Merekayasa merupakan terjemahan dari to engineer yang dapat diartikan sebagai suatu
aktifitas memberi intervensi pada suatu proses secara cerdas, agar response dari sytem
tersebut dapat menghasilkan sesuai dengan yang kita inginkan. Agar intervensi ini efektif
maka kita harus mengenal proses yang terjadi dalam sistem harus kita kenali. Proses
dalam rekayasa sipil biasanya dinyatakan dalam proses satuan matematika.
1.2. PENGETAHUAN DASAR MATEMATIKA DAN FISIKA DASAR YANG TERKAIT
1.2.1. Interpretasi Fisik Diferensial.
Bila suatu variabel p merupakan fungsi dari variabel x sehingga p=f(x), maka bentuk
diferensial atau turunannya secara matematis didefinisikan sebagai
dp
p( x x) p( x)
lim
0
dx
x
Dengan mensubstitusikan p p( x x) p( x) , maka definisi ini juga akan dituliskan
secara lebih singkat sebagai
dp
p
lim
0
dx
x
Bila p dipandang sebagai sisi tegak dari segi tiga ABC (Gambar 1-1) dan x sebagai
sisi mendatarnya, maka bentuk p / x adalah juga tangen sudut ABC. Jadi, interpretasi
geometris dari dp/dx adalah besarnya harga diferensial atau turunan di suatu titik
merepresentasikan besarnya kemiringan kurva di titik tersebut.
Perlu ditekankan bahwa, penulisan dp/dx secara implisit menyatakan bahwa p=f(x) yang
artinya; bila x dirubah maka p akan turut berubah, dan perubahan p tidak dipengaruhi
variabel apapun selain variabel x. Apabila p bukan hanya merupakan fungsi x saja, tetapi
juga fungsi variabel y misalnya sehingga p=f(x,y), maka penulisan dp/dx tidak memiliki
arti apapun. Untuk kasus ini bentuk turunan hanya dapat dituliskan sebagai
p
p
dx dy
x
y
p ( x x, y ) p ( x, y )
lim
x 0
x
p ( x, y y ) p ( x, y )
lim
y 0
y
dp
dimana
dan
p
x
p
y
[1-1]
Disini terlihat bahwa turunan parsial (parsial dalam pengertian only a part of it) p/x
adalah kemiringan bidang f(x,y) pada arah sumbu x dan p/y pada arah sumbu y.
Interpretasi geometris dari persamaan [1-1] dapat dilihat pada Gambar 1-2. Disini terlihat
bahwa dp adalah beda p di titik (x+x, y+y) dengan p di (x,y) atau
dp= p(x+x, y+y) - p(x,y).
dp p( x x, y y ) p( x, y y )
p( x, y y) p( x, y)
[1-2]
Sementara
p
dx p( x x, y y) p( x, y y)
x
p
dy p( x, y y) p( x, y)
y
dan
[1-3a]
[1-3b]
sehingga jelas bahwa (p/x)dx adalah laju perubahan p pada arah x sepanjang dx yang
tentunya juga adalah beda p di titik (x+x, y+y) dengan p di (x, y+y). Untuk
(p/y)dy interpretasinya analog.
Contoh pemakaian notasi ini adalah sebagai berikut. Bila tekanan p berubah-ubah
menurut ruang dan waktu sehingga p(x, y, z, t), dan tekanan dititik A pada saat t adalah
pA, maka tekanan di titik A setelah selang waktu sebesar dt umumnya dituliskan sebagai
pA
p
dt .
t
Seiring dengan pengertian ini, bila tekanan di A adalah pA, maka pada saat yang sama,
tekanan di titik B yang letaknya sejauh dx dari A (sedangkan koordinat y dan z -nya
sama) dapat dituliskan secara umum sebagai
pB pA
p
dx .
x
p dx x 0
lim
p( xi ) x
yang secara geometrisnya integral ini diinterpretasikaan sebagai total luas dari luas
keping-keping p(xi) x. Penting diperhatikan disini bahwa bila dituliskan p dx , maka p
paling tidak adalah fungsi x.
Penulisan
p( x) d atau p( x) d itu,
Sys
CV
volume sistem dan CV melambangkan seluruh ruang yang ditetapkan sebagai control
volume serta dengan anggapan bila volume d dx dy dz , artinya akan sama dengan
p( x, y, z ) d p( x, y, z )
CV
dx dy dz
p( x) dA p( x) dx dy
ASCV
a a1 i a 2 j a 3 k
dimana a1, a2, a3 adalah besar (magnitude) unit vektor a pada sumbu x, y, dan z.
Sedangkan panjang vektor akan dituliskan sebagai a dimana:
a a12 a 22 a 32
Properti aljabar dari besaran vektor adalah aturan matematis yang berkaitan dengan
operasi penambahan serta pengalian besaran-besaran vektor, baik operasi yang
mempengaruhi besar (value) maupun arah dari vektor yang dihasilkan. Materi aljabar
vektor dapat dibaca pada pelajaran Aljabar Linier untuk tingkat Sekolah Menengah
maupun semester awal Strata 1 dan tidak akan diulang kembali.
Beberapa kaidah dasar aljabar vektor yang penting adalah sebagai berikut:
1. Penjumlahan
a b a1 b1 i a 2 b2 j a3 b3 k
a b ba
a b c a c b
a0a
a ( a ) 0
2. Perkalian
a. Perkalian antara skalar dengan vektor
ca c a1i c a 2 j c a 3 k
c d a ca da
cd a c( d )a d ( c )a
1a a
0a 0
a b a b cos
a a a
a b ba
2
a b c a b c
a (b c ) a b a c
0a 0
c. Perkalian vektor (vector product atau cross product) antar vektor
i
j
a b a1 a 2
b1 b2
a b b a
k
a
a3 2
b2
b3
a3
a a3
a a2
i 1
j 1
k
b3
b1 b3
b1 b2
ca b ca b a cb
a b c a c b c
c a b c a c b
a b c a b c
a b a b sin
a b a b a b
2
Disini tidak dipermasalahkan besarnya yang boleh dipakai. Padahal apabila benda yang
dipermasalahkan tidak murni homogen, maka pengambilan yang berbeda akan
menghasilkan yang berbeda pula. Dengan demikian perumusan yang lebih akurat
adalah
lim m
0
dm
atau
Meskipun bentuk perumusan ini lebih akurat, tetapi bila diterapkan pada tingkat kajian
makroskopis (dan bukan pada tingkat mikroskopis) sebagaimana layaknya ilmu-ilmu
praktis lainnya, masih akan mengandung kontradiksi. Bila diambil sekecil mungkin
untuk memenuhi syarat limit, maka volume yang kecil ini mungkin hanya akan
mencakup satu atom dari benda tersebut atau hanya melulu terdiri dari rongga pori.
Selanjutnya besarnya massa m dari (1) atom ini, (2) udara dalam rongga pori, dan (3)
benda yang bersangkutan tentunya akan berbeda-beda. Dengan demikian bila sangat
kecil maka fungsi hubungan m=f() tidak lagi kontinyu (kurvanya akan banyak
mengandung discontinuity, lihat Gambar 1-2). Sementara pada titik dimana terjadi
discontinuity, harga turunan tidak akan terdefinisi.
Berangkat dari kenyataan ini, konsep continuum mechanic melakukan pembatasan
sedemikian rupa sehingga limit dibatasi pada rentang dimana fungsi-fungsi kurva besaran
fisika tidak mengandung discontinuity.
1.2.5. Gerak Translasi.
Bila s adalah vektor yang titik tangkapnya terletak pada origin O(0,0) dan mata panahnya
menunjukkan letak materi pada waktu t, maka kecepatan v didefinisikan sebagai
perubahan s menurut t, sehingga;
v( t )
lim s( t t ) s( t )
ds( t )
t 0
dt
t
Dalam rumusan ini telah disubstitusikan kenyataan bahwa s=0 pada t=0. Percepatan a
didefinisikan sebagai
a( t )
lim v( t t ) v( t )
dv( t )
t 0
dt
t
dv( t ) a dt
v( t ) t 0 a dt
t
v( t ) v 0 a t t 0
v( t ) v 0 a t
Bila persamaan terakhir disubstitusikan kedalam persamaan s akan didapatkan
s( t ) v 0 a t dt
v 0 dt a t dt
v 0 t 12 a t 2
Kenyataan akan terjadinya penjumlahan vektor dan perkalian skalar pada rumusan ini
dapat diteliti pada contoh beikut ini.
Contoh 1: Sebuah bola dilontarkan dengan kecepatan 30 m/dt kearah z, 20 m/dt kearah
x. Angin berhembus pada arah y dengan kecepatan 1 m/dt. Bila bola
mengalami percepatan oleh angin sebesar 2 m/dt2 dan oleh gravitasi sebesar
10 m/dt2, dimana letak bola pada t=4 dt ?.
Jawab: Kecepatan awal yang dialami bola adalah v0= 20i + 1j + 30k, sedangkan
percepatannya adalah a= 0i + 2j - 10k, dengan demikian;
s = 4 (20i + 1j + 30k) + 0.5 (0i + 2j - 10k) 42
= (80i + 4j + 120k) + (80i + 16j - 80k)
= (160i + 20j + 40k)
Bila posisi ini dituliskan menurut koordinat kartesian, letak bola adalah di
titik (160, 20, 40)
Apabila a adalah vektor yang berubah menurut waktu maka rumusan diatas tidak berlaku.
Apabila v(x,y,z,t) maka
dv
v
v
v
v
dx dy dz dt
x
y
z
t
sehingga percepatan
dv(t )
dt
v dx v dy v dz v dt
x dt y dt z dt t dt
v
v
v
v
vx
vy
vz
x
y
z
t
bila a dinyatakan dalam a = ax i + ay j az k, maka
a(t )
v x
v
v
v
vx x v y x vz x
x
y
z
t
v y
v y
v y
v y
ay
vx
vy
vz
x
y
z
t
v
v
v
v
az z v x z v y z vz z
x
y
z
t
ax
Perhatikan bahwa, M adalah hasil kali antara besaran skalar m dengan besaran vektor v,
dengan demikian M adalah besaran vektor. Meskipun m umumnya dianggap konstan
terhadap waktu, tetapi karena v tergantung dari t, akibatnya M juga tergantung dari t.
lim M( t t ) M( t )
dM( t )
t 0
dt
t
Dari definisi ini terlihat bahwa, karena F adalah perkalian besaran vektor M dengan
besaran skalar (inverse dari t) maka jelas bahwa F adalah besaran vektor. Dari definisi ini
pula dapat diturunkan hukum Newton II;
dM ( t )
dt
d m V ( t )
dt
dV ( t )
m
dt
m a
F( t )
Contoh 1: Berapa besar gaya yang dialami suatu benda dengan m=100 N bila
mengalami percepatan sebesar 30 m/dt2 kearah z, 20 m/dt2 kearah x didalam
medan gravitasi bumi ?.
Jawab: percepatan yang dialami benda tersebut adalah a= 20i + 30j - 10k, dengan
demikian;
F = 100 (20i + 30j - 10k)
= 2000i + 3000j - 1000k) N
yang bila dituliskan dalam bentuk komponennya menjadi Fx=2000 N,
Fy=3000 N, dan Fz=-1000 N. Besarnya (magnitude) dari resultan gaya ini
adalah F 2000 2 3000 2 ( 1000) 2
W F ds
Meskipun baik F maupun s adalah besaran vektor, tetapi W adalah besaran skalar. Bila F
konstan sepanjang ds, maka integral dari perkalian skalar diatas dapat ditulis sebagai
W F s cos
Didalam keseharian, perumusan terakhir kerja W ini dikemukakan sebagai hasil kali s
dengan komponen F yang sejajar s.
Kenyataan bahwa kerja adalah bentuk lain dari energi dapat dilihat dari ilustrasi berikut
ini. Untuk tidak menambah kerumitan, tinjauan akan dilakukan untuk situasi dimana F
sejajar s. Karena F ma dan s vt 12 at 2 , maka
W F ds
m a v t 12 a t 2
m v a t ma t
1
2
m v v 12 mv
12 mv2
Disini terlihat bahwa kerja dapat dikonversikan menjadi energi kinetis ( 12 mv 2 ).
Selanjutnya, bila gaya yang memindahkan suatu benda kearah vertikal sejauh h adalah
gaya akibat percepatan gravitasi, maka kerja yang ditimbukan adalah:
W F ds
mgh
Jadi kerja yang dihasilkan akan sama dengan besarnya energi potensial yang dilepaskan.
1.2.7. Tekanan.
Secara umum tekanan didefinisikan sebagai besarnya gaya persatuan luas sehingga secara
matematik dituliskan sebagai:
lim F
A 0 A
Tekanan dalam pengertian istilah stress () adalah tekanan yang diakibatkan oleh
komponen gaya F pada arah normal, sedangakn shear () adalah yang diakibatkan oleh
komponen tangensialnya. Dengan demikian;
lim F n
A 0 A
lim F s
A 0 A
Dimana n dan s masing-masing adalah unit vektor pada arah normal dan tangensial
terhadap permukaan benda dimana gaya F bekerja.
Untuk kasus tekanan benda gas, gaya F adalah gaya yang ditimbulkan oleh benturan
molekul-molekul gas tersebut pada permukaan dimana tekanan tersebut diukur. Tekanan
gas akan naik dan turun selaras dengan bertambah atau berkurangnya jumlah molekul gas
yang terdapat di dalam ruang termaksud.
Contoh Pemakaian dalam formulasi advance engineering:
If we assume that a pressure p exists at the center of this element, the pressures at
each of the sides of an infinitesimal box of control volume can be expressed by
using the chain rule from calculus with p(x, y, z):
If we move from the center to a face a distance (dx/2) away, we see that the
pressure is
The pressures at all faces are expressed in this manner, as shown in Gambar
above.
d d 2 w
M
2
dx dx
EI
d 2 d 2 w d dw
EI 2 N
q
dx 2
dx dx dx
x 4
x 2 y 2 x 4
dimana
= putaran sudut
w = lendutan
M
N
q
x, y
E
EI
= momen
= gaya axial
= beban latral terbagi rata
= sumbu-sumbu horisontal
= modulus elastisitas
= kekakuan
= ketebalan plat
= Poisson's ratio
Eh 3
12 1 2
Saluran terbuka
1. Kekalan massa pada
y
V
y y
V
0
x
x t
2. Kekalan momentum
y V V 1 V
So Sf
x g x g t
Contaminant Transport
2C 2C 2C
C
C
C
C
u
v
w
D 2 2 2
t
x
y
z
y
z
x
M ( x) dx N ( y) dy C 0
Contoh
1. Cari solusi dari 9 yy'4 x 0
Soal ini dapat dituliskan menjadi
dy
4x 0
dx
9 y dy 4 x dx 0
9y
9 y dy 4 x dx 0
9
2
y 2 2x 2 C 0
2. Cari solusi umum dari ODE derajad satu yang linear dan homogenous y ' M ( x ) y 0
ini.
Soal ini dapat dituliskan menjadi
1
dy M ( x ) dx 0
y
sehingga
1
y dy M ( x) dx 0
ln( y ) M ( x ) dx c
ye
M ( x ) dx c
e c e M ( x ) dx
ec
e M ( x ) dx
C
M ( x ) dx
e
dx dy 0
y
x
Solusi:
Definisikan u sebagai u=y/x, maka y=ux dan y' = u + xu'. Bila ini disubstitusikan kedalam
M xy dx dy 0 , yang dapat dituliskan sebagai y ' M xy , akan menghasilkan
M (u ) u xu' atau ditulis ulang sehingga jelas berbentuk separable sebagai berikut:
1
1
dx
du 0
x
u M (u )
Contoh:
Carilah solusi dari 2 xyy' y 2 x 2 0
Bila persamaan yang dipersoalkan dibagi dengan x2 akan menghasilkan
2
y dy y
2 1 0
x dx x
atau
y 2
1
x
y dx dy 0
2
x
u2 1
dan solusi bisa didapatkan melalui
2u
1
du 0
u2 1
u
2u
dan selanjutnya
1
2u
du 0
1
ln( x ) ln( u 2 1) C 0
x dx u
ln( u 2 1) ln( x ) C
c
u2 1
x
2
y
c
1
x2 x
y cx x 2
M N
y
x
Keterangan:
Apabila M x, y dx N ( x, y ) dy 0 adalah exact maka ada suatu fungsi u(x,y) sedemikian
rupa sehingga du M x, y dx N ( x, y ) dy . Selanjutnya, karena du
u
u
dx dy , maka
x
y
u
x
u
N ( x, y )
y
M ( x, y )
[C.1a]
[C.1b]
M ( x, y ) 2u
y
x y
N ( x, y ) 2u
x
x y
sehingga
M N
y
x
[C.2]
u M ( x, y ) x C ( y )
[C.3]
C ( y )
M ( x, y ) x
y
y
atau
C ( y )
N ( x, y )
M ( x, y ) x
y
y
dan
C ( y ) N ( x, y )
M ( x, y ) x y c
[C.4]
Hasil integrasi dC ini menghasilkan bilangan konstan c yang tidak mungkin mengandung
variabel x maupun y. Kali ini bilangan konstan ini Bila persamaan terakhir ini
disubstitusikan kembali ke [C.3] akan didapatkan:
u M ( x, y ) x N ( x, y )
M ( x, y ) x y c
[C.5]
y
[C.6]
M ( x, y ) x N ( x, y ) y M ( x, y ) x y c konstan
M ( x, y ) x N ( x, y ) y M ( x, y ) x y konstan - c
sehingga
M ( x, y ) x N ( x, y ) y M ( x, y ) x y C
[C.7]
Contoh:
1. Apakah sin y dx ( x cos y 2 y ) dy 0 exact ?
Dari soal diatas didapat M ( x, y ) sin y dan N ( x, y ) ( x cos y 2 y ) sehingga
M
N
cos y . Jadi persamaan yang dipersoalkan terbukti memenuhi
cos y dan
x
y
sin y dx
u M dx
x sin y C ( y )
x sin y C ( y ) x cos y 2 y
y
C ( y )
x cos y
x cos y 2 y
y
C ( y )
2 y
y
y
x
atau
M
F
M
F
N
F
N
F
y
y
x
x
[D.2]
Bila integrating factor dipilih agar hanya merupakan fungsi x saja sehingga integrating
factor adalah F(x), maka [D.2] menjadi
F
M
F
N
N
F
y
x
x
atau
M N
F
y
x
F
x
N
1
y
x
F
x
F
N
M N
1
y
x
F
x
F
N
M N
y
x
ln F
x
N
M
dan M y
maka
x
y
M y N x
dx
N
M y Nx
N
[D.3]
haruslah hanya merupakan fungsi x agar integrating
factor F yang dihasilkan benar-benar F(x). Bila hal ini tidak terpenuhi dicari jalan lain
yaitu dengan mencari integrating factor yang F(y) saja. Dengan penurunan yang analog
akan didapatkan
F ( y) e
M y Nx
dy
M
[D.4]
Solusi:
Apabila M x, y dx N ( x, y ) dy 0 tidak exact, maka berdasarkan [D.1] dan [D.3],
persamaan
e
N x M x
dx
M x, y dx e
N x M x
dx
N ( x, y ) dy 0
[D.5]
atau
e
M y Nx
dy
M
M x, y dx e
M y Nx
dy
M
N ( x, y ) dy 0
[D.6]
adalah exact.
Contoh:
1. Apakah dx 3x e 2 y dy 0 exact ?
M y Nx
N
03
mengandung x dan y sehingga tidak mungkin
3x e 2 y
menghasilkan F(x).
Alternativenya dicari integrating factor yang merupakan fungsi y saja F(y).
M y Nx
M
03
3 yang tidak mengandung x, maka penerapan [D.4] menghasilkan
1
( 3) dy
F ( y) e
e3y
e 3 y dx 3xe 3 y e y dy 0
M y N x 3e 3 y
dy
N ( x ) y q( x )
dx
Solusi:
dy
N ( x ) y q( x ) dapat dituliskan menjadi N ( x ) y q( x ) dx dy 0 sehingga
dx
M y N x / N dx
e N ( x ) sehingga ODE yang
M N ( x ) y q( x ) dam N=1. Selanjutnya F ( x ) e
Bentuk
dipersoalkan menjadi
e N ( x ) N ( x ) y q( x ) dx e N ( x ) dy 0
Intro to Numerik
Numerical Differentiation
DEFINITION
f ( x )
df (x )
lim f ( x h) f (x )
h0
dx
h
3a 2
Numerical solution of this problem is basically based on simplification on the limit term
in such that value of h h rather than h 0 . It is logical, therefore, the smaller one
choose the value for h the closer the result to the true value (i.e. obtained by analytical
solution). Accordingly, one way to express numerical solution is as follows;
f ( x )
df ( x ) f ( x h ) f ( x )
dx
h
h x
or
f ( x )
df ( x ) f ( x x ) f ( x )
dx
x
TAYLOR SERIES
More flexible way to formulate derivative term numerically is based on Taylor series
expansion. Taylors theorem states that:
f ( x 0 x )
x 0
x1 d1f ( x 0 ) x 2 d 2 f ( x 0 ) x 3 d 3f ( x 0 )
f (x0 )
0!
1! dx1
2! dx 2
3! dx 3
x 4 d 4 f ( x 0 )
.....
4! dx 4
[1a]
or
f ( x 0 x )
x 0
x1 d1f ( x 0 ) x 2 d 2 f ( x 0 ) x 3 d 3f ( x 0 )
f (x0 )
0!
1! dx1
2! dx 2
3! dx 3
x 4 d 4 f ( x 0 )
.....
4! dx 4
[1b]
The above two series provide a mean to predict value of function f(x) at x0+x when
f(x0)
f(x0+x)
x0
x0+
x
f ( x 0 x, y 0 y ) f ( x 0 , y 0 )
x1 1f ( x 0 , y 0 ) y1 1f ( x 0 , y 0 )
1!
1!
x1
y1
x 2 2 f ( x 0 , y 0 ) y 2 2 f ( x 0 , y 0 )
2!
2!
x 2
y 2
x 3 3f ( x 0 , y 0 ) y 3 3f ( x 0 , y 0 ) x 4 4 f ( x 0 , y 0 )
.....
3!
3!
4!
x 3
y 3
x 4
[2]
y(11
. ) y(1 01
.)
y( x ) 01
. y ( x )
01
.2
01
.3
y ( x )
y ( x )
2
6
f ( x0 x ) f ( x0 ) x
df ( x0 )
truncation
dx
so that
df ( x0 ) f ( x0 x ) f ( x0 )
=
truncation
dx
x
or
df ( x0 ) f ( x0 x ) f ( x0 )
dx
x
Backward difference
f ( x0 x ) f (x0 ) x
df ( x0 )
truncation
dx
df ( x0 ) f ( x0 ) f ( x0 x )
dx
x
Central difference
df ( x0 )
truncation
dx
df ( x0 )
f ( x0 x ) f (x0 ) x
truncation
dx
df ( x0 )
f ( x0 x) f ( x0 x) 2x
dx
f ( x0 x ) f ( x0 ) x
so that
df ( x0 ) f ( x0 x) f ( x0 x)
dx
2x
B. Second derivative
Central difference
df ( x 0 ) x 2 d 2 f ( x 0 )
truncation
dx
2
dx
df ( x 0 ) x 2 d 2 f ( x 0 )
f ( x 0 x ) f ( x 0 ) x
truncation +
dx
2
dx 2
f ( x 0 x ) f ( x 0 ) x
f ( x0 x) f ( x0 x) 2f ( x0 ) x 2
d 2f ( x0 )
dx 2
so that
d 2f ( x0 ) f ( x0 x) 2f ( x0 ) + f ( x0 x)
dx 2
x 2
df ( x 0 ) x 2 d 2 f ( x 0 )
truncation
dx
2
dx
or
df ( x0 ) f ( x0 x ) f ( x0 ) x d 2 f ( x0 )
=
truncation
dx
x
2
dx
Substituting the second derivative term the result obtained in (B) above:
df ( x 0 ) f ( x 0 x ) f ( x 0 ) x f ( x 0 x ) 2f ( x 0 ) f ( x 0 x )
=
truncation
dx
x
x 2
f ( x 0 x ) f ( x 0 ) f ( x 0 x ) 2f ( x 0 ) f ( x 0 x )
truncation
x
2x
- f ( x 0 x ) 4f ( x 0 ) 3f ( x 0 x )
truncation
2x
or
df (x0 ) - f (x0 x ) 4f ( x0 ) 3f ( x0 x )
dx
2x
Numerical Integration
DEFINITION
lim
f ( x ) dx x 0 f (ui ) x
i 1
f(x)
f(xi)
f(ui)
x0=a
xi
xn=b
ui(xi,x)
Point ui is a point in x-axis choosen in such that the product of f(ui).x representing the
shaded area and this area should be regarded as the ith area which can be related to point
x i.
Alternative procedure to obtain solution of integral are:
1. Analitical approach;
a) Employing definition of integral
b) Deriving general form of an equation based on definition of integral to obtain
Integration Rule or Formula. For example based on derivation of antiderivative
of polinomial, it can be shown that;
a
ax b dx b 1 x b1
2. Numerical approach : most often the procedure is based on Interpolatory Numerical
Integration method
Find
lim
f ( x ) dx x 0 f (ui ) x
i 1
lim
f ( x) dx x 0 f ( x ) x
i
i 1
So that
f(x)
x0=a
xi
xn=b
lim
2
x
dx
( xi ) 2 x
x 0
i 1
The figure above shows that xi = a + i.x in which i=1,2,3,...n in such that x0=a, xn=b
and x= (a-b)/n. Subtituting these, one will get;
lim
2
2
x
dx
x 0 i 1 (a i x ) x
n
lim
x 0 (a 2 x 2 a i x 2 i 2 x 3 )
i 1
n
b a
b a
lim
2 b a
x 0 a 2
2 a i
i
n
n
n
i 1
2
Note that the term x has been eliminated from the equation so that thr term of x 0
becomes meaningless. On the otherhand, when the length of x decreases, the value of n
will increase. This means that n will be infinity as x becomes infinitesimal. Based on
this fact the above expression can be written as the following:
2
3
n
b a
lim 2 b a
2
2 b a
x
dx
n i 1
n
n
n
2
3
n
n
n
b a
b a
lim
lim
lim b a
2
n a 2
n
i
n
n i 1
i 1
n i 1
n i 1 a n a b a n ,
And since i = (n(n+1))/2 and i2 = (n(n+1)(2n+1))/6, the second and the third terms
become;
2
2
n
b a
b a n (n 1)
lim
lim
2
n
n i 1 n
n
2
a b2
2 a b2
a3
lim
n a b2
2 a b2
a3
n
n
n
a b2 2 a b2 a 3
and
3 n
3
lim b a
lim b a n ( n 1) ( 2n 1)
2
n n
n n
i 1
3
b3
b3
3a b 2 a b 2
3a 2 a 2 b a 3 a 3 a 3
lim b
2
n
2 a b2
2n
2n
3 2n 6n 2
2n 2
2n 2
3 2n 6n
1 3
1
b a b2 a 2 b a 3
3
3
Putting all the terms back together will result in the following:
x
a
1
1
dx a 2 (b a ) (a b 2 2a 2 b a 3 ) b 3 a b 2 a 2 b a 3
3
3
1
b a a 2 a b b 2
3
1
3 2 2 2 2 3 32
3
6.3333
dx
3 2
a
1
1
(3) 2 (2) 2
3
3
6.3333
NUMERICAL APPROACH
f ( x ) dx g( x ) dx
Where g(x) is a continues function that:
1. Satisfy f(x) at xi, in which i=1, 2, ..., n.
2. Relativelly easy to integrate.
Polynomials form is commonly used as g(x). Procedure:
1. Construct polynomials that pass through the given points. For example; use Lagrange
interpolating polynomials.
2. Integrate the obtained polynomials
n x x
g( x ) f ( x i )
j
j0 i
i0
ji
So that, for example, if n=2 then :
x x1 x x2 f (x ) x x0 x x2 f (x ) x x0 x x1 f (x )
g(x )
x0 x1 x0 x2 o x1 x0 x1 x2 1 x2 x0 x2 x1 2
n
And to construct g(x) that pass through points f(1)=0, f(2)=3, f(3)=16 then;
x 2 x 3
x 1 x 3 x 1 x 2
g(x )
0
3
16
1 2 1 3
2 1 2 3
3 1 3 2
5x 2 12x 7
f ( x ) dx
a
x x1 x x 2
x x0 x x2
x x0 x x1
x0 x1 x0 x2 f (xo ) x1 x0 x1 x2 f (x1 ) x2 x0 x2 x1 f (x2 ) dx
x2
x0
f (x0 )
f ( x1 )
f (x2 )
x2
x 2 x x1 x x2 x1 x2 dx
2h 2 x
0
x2
x 2 x x0 x x2 x0 x2 dx
h2 x
0
x2
x 2 x x0 x x1 x0 x1 dx
2h 2 x
0
h
f (x0 ) 4 f (x1 ) f (x2 )
3
f (x ) dx
a
x x1
x x0
x0 x1 f (xo ) x1 x0 f (x1 ) dx
x1
x0
f (xo )
h
x1
x x1 dx
x0
f ( x1 )
h
x1
x x0 dx
x0
x
x
f (xo ) 1 2
f ( x1 ) 1 2
1
1
x x x1
x x x0
x
x
h 2
h 2
0
f ( x o ) 1 2
1
f ( x1 ) 1 2
1
x1 x12 x 0 2 x 0 x1
x1 x 0 x1 x 0 2 x 0 2
2
h 2
h
2
f (xo ) 1 2
1
1
f ( x1 ) 1 2
x x 0 x1 x 0 2
x x 0 x1 x12
h 2 1
2
h 2 0
2
f (xo ) 1
f ( x1 ) 1
( x1 x 0 ) 2
( x1 x 0 ) 2
h
2
h
2
h
f ( x o ) f ( x o )
2
n
1
Points
2
Rules Name
Trapezoidal
Simpsons 1/3
Simpsons 3/8
Booles
Formula
f ( x0 ) f ( x1 )
(b a )
2
f ( x0 ) 4 f ( x1 ) f ( x2 )
(b a )
6
f ( x0 ) 3 f ( x1 ) 3 f ( x2 ) f ( x3 )
(b a )
8
7 f ( x0 ) 32 f ( x1 ) 12 f ( x2 ) 32 f ( x3 ) 7 f (x4 )
(b a )
90
19 f ( x0 ) 75 f ( x1 ) 50 f ( x2 ) 50 f ( x3 ) 75 f ( x4 ) 19 f ( x5 )
(b a )
288
OTHER APPROACH
1. Minimizing Trapezoidal rule error Ricradson Extrapolation, Romberg Integration
I j, k
4 k 1 I j 1, k 1 I j , k 1
4 k 1 1
2. Area Substitution Gauss Quadrature
1
1
Two-points I f f .
3
3
Three Points see pp 517-519
y
y(xi yi)=f(x,y)
y(xi yi)=f(x,y)
y(xi+x)
y(xi)
y=f(x)
Figure 1
y=f(x)
xi
Figure 2
xi
xi+x
Keep in mind that y=f(x, y) is an ODE but y=f(x) is not. Graphicaly, y=f(x, y) can be
plotted as shown in figure 1. Recall that numerical formulation for first derivative using
forward differnce is:
y ( xi x ) y ( xi )
y ( xi )
x
y ( xi x ) y ( xi ) y ( xi , yi ) x
Since, according to definition of ODE, y ( xi , yi ) f ( xi , yi ) then:
y( xi x) y( xi ) f ( xi , yi ) x
1 2 x y ( xi ) y ( xi ) 3
y ( xi ) 2 i
x
xi 3 y ( xi ) 2 xi 1
Therefore
y ( 2) 3
1 2 2 y ( 2) y ( 2) 3
y (2.1) y (2) 2
.
01
2 3 y ( 2) 2 2 1
1 2 2 3 33
3 2
.
01
2 3 32 2 1
2.933
1 2 2.1 y (2.1) y (2.1) 3
y (2.2) y (2.1)
.
01
2.12 3 y (2.1) 2 2.1 1
1 2 2.1 2.933 2.9333
2.933
.
01
2.12 3 2.9332 2.1 1
2.870
y (2.3) 2.809
A. Heuns Method
Lets denote y( xi ) yi and y( xi x ) yi x , then formulation of:
Predictor:
y i0 x y i f ( x i , y i ) x
Corrector:
1
yi+Dx
= yi +
0
f (xi , yi ) + f (xi + Dx, yi+Dx
)
Dx
2
Predictor:
i 12 x
yi f ( xi , yi )
x
2
Corrector:
y1i x y i f ( x i 12 x, y 0 1 ) x
i 2 x
Note:
xi + x
yi+x
yi + x.k
General form is yi+x = yi + .x where = average slope. Therefore, the three methods
presented so far are only different in the way they predict the average slope.
y=f(xi,yi)
x. f(xi,yi)
(xi,yi)
(xi,yi)
Euler
y=f(xix,yi+x)
y=f(xi,yi)
Heuns
y=f(xi,yi)
x. f(xi,yi)
x
(xi,yi)
y=f(xix,yi+x)
x. f(xi,yi)
x
Modified Euler
C. Runge-Kutta Method
General form of numerical ODE solution
yi x yi ( xi , yi , x ) x
Where
(x i ,y i ,x)=a1k1 a 2 k 2 a n k n
k1 f ( x i , y i )
k 2 f ( x i p1x, y i q11x k1 )
k3 f ( x i p2 x, y i q21x k1 q22 x k 2 )
k 4 f ( x i p3x, y i q31x k1 q32 x k 2 q33x k3 )
k n f ( x i pn 1x, y i qn 1,1x k1 qn 1, 2 x k 2 qn 1, n 1x k n 1 )
or
n 1
k n f x i pn 1x, y i x qn 1, j k j
j 1
[1]
[2]
f ( x i , y i )
f ( x i , y i )
y i a1x f ( x i , y i ) a 2 x f ( x i , y i ) p1x
q11k1x
x
y
f ( x i , y i )
f ( x i , y i )
a 2 q11k1x 2
x
y
Since k1=f(xi, yi) and after algebra manipulation one will get:
y i x y i ( a1 a 2 )x f ( x i , y i )
y i ( a1 a 2 )x f ( x i , y i ) a 2 p1x 2
f ( x i , y i )
x
f ( x i , y i )
a 2 q11x 2 f ( x i , y i )
y
a 2 p1x 2
[3]
yi x y( x x ) yi x
dy x 2 d 2 y
........
dx
2 dx 2
x 2 df ( x, y )
y i x y i x f ( x, y )
........
2
dx
y i x f ( x, y )
Or
x 2 f ( x, y ) f ( x, y ) dy( x )
........
2 x
y
dx
y i x y i 1 x f ( x, y )
1
f ( x, y )
x 2
2
x
1
f ( x, y )
x 2 f ( x, y )
2
y
[4]
a2 p1 12
[5]
a2 q11 12
Solving system of equation [5] and choosing a2 to be then a1= and p1= q11=1, then
1
1
y i x y i k1 k 2 x
2
2
1. Secod Oder:
1
1
y i x y i k1 k 2 x
2
2
Where:
k1 f ( x i , y i )
k 2 f ( x i x, y i x k1 )
2. Third Order
1
y i x y i k1 4k 2 k3 x
6
Where:
k1 f ( x i , y i )
k 2 f ( x i 12 x , y i 12 x k1 )
k3 f ( x i x , y i x k1 2x k 2 )
3. Fourth Order
y i x y i k1 2k 2 2k3 k 4 x
6
Where:
k1 f ( x i , y i )
k 2 f ( x i 12 x , y i 12 x k1 )
k3 f ( x i 12 x , y i 12 x k 2 )
k 4 f ( x i x , y i x k3 )
4. Fifth Order
Where:
k1 f ( x i , y i )
k 2 f ( x i 14 x, y i 14 x k1 )
k3 f ( x i 14 x, y i 18 x k1 18 x k 2 )
k 4 f ( x i 12 x, y i 12 x k 2 x k3 )
3
9
k5 f ( x i 34 x, y i 16
x k1 16
x k 4 )
k 6 f ( x i x, y i 37 x k1 27 x k 2 12
x k3 12
x k 4 87 x k5 )
7
7
PDE
Prosedur mencari Akar Sistim Persamaan
AKAR PERSAMAAN
I.
Yes
xatas= ?
xbawah= ?
|f(xtengah)|<err
No
Yes
Selesai
f(xatas).f(xbawah)>0
f(xtengah).f(xatas)>0
Yes
No
No
xtengah=(xatas+xbawah)/2
xbawah=xtengah
xatas=xtengah
f( x)
sin ( x)
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
xatas= ?
xbawah= ?
Yes
Yes
|f(xtengah)|<err
No
Selesai
f(xatas).f(xbawah)>0
f(xtengah).f(xatas)>0
No
No
Iter=0
xbawah=xtengah
Yes
xatas=xtengah
No
Yes
xtengah=xbawah+f(xatas)(xa
-x
))/[f(xatas)tas bawah
f(xbawah)]
Iter=Iter+1
Iter>Itermax
No
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
xcoba= ?
Iter=0
No
|f(x coba)|<err
No
No
xcoba=xcoba-{f(xcoba)/
f'(xcoba)}
Iter=Iter+1
Iter>Itermax
Yes
Selesai
Yes
Te
xt
Y-Axis
f(x)
f'(x)=f(x)/dx
X-Axis
f( x) ( x 2) ( x 0.5) ( x 1)
df ( x)
5
dx
InitGuess 0.63
d
f( x)
dx
i0
xi 0.63
10
xi
f xi 3.9
1.838
15
20
4
InitGuess 0.63
5
i2
xi 3.64
10
xi
f xi 18.882
2.948
15
20
4
InitGuess 0.63
i3
xi 2.948 f xi 4.169
10
xi
2.683
15
20
4
II.
Akar dari system persamaan dengan lebih dari satu bilangan anu:
1) Sistem persamaan biasa: dimana jumlah persamaan sama dengan jumlah bilangan anu
a) Linear System
i) Matrix representation of linear sytem of equation
ii) Metoda Eliminasi Gauss
iii) Metoda Gauss Siedle
iv) Metoda Dekomposis LU
v) Metoda Newton raphson
b) Nonlinear system
i) Linearization through Newton-Raphson method
2) Regresi: sistem persamaan dimana jumlah persamaan lebih banyak dari jumlah
bilangan anu
a) Simple linear Regression
b) Multivariate Linear regression
c) Linear transformation
3) Eigen Value problem: Sistem persamaan dimana jumlah bilangan anu sama dengan
jumlah persamaan ditambah satu.