Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

KATARAK SENILIS DAN PTERYGIUM

Disusun oleh:
Destrian Ekoputro Wismiyarso
01.207.5364

PEMBIMBING
dr. Djoko Heru S, Sp.M

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2012

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. M

Umur

: 71 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Alamat

: Kirig 6/4

Tanggal Pemeriksaan : 24 Mei 2012


II. ANAMNESIS
Anamnesis secara

: Autoanamnesis pada tanggal 24 Mei 2012

Keluhan Utama

Penglihatan mata kiri dan kanan pasien terasa kabur


Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik mata pada tanggal 23 Mei 2012 dengan keluhan
penglihatan mata kiri dan kanan terasa kabur seperti ada asap yang menutupi. Kabur
dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien merasa awalnya kabur dan sekarang
menjadi tidak bisa melihat. Saat malam hari pasien merasa penglihatannya makin
menjadi gelap. Pasien merasa kedua mata sering kemeng dan nrocos. Pasien juga
mengeluh adanya daging tumbuh pada kedua mata. Tapi selama ini tidak ada
gangguan dari tumbuhnya daging tersebut, hanya saja mata dirasakan sering perih dan
merah bila terkena angin dan debu. Dulu pasien bekerja sebagai petani dan sering
terkena sinar matahari saat berada di sawah. Pasien juga mengaku sering kelilipan
debu dan kulit padi saat bekerja.
Riwayat Penyakit Dahulu:
-

Riwayat hipertensi (-)


Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat gigi berlubang (-)
Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keadaan serupa.

Riwayat sosial ekonomi:


Pasien tidak bekerja. Biaya pengobatan ditanggung anaknya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS GENERALIS
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernafasan
Keadaan Umum
Kesadaran
Status Gizi

:
:
:
:
:
:
:

140/80 mmHg
88x/ menit
Afebris
20 x / menit
Baik
Compos mentis
Cukup

B. STATUS OFTALMOLOGI
Gambar:
OD

Keterangan:

OS

1
2
2
3
3
1
1. Lensa keruh merata
2. Arkus senilis
3. Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva berwarna putih, dari nasal,
bentuk segitiga, puncak ke arah limbus.

OCULI DEXTRA(OD)
1/~
Tidak dikoreksi
positif
negatif
Gerak bola mata normal,

PEMERIKSAAN
Visus
Koreksi
Proyeksi Sinar
Persepsi Warna

OCULI SINISTRA(OS)
1/~
Tidak dikoreksi
positif
negatif
Gerak bola mata normal,

enoftalmus (-),

Bulbus okuli

enoftalmus (-),

eksoftalmus (-),

eksoftalmus (-),

strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-),

strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-),

nyeri tekan(-),

nyeri tekan (-),

blefarospasme (-),

Palpebra

blefarospasme (-),

lagoftalmus (-),

lagoftalmus (-)

ektropion (-), entropion (-)


Edema (-),

ektropion (-),entropion (-)


Edema (-),

injeksi konjungtiva (-),

injeksi konjungtiva (-),

injeksi siliar (-),

injeksi siliar (-),

infiltrat (-),

infiltrat (-),

hiperemis (-),

Konjungtiva

hiperemis (-),

pertumbuhan fibrovaskuler

pertumbuhan fibrovaskuler

konjungtiva berwarna putih,

konjungtiva berwarna putih,

dari nasal, bentuk segitiga,

dari nasal, bentuk segitiga,

puncak ke arah limbus


Putih
Bulat, edema (-),

Sklera

puncak ke arah limbus


Putih
Bulat, edema (-),

keratik presipitat(-),

Kornea

keratik presipitat(-),

infiltrat (-), sikatriks (-)

infiltrat(-), sikatriks (-)

Arkus senilis (+)


Jernih, kedalaman cukup

Camera Oculi

Arkus senilis (+)


Jernih, kedalaman cukup,

hipopion (-),

Anterior

hipopion (-),

hifema (-)
Kripta(N), warna coklat,(-),

(COA)
Iris

hifema (-)
Kripta(N), warna coklat,(-),

edema(-), synekia posterior (+)


bulat, diameter : 3mm, letak
sentral,

edema(-), synekia (-),


bulat, diameter 3 mm,
Pupil

letak sentral,

refleks pupil langsung (+),

refleks pupil langsung (+),

refleks pupil tak langsung (+)


Keruh merata
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Negatif
Normal
Epifora (-), lakrimasi (-)

refleks pupil tak langsung (+)


Keruh merata
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Negatif
Normal
Epifora (-), lakrimasi (-)

Lensa
Vitreus
Retina
Fundus Refleks
TIO digital
Sistem Lakrimasi

IV. RESUME
Subjektif:
Pasien datang dengan keluhan penglihatan mata kiri dan kanan terasa kabur
seperti ada asap yang menutupi. Kabur dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
merasa kedua mata sering kemeng dan nrocos. Pasien juga mengeluh adanya daging
tumbuh pada kedua mata. Mata dirasakan sering perih dan merah bila terkena angin
dan debu.
Objektif:
OCULI DEXTRA(OD)
1/~
positif
negatif
Keruh merata
pertumbuhan fibrovaskuler

PEMERIKSAAN
Visus
Proyeksi Sinar
Persepsi Warna
Lensa
Konjungtiva

OCULI SINISTRA(OS)
1/~
positif
negatif
Keruh merata
pertumbuhan fibrovaskuler

konjungtiva berwarna putih, dari

konjungtiva berwarna

nasal, bentuk segitiga, puncak ke arah

putih, dari nasal, bentuk

limbus

segitiga, puncak ke arah

Jernih, kedalaman cukup


Arkus senilis (+),
Synekia posterior (+)
Negatif
Normal

Kornea

limbus
Jernih, kedalaman cukup,

Iris
Fundus Refleks
TIO digital

Arkus senilis (+)


Synekia (-)
Negatif
Normal

V. DIAGNOSA BANDING
1.
2.
3.
4.

ODS Katarak senilis matur


ODS Katarak senilis hipermatur
ODS pterygium
ODS pinguekula

VI. DIAGNOSA KERJA


ODS katarak senilis matur dan ODS pterygium
Dasar diagnosis:

Penglihatan mata kiri dan kanan kabur seperti ada asap.


Terdapat kekeruhan lensa yang masif dan merata dan COA kedalaman cukup
Visus mata kiri dan kanan 1 / ~, proyeksi sinar positif, dan persepsi warna negatif

ODS terdapat jaringan fibrovaskuler, di nasal, bentuk segitiga, puncak ke arah

limbus, warna lebih merah dibanding jaringan sekitarnya.


Riwayat terpapar sinar matahari terus menerus dan sering kelilipan debu saat
bekerja (+)

VII. TERAPI
1. Medikamentosa:
a. Gentamisin 4 kali tetes/hari, 2 tetes ODS
b. Vit B12
c. Na Diklofenak 2,5 mg 1 tetes 2 kali sehari
2. Operatif:
Untuk katarak dilakukan ektraksi katarak, baik secara EKEK maupun EKIK
disertai dengan pemberian IOL (Intra Okuler Lensa). Untuk pterygium
dilakukan ekstraksi pterygium.

VIII. PROGNOSIS
OKULI DEKSTRA (OD)
Quo Ad Visam:
Dubia ad malam
Quo Ad Sanam
:
Dubia ad bonam
Quo Ad Kosmetikam :
Dubia ad bonam
Quo Ad Vitam
:
Dubia ad bonam

OKULI SINISTRA(OS)
Dubia ad malam
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam

IX. USUL DAN SARAN


Usul :
-

Lakukan ODS operasi EKEK + IOL + ekstraksi pterygium

Saran:
-

Gunakan tetes mata secara teratur

Konsumsi obat secara teratur

Kontrol 1 minggu setelah pengobatan maupun jika ada keluhan-keluhan pada


mata

Lindungi mata dari debu dan sinar matahari langsung dengan menggunakan
kacamata berwarna gelap

TINJAUAN PUSTAKA
KATARAK
A. DEFINISI
Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya jernih dan
bening menjadi keruh. Katarak berasal dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air
terjun. Asal kata ini mungkin sekali karena pasien katarak seakan-akan melihat
sesuatu seperti tertutup oleh air terjun di depan matanya. Seorang dengan katarak akan
melihat benda seperti ditutupi kabut. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada
lensa yang terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa,
atau keduanya (Ilyas, 2009).
B. KLASIFIKASI KATARAK
Berdasarkan waktu perkembangannya

katarak

diklasifikasikan

menjadi

katarak kongenital, katarak juvenil dan katarak senilis.


1. Katarak kongenital dapat berkembang dari genetik, trauma atau infeksi prenatal
dimana kelainan utama terjadi di nukleus lensa. Kekeruhan sebagian pada lensa
yang sudah didapatkan pada waktu lahir dan umumnya tidak meluas dan jarang
sekali mengakibatkan keruhnya seluruh lensa
2. Katarak juvenil merupakan katarak yang terjadi pada anak-anak sesudah
lahir.Kekeruhan lensa terjadi pada saat masih terjadi perkembangan serat-serat
lensa.Biasanya konsistensinya lembek seperti bubur dan disebut sebagai
soft cataract. Katarak juvenil biasanya merupakan bagian dari satu sediaan
3.

penyakit keturunan lain.


Katarak senilis adalah jenis katarak yang paling sering dijumpai. Telah diketahui
bahwa katarak senilis berhubungan dengan bertambahnya usia dan berkaitan
dengan proses penuaan lensa.
Berdasarkan stadiumnya, katarak dibagi menjadi stadium insipien, stadium

imatur,stadium matur, dan stadium hipermatur.

1.

Stadium insipien. Stadium yang paling dini, yang belum menimbulkan gangguan
visus. Kekeruhan terutama terdapat pada bagian perifer berupa bercak-bercak seperti
baji (jari-jari roda),terutama mengenai korteks anterior, sedangkan aksis relatif masih

2.

jernih. Gambaran ini disebut spokes of a wheel yang nyata bila pupil dilebarkan.
Stadium imatur. Kekeruhan belum mengenai seluruh lapisan lensa. Kekeruhan
terutama terdapat di bagian posterior dan bagian belakang nukleus lensa. Kalau tidak
ada kekeruhan di lensa, maka inar dapat masuk ke dalam mata tanpa ada yang
dipantulkan. Oleh karena kekeruhan dibagian posterior lensa, maka sinar oblik yang
mengenai bagian yang keruh ini akan dipantulkan lagi, sehingga pada pemeriksaan,
terlihat di pupil ada daerah yang terang sebagai refleks pemantulan cahaya pada
daerah lensa yang keruh dan daerah yang gelap,akibat bayangan iris pada lensa yang
keruh. Keadaan ini disebut shadow test (+)

3. Stadium matur . Pada stadium ini lensa telah menjadi keruh seluruhnya,
sehingga semua sinar yangmelalui pupil dipantulkan kembali di permukaan
anterior lensa. Tak ada bayangan iris. Shadow test (-). Di pupil tampak lensa yang
seperti mutiara. Shadow test membedakan stadium matur dari imatur, dengan syarat
harus diperiksa lebih lanjut dengan midriatika,oleh karena pada katarak polaris
anterior juga terdapat shadow test (-), karena kekeruhan terletak di daerah pupil.
Dengan melebarkan pupil, akan tampak bahwa kekeruhan hanya terdapat pada
daerah

pupil

saja.

Kadang-kadang,

walaupun

masih

stadium

imatur,

dengankoreksi, visus tetap buruk, hanya dapat menghitung jari, bahkan dapat
lebih buruk lagi1/300 atau satu per tak hingga, hanya ada persepsi cahaya,
walaupun lensanya belumkeruh seluruhnya. Keadaan ini disebut vera matur.

4.

Stadium hipermatur. Korteks lensa yang konsistensinya seperti bubur telah mencair,
sehingga nukleus lensa turun oleh karena daya beratnya ke bawah. Melalui pupil,
pada daerah yang keruh, nukleus ini terbayang sebagai setengah lingkaran di bagian
bawah, dengan warna yang lain daripada bagian yang diatasnya, yaitu kecoklatan.
Pada stadium ini juga terjadikerusakan kapsul lensa, yang menjadi lebih permeabel,
sehingga isi korteks yang cair dapat keluar dan lensa menjadi kempis, yang di
bawahnya terdapat nukleus lensa. Keadaan ini disebut katarak Morgagni.
Pada perjalanan dari stadium I ke stadium IV, dapat timbul suatu keadaan yang
disebut intumesensi yaitu penyerapan cairan bilik mata depan oleh lensa sehingga
lensamenjadi cembung dan iris terdorong ke depan, bilik mata depan menjadi
dangkal. Hal ini tidak selalu terjadi.Pada umumnya terjadi pada stadium II.
Selain itu terdapat jenis katarak lain :
Katarak rubella :

Ditularkan melalui Rubella pada ibu hamil

Katarak Brunesen

Katarak yang berwarna coklat sampai hitam, terutama pada nucleus lensa
Dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus dan myopia tinggi.

Katarak Komplikata :

Katarak akibat penyakit mata lain seperti radang dan proses degenerasi.
Mempunyai tanda khusus yaitu selamanya dimulai di korteks atau dibawah kapsul

menuju ke korteks atau dibawah kapsul menuju sentral


Pada lensa terlihat kekeruhan titik subkapsular ayng sewaktu-waktu menjadi
katarak lamelar.

Katarak Diabetik :

Akibat adanya penyakit Diabetes Mellitus.

Meningkatkan insidens maturasi katarak >>


Pada lensa terlihat kekeruhan tebaran salju subkapsularyang sebagian jernih
dengan pengobatan.

Katarak Sekunder
Adanya cincin Soemmering (akibat kapsul pesterior yang pecah) dan
Mutiara Elsching (epitel subkapsular yang berproliferasi)
Katarak Traumatika
Dapat terjadi akibat trauma mekanik, agen-agen fisik (radiasi, aruslistrik, panas dan
dingin)
(Ilyas, 2009)
C. PATOFISIOLOGI
Lensa mengandung tiga komponen anatomis yaitu :
Nukleus zone sentral
Korteks perifer
Kapsul anterior dan posterior
Sebagian besar katarak terjadi karena suatu perubahan fisik dan perubahan kimia
pada protein lensa mata yang mengakibatkan lensa mata menjadi keruh.Perubahan
fisik (perubahan pada serabut halus multiple (zonula) yang memanjang dari badan
silier ke sekitar lensa) menyebabkan hilangnya transparansi lensa.
Perubahan kimia pada protein inti lensa mengakibatkan pigmentasi progresif
sehingga nukleus menjadi kuning atau kecokelatan juga terjadi penurunan konsentrasi
glutation dan kalium, peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium serta peningkatan
hidrasi lensa. Perubahan ini dapat terjadi karena meningkatnya usia sehingga terjadi
penurunan enzim yang menyebabkan proses degenerasi pada lensa.
Penyebab pada katarak senilis belum diketahui pasti, namun diduga terjadi karena:
a. Proses pada nukleus
Oleh karena serabut-serabut yang terbentuk lebih dahulu selalu terdorong ke
arah tengah, maka serabut-serabut lensa bagian tengah menjadi lebih padat
(nukleus), mengalami dehidrasi, penimbunan ion kalsium dan sklerosis. Pada
nukleus ini kemudian terjadi penimbunan pigmen. Pada keadaan ini lensa
menjadi lebih hipermetrop. Lama kelamaan nukleus lensa yang pada mulanya
berwarna putih menjadi kekuning-kuningan, lalu menjadi coklat dan kemudian
menjadi kehitam-hitaman. Karena itulah dinamakan katarak brunesen atau
katarak nigra.
b. Proses pada korteks

Timbulnya celah-celah di antara serabut-serabut lensa, yang berisi air dan


penimbunan kalsium sehingga lensa menjadi lebih tebal, lebih cembung dan
membengkak, menjadi lebih miop. Berhubung adanya perubahan refraksi ke
arah miopia pada katarak kortikal, penderita seolah-olah mendapatkan
kekuatan baru untuk melihat dekat pada usia yang bertambah (Wijana, 1983).
D. GEJALA DAN TANDA
1. Pengurangan ketajaman penglihatan secara bertahap
2. Pandangan seperti ada kabut atau air terjun
3. Silau, sehingga penglihatan di malam hari lebih nyaman dibandingkan siang
hari
4. Miopia
5. Kesulitan membaca bila tidak cukup cahaya
6. Sering berganti kacamata
(Ilyas, 2009)
E. DIAGNOSIS
ANAMNESIS :
Penurunan ketajaman penglihatan secara bertahap (gejala utama katarak)
Mata tidak merasa sakit, gatal , atau merah
Gambaran umum gejala katarak yang lain seperti :
1. Berkabut, berasap, penglihatan tertutup film
2. Perubahan daya lihat warna
3. Gangguan mengendarai kendaraan malam hari, lampu besar sangat
menyilaukan mata
4. Lampu dan matahari sangat mengganggu
5. Sering meminta resep ganti kacamata
6. Penglihatan ganda (diplopia)
PEMERIKSAAN FISIK MATA
1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan
2. Melihat lensa dengan penlight dan loop
Dengan penyinaran miring (45 derajat dari poros mata) dapat dinilai
kekeruhan lensa dengan mengamati lebar pinggir iris pada lensa yang keruh
(iris shadow).Bila letak bayangan jauh dan besar berarti kataraknya imatur,
sedangkan bayangan dekat dan kecil dengan pupil terjadi katarak matur.
3. Slit lamp
4. Pemeriksaan opthalmoskop (sebaiknya pupil dilatasi)
(Wijana, 1983)
F. DIAGNOSA BANDING
1. Leukokoria

2. Oklusi pupil
3. Ablasi retina
4. Retinoblastoma
(Wijana, 1983)
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk katarak adalah pembedahan (operasi).Medikamentosa
diberikan dengan tujuan mengatasi gejala yang ditimbulkan oleh penyulit misalnya,
silau maka pasien dapat menggunakan kacamata.Untuk mengurangi inflamasi dapat
diberikan steroid ringan. Dapat pula dianjurkan diet dengan gizi yang seimbang,
suplementasi vitamin A,C,E, serta antioksidan lainnya dengan dosis yang tepat dapat
membantu memperlambat progresifitas katarak.
Ekstraksi katarak adalah cara pembedahan dengan mengangkat lensa yang
katarak. Dapat dilakukan dengan intrakapsular yaitu mengeluarkan lensa dengan isi
kapsul lensa atau ekstrakapsular yaitu mengeluarkan isi lensa (korteks dan nucleus)
melalui kapsul anterior yang dirobek dengan meninggalkan kapsul posterior.
a. Operasi katarak ekstrakapsular atau ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK)
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa
dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan
korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut. Pembedahan ini dilakukan pada
pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti,
implantasi lensa intra okular, kemungkinan akan dilakukan bedah gloukoma, mata
dengan presdiposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata
mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid makular edema, pasca bedah ablasi,
untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps
badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadi
katarak sekunder.
Tindakan ekstraksi katarak ekstrakapsuler yang terencana dilakukan apabila:
1. Kita ragu apakah nukleus lentis sudah terbentuk atau belum.
2. Kita mengira badan kaca mencair, misalnya pada miopia tinggi, setelah
menderita uveitis.
3. Telah terjadi perlengketan luas antara iris dan lensa.
4. Pada operasi mata yang lainnya, telah terjadi ablasi atau prolaps badan kaca.
5. Setelah operasi mata yang lainnya, timbul penempelan badan kaca pada
kornea yang menyebabkan distrofi kornea.
6. Terkandung maksud untuk memasang lensa intraokuler buatan.
b. Operasi katarak intrakapsular atau ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK)

Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul.Dapat dilakukan


pada zonula zinn telah rapuh atau berdegenerasi da mudah diputus. Pada tindakan
ini tidak akan terjadi katarak sekunder (Ilyas, 2009).
Indikasi ekstraksi katarak:
1. Pada bayi: kurang dari 1 tahun
Bila fundus tak terlihat. Bila masih dapat dilihat, katarak dibiarkan saja.
2. Pada umur lanjut
a. Indikasi klinis : kalau katarak menimbulkan penyulit uveitis atau
glaukoma, meskipun visus masih baik untuk bekerja, dilakukan operasi
juga, setelah keadaan menjadi tenang.
b. Indikasi visuil : tergantung dari katarak monokuler atau binokuler
3. Katarak monokuler
a. Bila sudah masuk dalam stadium matur
b. Bila visus pasca bedah sebelum dikoreksi, lebih baik daripada sebelum
operasi
4. Katarak binokuler
a. Bila sudah masuk dalam stadium matur
b. Bila visus meskipun telah dikoreksi tidak cukup untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari.
Macam-macam ekstraksi katarak sesuai konsistensi dari kataraknya:
1. Katarak cair
: umur kurang dari 1 tahun, dilakukan disisi lensa
2. Katarak lembek : umur 1-35 tahun, dilakukan ekstraksi linier/ekstraksi katarak
ekstrakapsuler
3. Katarak keras : umur lebih dari 35 tahun, dilakukan ekstraksi katarak
ekstrakapsuler
H. KOMPLIKASI
- Dislokasi lensa
-

dan

subluksasi

sering

ditemukan

bersamaan

dengan

katarak traumatic.
Komplikasi lain yang dapat berhubungan, seperti blok pupil,glaukoma sudut
tertutup,

uveitis,retinal

detachment ,

rupture

koroid,

hifema,perdarahan

retrobulbar, neuropati optik traumatic


I. PROGNOSIS
Prognosis penglihatan untuk pasien anak-anak yang memerlukan pembedahan
tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak senilis, karena adanya ambliopia dan
kadang-kadang anomali saraf optikus atau retina.Prognosis untuk perbaikan

ketajaman pengelihatan setelah operasi paling buruk pada katarak kongenital


unilateral dan paling baik pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang proresif
lambat.Prognosis penglihatan pasien dikatakan baik apabila:

Fungsi media refrakta baik


Dilakukan dengan melihat kejernihan serta keadaan media refrakta mulai
dari kornea, iris, pupil dan lensa melalui lampu sentolop maupun slit lamp.
Fungsi makula atau retina baik
Dilakukan dengan pemeriksaan retpersepsi warna, dengan cara
menyorotkan cahaya merah dan hijau di depan mata yang kemudian

dengan sentolop cahaya diarahkan ke mata.


Fungsi N. Opticus (N.II) baik
Fungsi serebral baik

PTERYGIUM
A. DEFINISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygium akan berwarna merah. Pterygium dapat mengenai kedua mata (Ilyas,
2009).
Pterygium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan
penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke arah puncak Pterygium. Kebanyakan Pterygium ditemukan di bagian
nasal, dan bilateral. Pada kornea penjalaran Pterygium mengakibatkan kerusakan
epitel kornea dan membran Bowman (Perdami, 2002).

B. EPIDEMIOLOGI
Umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun pada daerah yang beriklim
tropis. Di seluruh dunia, terdapat penurunan insidensi pada daerah bagian atas

lintang utara dan relatif terjadi peningkatan di bawah garis lintang utara.
Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat yaitu
daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah
garis lintang utara ini (Juliansyah, 2009).
C. ETIOLOGI
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi (Ilyas, 2009).
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
Usia
Prevalensi Pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa, tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak
(Hamurwono et al., 1984). Tan berpendapat Pterygium terbanyak pada usia 2
dekade dua dan tiga (Tan, 2002). Di RSUD AA tahun 2003-2005 didapatkan
usia terbanyak 31 40 tahun, yaitu 27,20%.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan Pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV (Raihana, 2007).
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari Pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian Pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 30 memiliki risiko penderita Pterygium 36 kali lebih
besar dibandingkan daerah yang lebih selatan (Tan, 2002).
Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan (Hamurwono
et al., 1984).
Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan (Tan, 2002).
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
Pterygium(Tan, 2002).
7. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu


seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
Pterygium(Tan, 2002).

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen
dan proliferasi jaringan fibrovaskular pada stroma subepitel yang tervaskularisasi,
dengan permukaan yang menutupi epitelium. Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila diberi pewarnaan
dengan hematoksilin dan eosin. Jaringan ini juga dapat diwarnai dengan pewarna
jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya oleh karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Juliansyah, 2009).
F. KLASIFIKASI DAN GRADE
Klasfikasi Pterygium:
1. Pterygium simpleks
: jika terjadi hanya di bagian nasal atau temporal
saja.
2. Pterygium dupleks

: jika terjadi pada nasal dan temporal.

Grade pada Pterygium:


1. Grade 1
Meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan lesi (ditunjukkan
dengan Stocker line) dapat terlihat di epitel kornea bagian anterior/depan
Pterygium. Lesi/jejas ini asimptomatis, meskipun sebentar-sebentar dapat
meradang (intermitenly inflamed). Jika memakai soft contact lens, gejala
dapat timbul lebih awal karena diameter lensa yang luas bersandar pada
ujung kepala Pterygium yang sedikit naik/terangkat dan hal ini dapat
menyebabkan iritasi.
2. Grade 2
Melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recunrrent) sehingga
diperlukan tindakan pembedahan. Dapat mengganggu precorneal tear film
dan menyebabkan astigmatisme.
3. Grade 3
Meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah penglihatan (visual
axis). Lesi/jejas yang luas (extensive), jika kambuh, dapat berhubungan
dengan fibrosis subkonjungtiva dan meluas hingga ke fornix yang

terkadang dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan mata (Juliansyah,


2009).
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia derajat pertumbuhan
Pterygium dibagi menjadi :
a. Derajat I : hanya terbatas pada limbus
b. Derajat II : sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea.
c. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4
mm)
d. Derajat IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan (Perdami, 2006).
G. TANDA KLINIK
Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya
menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan
stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan
menggantinkan epitel, juga membran Bowman, dengan jaringan elastis dan hialin.
Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada orang-orang yang
banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama pelaut dan petani. Kelainan
ini merupakan kelainan degenerasi yang berlangsung lama. Bila mengenai kornea,
dapat menurunkan visus karena menimbulkan astigmat dan juga dapat menutupi
pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya. Pterygium juga dapat meradang
dan berwarna merah, terasa mengganjal disertai mata yang berair (Wijana, 1983).
H. DIAGNOSIS
Pterygium dapat berupa berbagai macam perubahan fibrovaskular pada
permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering menyerang
konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea bagian nasal. Pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik sering didapatkan berbagai macam keluhan, mulai dari tidak
ada gejala yang berarti sampai mata menjadi sangat merah, mata gatal, iritasi,
berair, dan pandangan kabur, disertai jejas pada konjungtiva yang membesar.
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 kategori umum, sebagai berikut :
1.

Kelompok pasien yang mengalami Pterygium berupa ploriferasi minimal dan


penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung
lebih pipih dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih
rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.

2.

Pada kelompok kedua, Pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat


dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygium dalam grup
ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan
yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi (Juliansyah, 2009).
I. DIAGNOSIS BANDING
a. Pseudopterygium
Apabila terjadi ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea, dapat
terjadi bahwa dalam proses penyembuhan, konjungtiva menutupi luka
kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah konjungtiva menjalar ke
kornea.
Pada pseudopterygium dapat dimasukkan sonde di bawahnya, dan tidak
bersifat progresif.
Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan
kecuali sangat mengganggu visus atau alasan kosmetik.
b. Pannus
Merupakan pertumbuhan pembuluh darah ke dalam sekeliling kornea.
Pada individu normal, kornea seharusnya avaskuler, hipoksia lokal kronis
(seperti pada penggunaan contact lens berlebihan) atau inflamasi dapat
menyebabkan vaskularisasi di sekeliling kornea. Pannus juga dapat terjadi
pada penyakit stem cell kornea seperti aniridia.
c. Pinguekula
Kelainan ini juga terdapat pada konjungtiva bulbi, baik bagian nasal
maupun bagian temporal, di daerah celah kelopak mata. Pinguekula
terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning keabuan berupa
hipertrofi, yaitu penebalan selaput lendir.
Pada umumnya pinguekula tidak memerlukan pengobatan. Pinguekula
yang menunjukkan adanya peradangan, diobati dengan steroid untuk
mempercepat redanya peradangan.
d. Kista Dermoid
Merupakan tumor kongenital berasal dari lapisan mesodermal dan
ektodermal, jaringan tumor terdiri dari jaringan ikat, jaringan lemak,
folikel rambut, kelenjar keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat pada
limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan dapat
menyebabkan ptosis. Kista dermoid diterapi dengan eksisi tumor atau kista
(Ilyas, 2009).

J. PENATALAKSANAAN
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih
muda. Bila Pterygium

meradang, dapat diberikan steroid atau tetes mata

dekongestan.
Pengobatan Pterygium

adalah dengan sikap konservatif. Dapat juga

dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya


astigmatisme ireguler atau bila Pterygium telah menutupi media penglihatan. Halhal ini merupakan indikasi dari operasi pengangkatan Pterygium.
Prinsip penanganan Pterygium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika Pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada Pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada Pterygium

derajat 1 atau 2 yang telah mengalami

gangguan penglihatan (Ilyas, 2009).


Lindungilah mata dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat dellen (lekukan kornea) dapat diberikan air
mata buatan dalam bentuk salep.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan dalam kasus Pterygium antara lain
adalah:
a. Bare Sklera
Pterygium diangkat, lalu dibiarkan saja. Tindakan ini tidak dilakukan
untuk Pterygium progresif karena dapat menimbulkan terjadinya
granuloma.
b. Mc Reynold Opperation
Puncak Pterygium yang terdapat pada kornea dilepaskan dari dasarnya,
sementara bagian yang lai dilepaskan dari konjungtiva bulbi. Bekasnya di
kornea dan sklera dibersihkan dan dilakukan elektrokauterisasi untuk
menghindari perdarahan. Bila membran tersebut terlalu tebal atau panjang,
dapat digunting sebagian untuk kemudian disisipkan di bawah konjungtiva
bulbi. Maksudnya agar bila terjadi kekambuhan, tidak masuk ke dalam
kornea. Tetapi menurut pengalaman, meskipun telah dioperasi, masih
dapat kambuh kembali dengan cepat. Bila sering residif, dapat diberi
penyinaran sinar , atau dilakukan eksterpasi dan transplantasi mukosa
mulut atau konjungtiva forniks.
c. Amnion Graft / Konjungtiva Graft

Setelah Pterygium diambil lalu digraft dari amnion atau selaput mukosa
mulut atau konjungtiva bulbi pars superior.
Dengan teknik amnion graft ini tingkat rekurensi kasus Pterygium dapat
ditekan sebesar sekitar 5%.

d. Fibrin Tissue Adhesive (GLUE)


Metode pembuatan fibrin menggunakan teknik dari Hratman dengan
modifikasi minor. Sehari sebelum dioperasi, ambil dengan spuit yang
diberi heparin 10 l darah vena pasien untuk setiap 100 cm 2 kulit yang
akan digraft/dibuat flap. Lalu dilakukan sentrifuge dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit. Lalu plasma yang terpisah diambil dengan jarum
spinal. Seluruh prosedur dilakukan dengan kondisi yang sangat steril.
Plasma inilah yang akan menjadi bahan dari fibrinogen dan disimpan di
dalam syringe dengan suhu -200oC. konsentrasi dari fibrinogen dalam
plasma ini adalah 350-450 mg/100 ml.
Komponen thrombin disiapkan menurut cara Armand J. Quick. Komponen
ini didapat dari Fresh Frozen Plasma (FFP) dari donor sehat yang telah
dilakukan screening ngeatif dari HIV dan Hepatitis B. 10 ml FFP
dipanaskan hingga suhu 2-4oC dan diencerkan 10x dengan air suling,
sehingga tercipta 100 ml cairan ini. Pada cairan ini, 1 ml asam asetat 1%
ditambahkan untuk membuat larutan dengan pH 5.3 dan terbentuk suatu
presipitat. Lalu dibiarkan selama 1,5 jam dan dilakukan sentrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, kemudian presipitat diambil dan
ditambah cairan saline hingga 10 ml, lalu pH larutan dinaikkan hingga 7
dengan cara titrasi dengan sodium karbonat. Cairan ini dihangatkan di
dalam air dengan suhu 37oC dan ditambahkan 0,1 ml CaCl 2 0,1 M.
Gumpalan yang terbentuk dalam waktu 45-120 detik dikeluarkan. Larutan

thrombin yang telah terbentuk ini bersifat jernih seperti air dan disimpan
dalam keadaan beku dengan suhu -200oC untuk mempertahankan
konsistensi dan dapat digunakan hingga 1 bulan.
Sebelum digunakan, fibrinogen dan thrombin dikeluarkan dari suhu dingin
dan dihangatkan pada suhu kamar.
Teknik operasi:
i. Mata yang sakit dianestesi dengan propacaine HCl.
ii. Mata dan alat dipersiapkan dengan steril.
iii. Mata dibuka dengan spekulum.
iv. Suntikkan solutio lidocaine-epinefrin ke dalam Pterygium untuk
mengembangkan konjungtiva untuk memperlihatkan area yang
akan dilakukan graftt agar dapat dipisahkan dari capsula Tenon.
v. Dilakukan pembebasan tumpul dan tajam untuk melepaskan sklera
dan konjungtiva sekitarnya sehingga sklera terbuka.
vi. Graft donor dari limbus superior dieksisi sepanjang 1 mm dengan
conjungtiva forseps dan gunting vannas.
vii. Konjungtiva dipisahkan dari capsula Tenon secara hari-hati dengan
manipulasi minimal.
viii. Graft yang telah diseksi diletakkan terbalik di atas kornea pasien
dan dijaga agar tetap lembab.
ix. Cairan fibrinogen diteteskan pada sklera yang telanjang dan
diratakan dengan jarum kanula.
x. Cairan thrombin dioleskan pada graft donor yang diletakkan
terbalik pada kornea pasien.
xi. Dengan 2 forseps McPherson, graft donor dibalikkan dari kornea
untuk menutup sklera yang telah diteteskan fibrinogen. Fibrinogen
dan thrombin akan membentuk lem alami.
xii. Setelah proses pengeringan selama 5 menit, tepi graft yang tidak
rata akan diratakan dengan gunting vannas.
xiii. Oleskan Neomycin Sulfat/Polymixin B Sulfat/Dexamethasone zalf
pada mata yang dioperasi dan pasang eye patch selama 24 jam.
xiv. Teteskan Prednisone Asetat 1% dan Levofloxacine 0,5% pada mata
yang dioperasi 4x/hari selama 1 bulan untuk maintenance.
Keunggulan teknik operasi dengan fibrin glue untuk Pterygium yaitu
mengurangi waktu operasi, fotofobia, sensasi benda asing, iritasi, epifora, gatal,
hiperemis lokal, konjungtiva kemosis, mata kering, dan kesakitan pasien. Sampai
saat ini belum ditemukan komplikasi pada teknik operasi dengan fibrin glue,
tetapi masih terus dilakukan evaluasi untuk menilai tingkat rekurensi dan
kemungkinan komplikasi jangka panjang.

Teknik lain untuk menurunkan tingkat rekurensi (misalnya dengan aplikasi


mitomycin

atau dengan radiasi) dapat digunakan walaupun dalam situasi sulit,

tetapi bukan merupakan pilihan pertama karena dapat menyebabkan masalah lain
dalam jangka waktu yang panjang ke depan.
Setelah dilakukan operasi pengangkatan Pterygium, penderita disarankan untuk:
a. Setelah pengangkatan mata pasien dapat terasa sangat sakit dalam jangka
waktu 3-4 hari, maka mungkin diperlukan obat penahan rasa sakit.
Sedangkan pada hari pertama dapat diberikan obat hipnotik sedatif.
Kompres dingin juga dapat diberikan untuk mengurangi rasa sakit pada
hari-hari awal setelah operasi.
b. Bekas jahitan mungkin akan terasa sedikit gatal, tapi hal ini akan
berkurang secara perlahan sampai hari kedua setelah operasi. Pasien juga
diberitahu untuk tidak mengucek-ucek matanya.
c. Mata pasien yang dioperasi akan terasa silau selama kurang lebih 1
minggu, maka disarankan untuk menggunakan kacamata hitam untuk
mengurangi rasa silau.
d. Gunakan tetes mata atau salep mata untuk mengurangi peradangan dan
untuk mencegah infeksi pada luka setelah operasi. Setelah mata terasa
lebih baik maka tetes mata dapat dihentikan.

e. Sesudah dilakukan eksisi Pterygium juga dapat diberikan steroid topikal


dengan pemberiannya yang ditingkatkan secara perlahan-lahan. Namun
penggunaan steroid ini harus sangat diperhatikan karena efek samping
yang dapat mengakibatkan katarak, glaukoma bahkan sampai kehilangan
penglihatan atau kebutaan.
Selain tindakan operatif pengangkatan Pterygium, penatalaksanaan Pterygium
dengan pemberian obat atau dengan medikamentosa, yaitu dengan pemberian:
a. Air mata artifisial untuk membasahi permukaan okuler dan untuk mengisi
kerusakan pada lapisan air mata.
b. Obat tetes anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan
mata dan jaringan okuler lainnya, bahan kortikosteroid akan sangat
membantu dalam penatalaksanaan Pterygium yang mengalami inflamasi
dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada
permukaan okuler di dekat jejasnya, namun penggunaannya harus sangat
diperhatikan karena kortikosteroid dapat menyebabkan terjadinya katarak,
glaukoma hingga terjadi kebutaan (Hyun, 2008).
K. KOMPLIKASI
a. Sebelum operasi
i. Penurunan penglihatan
ii. Kemerahan pada mata
iii. Iritasi
iv. Diplopia
b. Setelah operasi
i. Sikatrik pada kornea
ii. Pengeringan fokal kornea mata (hal ini sangat jarang terjadi)
iii. Infeksi
iv. Reaksi material jahitan
v. Diplopia
vi. Conjungtival graft dehiscence
vii. Corneal scaring
viii. Komplikasi yang jarang terjadi, meliputi: perforasi bola mata,
perdarahan vitreus atau retinal detachment.
Komplikasi juga dapat terjadi karena terlambatnya dilakukan operasi dengan
radiasi beta pada pterygium yaitu terjadinya pengenceran sklera dan kornea
(Juliansyah, 2009).
L. PENCEGAHAN

Secara teoritis adalah dengan memperkecil terpaparnya radiasi UV untuk


mengurangi risiko berkembangnya Pterygium, pada individu yang mempunyai
risiko lebih tinggi. Pasien disarankan untuk menggunakan kacamata atau topi
pelindung dari cahaya matahari.
Pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
tropis dan subtropik atau pada pasien yang memiliki aktivitas di luar dengan suatu
risiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet, misalnya memancing, berkebun, atau
pekerja bangunan. Jadi sebaiknya untuk para pekerja lapangan dianjurkan untuk
menggunakan kacamata dan topi pelindung.
Rekurensi pterygium dipengaruhi oleh riwayat keluarga, paparan sinar
matahari yang lama, serta teknik operasi yang dilakukan. Rekurensi pterygium
setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinta
berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia maupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan recurrent
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograf
atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi
A. PEMERIKSAAN BOLA MATA
1. Pemeriksaan Kornea
- Uji fluorescein : untuk melihat adanya defek epitel kornea
- Uji fistel : untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea
- Uji sensibilitas kornea : untuk mengetahui fungsi trigeminus kornea
2. Pemeriksaan Pupil
- Uji refleks pupil seperti

Refleks pupil langsung

Refleks pupil tak langsung

Refleks koklear

Refleks sinar

Refleks orbikular

Refleks trigeminus

Refleks psikosensorik

Refleks vagotonik

Refleks vestibular

Refleks okulopupil

Refleks dekat
3. Pemeriksaan Lensa
- Shadow test : semakin keruh lensa semakin besar bayangan iris pada lensa
4. Pemeriksaan Retina dan Makula
- Uji proyeksi sinar : untuk mengetahui keadaan retina perifer pasien
- Adaptasi gelap : untuk menilai fungsi sel batang retina pada pasien dengan
keluhan buta senja

Amsler grid : untuk melihat adanya kelainan makula yang akan mengganggu

fungsi penglihatan makula sentral


Uji defek aferen pupil : untuk mengetahi apakah serabut aferen penglihatan

berfungsi baik
Uji diskriminasi 2 sinar : untuk meramalkan prognosa tajam penglihatan pasien

pasca bedah katarak


Uji maddox rod : untuk mengetahui fungsi makula
Uji retinometri : untuk mengetahui fungsi makula atau ramalan visus pasca bedah

mata dengan media penglihatan yang keruh


- Uji ishihara : untuk mengetahui adanya defek penglihatan warna
5. Pemeriksaan Lapang Pandangan
- Uji konfrontasi
- Kampimeter
- Perimeter
6. Pemeriksaan Saraf Optik
- Uji defek aferen pupil
- Uji sentolop berayun

Daftar Pustaka
Hamurwono, G.D., Nainggolan, S.H. 1984. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan
Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas
Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. 14-17

Ilyas, H.S. 2009.Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
Ilyas, H.S. 2009.Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2.Sagung seto. Jakarta
Kim, H.H, Mun, H.J. 2008. Conjunctivolimbal Autograft Using a Fibrin Adhesive in
Pterygium

Surgery.

Dalam:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2629906/. Diakses tanggal: 7

Juli 2011.
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI). 2006. Editor Tahjono. Dalam
panduan manajermen klinik PERDAMI. CV Ondo Jakarta
Raihana. 2007.Karakteristik penderita pterygium dipoliklinik mata RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru Periode Januari 2003 Desember 2005. Pekanbaru ; FK UNRI.
Tan, D.T.H.2002. Ocular Surface Diseases Medical and Surgical Management. New York:
Springer. 65 83
Vaughan, D.G., 2009, Oftalmologi Umum, Widya Medika: Jakarta.
Wijana, N., 1983, Ilmu Penyakit Mata, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai