Disusun oleh:
Destrian Ekoputro Wismiyarso
01.207.5364
PEMBIMBING
dr. Djoko Heru S, Sp.M
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2012
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. M
Umur
: 71 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
: Kirig 6/4
Keluhan Utama
:
:
:
:
:
:
:
140/80 mmHg
88x/ menit
Afebris
20 x / menit
Baik
Compos mentis
Cukup
B. STATUS OFTALMOLOGI
Gambar:
OD
Keterangan:
OS
1
2
2
3
3
1
1. Lensa keruh merata
2. Arkus senilis
3. Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva berwarna putih, dari nasal,
bentuk segitiga, puncak ke arah limbus.
OCULI DEXTRA(OD)
1/~
Tidak dikoreksi
positif
negatif
Gerak bola mata normal,
PEMERIKSAAN
Visus
Koreksi
Proyeksi Sinar
Persepsi Warna
OCULI SINISTRA(OS)
1/~
Tidak dikoreksi
positif
negatif
Gerak bola mata normal,
enoftalmus (-),
Bulbus okuli
enoftalmus (-),
eksoftalmus (-),
eksoftalmus (-),
strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-),
strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-),
nyeri tekan(-),
blefarospasme (-),
Palpebra
blefarospasme (-),
lagoftalmus (-),
lagoftalmus (-)
infiltrat (-),
infiltrat (-),
hiperemis (-),
Konjungtiva
hiperemis (-),
pertumbuhan fibrovaskuler
pertumbuhan fibrovaskuler
Sklera
keratik presipitat(-),
Kornea
keratik presipitat(-),
Camera Oculi
hipopion (-),
Anterior
hipopion (-),
hifema (-)
Kripta(N), warna coklat,(-),
(COA)
Iris
hifema (-)
Kripta(N), warna coklat,(-),
letak sentral,
Lensa
Vitreus
Retina
Fundus Refleks
TIO digital
Sistem Lakrimasi
IV. RESUME
Subjektif:
Pasien datang dengan keluhan penglihatan mata kiri dan kanan terasa kabur
seperti ada asap yang menutupi. Kabur dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
merasa kedua mata sering kemeng dan nrocos. Pasien juga mengeluh adanya daging
tumbuh pada kedua mata. Mata dirasakan sering perih dan merah bila terkena angin
dan debu.
Objektif:
OCULI DEXTRA(OD)
1/~
positif
negatif
Keruh merata
pertumbuhan fibrovaskuler
PEMERIKSAAN
Visus
Proyeksi Sinar
Persepsi Warna
Lensa
Konjungtiva
OCULI SINISTRA(OS)
1/~
positif
negatif
Keruh merata
pertumbuhan fibrovaskuler
konjungtiva berwarna
limbus
Kornea
limbus
Jernih, kedalaman cukup,
Iris
Fundus Refleks
TIO digital
V. DIAGNOSA BANDING
1.
2.
3.
4.
VII. TERAPI
1. Medikamentosa:
a. Gentamisin 4 kali tetes/hari, 2 tetes ODS
b. Vit B12
c. Na Diklofenak 2,5 mg 1 tetes 2 kali sehari
2. Operatif:
Untuk katarak dilakukan ektraksi katarak, baik secara EKEK maupun EKIK
disertai dengan pemberian IOL (Intra Okuler Lensa). Untuk pterygium
dilakukan ekstraksi pterygium.
VIII. PROGNOSIS
OKULI DEKSTRA (OD)
Quo Ad Visam:
Dubia ad malam
Quo Ad Sanam
:
Dubia ad bonam
Quo Ad Kosmetikam :
Dubia ad bonam
Quo Ad Vitam
:
Dubia ad bonam
OKULI SINISTRA(OS)
Dubia ad malam
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
Saran:
-
Lindungi mata dari debu dan sinar matahari langsung dengan menggunakan
kacamata berwarna gelap
TINJAUAN PUSTAKA
KATARAK
A. DEFINISI
Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya jernih dan
bening menjadi keruh. Katarak berasal dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air
terjun. Asal kata ini mungkin sekali karena pasien katarak seakan-akan melihat
sesuatu seperti tertutup oleh air terjun di depan matanya. Seorang dengan katarak akan
melihat benda seperti ditutupi kabut. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada
lensa yang terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa,
atau keduanya (Ilyas, 2009).
B. KLASIFIKASI KATARAK
Berdasarkan waktu perkembangannya
katarak
diklasifikasikan
menjadi
1.
Stadium insipien. Stadium yang paling dini, yang belum menimbulkan gangguan
visus. Kekeruhan terutama terdapat pada bagian perifer berupa bercak-bercak seperti
baji (jari-jari roda),terutama mengenai korteks anterior, sedangkan aksis relatif masih
2.
jernih. Gambaran ini disebut spokes of a wheel yang nyata bila pupil dilebarkan.
Stadium imatur. Kekeruhan belum mengenai seluruh lapisan lensa. Kekeruhan
terutama terdapat di bagian posterior dan bagian belakang nukleus lensa. Kalau tidak
ada kekeruhan di lensa, maka inar dapat masuk ke dalam mata tanpa ada yang
dipantulkan. Oleh karena kekeruhan dibagian posterior lensa, maka sinar oblik yang
mengenai bagian yang keruh ini akan dipantulkan lagi, sehingga pada pemeriksaan,
terlihat di pupil ada daerah yang terang sebagai refleks pemantulan cahaya pada
daerah lensa yang keruh dan daerah yang gelap,akibat bayangan iris pada lensa yang
keruh. Keadaan ini disebut shadow test (+)
3. Stadium matur . Pada stadium ini lensa telah menjadi keruh seluruhnya,
sehingga semua sinar yangmelalui pupil dipantulkan kembali di permukaan
anterior lensa. Tak ada bayangan iris. Shadow test (-). Di pupil tampak lensa yang
seperti mutiara. Shadow test membedakan stadium matur dari imatur, dengan syarat
harus diperiksa lebih lanjut dengan midriatika,oleh karena pada katarak polaris
anterior juga terdapat shadow test (-), karena kekeruhan terletak di daerah pupil.
Dengan melebarkan pupil, akan tampak bahwa kekeruhan hanya terdapat pada
daerah
pupil
saja.
Kadang-kadang,
walaupun
masih
stadium
imatur,
dengankoreksi, visus tetap buruk, hanya dapat menghitung jari, bahkan dapat
lebih buruk lagi1/300 atau satu per tak hingga, hanya ada persepsi cahaya,
walaupun lensanya belumkeruh seluruhnya. Keadaan ini disebut vera matur.
4.
Stadium hipermatur. Korteks lensa yang konsistensinya seperti bubur telah mencair,
sehingga nukleus lensa turun oleh karena daya beratnya ke bawah. Melalui pupil,
pada daerah yang keruh, nukleus ini terbayang sebagai setengah lingkaran di bagian
bawah, dengan warna yang lain daripada bagian yang diatasnya, yaitu kecoklatan.
Pada stadium ini juga terjadikerusakan kapsul lensa, yang menjadi lebih permeabel,
sehingga isi korteks yang cair dapat keluar dan lensa menjadi kempis, yang di
bawahnya terdapat nukleus lensa. Keadaan ini disebut katarak Morgagni.
Pada perjalanan dari stadium I ke stadium IV, dapat timbul suatu keadaan yang
disebut intumesensi yaitu penyerapan cairan bilik mata depan oleh lensa sehingga
lensamenjadi cembung dan iris terdorong ke depan, bilik mata depan menjadi
dangkal. Hal ini tidak selalu terjadi.Pada umumnya terjadi pada stadium II.
Selain itu terdapat jenis katarak lain :
Katarak rubella :
Katarak Brunesen
Katarak yang berwarna coklat sampai hitam, terutama pada nucleus lensa
Dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus dan myopia tinggi.
Katarak Komplikata :
Katarak akibat penyakit mata lain seperti radang dan proses degenerasi.
Mempunyai tanda khusus yaitu selamanya dimulai di korteks atau dibawah kapsul
Katarak Diabetik :
Katarak Sekunder
Adanya cincin Soemmering (akibat kapsul pesterior yang pecah) dan
Mutiara Elsching (epitel subkapsular yang berproliferasi)
Katarak Traumatika
Dapat terjadi akibat trauma mekanik, agen-agen fisik (radiasi, aruslistrik, panas dan
dingin)
(Ilyas, 2009)
C. PATOFISIOLOGI
Lensa mengandung tiga komponen anatomis yaitu :
Nukleus zone sentral
Korteks perifer
Kapsul anterior dan posterior
Sebagian besar katarak terjadi karena suatu perubahan fisik dan perubahan kimia
pada protein lensa mata yang mengakibatkan lensa mata menjadi keruh.Perubahan
fisik (perubahan pada serabut halus multiple (zonula) yang memanjang dari badan
silier ke sekitar lensa) menyebabkan hilangnya transparansi lensa.
Perubahan kimia pada protein inti lensa mengakibatkan pigmentasi progresif
sehingga nukleus menjadi kuning atau kecokelatan juga terjadi penurunan konsentrasi
glutation dan kalium, peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium serta peningkatan
hidrasi lensa. Perubahan ini dapat terjadi karena meningkatnya usia sehingga terjadi
penurunan enzim yang menyebabkan proses degenerasi pada lensa.
Penyebab pada katarak senilis belum diketahui pasti, namun diduga terjadi karena:
a. Proses pada nukleus
Oleh karena serabut-serabut yang terbentuk lebih dahulu selalu terdorong ke
arah tengah, maka serabut-serabut lensa bagian tengah menjadi lebih padat
(nukleus), mengalami dehidrasi, penimbunan ion kalsium dan sklerosis. Pada
nukleus ini kemudian terjadi penimbunan pigmen. Pada keadaan ini lensa
menjadi lebih hipermetrop. Lama kelamaan nukleus lensa yang pada mulanya
berwarna putih menjadi kekuning-kuningan, lalu menjadi coklat dan kemudian
menjadi kehitam-hitaman. Karena itulah dinamakan katarak brunesen atau
katarak nigra.
b. Proses pada korteks
2. Oklusi pupil
3. Ablasi retina
4. Retinoblastoma
(Wijana, 1983)
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk katarak adalah pembedahan (operasi).Medikamentosa
diberikan dengan tujuan mengatasi gejala yang ditimbulkan oleh penyulit misalnya,
silau maka pasien dapat menggunakan kacamata.Untuk mengurangi inflamasi dapat
diberikan steroid ringan. Dapat pula dianjurkan diet dengan gizi yang seimbang,
suplementasi vitamin A,C,E, serta antioksidan lainnya dengan dosis yang tepat dapat
membantu memperlambat progresifitas katarak.
Ekstraksi katarak adalah cara pembedahan dengan mengangkat lensa yang
katarak. Dapat dilakukan dengan intrakapsular yaitu mengeluarkan lensa dengan isi
kapsul lensa atau ekstrakapsular yaitu mengeluarkan isi lensa (korteks dan nucleus)
melalui kapsul anterior yang dirobek dengan meninggalkan kapsul posterior.
a. Operasi katarak ekstrakapsular atau ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK)
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa
dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan
korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut. Pembedahan ini dilakukan pada
pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti,
implantasi lensa intra okular, kemungkinan akan dilakukan bedah gloukoma, mata
dengan presdiposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata
mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid makular edema, pasca bedah ablasi,
untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps
badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadi
katarak sekunder.
Tindakan ekstraksi katarak ekstrakapsuler yang terencana dilakukan apabila:
1. Kita ragu apakah nukleus lentis sudah terbentuk atau belum.
2. Kita mengira badan kaca mencair, misalnya pada miopia tinggi, setelah
menderita uveitis.
3. Telah terjadi perlengketan luas antara iris dan lensa.
4. Pada operasi mata yang lainnya, telah terjadi ablasi atau prolaps badan kaca.
5. Setelah operasi mata yang lainnya, timbul penempelan badan kaca pada
kornea yang menyebabkan distrofi kornea.
6. Terkandung maksud untuk memasang lensa intraokuler buatan.
b. Operasi katarak intrakapsular atau ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK)
dan
subluksasi
sering
ditemukan
bersamaan
dengan
katarak traumatic.
Komplikasi lain yang dapat berhubungan, seperti blok pupil,glaukoma sudut
tertutup,
uveitis,retinal
detachment ,
rupture
koroid,
hifema,perdarahan
PTERYGIUM
A. DEFINISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygium akan berwarna merah. Pterygium dapat mengenai kedua mata (Ilyas,
2009).
Pterygium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan
penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke arah puncak Pterygium. Kebanyakan Pterygium ditemukan di bagian
nasal, dan bilateral. Pada kornea penjalaran Pterygium mengakibatkan kerusakan
epitel kornea dan membran Bowman (Perdami, 2002).
B. EPIDEMIOLOGI
Umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun pada daerah yang beriklim
tropis. Di seluruh dunia, terdapat penurunan insidensi pada daerah bagian atas
lintang utara dan relatif terjadi peningkatan di bawah garis lintang utara.
Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat yaitu
daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah
garis lintang utara ini (Juliansyah, 2009).
C. ETIOLOGI
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi (Ilyas, 2009).
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
Usia
Prevalensi Pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa, tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak
(Hamurwono et al., 1984). Tan berpendapat Pterygium terbanyak pada usia 2
dekade dua dan tiga (Tan, 2002). Di RSUD AA tahun 2003-2005 didapatkan
usia terbanyak 31 40 tahun, yaitu 27,20%.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan Pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV (Raihana, 2007).
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari Pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian Pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 30 memiliki risiko penderita Pterygium 36 kali lebih
besar dibandingkan daerah yang lebih selatan (Tan, 2002).
Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan (Hamurwono
et al., 1984).
Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan (Tan, 2002).
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
Pterygium(Tan, 2002).
7. Faktor risiko lainnya
E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen
dan proliferasi jaringan fibrovaskular pada stroma subepitel yang tervaskularisasi,
dengan permukaan yang menutupi epitelium. Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila diberi pewarnaan
dengan hematoksilin dan eosin. Jaringan ini juga dapat diwarnai dengan pewarna
jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya oleh karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Juliansyah, 2009).
F. KLASIFIKASI DAN GRADE
Klasfikasi Pterygium:
1. Pterygium simpleks
: jika terjadi hanya di bagian nasal atau temporal
saja.
2. Pterygium dupleks
2.
J. PENATALAKSANAAN
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih
muda. Bila Pterygium
dekongestan.
Pengobatan Pterygium
Setelah Pterygium diambil lalu digraft dari amnion atau selaput mukosa
mulut atau konjungtiva bulbi pars superior.
Dengan teknik amnion graft ini tingkat rekurensi kasus Pterygium dapat
ditekan sebesar sekitar 5%.
thrombin yang telah terbentuk ini bersifat jernih seperti air dan disimpan
dalam keadaan beku dengan suhu -200oC untuk mempertahankan
konsistensi dan dapat digunakan hingga 1 bulan.
Sebelum digunakan, fibrinogen dan thrombin dikeluarkan dari suhu dingin
dan dihangatkan pada suhu kamar.
Teknik operasi:
i. Mata yang sakit dianestesi dengan propacaine HCl.
ii. Mata dan alat dipersiapkan dengan steril.
iii. Mata dibuka dengan spekulum.
iv. Suntikkan solutio lidocaine-epinefrin ke dalam Pterygium untuk
mengembangkan konjungtiva untuk memperlihatkan area yang
akan dilakukan graftt agar dapat dipisahkan dari capsula Tenon.
v. Dilakukan pembebasan tumpul dan tajam untuk melepaskan sklera
dan konjungtiva sekitarnya sehingga sklera terbuka.
vi. Graft donor dari limbus superior dieksisi sepanjang 1 mm dengan
conjungtiva forseps dan gunting vannas.
vii. Konjungtiva dipisahkan dari capsula Tenon secara hari-hati dengan
manipulasi minimal.
viii. Graft yang telah diseksi diletakkan terbalik di atas kornea pasien
dan dijaga agar tetap lembab.
ix. Cairan fibrinogen diteteskan pada sklera yang telanjang dan
diratakan dengan jarum kanula.
x. Cairan thrombin dioleskan pada graft donor yang diletakkan
terbalik pada kornea pasien.
xi. Dengan 2 forseps McPherson, graft donor dibalikkan dari kornea
untuk menutup sklera yang telah diteteskan fibrinogen. Fibrinogen
dan thrombin akan membentuk lem alami.
xii. Setelah proses pengeringan selama 5 menit, tepi graft yang tidak
rata akan diratakan dengan gunting vannas.
xiii. Oleskan Neomycin Sulfat/Polymixin B Sulfat/Dexamethasone zalf
pada mata yang dioperasi dan pasang eye patch selama 24 jam.
xiv. Teteskan Prednisone Asetat 1% dan Levofloxacine 0,5% pada mata
yang dioperasi 4x/hari selama 1 bulan untuk maintenance.
Keunggulan teknik operasi dengan fibrin glue untuk Pterygium yaitu
mengurangi waktu operasi, fotofobia, sensasi benda asing, iritasi, epifora, gatal,
hiperemis lokal, konjungtiva kemosis, mata kering, dan kesakitan pasien. Sampai
saat ini belum ditemukan komplikasi pada teknik operasi dengan fibrin glue,
tetapi masih terus dilakukan evaluasi untuk menilai tingkat rekurensi dan
kemungkinan komplikasi jangka panjang.
tetapi bukan merupakan pilihan pertama karena dapat menyebabkan masalah lain
dalam jangka waktu yang panjang ke depan.
Setelah dilakukan operasi pengangkatan Pterygium, penderita disarankan untuk:
a. Setelah pengangkatan mata pasien dapat terasa sangat sakit dalam jangka
waktu 3-4 hari, maka mungkin diperlukan obat penahan rasa sakit.
Sedangkan pada hari pertama dapat diberikan obat hipnotik sedatif.
Kompres dingin juga dapat diberikan untuk mengurangi rasa sakit pada
hari-hari awal setelah operasi.
b. Bekas jahitan mungkin akan terasa sedikit gatal, tapi hal ini akan
berkurang secara perlahan sampai hari kedua setelah operasi. Pasien juga
diberitahu untuk tidak mengucek-ucek matanya.
c. Mata pasien yang dioperasi akan terasa silau selama kurang lebih 1
minggu, maka disarankan untuk menggunakan kacamata hitam untuk
mengurangi rasa silau.
d. Gunakan tetes mata atau salep mata untuk mengurangi peradangan dan
untuk mencegah infeksi pada luka setelah operasi. Setelah mata terasa
lebih baik maka tetes mata dapat dihentikan.
Refleks koklear
Refleks sinar
Refleks orbikular
Refleks trigeminus
Refleks psikosensorik
Refleks vagotonik
Refleks vestibular
Refleks okulopupil
Refleks dekat
3. Pemeriksaan Lensa
- Shadow test : semakin keruh lensa semakin besar bayangan iris pada lensa
4. Pemeriksaan Retina dan Makula
- Uji proyeksi sinar : untuk mengetahui keadaan retina perifer pasien
- Adaptasi gelap : untuk menilai fungsi sel batang retina pada pasien dengan
keluhan buta senja
Amsler grid : untuk melihat adanya kelainan makula yang akan mengganggu
berfungsi baik
Uji diskriminasi 2 sinar : untuk meramalkan prognosa tajam penglihatan pasien
Daftar Pustaka
Hamurwono, G.D., Nainggolan, S.H. 1984. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan
Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas
Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. 14-17
Ilyas, H.S. 2009.Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
Ilyas, H.S. 2009.Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2.Sagung seto. Jakarta
Kim, H.H, Mun, H.J. 2008. Conjunctivolimbal Autograft Using a Fibrin Adhesive in
Pterygium
Surgery.
Dalam:
Juli 2011.
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI). 2006. Editor Tahjono. Dalam
panduan manajermen klinik PERDAMI. CV Ondo Jakarta
Raihana. 2007.Karakteristik penderita pterygium dipoliklinik mata RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru Periode Januari 2003 Desember 2005. Pekanbaru ; FK UNRI.
Tan, D.T.H.2002. Ocular Surface Diseases Medical and Surgical Management. New York:
Springer. 65 83
Vaughan, D.G., 2009, Oftalmologi Umum, Widya Medika: Jakarta.
Wijana, N., 1983, Ilmu Penyakit Mata, Jakarta