Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat). Kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya, lebih dari 200 g atau 200
ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali
per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2 Diare akut
adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare
kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun
non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat
disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit (Kroser, 2007).
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara
berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB
(Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat.Dinegara maju
walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi masyarakat tetapi insiden diare infeksi
tetap tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare
infeksi setiap tahunnya dan 1 dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare
infeksi. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan
waterborne infections yang disebabkan bakteri

Salmonella spp, Campylobacter jejuni,

Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan Enterohemorrhagic


Escherichia coli (EHEC). Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3
juta penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap tahunnya di
banding di negara berkembang lainnya yang mengalami serangan diare 3 kali setiap tahun.6 Di
Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang kerumah sakit dari
beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar dan Batam
yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab terbanyak adalah Vibrio cholerae , diikuti dengan
Shigella spp, Salmonella spp, V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V.
Cholera non, dan Salmonella paratyphi A (Syaroni, 2006)
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan kematian
dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri
(disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba) . Di Amerika Serikat, insiden disentri amoeba

mencapai 1-5% sedangkan disentri basiler dilaporkan kurang dari 500.000 kasus tiap tahunnya.
Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler pada
anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kebanyakan kuman penyebab disentri basiler ditemukan di
negara berkembang dengan kesehatan lingkungan yang masih kurang. Disentri amoeba tersebar
hampir ke seluruh dunia terutama di negara yang sedang berkembang yang berada di daerah
tropis. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk, higiene individu, sanitasi lingkungan dan
kondisi sosial ekonomi serta kultural yang menunjang. Penyakit ini biasanya menyerang anak
dengan usia lebih dari 5 tahun (Syaroni, 2006).
Spesies Entamoeba menyerang 10% populasi didunia. Prevalensi yang tinggi mencapai
50 persen di Asia, Afrika dan Amerika selatan. Sedangkan pada shigella di Ameriksa Serikat
menyerang 15.000 kasus. Dan di Negara-negara berkembang Shigella flexeneri dan S. dysentriae
menyebabkan 600.000 kematian per tahun (Kroser, 2007)
Kroser A. J., 2007. Shigellosis. Diakses dari http://www.emedicine.com/
med/topic2112.htm.

BAB II
ISI
A. Definisi
Kondisi diare ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih

dari

biasanya (3 atau lebih per hari) yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari
penderita (Depkes RI, 2002). Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang
lebih banyak dari biasanya (normal 100-200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau
setengah cairan (setengah padat), dapat pula disertai frekuensi defekasi yang meningkat (WHO,
1980). Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari 3 kali sehari (Mansjoer, 2001).
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron (usus), yang berarti
radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air besar dengan tinja
berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja bercampur lendir
(mukus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus) (Syaroni, 2006). Buku Ajar Penyakit Dalam.
FKUI:Jakarta. Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut
dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan darah
(Hembing, 2006).
Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan tukak
terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut sebagai sindroma disentri, yakni:
1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus, 2) berak-berak, dan 3) tinja mengandung
darah dan lendir. (Simanjuntak, 1991).
Diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja yang lunak atau cair tiga
kali atau lebih dalam satu hari, atau lebih praktis mendefinisikan diare
sebagai meningkatnya frekuensi tinja atau konsistensinya menjadi lebih
lunak sehingga dianggap abnormal oleh ibunya

4.

Diare secara umum

dihubungkan dengan peningkatan volume dan perubahan kosistensi tinja.


Pada anak kurang dari dua tahun, diare didefinisikan sebagai pengekuaran
tinja lebih dari 10ml/kgBB/hr. Sedangkan pada anak lebih dari 2 tahun, diare
didefinisikan pengeluaran tinja lebih dari 200 gram/hari atau dapat dikatakan
adanya berak cair empat kali atau lebih dalam satu hari (Richard, 2005).
Disentri didefinisikan sebagai diare yang disertai darah dalam tinja. Penyebab yang
terpenting dan tersering adalah Shigella, khususnya S. Flexneri dan S. Dysenteriae tipe 1.

Entamoeba histolytica menyebabkan disentri pada anak yang lebih besar, tetapi jarang pada
balita (Depkes RI, 1999). Disentri amoeba adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan
oleh parasit usus Entamoeba histolytica (Eddy Soewandojo,2002).
B. Epidemiologi
Diare adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak di
seluruh dunia, menyebabkan satu milyar episode kesakitan dan 3-5 juta kematian tiap tahunnya.
Karakteristik epidemiologi patogen diare bervariasi tergantung lokasi geografis. Di US setiap
tahun , 20-35 juta episode diare terjadi pada 16,5 juta anak-anak usia di bawah lima tahun,
menghasilkan 2,1 3,7 juta kunjungan ke dokter, 220.000 rawat rumah sakit, dan 300-400
kematian. Anak-anak pada negara berkembang terinfeksi oleh bermacam kelompok bakteri dan
parasit, sedangkan virus seperti rotavirus dan viral enteropathogen, G. Lamblia, C. Pavum
menyerang anak-anak di seluruh dunia pada 5 tahun pertama (Nelson,2000).
Mekanisme utama transmisi diare melalui jalur fekal oral dengan ingesti dari makanan
atau minuman yang terkontaminasi. Enteropathogen yang infeksius pada inokulasi yang kecil
( Shigella, E.coli157 : H7, enteric virus, G. Lamblia, C. Parvum, dan E. Histolytica) dapat juga
ditransmisikan lewat kontak langsung. Faktor yang meningkatkan risiko infeksi oleh
enteropathogen antara lain usia muda, defisiensi imun, measles, malnutrisi, perjalanan ke daerah
endemis, kurang ASI, paparan pada kondisi yang tidak bersih, ingesti makanan atau minuman
yang terkontaminasi, tingkat pendidikan orang tua, dan kehadiran anak pada pusat perawatan
anak (Nelson,2000)
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat
keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang praktek dokter,
sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi
terdapat peringkat pertama hingga ke empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit8
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan di negara
berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta
episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya.5 WHO memperkirakan ada sekitar 4
miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.9 Bila angka itu
diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa per
tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di
Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat
jalan.

Penyebab utama disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni,


Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella
disentri, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan
Enteroinvasive E.coli (EIEC).11 Beberapa faktor epidemiologis
mendekati pasien

diare akut yang disebabkan oleh

penting dipandang untuk

infeksi. Makanan atau minuman

terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12
Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari 500.000
kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC). Di Bagian Penyakit Dalam RSUP
Palembang selama 3 tahun (1990-1992) tercatat di catatan medis, dari 748 kasus yang dirawat
karena diare ada 16 kasus yang 3disebabkan oleh disentri basiler. Sedangkan hasil penelitian
yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember
1999, dari 3848 orang penderita diare berat, ditemukan 5% shigella. Prevalensi amebiasis sangat
bervariasi, diperkirakan 10 persen populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (5080%). Manusia merupakan host dan reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke
makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat
hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya
sanitasi individual mempermudah penularannya. Di negara beriklim tropis banyak
didapatkan strain patogen dibanding di negara maju yang beriklim sedang.
Kemungkinan faktor diet rendah protein disamping perbedaan strain amoeba
memegang peranan. Di negara yang sudah maju misalnya Amerika Serikat
prevalensi amebiasis berkisar antara 1-5 %. Di Indonesia diperkirakan
insidensinya

cukup

tinggi.

Penyakit

ini

cenderung

endemik,

jarang

menimbulkan epidemi. Epidemi sering terjadi lewat air minum yang tercemar
(Eddy Soewandojo, 2002)
C. Etiologi
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6 besar yaitu karena
infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, immuno defisiensi, dan penyebab lain, tetapi yang sering
ditemukan di lapangan ataupun klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan
(Depkes RI, 2002). Beberapa jenis bakteri dapat termakan melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi dan menyebabkan diare, contohnya Campylobacter, Salmonella, Shigella dan

Escherichia coli. Infeksi virus yang menyebabkan diare yaitu rotavirus, Norwalk virus,
cytomegalovirus, virus herpes simplex dan virus hepatitis. Intoleransi makanan, seperti pada
orang yang tidak dapat mencerna komponen makanan berupa laktosa ( gula dalam susu). Parasit
yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman dan menetap dalam sistem
pencernaan, contohnya Giardia lamblia, Entamoeba histolytica dan Cryptosporidium. Reaksi
obat contoh antibiotik, obat-obat tekanan darah dan antasida yang mengandung magnesium.
Penyakit Intestinal penyakit inflamasi usus atau penyakit abdominal. Gangguan fungsi usus,
seperti sindroma iritasi usus dimana usus tidak dapat bekerja secara normal (Amiruddin, 2007).
Etiologi dari disentri ada 2, yaitu :
1. Disentri basiler, disebabkan
a. Shigella,sp.
Shigella merupakan penyebab klasik diare inflamasi atau disentri dan penyebab ke-2
tersering penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) di Amerika
Serikat, serta sampai saat ini masih menjadi problem utama di pusat perawatan harian
atau
institusi.1,6 Di Indonesia, Shigella spp merupakan penyebab tersering ke-2 dari diare
yang dirawat di rumah sakit, yakni sebesar 27,3%. Dari keseluruhan Shigella spp
tersebut, 82,8% merupakan S. flexneri;15,0% adalah S. sonnei; dan 2,2% merupakan S.
dysenteriae. Hanya dibutuhkan 10 kuman untuk menginisiasi timbulnya penyakit ini dan
penyebaran dari orang ke orang amat mudah terjadi. 6 Infeksi S. sonnei adalah yang
teringan. Paling sering terjadi di negara-negara industri. Infeksi S. flexneri akan
menimbulkan gejala disentri dan diare persisten. Paling sering terjadi di negara-negara
berkembang. S. dysenteriae tipe 1 (Sd1) menghasilkan toksin Shiga, sehingga dapat
menimbulkan epidemi diare berdarah (bloody diarrhea) dengan case fatality rate yang
tinggi di Asia, Afrika, dan
Amerika Tengah.2,8 Infeksi Shigella dapat menimbulkan komplikasi hemolytic-uremic
syndrome (HUS) dan thrombotic thrombocytopenic Purpura (TTP).
Shigella adalah basil non motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4
spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43
serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe tunggal.
Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seseorang dapat

terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda. Genus ini memiliki kemampuan
menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103
organisme. Penyakit ini kadang-kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu
keadaan lingkungan yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara
klinis mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut
terasa sakit dan tenesmus.

b. Salmonella
Salmonellosis merupakan penyebab utama foodborne disease di Amerika
Serikat.6 Di Indonesia, Salmonella spp merupakan penyebab tersering ke-3 dari diare
yang dirawat di rumah sakit, yakni sebesar 17,7%.11 Terdapat lebih dari 2000 serotype
Salmonella dan semuanya patogenik bagi manusia. Bayi dan orang tua paling rentan
terinfeksi. Hewan merupakan reservoir utama bagi kuman ini. Gejala salmonellosis
umumnya berupa diare noninflamasi. Akan tetapi, dapat juga berupa diare inflamatif atau
disentri (bloody diarrhea).
c. Campylobacter
Organisme ini dapat menimbulkan watery ataupun bloody diarrhea. Meskipun
jarang, Campylobacter juga dapat menimbulkan sindrom Guillain-Barr.1,2,6,7 Infeksi
asimtomatik sering terjadi di negaranegara berkembang akibat kontak erat dengan hewan
ternak.2 Campylobacter jejuni merupakan penyebab tersering ke-6 dari diare yang
dirawat di rumah sakit di Indonesia, yakni sebesar 3,6%.
d. E. Coli
Semua jenis E. coli diarrheogenic dapat menimbulkan penyakit di negaranegara berkembang. Akan tetapi, infeksi enterohemorrhagic E. coli (EHEC), termasuk E.
coli O157:H7 lebih sering terjadi di negara negara industri.2 Enterotoxigenic E. coli
(ETEC) dapat menimbulkan diare pada wisatawan. Enteropathogenic E. coli (EPEC)
jarang menyerang orang dewasa. Enteroinvasive E. coli (EIEC) dapat menimbulkan
bloody mucoid diarrhea, biasanya disertai demam. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
dapat menimbulkan bloody diarrhea2,3,7,10,12 dan Enteroaggregative E. coli (EAggEC)
dapat menimbulkan diare persisten pada pasien dengan human immunodeficiency virus
(HIV). Enterohemorrhagic E. coli (EHEC), terutama Escherichia coli 0157:H7,
merupakan penyebab tersering kolitis infektif di negara- negara industri.2,6 EHEC dapat

memproduksi suatu sitotoksin, seperti verotoksin (Shiga-like toxin) yang menyebabkan


bloody diarrhea.8,12 EHEC dapat menimbulkan komplikasi HUS dan TTP.2,6,10,12-14
Kolitis hemoragik berat dengan HUS dilaporkan terjadi pada 68% pasien.12 Tidak
mudah untuk mengidentifikasi kuman ini karena media agar MacConkey-Sorbitol untuk
membiakannya
tidak tersedia di semua laboratorium. Selain itu, laboratorium juga tidak secara rutin
mengidentifikasi nonserogroup O157:H7 EHEC yang sama manifestasi klinisnya dengan
serogrup O157:H7.
2. Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica.
E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme
komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah
menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus
sehingga menimbulkan ulserasi. (Eddy Soewandojo, 2002).
Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan
bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran < 10 mm)
dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus
tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar
bersama tinja. Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus
(intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala disentri.
Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai 50 mm) dan mengandung
beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan trofozoit patogen sering menelan eritrosit
(haematophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya
gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia. Bentuk kista juga ada
2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa. Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus.
Bentuk kista bertanggung 5 jawab terhadap terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup
lama di luar tubuh manusia serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di
dalam sistem air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus besar
menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista (Davis, 2007).
D. Faktor Risiko
Penyebaran kuman yang menyebabkan diare berkaitan erat dengan perilaku pejamu yang
meningkatkan kerentanan terhadap diare. Perilaku tersebut diantaranya adalah:
1. tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan.

2. Menggunakan botol susu. Penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman yang
3. berasal dari tinja dan sukar dibersihkan. Sewaktu susu dimasukkan ke dalam botol yang
4.
5.
6.
7.

tidak
bersih akan terjadi kontaminasi kuman dan bila tidak segera diminum kuman akan tumbuh.
Menyimpan makanan masak pada suhu kamar.
Menggunakan air minum yang tercemar oleh tinja.
Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja atau sebelum

memasak
8. makanan
Sedangkan faktor host (pejamu) yang menyebabkan diare antara lain adalah:
1. Tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun. ASI mengandung antibodi yang melindungi
kita terhadap kuman penyebab panyakit diare seperti Shigella dan Vibrio cholera.
2. Kurang gizi.
3. Campak. Hal ini akibat penurunan kekebalan pada penderita.
4. Imunodefisiensi/imunosupresi
(Departemen Kesehatan RI, 1999)
E. Patogenesis
Agent infeksius yang menyebabkan penyakit diare biasanya ditularkan melalui jalur
fekaloral terutama karena menelan makanan yang terkontaminasi (terutama makanan sapihan)
atau air, kontak dengan tangan yamg terkontaminasi. Beberapa faktor yang dikaitkan dengan
bertambahnya penularan kuman

enteropatogen perut termasuk karena tidak memadainya

penyediaan air bersih. Pembuangan tinja yang tidak higienis, vektor, aspek sosial ekonomi
(Amiruddin, 2007).
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non
infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua
mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi
bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare.
Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
a. Disentri basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang ditandai
dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai eksudat inflamasi yang

mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah. Kuman Shigella secara genetik
bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan
secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah
melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan
berkembang biak didalamnya. (2) Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella
namun ileum terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah
sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan
mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada
keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan
transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi
tidak berbentuk ulkus bergaung.
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1,
ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik.
Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu
menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang
mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang
tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus
mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum. (Davis, 2007)
b. Disentri Amuba
Insiden tertinggi disentri amoeba ditemukan pada anak-anak usia 1-5
tahun

(Nelson,

2000).

Sebagai

mengandung kista amoeba

sumber
3.

penularan

adalah

tinja

yang

Kista ini memegang peranan dalam

penularan penyakit lebih lanjut bila terbawa ke bahan makanan atau air
minum oleh lalat atau tangan manusia yang tidak bersih (Tjan Hoan Tjay,
Kirana Rahardja. 2002).
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar dapat berubah
menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Akan tetapi
faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga
baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun
lingkungannya mempunyai peran. Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim
fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan

dinding usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil,
tetapi
di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di
permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa
usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi
berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum,
sigmoid, apendiks dan ileum terminalis. (Syaroni A., Hoesadha Y., 2006)
Patogenesis E. histolytica diyakini tergantung pada 2 mekanisme, yaitu
kontak sel dan pemajanan toksin. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan
bahwa kematian tergantung kontak oleh trofozoid yang meliputi perlekatan,
sitolisis ekstraseluler, dan fagositosis. Reseptor lektin spesifik-galaktosa
diduga bertanggung jawab dalam menjembatani perlekatan pada mukosa
kolon., Juga telah dirumuskan bahwa amoeba dapat mengeluarkan protein
pembentuk pori yang membentuk saluran pada membran sel sasaran
hospes. Bila trofozoid E histolytica menginvasi usus, akan menyebabkan
tukak dengan sedikit respon radang lokal. Organisme memperbanyak diri
dan menyebar di bawah usus untuk menimbulkan ulkus yang khas. Lesi ini
biasanya ditemukan pada coecum, colon transversum dan kolon sigmoid
(Nelson,2000)

F. Gejala
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi
dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan
manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang
menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam,
tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis
ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
a. Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari sampai 4
minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare disertai demam yang
mencapai 40 C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir,
tenesmus, dan nafsu makan menurun (Davis K., 2007). Bentuk klinis dapat bermacam-macam

dari yang ringan, sedang sampai yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa
melilit diikuti pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang
berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya timbul mendadak
dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah,
suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak
cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena
dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat
(hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau
keracunan makanan. Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan
koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini
bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan
penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu
penyembuhan yang lama. Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja
biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada
kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan kasus yang
menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila
mendapat pengobatan yang baik (Syaroni A., Hoesadha Y., 2006).
b. Disentri Amuba
Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena amoeba
yang berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus. Disentri amoeba
ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut
kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapatn timbul diare ringan, 4-5 kali
sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat
sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut
bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit
demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
Disentri amoeba sedang Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan,
tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai lendir dan

darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri
ringan.
Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak,
lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C-40,50C) disertai mual dan anemia.
Disentri amoeba kronik
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan periode
normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya
dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna (Davis K., 2007).

G. Penegakan Diagnosis
Anamnesis (IDAI, 2009)
1. Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari, warna dan konsistensi tinja, lendir
dan/darah dalam tinja.
2. Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air kecil terakhir,
demam, sesak, kejang, kembung
3. Jumlah cairan yang masuk selama diare
4. Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare, menkonsumsi makanan yang
tidak biasa
5. Penderita diare di sekitarnya, dan sumber air minum
Pemeriksaan Fisik (IDAI, 2009)
1. Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital
2. Tanda utama : keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus, turgor
kulit abdomen menurun
3. Tanda tambahan : ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir, mulut dan
lidah
4. Berat badan
5. Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti nafas cepat dan dalam
( asidosis metabolik), kembung (hipokalemia), kejang (hipo atau hipernatremia)
6. Penilaian derajat dehidrasi sesuai dengan kriteria berikut :
7. Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan < 5 % berat badan)
a. Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
b. Keadaan umum baik, sadar
c. Ubun ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada, mukosa mulut
dan bibir basah
d. Turgor abdomen baik, bising usus normal
e. Akral hangat
8. Dehidrasi ringan sedang/tidak berat (kehilangan cairan 5-10 % berat badan)
a. Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan
b. Keadaan umum gelisah atau cengeng
c. Ubun ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mukosa
mulut dan bibir sedikit kering
d. Turgor kurang akral hangat
9. Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10 % berat badan)
10. Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dengan 2 atau lebih tanda tambahan
11. Keadaan umum lemah, letargi, atau koma
12. Ubun ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada, mukosa mulut dan
bibir sangat kering
13. Turgor sangat kurang dan akral dingin
14. Pasien harus rawat inap

15. Pemeriksaan penunjang


Disentri basiler
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen
bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit
PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal.
Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. Pada disentri subakut gejala
klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif
dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat. (6)
Disentri amuba
Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung
leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila
ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan
kemungkinan penyakit lain karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh
karena itu, apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan spesifik masih tetap
mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto kolon dengan
barium enema atau biakan tinja. Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan
neoplasma. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang
ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah satu caranya
yaitu dengan dilakukannya pungsi abses.
Penunjang
1. Disentri amoeba
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting. Biasanya tinja
berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja
yang segar. Kadang diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan
sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Pada pemeriksaan tinja yang
berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat
ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara.
Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung tumpul,
sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan
tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit,
dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan

eterformalin. Dengan larutan seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan
larutan eterformalin kista akan mengendap. Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit.
Untuk itu diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang
mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak
aktif seperti keong dengan menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah,
akan tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat
sediaan dengan larutan eosin. (2)
Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi
Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan gejala disentri, terutama
apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak
berguna untuk carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi
menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. (2)
Foto rontgen kolon
Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali ulkus tidak tampak.
Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus
disertai spasme otot. Pada ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma. (2) 11
Pemeriksaan uji serologi
Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebik dan epidemiologis.
Uji serologis positif bila amoeba menembus jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan
positif pada pasien abses hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis
positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis.(2)
2. Disentri basiler
Pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta biakan hapusan (rectal
swab). Untuk menemukan carrier diperlukan pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti
karena basil shigela mudah mati . Untuk itu diperlukan tinja yang baru.
Polymerase Chain Reaction (PCR).
Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara luas. Enzim immunoassay.
Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang terinfeksi
S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.
Sigmoidoskopi.

Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah sigmoid. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada stadium lanjut.
Aglutinasi.
Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada hari keenam. Pada
S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi
antibodi sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai. Gambaran
endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang
tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada di bagian distal kolon dan secara progresif
berkurang di segmen proksimal usus besar (Syaroni, 2006)
H. Penatalaksanaan
Lima prinsip penatalaksanaan diare menurut IDAI, 2009 ; cairan, seng, nutrisi, antibiotik (jika
perlu), dan edukasi.
1. Cairan dan elektrolit
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika frekuensi
buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita turun. Dalam
keadaan ini perlu diberikan cairan melalui infus untuk menggantikan cairan yang hilang.
Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau
pemberian air kaldu atau oralit. Bila penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai
dapat diberikan.
a. Tanpa dehidrasi
Cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan NEW ORALIT diberikan 5 10 ml/kg BB
setiap diare cair atau berdasarkan usia, yaitu umur < 1 tahun sebanyak 50-100 ml, umur
1-5 tahun 100-200 ml, dan umur di atas 5 tahun semaunya. Dapat diberikan cairan rumah
tangga sesuai kemauan anak. ASI harus terus diberikan.
Pasien dapat dirawat di rumah kecuali apabila terdapat komplikasi lain ( tidak mau
minum, muntah terus menerus, diare frekuen, dan profus).
b. Dehidrasi ringan- sedang
Cairan rehidrasi oral ( CRO ) hiposomolar diberikan sebanyak 75 mL/kgBB dalam 3 jam
untuk menggangti kehilangan cairan yang telah terjadi dan sebanyak 5 10 mL/kgBB
setiap diare cair.
Rehidrasi prenteral diberikan bila anak muntah setiap diberi minum walaupun telah
diberikan dengan cara sedikit demi sedikit atau melalui pipa nasogastrik. Cairan

intravena yang diberikan adalah ringer laktat atau KaEN 3B atau NaCl dengan jumlah
cairan dihitung berdasarkan berat badan. Status hidrasi dievaluasi secara berkala.
Berat badan 3-10 kg : 200 mL/kgBB/hari
Berat badan 10-15 kg : 175 mL/kgBB/hari
Berat badan > 15 kg : 135 mL/kgBB/hari
Pasien dipantau di Puskesmas/Rumah Sakit selama proses rehidrasi sambil memberi
edukasi tentang melakuakn rehidrasi kepada orangtua.
c. Dehidrasi berat
Diberikan cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat atau ringer asetat 100
mL/kgBB dengan cara pemberian :
Umur kurang dari 12 buan : 30 mL/kgBB dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 70
mL/kgBB dalam 5 jam berikutnya
Masukan cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat minum, dimulai
dengan 5 mL/kgBB selama proses rehidrasi
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
Hipernatremia (Na > 155 m Eq/L)
Koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan pemberian cairan dekstrose 5 %
salin. Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq/ hari karena bisa menyebabkan edema
otak
Hiponatremia ( Na < 130 mEq/L)
Kadar natrium diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai, apabila masih dijumpai hiponatremia
dilakukan koreksi sebagai berikut :
Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 kadar Na serum x 0,6 x berat badan, diberikan dalam 24 jam
Hiperkalemia (K> 5 mEq/L)
Koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10 % sebanyak 0,5-1 ml/kgBB iv secara
perlahan-lahan dalam 5-10 menit; sambil dimonitor irama jantung dengan EKG.
Hipokalemia (K< 3,5 mEq/L)
Koreksi dilakukan menurut kadar kalium
Kadar K 2,5-3,5 mEq/l, berikan KCl 75 mEq/kgBB per oral per hari dibagi 3 dosis
Kadar K < 2,5 mEq/L, berikan KCl melalui drip intravena dengan dosis :
3,5 kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam dalam 4 jam pertama
3,5 kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB dalam 20 jam berikutnya
2. Seng

Seng terbukti secara ilmiah dapat menirinkan frekuensi buang air besar dan volume tinja
sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Seng zink elemental
diberikan selama 10-14 hari meskipun anak telah tidak mengalami diare dengan dosis :
Umur dibawah 6 bulan 10 mg per hari
Umur di atas 6 bulan 20 mg per hari
3. Nutrisi
Pemberian makanan atau nutrisi yang cukup selama diare dan mengobati penyakit
penyerta, minuman dan makanan jangan dihentikan lebih dari 24 jam, karena pulihnya
mukosa usus tergantung dari nutrisi yang cukup. Untuk anak yang masih menyusui
sebaiknya ASI dan susu formula harus tetap dilanjutkan pemberiannya secara signifikan
untuk mengurangi lamanya dan beratnya diare pada anak, oleh karena nucleotida adalah
bahan yang sangat diperlukan untuk replikasi sel termasuk sel epitel usus dan sel
imunokompeten. Pada anak yang lebih besar makanan yang direkomendasikan meliputi
air tajin (beras, kentang, pisang, gandum, cereal) dan makanan yang dihindari yaitu
makanan yang mengandung tinggi gula seperti minuman kaleng, sari buah apel serta
makanan tinggi lemak yang sulit ditoleransi karena menyebabkan lambatnya
pengosongan lambung.
ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap
diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang
hilang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak tidak boleh
dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (lebih kurang 6 x sehari),
rendah serat, buah-buahan diberikan terutama pisang (IDAI, 2009).
4. Medikamentosa
- Tidak boleh diberikan obat anti diare
- Antibiotik
Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri ( diare berdarah) atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mengganggu keseimbangan
flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium difficile akan
tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik
yang tidak rasional dapat mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik. Untuk
disentri basiler, antibiotik diberikan sesuai dengan data sensivitas setempat, bila tidak
memungkinkan dapat mengacu kepada data publikasi yang dipakai saat ini, yaitu
kotrimoksazol sebagai lini pertama, kemudian sebagai lini kedua. Bila kedua
antibiotik tersebut sudah resisten maka lini ketiga adalah sefiksim.

Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan
antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan
selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin hampir
universal terjadi. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler
karena tidak efektif. Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon
seperti siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik untuk
pengobatan disentri basiler. Pemberian siprofloksasin merupakan kontraindikasi
terhadap anak-anak dan wanita hamil. Dosis cotrimoxazole pada anak 10
mg/kgBB/hari yang dibagi dalam dua kali pemberian 5-7 hari
Antiparasit
Metronidazol 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 kali pemberian selama 7 hari.
Mediskus.com/penyakit/disentri
5. Edukasi
Orangtua diminta untuk membawa kembali anaknya ke Pusat Pelayanan Kesehatan bila
-

ditemukan : demam, tinja berdarah, makan atau minum sedikit sangat haus, diare makin
sering, atau belum membaik dalam 3 hari. Orangtua dan pengasuh diajarkan cara
menyiapkan oralit dengan benar.
Langkah promotif/preventif : 1. ASI tetap diberikan, 2. Kebersihan peroraangan, cuci
tangan sebelum makan 3. Kebersihan lingkungan, buang air besar di jamban, 4. Imunisasi
campak 5. Memberikan makanan penyapihan yang benar 6. Penyediaan air minum yang
bersih, 7. Selalu memasak makanan.
Untuk menurunkan angka kejadian kematian akibat diare maka diperlukan upayaupaya pencegahan yaitu menggunakan air bersih, selalu mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan, penggunaan jamban untuk pembuangan tinja, memberikan ASI,
memperbaiki makanan pendamping ASI, memberikan imunisasi campak (Amiruddin,
2007).
I. Pencegahan
Disentri amoeba
Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat kesehatan merupakan
sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air minum sebaiknya dimasak dahulu karena
kista akan binasa bila air dipanaskan 21 500C selama 5 menit. Penting sekali adanya jamban
keluarga, isolasi dan pengobatan carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala

pekerjaan yang berhubungan dengan makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus untuk
pencegahan. Pemberian kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis
tidak dianjurkan.
Disentri basiler
Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk Shigella. Penularan disentri basiler dapat
dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti membersihkan
tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih. (2)
J. Komplikasi
1. Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun ringan. Berdasarkan
lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi :
a. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan
merusak pembuluh darah.
2. Perforasi usus. Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular dinding usus
besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi.
3. Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba. Ameboma.
Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan reaksi terbentuknya
massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering
mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
4. Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan
operasi segera.
5. Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik akibat terbentuknya
jaringan ikat atau akibat ameboma.
b. Komplikasi ekstraintestinal
Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang paling sering
terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau tahun sesuda infeksi amoeba
sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat
vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang
merupakan stadium dini abses hati kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro
abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai
dengan aliran darah vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus
kanan. Abses berisi nanah kental yang steril, tidak berbau, berwarna kecoklatan

(chocolate paste) yang terdiri atas jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadangkadang dapat berwarna kuning kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu.
Abses pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati.
Kurang lebih 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Abses paru
juga dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat pula
terjadi hiliran (fistel) hepatobronkhial sehingga penderita batukbatuk dengan sputum
berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati.
Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi ameoba
langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar dengan
membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau dinding perut. Dapat
pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus.
2. Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien yang berada di negara
yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan dengan infeksi S.dysentriae
tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan status gizi buruk. Komplikasi lain akibat infeksi
S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic uremic syndrome (HUS). SHU diduga akibat adanya
penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir
minggu pertama disentri basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda- 17
tanda HUS dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam) dan
secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung. Dapat
pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf pusat
seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul pada masa
penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini dapat terjadi pada kasus
yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung leukosit polimorfonuklear.
Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat berlangsung selama berbulanbulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis atau iridosiklitis. Sedangkan stenosis
terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus,
walaupun hal ini jarang terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae yang

toksik namun hal ini jarang sekali terjadi. Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon,
prolaps rectal dan perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang
terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan berat. Peritonitis
dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa tempat yang mempunyai
angka kematian tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid.
K. Prognosis
Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat
serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah
baik terutama pada kasus tanpa komplikasi. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak
ameba. Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan pengobatan
dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah; bentuk dysentriae
biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk
flexneri mempunyai angka kematian yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai