perhatikanlah
petimbangan Pengadilan Tinggi Medan mengenai hal ini sebagai berikut , bahwa
walaupun belebihan, khusus dan teutama dalam perkara ini tentang istilah barang,
dalam bahasa daeah tedakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal istilah bonda yang tidak
lain daripada barang, yang diatikan kemaluan sehingga bilsa saksi K.br.S menyeahkan
kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan menyeahkan benda/barang.
Tentu pendapat Pengadilan Tinggi Medan ini masihd apat diperdebatkan. Pertimbangan
Pengadilan tinggi Medan seperti disini bukan ditujukan pada tepat atau tidak tepatnya
pendapat itu, melainkan sekadar memberi contoh bahwa disini hakim telah berusaha
untuk mencapai keadilan dengan menggunakan penafsian tata bahasa menurut bahasa
yang digunakan oleh masyarakat yang besangkutan walaupun diakui oleh hakim yang
besangkutan sebagai pertimbangan yang berlebihan.
c. Penafsiran historis (historiche interpretatie) yaitu :
1)
Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya
hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan,
laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan
Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan
pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll
2)
Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu
membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik
Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
1.
Penafsiran
sistematis/dogmatis (systematische
interpretatie),
penafsiran
menilik
susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun
dengan UU yang lainnya misalnya ketentuan paling menguntungkan dalam rumusan ayat 2
dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang
merumuskan suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan
peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang
tidak dapat dipidanya perbuatan. Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian
menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A
melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang
mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang
dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan.
Penafsiran Logis (Logische Interpretatie) adalah suatu macam penafsiran dengan cara
menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma
dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma
yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan
rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).
2.
3.
Penafsiran Analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi
ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma
tesebut), misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan pebuatan curang
pada waktu menyeahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat
membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan
angkatan udara. Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya
menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar
fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara
yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.
2.
Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa keadaan ini kita jumpai
apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu
tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas
oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat
Pasal 285 KUHP).
Contoh Pasal 34 KUHPerdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak
diperkenankan menikah lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu
diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang lakilaki ? Apakah seorang laki-laki juga harus dan khusus ditujukan kepada orang
perempuan.
Maksudnya waktu menunggu dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah
adanya keragu-raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan
Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam
masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan
terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting,
yaitu :
1.
2.
Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 9 KUHP)
Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan sejak abad XVIII di Eropa Barat sebagai
reaksi atas berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum
pidana secara sewenang-wenang, sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.
Ahli hukum yang memperjuangkan dan memperkenalkan asas legalitas ini yang terkenal
adalah Montesquieu (1689-1755) dengan teori Trias Politicanya yang disempurnakan oleh
Von Feurbach (1755-1833).
Trias Politica :
1.
2.
3.
Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah
dibuat oleh parlemen. Badan kehakiman ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan
apa yang dilarang dan diancam pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk
memeriksa dan memutus apakah suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan
ketentuan undang-undang.
Dengan adanya ajaran Trias Politica itu, untuk memidana seseorang atas perbuatan
yang dilakukannya, disyaratkan agar terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang
menyatakan perbuatan itu sebagai dilarang dan dapat dipidana (dibuat dulu aturan oleh
legislatif).
Anselm Von Feuerbach (Belanda) melakukan upaya yang lebih konkret dalam
memperkenalkan asas legalitas yang terkenal dengan ucapannya dalam bahasa latin (dalam
bukunya yang berjudul Lehrbuch des peinlichen Recht, 1801) yaitu Nullum delictum nulla
poena sina praevia lege yang artinya tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang
lebih dulu menentukan demikian. Ucapannya ini secara jelas mengandung pengertian
sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas
nakuti orang-orang agar tidak berbuat jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu
ia harus mengetahui tentang ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.
Agar orang mengetahui perihal ancaman pidana itu, hal-hal yang dilarang beserta
ancaman pidananya itu harus ditetapkan terlebih dulu dalam UU.
Asas legalitas yang juga dikenal dengan asas asas nulla poena pertamakali dimuat
dalam pasal 8 Declaration des droits de Lhommeet du Citoyen (1789), semacam UndangUndang Dasar yang pertama dibentuk pada masa revolusi Prancis, yang bunyinya tidak ada
sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang
dan diundangkan secara sah (Moeljatno, 1983 : 24). Kemudian asas ini dimuat dalam Pasal
4 Code Penal Prancis tahun 1810.
Ketika Belanda lepas dari pemerintahan Prancis tahun 1813, Code Penal ini tetap
diberlakukan di Belanda sampai digantinya WvS Nederland 1881.
Code Penal 1810 ini berlaku 75 tahun di Belanda walaupun sifatnya sementara
Dalam WvS Nederland (disusun tahun 1881 dan mulai berlaku tahun 1886) yang baru
ini asas legalitas dari Code Penal Prancis itu masuk didalamnya (Pasal 1 ayat 1).
Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih
dulu Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan vooragegane wettelike
strafbepaling).
Asas ini dalam bahasa latinnya adalah Nullum delictum nulla poena sine praevia legi
poenali.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas
legalitas itu yaitu : 1) Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dahulu secara
tertulis. 2) Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana
ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi. 3) Ketentuan hukum pidana
tidak berlaku surut(terugwerkend atau retroaktif).
Dari
tiga
pengertian
dasar
diatas,
tampak
betul
bahwa
asas
legalitas
ini
Dapat disimpulkan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan
tidak boleh berlaku surut.
Peraturan perundangan haruslah tertulis karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih
dulu, baru kemudian diberlakukan.
Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja dalam bentuk undang-undang, tetapi juga
tertulis dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya yang tingkatannya dibawah undangundang.
Jadi, sumber hukum pidana itu bukan saja UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti
materiil termasuk peraturan pemerintah,peraturan daerah (kabupaten atau kota), peraturan
menteri, keputusan presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana.
Kelemahan :
Hukum pidana yang harus dibuat tertulis mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana
kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak
perbuatan-perbuatan dalam masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat
(pidana) yang masih hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya
dalam peraturan tertulis ini.
Untuk peran hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 (drt)
1951 sangatlah penting.
Salah satu pekerjaan hakim adalah melakukan penafisran hukum, terutama terhadap
norma tindak pidana dalam hukum tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu
peristiwa konkret tertentu.
Norma-orma hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana ketika diterapkan pada
kejadian atau peristiwa-peristiwa konkret tertentu tidak jarang memerlukan penafsiran
Hal ini dapat terjadi pada peristiwa tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang
dirumuskan dalam UU, mengenai salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya.
Ada beberapa macam penafsiran yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu
penafisran autentik, penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis,
penafisran historis, penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas dan
penafisran analogis.
Dari sekian penafsiran diatas penafsiran analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum
tidak boleh digunakan dalam hukum pidana, mengingat pasal 1 (1) KUHP walaupun ada
sebagian pakar hukum membolehkan seperti Tavarne, Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono
Prodjodikoro.
Alasan mengapa analogi dilarang dalam hukum pidana berpokok pangkal untuk
menjamin kepastian hukum. Dirasakan sebagai penyerangan dan pelanggaran atas
kepastian berlakunya hukum apabila analogi itu dipergunakan, sebagaimana dasar
dibentuknya rumusan Pasal 1 (1) KUHP ialah pada latar belakang kepastian hukum dalam
rangka melindungi rakyat dari upaya kesewenang-wenangan penguasa melalui para hakim.
Akan tetapi, terlepas dari adanya kelemahan dari larangan menggunakan analogi,
perluasan berlakunya hukum yang demikian ini mempunyai mamfaat dalam upaya mencapai
keadilan, dimana menurut masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat dapat
dipidana melalui aturan pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi bagi pelaku
perbuatan itu menjadi dapat dipidana.
Diakui bahwa analogi mengurangi kepastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh
penguasa melalui para hakimnya atau oleh hakim yang tidak bijaksana, namun begitu
analogi amat berguna dan dapat dipakai dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam
peraturan perundang-undangan.
Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum (pidana) dengan cara
memperluas berlakunya aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan rasio ketentuan
itu sedemikian rupa luasnya pada kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang
sesungguhnya tidak masuk ke dalam ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau
pengertian ketentuan hukum tersebut.
Dengan kata lain, analogi itu terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan
tegas
suatu
kejadian
yang
diatur, tetapi
peraturan
itu
dipergunakan
juga
bagi
kejadian/peristiwa lain yang tidak termasuk dalam peraturan itu, ada banyak persamaannya
dengan kejadian yang disebut tadi.
Contoh kasus : misalnya dari ketentuan pasal 365 (2) sub 1 yang antara lain melarang
melakukan pencurian dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada
pencurian dalam sebuah bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan
kereta api atau trem sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan
dapat pula diterapkan ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 (2) sub 1 ini (Wirjono
Prodjodikoro).
Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio larangan mencuri didalam trem yang
sedang berjalan yang berlatar belakang pada larangan mencuri dalam kenderaan angkutan
yang sedang berjalan pada dasarnya sama dengan rasio melarang mencuri dalam sebuah
bis yang sedang berjalan karena kereta api, trem dan bis adalah sama, angkutan umum
yang berjalan.
Mengapa tidak disebut bis dalam Pasal 365 ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP (WvS
Belanda 1881) dibentuk, belum ada bis yang dipergunakan sebagai angkutan umum seperti
keadaan sat ini. Jadi apa salahnya dengan analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis
yang sedang berjalan.
Pengertian seperti ini sesuai dengan pengertian dari perbuatan mengambil sebagai
unsur tingkah laku pada pencurian yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya
yang dapat dipidahkan kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti
berbuat sesuatu dengan memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam
kekuasaannya/ ke tangannya menurut akal pikiran orang pada umumnya hanyalah dapat
dilakukan pada benda-benda berwjud dan bergerak saja. Aliran/energi dari sudut pandang
demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah
menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu
bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat
pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian
kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar
kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti
bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan
sesuatu yang bernilai ekonomis dan mempunyai nilai bagi manusia (Satochid Kartanegara,
172).
Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum, dengan menerapkan analogi yang terkenal
dan banyak dimuat dalam berbagai literatur hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei 1921
yang meganalogikan aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 362 KUHP (pencurian). Pengertian benda dalam kejahatan ini
menurut keterangan dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 310 WvS Belanda (362
KUHP kita) terbatas pada benda-benda bergerak (roerent goed) dan benda-benda berwujud
(Stoffelijk goed).
Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tepai berlaku ke depan dapat disimpulkan
dari kalimat yang menyatakan ..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
(Pasal 1 ayat 1 KUHP)
Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana
yg melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tetapi berlaku ke depan dapat
disimpulkan dari kalimay yg menyatakan ..ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah
berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada
kepastian hukum (rechtszekerheid).
Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 2 KUHP berbunyi bilamana ada perubahan dalam
peraturan perUUan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yg paling menguntungkan. (Disini mengandung keadilan)
Pasal 1 ayat 2 KUHP ini (asas retroaktif) adalah pengecualian pasal 1 ayat 1 KUHP
(asas legalitas). Disini terjadi hukum boleh diberlakukan surut (hukum diberlakukan
kebelakang)
Batas diberlakunya hukum pidana menurut tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP
sedangkan batas berlakunya hukum pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam
pasal 5,6,7 KUHP.
Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu
:
1.
2.
Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas
nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinzip)
3.
Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional pasif
4.
Asas teritorialiteit :
Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan pidana di
dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 dan 3
KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang memiliki hak kebebasan diplomatik
berdasarkan asas ekstrateritorial.
Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi aturan pidana dalam perundangundangan Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam
wilayah Inbdonesia
Disini siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana
sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia baik didarat, laut maupun udara.
Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12 mil, maka di pakai garis tengah
selat (selat malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.
Sedangkan tindak pidana di air dan udara diatur dalam pasal 3 dan UU no. 4 tahun 194,
dimana disebutkan ketentuan pidana perudang-undangan Indonesia berlaku bagi setaip
orang yang diluar Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kenderaan air atau pesawat
udara Indonesia
Asas Personaliteit :
1.
Salah satu kejahatan tersebut dlm Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240,
279, 450 dan 451 KUHP
2.
Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan perundangundangan pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundangundangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana
Bab I berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (104-129) dan Bab II
adalah mengenai kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden (130-139).
Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana yg terjadi
kepada setiap warga negara RI yg melakukan diluar Indonesia sebagaimana diancam dalam
pasal-pasal tsb.
Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana setiap
warga negara RI yg melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana tsb harus berupa
kejahatan bukan pelanggaran dan perbuatan tindak pidana tsb oleh negara dimana
perbauatan tsb dilakukan juga merupakan perbuatan pidana yg dapat diancam.
Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan tindak
pidana diluar negeri setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka dapat juga dituntut
menurut ayat 2 ini.
sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jiak menurut perundang-undangan
negara dimana perbauatan dilakukan, terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati.
Pasal 7 ini menerangkan khusus warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS) yang
melakukan perbuatan yg diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini tidak berlaku
warga negara yg bukan pejabat.
Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP berbunyi ketentuan pidana dalam perundangundangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang kenderaan air Indonesia, yang
diluar Indonesia, sekalipun diluar kenderaan air, melakukan salah satu tindak pidana
sbgmana dimaksudkan dlm bab XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitu pula yg
tersebut dlm peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia maupunn dalam
ordonannsi perkapalan (schepnordonantie, 1927).
Bab XXIX buku kedua membahas tentang kejahatan-kejahatan pelayaran (Pasal 438479) sedangkan bab IX buku ketiga ttg pelanggaran mengenai pelayaran (pasal 560-569)
Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI
maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang
diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara.
Asas ini bertumpu pada kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan
pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP
Juga kejahatan mata uang kertas, materai, merek yang dikeluarkan pemerintah
Indonesia, dll
Asas Universaliteit :
Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi bukan
sekedar kepentingan bangsa Indonesia
Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4 KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan
pembajakan di laut bebas (446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil,
pemalsuan uang negara lain yang bukan uang negara Indonesia
Asas universaliteit adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan
pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan
internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk
kedaulatan negara manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan
internasional.
BAB III
JENIS-JENIS PIDANA
Menurut Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Adapun pidana pokok sebagai berikut :
1.
Pidana mati
2.
Pidana penjara
3.
Pidana kurungan
4.
Pidana denda
1.
2.
3.
Selanjutnya ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana
tutupan.
1.
Penjelasan :
Apabila dalam persidangan tindak pidana yg didakwakan oleh jaksa penuntut umum
menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan
satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yg
diancamkan pada tindak pidana yg bersangkutan.
Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada
tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana
tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak
diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Penjelasan :
Sesuai dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat
berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim
apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok
sesuai dengan yg diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis
pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana
pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok.
Dalam hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah
adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri sedangkan
pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.
Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yg demikian, ada juga
pengecualiannya, yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak
bersama jenis pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti pasal 39
ayat 3 dan 40.
3. Jenis pidana pokok yag dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie)
Penjelasannya :
Pengecualiaannya adalah apabila pidana yg dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok
dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak
dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya pidana
pencabutan hak-hak2 tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (pasal 38 ayat 2). Ole karena itu, berjalannya/dijalankannya
putusan antara jenis pidana pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu
berdasarkan pasal 38 ayat 2 tidak sama.
Selain itu juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara
kumulasi (menjatuhkan 2 pidana pokok secara bersamaan).
Hal ini dapat dilihat sbgmana tercantum dalam buku II (kejahatan) dan buku III
(pelanggaran) dimana dijelaskan bahwa :
1.
Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja.
2.
Dalam beberapa rumusan tindak pidana yg diancam dgn lebih dari satu jenis pidana
pokok ditetapkan sbg bersifat alternatif (misal pasal 340, 362 dll) dengan menggunakan kata
atau.
Prinsip dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana umum (KUHP).
Bagi tindak pidana khusus (diluar KUHP), prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti UU No
7 (drt) 1955 (UU tindak pidana ekonomi), UU No. 31 tahun 1999 (UU tindak pidana korupsi),
UU Narkotika (UU No. 22 tahun 1997), UU Perbankan (UU No. 10 tahun 1998), dll
1.
RUU KUHP 1992 dan 1999/2000 revisi masih dicantumkan tapi bukan dalam pidana
pokok, hanya dikategorikan pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat altertnatif.
Di Indonesia sejak tahun 1918 sampai sekarang masih diberlakukan pidana mati.
Penjatuhan pidana mati dalam KUHP hanya diatur dalam bentuk kejahatan berat saja,
misalnya :
1.
Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124
ayat 3 jo 129)
2.
3.
4.
Adanya pidana mati oleh pembentuk KUHP dalam penerapan harus hati-hati, tidak
boleh gegabah karena pidana mati berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia.
Untuk itu dalam KUHP pasal pidana mati selalu dibuat alternatif dengan penjara seumur
hidup, pidana 20 tahun, misalnya pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4), dll sedangkan
diluar KUHP pidana mati diatur dalam UU 26 tahun 1999 (subversi), UU 22 tahun 1997
(Narkotika, 80, 81, 82), Pasal 59 UU No 5 tahun 1997 (Psikotropika).
Eksekusi pidana mati dulu dengan cara digantung (Pasal 11 KUP) telah dihapuskan
diganti dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati (UU No. 2 (PNPS) tahun
1964.
1.
Berdasarkan pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak yakni
pidana penjara dan kurungan.
Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti
menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Permasyarakatan) dimana terpidana
tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, mentaati dan
menjalankan semaua peraturan tata tertib yang berlaku.
Selintas antara pidana penjara dan kurungan sama namun ada perbedaan yang cukup
jauh
Perbedaan yang paling menonjol adalah pidana kurungan lebih ringan dari pidana
penjara. Lebih ringannya sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara.
Akan tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan kurungan disebut
kurungan pengganti (Pasal 30 ayat 2).
5.
6.
7.
Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekedar meringankan nasibnya dalam
menjalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan (hak pistole, pasal 23 KUHP)
Pidana penjara ada bersifat seumur hidup dan pidana penjara sementara.
Pidana seumur hidup adalah pidana yang harus dijalani terpidana selama-lamanya
didalam penjara sampai dengan ia meninggal dunia di penjara tersebut.
Sedangkan pidana sementara adalah pidana yang dijalani terpidana paling sedikit 1
hari dan paling lama 15 tahun atau 20 tahun jika perbuatan pidana yang dilakukan
dengan pemberatan.
1.
Pidana kurungan ada suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa karena
telah melakukan tindak pidana pelanggaran
Pidana kurungan dijatuhkan serendah-rendahnya 1 hari dan paling lama 1 tahun dan
dapat ditambah lagi 4 bulan apabila terdakwa seorang residivis.
Perbaikan nasib dengan ongkos sendiri ini biasa dinamakan hak pistole. Perbaikan tsb
misalnya mengenai makanan dan tempat tidurnya. Candu, minuman keras, anggur dan bir
hanya dapat diberikan bila dianggap perlu oleh dokter penjara.
D. Pidana denda
Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan
maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya pasal 403 maksimum Rp. 150.000
Lamanya hukuman kurungan pengganti paling sedikit 1 hari paling lama 6 bulan. Dalam
keadaan memberatkan dapat ditambah paling tinggi 8 bulan (Pasal 30 ayat 5, 6 KUHP)
Pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain, sedangkan pidana lainnya (misalnya
penjara) tidak.
2.
Pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan (Pasal 30 ayat 2
KUHP), maka sering dalam putusan hakim membuat pidana alternatif selain kurungan juga
ada pidana kurungan pengganti. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya dan lamanya
pidana kurungan pengganti adalah minimal 1 hari maksimal 6 bulan.
3.
Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan
maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya pasal 403 maksimum Rp. 150.00,-
Karena dalam pelaksanaan pidana denda tidak dapat dijalankan denagan paksaan
secara langsung seperti penyitaan atas barang-barang terpidana. Ini berbeda dengan
perkara perdata yg dilakukan pelelangan setelah disita pengadilan.
Yaitu jika divonis pidana denda, maka paling alama 1 bulan terpida harus mebayar
denda tsb kecuali acara cepat harus seketika dilunasi (misalnya perkara lalu-lintas).
Sementara dapat diperpanjang lagi 1 bualn apabila ada alasan kuat (Pasal 273 ayat 1 dan 2
KUHP).
Pidana denda dibayarkan menjadi kas negara. Untuk itu setelah kejaksaan menerima
harus segera di setor ke kas negara.
E. Pidana Tutupan
Diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 20 tahun 1946 yang menyatakan bahwa dalam
mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana
tutupan.
Selanjutnya pada ayat 1 dinyatakan pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan
yang merupakan kejahatan itu cara melakukan perbuatan itu aatau akibat dari perbuatan itu
adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
Tempat untuk menjalani pidana tutupan adalah rumah tutupan (PP No. 8 tahun 1948).
Rumah tutupan lebih baik dengan rumah tahanan dari segi fasilitasnya, misalnya
maalah makanan.
Pidana tutupan sama juga dengan pidana penjara hanya beda dari fasilitasnya.
Jadi orang yang menjalani pidana tutupan adalah perbuatan pidana yang terdorong oleh
maksud yang patut dihormati, kriterianya diserahkan kepada hakim.
Dalam praktek pidana tutupan hanya terjadi 1 kali saja yaitu putusan Mahkamah Agung
Tentara RI tanggal 17 Mei 1948 yaitu perkaa kejahatan peristiwa 3 Juli 1946.
1.
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu (jabatan publik, seperti
Bupati, dll).
2.
3.
4.
Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi
wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak
sendiri
5.
6.
Pasal tindak pidana yg mengaturnya adalah pasal 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362,
363, 365, 372, 374, 375.
Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya
melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali yang bersangkutan dijatuhi pidana seumur
hidup atau pidana mati.
Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka
lamanya pencabutan hak2 tertentu berlaku seumur hidup
2.
Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan,
maka lamanya pencabutan hak2 tertentu paling lama 5 tahun dan minimun 2 tahun lebih
lama daripada pidana pokoknya
3.
Jika pidana pokok yg dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak2 tertentu
adalah paling sedikit 2 tahun dan paling lama 5 tahun.
Ada 2 jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana yaitu :
Ada tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang tertentu yaitu :
1.
Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan terhadap 2 jenis barang tersebut dalam Pasal
39 itu saja.
2.
Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim pada kejahatan saja, dan tidak
pada pelanggaran, kecuali pada beberapa tindak pidana pelanggaran, misalnya Pasal 502,
519, 549 (jenis pelanggaran)
3.
Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim atas barang-barang milik terpidana
tadi. Kecuali ada beberapa ketentuan
a) Yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan milik terpidana (Pasal
250 bis),
b) Tidak secara tegas menyebutkan terhadap, baik barang milik terpidanaatau bukan
(misalnya pasal 275, 205, 519)
H. Pengumuman Putusan Hakim
Pidana pengumuman putusan hakim hanaya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah
ditentukan oleh UU, misalnya terdapat dalam Pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
Dalam pidana ini hakim bebas perihal cara melaksanakan pengumuman, misalnya
melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi dan pembebanan biayanya
ditanggung terpidana.
Maksud pidana ini adalah sebagai usaha preventif agar tidak melakukan perbuatan
seperti orang tersebut dan agar berhati-hati bergaul dengan orang tersebut (terhukum).
Istilah penjatuhan pidana besyarat bukanlah jenis pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 KUHP, karena istilah ini diatur dalam pasal 14a KUHP. Lebih tepat istilah ini adalah
pidana dengan bersyarat.
Pidana dengan bersyarat dalam praktek hukum sering disebut dengan pidana
percobaan.
Artinya pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada
terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya dan pidana dapat
dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggar. Misalnya
jika terpidana tersebut yang diminta hakim tidak boleh melakukan perbuatan perbuatan
pidana maka selama masa poercobaan tersebut terpidana tidak boleh melakukan perbuatan
pidana dalam bentuk apapun. Jika terbukti melakukan perbuatan pidana lagi maka
hukumannya bisa ditambah karena terdakwa seorang residivis.
dalam arti bukanpenjahat sesungguhnya. Misalnya karena kemelaratan dan untuk makan ia
mencuri sebungkus roti, karena butuh uang untuk mengobati orang tuanya yang luka karena
kecelakaan, kejahatan culpa (kelalaian), dll
Dalam pasal 14a KUHP ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan
bersyarat dalam putusan pemidanaan apabila :
Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan ketentuan yaitu : a). Apabila benar-benar
ternyata pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu
menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan b). Apabila pelaku tindak pidana
yang dijatuhi denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan
pendapatan negara.