Gejala Klinik
Taeniasis sp
2.6.1.
Gejala Klinik
Taeniasis solium
Kait
kait pada skoleks
Taenia solium
umunya tidak banyak menimbulkan
gangguan pada dinding usus tempatnya melekat (Handojo dan Margono,
2008
b
).
P
enderita t
aeniasis umumnya asimptomatik (Pearson, 2009a; Tolan, 2011;
Handojo dan Margono, 2008b)
atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan,
berup
a rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit
kepala, anemia (Soedarto, 2008), nyeri abdomen, kehilangan berat badan,
malaise,
anoreksia (Tolan, 2011), peningkatan nafsu makan (CFSPH, 2005), rasa sakit
ketika lapar (
hunger pain
)
, indigesti kronik, dan hiperestesia (Ideham dan
Pusarawati, 2007).
Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang
menembus dinding usus (Soedarto, 2008). Sering dijumpai kalsifikasi pada
sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu
waktu terdapat
pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia
(Handojo dan
Margono, 2008
b
)
.
Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada
anak
anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkon
sumsi sedikit makanan.
Pada anak
anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan,
dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia,
malaise, dan kegugupan (CFSPH, 2005).
Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh
karena adanya iritasi pada
tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi
yang
menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat (Ideham
dan
Pusarawati, 2007).
2.6.2.
Gejala Klinik
Taenia
sis
saginata
Gambaran klinik dan d
iagnosa
Taeniasis saginata
pada usus hampir
serupa dengan infeksi
Taeniasis solium
(Pearson, 2009
b
).
Pada taeniasis saginata
terjadi inflamasi sub
(Pearson, 2009
a
).
Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan
subkutan, dan mata (Pearson, 2009a
).
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium
peradangan. Dalam
stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi
gelatin
dalam cairan kisat dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granular
nodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul
fokal
li
mfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan
granulasi digantikan oleh struktu
r kolagen dan kalsifikasi (Wiria
, 2008).
Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva
(CFSPH, 2005)
.
Neurosistiserkosis merupakan bentuk sis
tiserkosis
yang menyerang sistem saraf
pusat (Tenzer, 2009; CFSPH, 2005; Garcia
et al
., 2002) dan
paling
membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul
sangat
lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba
tiba
akibat
obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang
-
layang di
dalam cairan
(CFSPH, 2005)
. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala
kronik dan kejang
atau epilepsi
(70
90%) (
Wiria
, 2008; CFSPH, 2005
; Tenzer,
2009; WHO, 2009; G
racia
et al
., 2002; Del Brutto, 2005). Gejala lainnya yang
mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda
ne
urologis fokal, perubahan status mental (Pearson, 2009a; Tenzer, 2009), mual,
muntah
(CFSPH, 2005; Tenzer, 2009), vertigo, ataxia, bingung, gangguan
perilaku, dan demensia progresif
(CFSPH, 2005), dan sakit kepala kronik (Tenzer,
2009).
Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang
dapat menyebabkan kompresi,
transverse myelitis
, dan meningitis. Namun kasus
ini jarang (CFSPH, 2005).
Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4
(Wiria,
2008):
a.
Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya
(kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit
kepala, kejang,
psikosis.
b.
Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis
sistiserkal.
c.
Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk
neurosistiserkosis ventrikular.
d.
Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis o
ftalmika, penyakit
serebrovaskular, dan lain
lain.
Pada mata (sistiserkosis oftalmika), sistiserkus paling sering ditemukan
pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum
adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat,
sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam
jumlah
banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan
kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan
miokarditis
(CFSPH, 200
5).
Pada
kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan.
Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang
menimbulkan stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005).
2.7.
Diagnosa
Taenia
sis
sp
2.7.1.
Diagnosa
Taeniasis solium
Diagnosis pasti
Taeniasis solium
A
dapun pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai
sensitivitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun,
pemeriksaan
ini belum tersedia pada luar laboratorium penelitian. Metode
serologis juga hanya
tersedia pada lingkungan penelitia
n. Dengan metode serologis seperti ELISA dan
PCR, dapat dibedakan spesies dari Taenia (CFSPH, 2005).
2.7.2.
Diagnosa
Taeniasis saginata
Diagnosa Taenia saginata dapa
t menggunakan pita perekat (tes
Graham).
Untuk
Taenia saginata
g (Soedarto, 2008).
d.
Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja
manusia
sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat
(Ideham dan Pusarawati, 2007; WHO, 2009
).
e.
Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur
yang
tidak dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008).
.
H
anya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang
disaring,
atau air yang dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008).
g.
Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan (Garcia
et al
.,
2003).
h.
Pada babi, dapat dilakukan pemberian
oxfendazole
oral (30 mg/kg BB).
Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi
parasit
dengan kemoterapi (WHO, 2009).
i.
Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan (kebersihan,
mempersiapkan
makanan, dan sebagainya) (WHO, 2009).
2.9.
Daging
Daging adalah semua bagian dari hewan yang diinginkan atau telah
ditetapkan aman dan sesuai dengan konsumsi manusia. Daging
terdiri dari air,
sedikit karbohidrat, protein dan asam amino, mineral, lemak,
vitamin dan
komp
onen bioaktif lainnya (FAO, 2009b, Heinz dan Hauzinger, 2007
).
2.9.1.
Ciri
-ciri Daging Babi
Kualitas daging bergantung pada perubahan fisik dan kimia yang
terjadi
pada daging sebelum, ketika, dan setelah hewan dipotong. Konversi
glikogen
menjadi asam
laktat yang terjadi setelah hewan dipotong menjadi satu hal yang
penting dalam kualitas daging karena asam laktat akan
mengakibatkan penurunan
pH daging sehingga akan mempengaruhi warna daging yang
menjadi salah satu
penilaian kualitas daging (Prieto, 2007
).
Warna dari daging babi yang segar berbeda
beda pada beberapa negara.
Banyak faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi warna
daging babi
seperti genetik, asupan makanan, prosedur pemotongan, pH,
penyimpanan dan
sebagainya
. Jenis otot yang diambil
kualitas baik
,
sed
angkan PSE merupakan daging dengan kualitas yang
sangat buruk
. DFD dan
RSE merupakan daging yang kurang baik. Insidens daging DFD dan
PSE adala
h
6% dan 5% (Schilling, 2002; Singhal
et al
., 1997).
.9.2.
Ciri
ciri Daging Sapi
Ciri
ciri daging sapi mirip dengan daging babi, hanya daging sapi