Anda di halaman 1dari 16

PEMBELAJARAN

A.

PENDAHULUAN
Manusia memang terus berkembang dan memiliki rasa ingin tahu yang kuat. Hal ini
lah yang mendorong manusia untuk terus belajar. Oleh karena itu, belajar dapat
didefinisikan sebagai, kegiatan psiko-fisik-sosio menuju ke perkembangan pribadi
seutuhnya (Suprijono:2011: 3). Definisi lain mengenai belajar dikemukukan oleh Suyono
dan Hariyanto (2011:9) yaitu belajar merupakan suatu aktifitas atau proses untuk
memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan
mengokohkan kepribadian. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar
merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Dari ketiga pandangan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai kegiatan atau aktifitas
kompleks manusia untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan,
memperbaiki sikap dan perilaku serta mengokohkan kepribadian dengan tujuan untuk
mengembangkan pribadi seutuhnya.
Sedangkan terdapat perbedaan definisi belajar yang dikemukakan oleh beberapa
ahli. Skinner berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses adaptasi atau
penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif (Sagala:2012:14).
Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar berupa
kapabilitas yang disebabkan oleh stimulu yang berasal dari lingkungan dan proses
kognitif yang dilakukan oleh pelajar (Dimyati dan Mudjiono: 2009:10). Pendapat berbeda
dikemukan oleh Calr. R. Goger yaitu praktek pendidikan menitikberatkan pada segi
pengajaran, bukan pada siswa yang belajar (Sagala:2012:14). Piaget berpendapat bahwa
pengetahuan dibentuk individu dari hasil interaksi terus menerus dengan lingkungan
(Dimyati dan Mudjiono: 2009:13).
Dari pandangan-pandangan belajar dari beberapa ahli tersebut, munculah teori
belajar. Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana
manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang

kompleks dari belajar. Cahyo (2013:20) berpendapat bahwa teori belajar dapat diartikan
sebagai konsep-konsep dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat teoritis dan telah teruji
kebenarannya melalui eksperiment. Ada beberapa perspektif dalam teori belajar, yaitu
Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Oleh karena itu, makalah ini
membahas salah satu teori belajar, yaitu teori belajar konstruktivisme dan implikasinya
dalam pembelajaran.

B. PEMBAHASAN
Makalah ini membahas pengertian teori belajar konstruktivisme, teori belajar
konstruktivismi, ciri dan prinsip teori belajar konstruktivisme, implikasi teori
konstruktivisme terhadap pembelajaran, model pembelajaran dari teori konstruktivisme,
dampak teori konstruktivisme terhadap pembelajaran, dan kelebihan dan kelemahan
teori konstruktivisme.
1.

Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme


Ada beberapa pendapat mengenai definisi konstruktivisme yang dikemukan
beberapa ahli. Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi
premis bahwa dengan merefleksi pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi
pengetahuan kita tentang dunia tempat kita hidup (Suyono dan Hariyanto:2011:104).
Sedangkan menurut Cahyo (2013: 22) konstruktivisme merupakan salah satu filsafat
pengetahuan yang menekan bahwa pengetahuan adalah buatan kita sendiri sebagai hasil
konstruksi kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur, kategori, konsep,
dan skema yang diperlukan untuk membangun pengetahuan tersebut. Trianto (2007:26)
juga berpendapat bahwa teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori
pembelajaran cognitive baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa
harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek
informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisi apabila aturan-aturan itu tidak
sesuai lagi.
Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori belajar kontruktivisme
merupakan teori belajar yang menuntut siswa mengkonstruksi kegiatan belajar dan

mentransformasikan informasi kompleks untuk membangun pengetahuan secara


mandiri.
2.

Teori Belajar Konstruktivisme


Teori belajar konstruktivisme dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu menurut
Piaget dan Vygotsky.

a.

Teori Belajar Konstruktivisme Piaget


Teori piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna
membangun struktur kognitif atau peta mentalnya yang diistilahkan schema/skema
atau konsep jejaring untk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam
lingkungan di sekeilingnya(Suyono dan Hariyanto:2011:107). Sedangkan menurut piaget,
manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kota-kotak yag
masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam proses belajar
terjadi dua proses, yaitu proses organisasi informasi dan adaptasi (Cahyo:2013: 37).
Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang
diterimanya dengan struktur- struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada
sebelumnya dalam otak. Sedangkan proses adaptasi adalah proses yang berisi dua
kegiatan. Pertama, menghubungkan atau mengintergrasi pengetahuan yang diterima
manusia atau disebut asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan baru sehingga
akan terjadi kesinambungan (equilibrium).
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Piaget, adalah sebagai berikut
(Cahyo:2013):

Skemata
Piaget mengatakan bahwa schemata orang dewasa mulai dari schemata anak melaui
proses adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin mampu seseorang
membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak schemata yang
dimilikinya. Dengan demikian, schemata adalah struktur organisasi kognitif yang selalu
berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah
asimilasi dan akomodasi

Asimilasi

Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan baru ketika seseorang memadukan
stimulus atau presepsi ke dalam schemata atau perilaku yang sudah ada. Pada dasarnya,
asimilasi tidak mengubah schemata, tapi mempengaruhi atau memungkinkan
pertumbuhan schemata. Asimilasi terjadi secara kontinu, berlangsung terus-menerus
dalam perkembanfan intelektual anak.
-

Akomodasi
Akomodasi adalah proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai pengalaman baru.
Proses tersebut menghasilkan terbentuknya schemata baru dan berubshnya schemata
lama.

Keseimbangan
Dengan adanya keseimbangan, efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkambang
dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin. Piaget membagi fase perkembangan
manusia ke dalam empat perkembangan yang tertera dalam table di bawah ini:
Tahapan
Usia
Gambaran
Sensorimotor
0-2
Bayi bergerak dari tindakan reflek
instingtif pada saat lahir sampai
permulaan pemikiran simbolis.
Bayi membangun suatu
pemahaman tentang dunia melalui
pengoorgadinasian pengalamanpengalaman sensor dengan
tindakan fisik
Operational
2-7
Anak mulai merepresentasikan
dunia denan kata-kata dan
gambar-gambar.
Concerte
7-11
Pada saat ini anak dapat berpikir
operational
secara logis mengenai peristiwaperistiwa yang konkret
Formal
11-15
Anak remaja berpikir dengan cara
operational
yang lebih abstrak dan logis.
Pemikiran lebih idealistik

b.

Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky


Menurut Vygotsky bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belaja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada

dalam jangkauan kemampuan atau tugas-tugas tersebut berada dalam zone of proximal
development (Trianto:2007:29).

3.

Ciri dan Prinsip Teori Belajar Konstruktivisme


Ciri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme (Cahyo:2013) adalah menekakan pada
proses belajar, mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa,
berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses bukan menekankan pada hasil,
mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan, mendorong berkembangnya
rasa ingin tahu secara alami, penilsian belajar lebih menekankan pada kinerja dan
pemahaman siswa, sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif, banyak
menggunakan terminology kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti:
prediksi, inferensi, kreasi, dan analisi, dll.
Sedangkan prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam proses belajarmengajar adalah pengetahuan dibangun oleh siswa, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru ke murid kecuali hanya dengan keaktifan murid itu sendiri, murid
aktif mengontruksi secara terus menerus sehingga terjadi perubahan konsep ilmiah,
guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi berjalan
lancer, mencari dan menilsi pendapat siswa, dan menyesuaikan kurikulum untuk
menanggapi anggapan siswa.

4.

Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran


Pendekatan konstruktivisme mementingkan pengembangan lingkungan belajar
yang meningkatkan pembentukan pengertian dari prespektif ganda, dan informasi yang
efektif atau control eksternal yang teliti dari peristiwa-peristiwa sswa yang ketat,
dihindari sama sekali. Untuk maksud tersebut, guru perlu melalukan hal-hal berikut:
menyajikan masalah-masalah actual kepada siswa dalam konteks yang sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa, pembelajaran distruktur di sekitar konsep-konsep primer,
member dorongan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri, memberikan
siswa untuk menemukan jawabann dari pertanyaan sendiri, memberanikan siswa
mengemumakan pandapat dan menghargai sudut pandangnya, menganjurkan siswa

bekerja dalam kelompok, dan menilai proses dan hasil belajar siswa dalam konteks
pembelajaran.
Sedangkan menurut Suprijono (2011:40), pembelajaran konstruktivisme merupakan
belajar artikulasi. Belajar artikulasi merupakan proses mengartikulasikan ide, pikiran,
dan solusi. Implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran terbagi menjadi beberapa
fase, yaitu
-

Orientasi, merupakan fase untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik,


memerhatikan dan mengembangkan motivasi terhadap topic materi pembelajaran

Elicitasi, merupakan fase membantu peserta didikmeggali ide-ide yang dimilikinya


dengan member kesempatan kepada peserta didik untuk mendiskusikan atau
menggambarkan pengetahuan dasar atau ide mereka.

Restruksi ide, dalam hal ini peserta didik melakukan klarifikasi ide dengan cara
mengontraskan ide-idenya dengan ide orang lain

Aplikasi ide, dalam fase ini, idea tau pengetahuan yang telah dibentuk peserta didik
perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi.

Reviu, dalam fase ini memungkinkan peserta didik mengaplikasikan pengetahuannya


pada situasi yang dihadapi sehari-hari, merevisi gagasannya dengan menambah suatu
keterangan atau dengan cara mengubahnya menjadi lebih lengkap.

5.

Model Pembelajaran dari Teori Konstruktivisme


Model pembelajaran diartikan sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan
dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai
pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi guru dalam melaksanakan aktivitas
pembelajaran (Sagala:2012:176). Beberapa model pembelajaran dari pengembangan teori
konstruktivisme antara lain:

Discovery Learning
Discovery Learning merupakan proses pembelajaran yang menitikberatkan pada
mental intelektual para anak didik dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi,
sehingga menemukan suatu konsep atau generalisasi yang dapat diterapkan di lapangan

(Illahi: 2012: 29). Model pembelajaran ini mengubah kondisi siswa yang pasif menjadi
aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented menjadi student
oriented. Model ini juga mengubah dari modus rxpository siswa ke modus discovery
yang menuntut siswa secara aktif menemukan informasi sendiri melalui bimbingan guru
-

Reception Learning
Model reception learning menuntut guru menyiapkan situasi belajar, memilih materimateri yang tepat untuk siswa, dan kemudian menyampaikan dalam bentuk pengajaran
yang terorganisasi dengan baik, mulai dari umum ke hal-hal yang terperinci. Menurut
Ausubel, pada dasarnya orang memperoleh pengetahuan melalui penerimaan, bukan
melalui penemuan.

Assisted Learning
Assisted learning mempunyai peran sangat penting bagi perkembangan individu.
Menurut Vygotsky, perkembangan kognitif terjadi melalui proses interaksi dan
percakapan seorang anak dengan lingkungan sekitarnya. Orang lain disebut sebagai
pembimbing atau guru.

Active Learning
Active learning merupakan suatu pendekatan dalam pengelolaan system
pembelajaran melalui cara-cara belajar yang aktif menuju belajar yang mandiri. Belajar
aktif merupakan strategi belajar yang diartikan sebagai proses belajar mengajar yang
menggunakan berbagai metode yang menitikberatkan kepada keaktifan siswa dan
melibatkan potensi siswa, baik secara fisik, mental, emosional maupun intelektual untuk
mencapai tujuan pendidikan yang berhubungan dengan wawasan kognitif, afektif, dan
psikomotorik secara optimal.

Kontekstual Learning
Pembelajaran kontekstual learning merupakan suatu proses pendidikan yang holistic
dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang
dipelajari dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka seharihari.

Quantum Learning
Quatum learning ialah pengajaran yang dapat mengubah suasana belajar yang
menyenangkan serta mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya
yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain.

6.

Dampak Teori Kostruktivisme terhadap Pembelajaran


Dampak teori kostruktivisme secara umum merupakan gabungan penerapan baik
dari konsep Piaget maupun Vygotsky terhadap pembelajaran sebagaimana tertera dalam
table dibawah ini (Suyono dan Hariyanto:2011) :
Pendidikan
Menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemapuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
masalah yang dihadapi
Kurikulum
Konstruktivisme tidak memerlukan kurikulum
yang terstandarisasi melainkan disesuaikan
dengan pengetahuan siswa
Pengajaran
Pendidik focus terhadap bagaimana menyusun
hubungan antara fakta-fakta serta memperkuat
perolehan pengetahuan yang baru bagi siwa
Pembelajaran
Diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan
cara belajar yang sesuai bagi dirinya
Penilaian
Tidak memerlukan tes yang baku melaikan
memerlukan penilaian proses

7.

Kelebihan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme


Kelebihan teori konstruktivisme menurut Cahyo (2013) yaitu guru bukan satusatunya sumber belajar, siswa lebih aktif dan kreatif, pembelajaran menjadi lebih
bermakna, pembelajar memiliki kebebasan, membina sikap produktif dan percaya diri,
proses evaluasi difokuskan pada penilaian proses, dan siswa menjadi lebih mudah
paham.
Sedangkan kelemahan teori konstruktivisme adalah perolehan informasi
berlangsung satu arah, siswa dituntut harus aktif, dan guru tidak mentransfer
pemgetahuan yang telah dimiliki, melainkan membantu siswa.

C.

KESIMPULAN

Teori konstruktivisme merupakan teori belajar yang menuntut siswa


mengkonstruksi kegiatan belajar dan mentransformasikan informasi kompleks untuk
membangun pengetahuan secara mandiri dan inisiatif. Dalam implikasi teori
konstruktivisme dalam pembelajaran terbagi dalam lima fase, yaitu orientasi, elicitasi,
restrukturisasi ide, aplikasi ide, dan reviu. Model pembelajaran yang dapat diaplikasikan
dalam proses belajar mengajar sesuai dengan pengembangan teori konstruktivisme
yaitu discovery learning, reception learning, assisted learning, active learning,contextual
learning and quantum learning.

DAFTAR PUSTAKA
Cahyo, Agus N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar. Yogyakarta: Diva Press
Dimjati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Illahi, Moh. Takdir. 2012. Pembelajaran Discovery Strategy dan Mental Vocational Skill.
Jogjakarta: Diva Press
Sagala, Syaiful. 2012. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplkasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung:
Rosda
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK


1.
Ragam Teori Konstruktivistik
a.
Konstruktivistik Kognitif
Ketidakpuasan terhadap behaviorisme yang fokus pada tingkah laku teramati telah membawa Jean
Piaget untuk mengembangkan satu pendekatan belajar yang lebih menaruh perhatian pada apa yang
terjadi pada kepala anak. Pengertian belajar menurut konstruktivistik kognitif adalah proses perubahan
dalam struktur kognitif seorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat individual dan
internal. Adapun konsep pokok Jean Piaget sebagai berikut:
1)

Equilibrium/Disequilibrium

Situasi ketidaktahuan atau konflik dalam diri individu yang disebabkan rasa ingin tahu, menyebabkan
seseorang berada dalam ketidakseimbangan yang disebut disequilibrium. Manusia berusaha mengatasi
kondisi disequilibrium yang tidak menyenangkan dengan bertanya, membaca, mendatangi kejadian, dan
semacamnya agar tercipta kondisi equilibrium. Sehingga disequilibrium menjadi drive for
equilibration atau menjadi dorongan/motivasi untuk bertindak.
2)
Organisasi & Skema
Perlu diketahui bahwa apa yang dipelajari anak tidak masuk begitu saja kealam berpikir anak, atau
dengan kata lain apa yang masuk, tidak tersimpan secara acak-acakan ke dalam otak. Apa yang masuk
akan disusun sedemikian rupa agar berkaitan dengan kerangka berpikir yang dimilikinya yang
disebut pengorganisasian.
Setiap struktur atau hirarki dari pengorganisasian semua pengetahuan yang dimiliki individu terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dan membentuk kerangka struktur yang disebut skema. Dalam
pembelajaran, tiap materi yang dipelajari sebaiknya dikaitkan dengan pengalaman anak sebelumnya
(skema) agar terkoneksi dengan struktur kognitif siswa.
3)
Adaptasi : Asimilasi & Akomodasi
Terkadang saat memperoleh pengalaman baru dan pada saat bersamaan kita mengetahui bahwa
pengalaman sebelumnya yang sudah dimiliki ternyata sudah tidak sesuai lagi. Proses penyesuaian
skema dengan pengalaman baru dalam upaya mempertahankan equilibrium disebut adaptasi.
Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah proses mental
yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

Selain Piaget, ada tokoh konstruktivistik kognitif lain yakni Jerome Bruner dengan discovery
learning (belajar penemuan) di mana siswa belajar dengan caranya sendiri untuk menemukan prinsipprinsip dasar. Dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar lebih jauh lagi menurut caranya
sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa
mendapatkan pengalaman-pengalaman serta melakukan eksperimen.
b.
Konstruktivistik Sosial
Berbeda dengan konstruktivistik kognitif dimana anak cenderung lebih bebas mengkonstruk sendiri
pengetahuannya dan peran guru yang akhirnya kabur dan tidak jelas sebagai pengajar. Sebaliknya,
konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam
konteks sosial sehingga peran guru menjadi jelas dalam membantu anak mencapai kemandirian. Dari
Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas
sosiakultural. Pengertian belajar menurut konstruktivistik sosial adalah proses perubahan perilaku yang
terjadi sebagai akibat munculnya pemahaman baru yang dibangun dalam konteks sosial sebelum
menjadi bagian pribadi individu.
Menurut Santrock (2008) salah satu asumsi penting dari konstruktivistik sosial adalah situated
cognition yaitu ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik,
bukan dalam pikiran seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan
dan dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jadi idealnya, situasi
pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia nyata.
Menurut Vygotsky dalam Slavin (2008) ada empat prinsip konstruktivistik sosial:
1)
Pembelajaran Sosial (social learning)
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky
menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih
cakap. Pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok
kecil untuk saling membantu dalam belajar.
2)
Zone of Proximal Development (ZPD)
Bahwa siswa akan mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja
dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu
setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support diberikan agar
siswa mampu mengerjakan tugas atau soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat
perkembangan kognitif anak.
Bila materi yang diberikan di luar ZPD maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, materi tersebut
tidak menantang atau terlalu mudah untuk diselesaikan. Kedua, materi yang disajikan terlalu tinggi
dibandingkan kemampuan awal sehingga anak kesulitan untuk menguasai apalagi menyelesaikannya,
bahkan anak bisa mengalami frustasi.
3)
Cognitive Apprenticeship
Yaitu proses yang digunakan seorang pelajar untuk secara bertahap memperoleh keahlian melalui
interaksi dengan pakar, bisa orang dewasa atau teman yang lebih tua/lebih pandai. Pengajaran siswa
adalah suatu bentuk masa magang/pelatihan. Awalnya, guru memberi contoh kepada siswa kemudian

membantu murid mengerjakan tugas tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan tugasnya
secara mandiri.
4)
Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning)
Vygostky menekankan pada scaffolding yaitu bantuan yang diberikan oleh orang lain kepada anak untuk
membantunya mencapai kemandirian. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan
kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Bantuan yang diberikan guru
dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam
upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:
1.
Siswa mencapai keberhasilan dengan baik.
2.
Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan.
3.
Siswa gagal meraih keberhasilan.
Dari uraian di atas maka secara garis besar perbedaan antara konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik
sosial sebagai berikut:
Aspek

Konstruktivistik Kognitif

Konstruktivistik Sosial

Pengetahuan

Dibangun secara individual dan


internal. Sistem pengetahuan
secara aktif dibangun oleh
pebelajar berdasarkan struktur
yang sudah ada

Dibangun dalam konteks sosial


sebelum menjadi bagian pribadi
individu

Pandangan
terhadap
interaksi

Menimbulkan disequilibration
yang mendorong individu
mengadaptasi skema-skema
yang ada

Meningkatkan pemahaman yang


telah ada sebelumnya dari hasil
interaksi

Belajar

Proses asimilasi dan akomodasi


aktif pengetahuan-pengetahuan
baru ke dalam struktur kognitif
yang sudah ada

Integrasi siswa ke dalam


komunitas pengetahuan.
Kolaborasi informasi baru untuk
meningkatkan pemahaman

Strategi belajar

Experience based & discovery


oriented

Sharing & Cooperative learning

Peran guru

Minimal & lebih membiarkan


siswa menemukan sendiri ide
sehingga posisi guru sebagai
pengajar menjadi kabur

Penting dalam membantu


(scaffolding) siswa mencapai
kemandirian melalui interaksi
sosial.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut: (1) tujuan
pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah

berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
2.
Nilai-nilai Konstruktivistik
Menurut Lebow dalam Hitipeuw (2009) nilai-nilai konstruktivistik yang utama adalah:
1.

Collaboration: apakah tugas-tugas pembelajaran dicapai melalui kerjasama dengan


komunitasnya atau tidak?
2.
Personal autonomy: apakah kepentingan pribadi pembelajar menentukan kegiatan dan proses
pembelajaran yang diterimanya?
3.
Generativity: apakah ada kemungkinan pembelajar didorong untuk membangun dan menemukan
sendiri prinsip-prinsip dan didorong untuk mengelaborasi apa yang diterima?
4.
Reflectivity: apakah setelah pembelajaran selesai misalnya, pembelajar bisa melihat manfaat dari
apa yang telah dipelajarinya dan apakah dia menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk
memperbaiki belajarnya sesuai dengan konteksnya?
5.
Active engagement: apakah setiap individu terlibat secara aktif dalam belajar untuk membangun
pemahamannya atau pembelajar lebih pada menerima saja apa yang diberikan?
6.
Personal relevance: apakah pembelajar bisa melihat keterkaitan dari apa yang dipelajarinya
dengan kehidupannya sendiri?
7.
Pluralism: apakah pembelajarannya tidak menekankan pada satu cara atau satu solusi? Apakah
semua pendapat pribadi mendapat tempat dalam dialog pembelajaran?
3.
Prinsip-prinsip Utama Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Menurut Hitipeuw (2009) prinsip-prinsip utama konstruktivistik dalam pembelajaran di kelas adalah:
1.

The best learning is situated learning. Pembelajar memecahkan masalah, menjalankan tugas,
belajar materi baru dalam suatu konteks yang bermanfaat bagi pembelajar dan berkaitan dengan
dunia nyata.
2.
Pembelajar dalam proses belajarnya mendapatkan scaffolding yang bisa datang dari guru atau
teman dalam mengembangkan pemahaman atau keterampilan barunya. Di sini, konstruktivistik
mendorong apprenticeship approach (cognitive apprenticeship), menunjukkan pada proses di mana
seorang pembelajar memperoleh keahlian secara perlahan-lahan melalui interaksi dengan seorang
ahli, apakah seorang dewasa atau dua orang yang lebih maju darinya.
3.
Mengkaitkan semua kegiatan belajar ke dalam tugas atau problema yang lebih besar. Tujuannya
agar pembelajar dapat melihat relevansi tujuan belajarnya yang spesifik dan kaitannya dengan tugas
yang lebih besar dan kompleks sehingga kelak mereka dapat berfungsi lebih efektif dalam kehidupan
nyata.
4.
Membantu pembelajar dalam mengembangkan rasa memiliki atas semua masalah dan tugasnya.
Jadi bukan sekedar lulus tes.
5.
Mendesain tugas yang autentik. Membuat tugas-tugas yang menantang kognitif siswa dalam
belajar sains misalnya seperti layaknya ilmuwan. Problem atau tugas bisa dinego dengan pembelajar
agar sesuai dengan tuntutan kognitif dan dapat mendorong rasa memiliki.
6.
Mendesain tugas dan lingkungan belajar yang merefleksikan kompleksitas lingkungan yang kelak
pembelajar diharapkan berfungsi di dalamnya.
7.
Memberi kesempatan bagi pembelajar untuk memiliki dan menemukan proses mendapatkan
solusi.
8.
Mendesain lingkungan pembelajar yang mendukung dan menantang pemikiran pembelajar. Di
sini guru bertindak sebagai konsultan atau pelatih sesuai dengan konsep scaffolding & zone of
proximal development dari Vygotsky.
Selain prinsip di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran
konstruktivistik, yaitu:
1)

Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan;

2)

Mengutamakan proses;

3)

Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;

4)

Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.

4.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
a.
Kelebihan :
1) Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan
gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
2) Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah
dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena
yang menantang siswa.
3) Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini
dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori,
mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
4) Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks.
5) Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka
setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan
gagasan mereka.
6) Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa
mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang
benar.
b.
Kelemahan :
1)
Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak
cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan miskonsepsi.
2)
Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti
membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
3)
Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana
prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
D.
BK

IMPLIKASI TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM SETTING

Berdasarkan teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka ada beberapa penerapan dalam
bimbingan dan konseling yaitu:
1.
Bimbingan kelompok
Menurut Romlah (2006) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan pada
individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk mencegah timbulnya masalah
pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Ada beberapa teknik yang biasa digunakan dalam
pelaksanaan bimbingan kelompok antara lain: pemberian informasi (ekspositori), diskusi kelompok,
pemecahan masalah (problem solving), penciptaan suasana kekeluargaan (home room), permainan
peranan (role playing), karyawisata, dan permainan simulasi.
2.
Konseling kelompok
Menurut Romlah (2006) konseling kelompok adalah usaha bantuan yang diberikan kepada individu dalam
situasi kelompok dalam rangka memberikan kemudahan atau kelancaran dalam perkembangan individu
yang bersifat perbaikan dan pencegahan.
3.
Konseling Teman Sebaya (Peer Konseling)
Konseling teman sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku membantu secara interpersonal yang
dilakukan oleh individu nonprofesional yang berusaha membantu orang lain. Konseling sebaya
memungkinkan siswa untuk memiliki keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman
kemandirian dan kemampuan mengontrol diri yang sangat bermakna bagi remaja. Konseling
sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para remaja
yaitu respect.
4.
Konseling Postmodern
Konstruktivisme sosial adalah perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang menekankan
realitas klien apakah akurat atau rasional (Weishaar 1993 dalam Corey 2005). Pada dasarnya semua
pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang
kita terapkan pada suatu fenomen tertentu. Pendekatan konseling postmodern adalah Solution Focused
Brief Therapy (SFBT) dan naratif. Dalam beberapa literatur SFBT disebut Terapi Konstruktivis
(Constructivist Therapy).
DAFTAR RUJUKAN
Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,CA:Brooks/Cole.
Hitipeuw, I. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Malang.
Ornstein, C., Levine, U.D.1984. Foundations of Education, Houghton Mifflin Company. Boston.
Rahmantyo, G. 2010. Teori Pembelajaran Kooperatif (Online) (http://bloganakdesa.blogspot.com/2010/01/teori-belajar-kooperatif.html, diakses 6 November 2011)
Romlah, T. 2006. Teori dan Praktek Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri Malang.
Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua (terjemahan). Jakarta: Kencana.
Slavin, R. E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice Eighth Edition. USA: Allyn Bacon.
Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek Edisi Kedelapan (Jilid 2). Jakarta: PT Indeks.

Winda, H. 2011. Pembelajaran Konstruktivistik. (Online)


(http://windakutubuku.blogdetik.com/2011/03/24/pembelajaran-konstruktivistik/, diakses 6 November
2011)

Anda mungkin juga menyukai