PERCOBAAN 4
PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP BIOAVAILABILITAS SUATU
OBAT DENGAN MENGGUNAKAN DATA DARAH
Disusun oleh :
Golongan / Kelompok
:I/1
Nama Mahasiswa
(G1F014001)
(G1F014017)
3. Ismah Maziyah
(G1F014033)
(G1F014053)
(G1F014071)
Tanggal Praktikum
: 18 Mei 2016
Nama Asisten
(Batubara, 2008).
Pada praktikum ini dilakukan melalui pemberian peroral saja pada tikus
kemudian dilihat bioavailabilitasnya menggunakan data darah yang diambil dengan
disposable syringe.
2. Dasar Teori
Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008).
Jalur Enternal Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal
(GI), seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian
melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena paling
murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur
enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak
sadar atau tidakdapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain
alasan di atas jugaalasan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan
dianjurkan jika obatdapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan emergensi
(obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
1. Parenteral
berarti
tidak
melalui
enteral.
Termasuk
jalur
parenteral
(Mutschler,
1999),
konsep
bioavailabilitas
pertama
kali
diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari
absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama kali adalah availabilitas
fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas.
Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas
masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya
produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan
dari pasien dan dokter di man obat yang sama memberikan efek terapeutik yang
berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek
2
mengganti obat yang tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Sebagai cabang
ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang bioavailabilitas dalam
berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas adalah absorpsi
obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang perlu
dipertimbangkan, yaitu :
1) kecepatan absorpsi obat
2) jumlah obat yang diabsorpsi
Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang
diinginkan dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat
diperkirakan bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi
berikut ini merupakan definisi yang relative lebih sesuai dengan kedua faktor di atas
adalah:
Definisi 1: Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi
obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke
dalam sirkulasi sistemik.
Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi
obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.
Menurut (Shargel, 2005), parameter yang harus diperhatikan ketika
menggunakan data darah adalah sebagai berikut:
1. T maks
Waktu kadar plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang
diperlukan obat untuk mencapat kadar maksimum. Pada T maks absorbsi adalah
terbesar dan laju absorbsi sama dengan laju eliminasi obat.
2. Cp maks
Kadar plasma puncak menunjukan kadar obat maksimum dalam darah setelah
pemberian obat secara oral. Cp maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup
diabsoorbsi secara sistemik untuk memberikan respon terapetik.
3. AUC
AUC adalah kadar obat dalam plasma terhadap waktu, yaitu suatu ukuran dari
jumlah bioavailabilitas suatu obat.
Untuk mendapatkan data yang benar dari parameter tersebut, maka data darah
yang dipakai harus memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu:
- Pengambilan darah harus kontinyu selama paling sedikit tiga atau lebih baik lima
-
3. Tujuan Percobaan
Tujuan Umum : Membandingkan bioavailabilitas suatu obat dari rute
Sulfadiazin
- ditimbang
Hasil
4. Pengambilan sampel darah dengan disposable syringe
Tikus
-
Hasil
5. Metode penetapan kadar sulfadiazin dalam darah dengan metode Azotasi dari
Bratton Marshal
250 L darah
-
beningan
beningan
- ditambahkan 0,1 ml NaNO2 0,1% dan didiamkan selama 3 menit
- ditambahkan 0,2 ml asam sulfat 0,5% dan didiamkan selama 2 menit
- ditambahkan 0,2 ml N-EDTA 0,1% dan didiamkan di tempat gelap
selama 5 menit
cairan berwarna
-
Hasil
5
Hasil
D. HASIL PERCOBAAN
1. Pembuatan Larutan Baku
5 mg ad 50 ml = 5 mg/ 50 ml
= 5000 g/ 50 ml
= 100 g/ml
2. Pengenceran Larutan Baku
75 g/ml
M1 . V1 = M2 . V2
100 g/ml V1 = 75 g/ml . 10 ml
V1 = 7,5 ml ad 10 ml
50 g/ml
M1 . V1 = M2 . V2
100 g/ml V1 = 50 g/ml . 10 ml
V1 = 5 ml ad 10 ml
25 g/ml
M1 . V1 = M2 . V2
50 g/ml V1 = 25 g/ml . 10 ml
V1 = 5 ml ad 10 ml
10 g/ml
M1 . V1 = M2 . V2
100 g/ml V1 = 10 g/ml . 10 ml
V1 = 1 ml ad 10 ml
5 g/ml
M1 . V1 = M2 . V2
50 g/ml V1 = 5 g/ml . 10 ml
V1 = 1 ml ad 10 ml
mg/gr BB
50 mg
Dosis untuk tikus 1000 gram 80 gram=4 mg
Wadah
Wadah + tablet
Tablet
0,4174 gram
0,9804 gram
0,563 gram
4 mg
563 mg=4,504 mg
500 mg
= 0,0045 gram/ml
= 0,1125 gram/ 25 ml
0,3066 gram
0,4190 gram
0,1124 gram
4. Data in vitro
Cobat
(mcg/ml)
(mcg/ml)
2,5
0,287
10
0,355
25
12,5
0,667
50
25
0,746
75
37,5
0,918
Absorbansi
a = 0,037
b = 0,539
r = 0,98
y = 0,037 + 0,539 x
log C vs Absorbansi
1
0.8
0.6
Absorbansi
0.4
0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.2
1.4
log C
Kel
II
III
IV
t
5
10
20
30
45
60
90
t
5
10
20
30
45
60
90
5
10
20
30
45
60
90
5
10
20
30
45
60
90
Absorbansi
0,159
0,154
0,149
0,178
Absorbansi
0,195
0,134
0,333
0,160
0,188
0,175
0,165
0,199
0,173
0,127
0,095
0,164
0,438
0,431
0,103
0,237
0,282
0,161
0,264
0,321
0,294
Kadar (Cp)
0,2263
0,2170
0,2077
0,2615
Kadar (Cp)
0,293
0,179
0,549
0,228
0,280
0,256
0,233
0,300
0,252
0,166
0,107
0,235
0,743
0,730
0,122
0,371
0,454
0,230
0,421
0,526
0,476
Log Cp
-0,6453
-0,6635
-0,6825
-0,5825
Log Cp
-0,533
-0,747
-0,260
-0,642
-0,553
-0,592
-0,633
-0,523
-0,598
-0,779
-0,971
-0,628
-0,129
-0,136
-0,914
-0,431
-0,343
-0,638
-0,376
-0,279
-0,322
1.6
1.8
t
45
60
90
Absorbansi
0,188
0,175
0,165
Kadar (Cp)
0,280
0,256
0,233
a = -0,4809
b = -1,7147 x 10-3
r = -0,9845
Log Cp
-0,553
-0,592
-0,633
Ke = 2,303 x (-b)
= 2,303 x 1,7147 x 10-3
= 3,9489 x 10-3 /menit
T = 175,5 menit
t vs Log Cp eliminasi
-0.5
40
-0.52
50
60
70
80
90
100
-0.54
Absorbansi
-0.56
-0.58
f(x) = - 0x - 0.48
R = 0.97
-0.6
-0.62
-0.64
Log Cp
IV
Log C
Log [C C]
5
10
-0,4809
-0,4980
0,330
0,318
-0,682
Math ERROR
20
-0,5152
0,305
Math ERROR
6. AUC
9
t vs Log [C
C]
Ka tidak
dapat
ditentukan
Kelompok I
10
[ AUC ] 5 =
( C5 +C 10 )( t 10t 5 )
2
[ AUC ] 10
5 =1,1083 mg.menit/ml
20
[ AUC ]1 0=
[ AUC ]30
15 =2,1235
mg.menit/ml
[ AUC ]30
20 =
[ AUC ]15
0 =2,346
-
mg.menit/ml
Kelompok II
10
[ AUC ] 5 =
( C5 +C 10 )( t 10t 5 )
2
10
[ AUC ]30
15 =3,64
30
[ AUC ]20=
mg.menit/ml
[ AUC ]15
0 =3,885
mg.menit/ml
[ AUC ]45
30 =
(C 30 +C 45)(t 45t 35 )
2
[ AUC ]15
0 =3,81
mg.menit/ml
60
[ AUC ]45=
(C 45 +C 60)(t 60t 45 )
2
[ AUC ]15
0 =4,02
mg.menit/ml
[ AUC ]90
60 =
[ AUC ]15
0 =7,335
mg.menit/ml
-
Kelompok III
10
10
[ AUC ] 5 =
( C5 +C 10 )( t 10t 5 )
2
[ AUC ] 10
5 =1,38 mg.menit/ml
[ AUC ]20
1 0=
30
15
[ AUC ]45
30 =
[ AUC ]15
0 =2,565
mg.menit/ml
60
[ AUC ]45=
(C 45 +C 60)(t 60t 45 )
2
[ AUC ]15
0 =7,335
mg.menit/ml
[ AUC ]90
60 =
15
Kelompok IV
( C +C )( t t )
10
[ AUC ] 5 = 5 10 10 5
2
10
[ AUC ]30
15 =4,125
mg.menit/ml
30
[ AUC ]20=
[ AUC ]15
0 =3,42
mg.menit/ml
[ AUC ]15
0 =4,8825
mg.menit/ml
60
[ AUC ]45=
(C 45 +C 60)(t 60t 45 )
2
11
[ AUC ]45
30 =
(C 30 +C 45)(t 45t 35 )
2
15
[ AUC ]15
0 =15,03
mg.menit/ml
7. Perhitungan kesalahan acak
Kel
I
II
III
Kadar
terukur
terukur)
acak
0,235
SD = 0,082
0,082
x 100
0,235
0,254
= 34,89%
SD = 0,083
0,083
x 100
0,254
0,344
= 32,67%
SD = 0,186
0,186
x 100
0,344
0,208
= 54,06%
SD = 0,68
0,68
x 100
0,208
0,312
= 32,69%
SD = 0,079
0,079
x 100
0,312
0,508
= 25,32%
SD = 0,199
0,199
x 100
0,508
0,479
= 39,17%
SD = 0,202
0,202
x 100
0,479
0,2263
0,293
0,300
IV
0,122
I
II
III
0,2170
0,179
0,252
10
IV
0,371
I
II
III
0,2077
0,549
0,166
20
IV
0,454
I
II
III
0,2615
0,228
0,107
30
IV
0,230
I
II
III
0,280
0,235
45
IV
0,421
I
II
III
0,256
0,743
60
IV
0,526
I
II
III
0,233
0,730
90
IV
(kadar
0,476
Kesalahan
= 42,17%
E. PEMBAHASAN
12
melainkan
dilakukan
oleh
asisten,
hal
ini
dikarenakan
untuk
mempersingkat waktu praktikum. Pada praktikum ini juga sudah tersedia data in vitro
yang sudah dilakukan sebelumnya.
In vitro (dalam kaca) mengacu prosedur perlakuan yang diberikan dalam
lingkungan terkendali di luar organisme hidup. Teknik in vitro mudah dilakukan.
Kadang-kadang peneliti memiliki keterbatasan dalam mengakses organisme hidup
dan pendekatan vitro menjadi solusi dalam hal ini. Penelitian in vitro dapat
menghasilkan kesimpulan yang tidak sesuai dengan keadaan organisme hidup
(Anonim, 2015).
13
untuk
mencegah
penggumpalan.
Darah
diambil
pada
menit
ke-
0,10,20,30,45,60,90 dan diambil satu sampel darah sebelum pemberian obat sebagai
blanko.
Langkah selanjutnya adalah pemrosesan sampel darah in vitro yaitu 250 l
darah yang diambil setiap menit ke- 0,10,20,30,45,60,90 ditambahkan dengan 250 l
aquadest dan 2 ml TCA 5%. Penambahan TCA berfungsi untuk memberikan suasana
asam bagi reaksi diazotasi; sebagai donor proton untuk reaksi selanjutnya, serta
merupakan
senyawa
yang
dapat
menghentikan
kerja
enzim
yang
dapat
cairan bening. Cairan bening yang diambil harus tanpa endapan. Hal ini bertujuan
untuk mengambil obat yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat pada
protein plasma tidak akan aktif secara farmakologik sehingga tidak memiliki efek
terapeutik atau dengan kata lain akan dapat menyebabkan data hasil pengamatan tidak
valid (Anggraeni, 2010).
Supernatan yang didapat sebanyak 1,5 ml ditambahkan dengan aquadest
sebanyak 2 ml, kemudian ditambahkan 0,1 ml NaNO2 0,1% dan didiamkan selama 3
menit. Penambahan NaNO2 ini berfungsi sebagai reaksi diazotasi. Reaksi diazotasi
yaitu pembentukan garam diazonium yang sangat reaktif. NaNO2 akan membentuk
NaOH dan HNO2 dengan adanya H2O dalam darah. Lalu HNO2 terbentuk akan
membentuk ionnitronium dengan adanya keasaman dari TCA. HNO 2 bersifat
oksidator, dapat mengoksidasi senyawa kopling hasil reaksi antara garam diazonium
dengan N-1-naftil etilen diamin. Sehingga kelebihan HNO2 harus dihilangkan dengan
cara menambahkan 0,2 ml asam sulfat 0,5%. Asam sulfat merupakan suatu reduktor
sehingga dapat bereaksi redoks dengan HNO2 (Hart, 2003).
Setelah itu ditambahkan N-1-naftil etilen diamin 0,1% sebanyak 0,2 ml
sehingga terbentuk senyawa kopling yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi
yang lebih panjang. Lalu ditempatkan ditempat gelap selama 5 menit agar
pembentukan warna lebih sempurna. Adanya cahaya dapat memutus ikatan
konjugasinya sehingga ikatannya menjadi lebih pendek dan tidak dapat dideteksi
dengan UV-Vis. Kemudian akan terbentuk warna ungu yang menandai adanya reaksi
kopling. Mekanisme reaksi diazotasi dan pembentukan senyawa kopling:
15
(Hart, 2003).
Setelah itu, dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum dan
penentuan operating time. Namun, pada percobaan ini tidak dilakukan kedua hal
tersebut hanya saja pada saat penambahan N-1-naftil etilen diamin didiamkan selama
5 menit yang diibaratkan sebagai operating time. Kemudian dilakukan pengukuran
absorbansi menggunakan spektorofometer dengan panjang gelombang 546 nm.
Hasil vs Pustaka
Data pengamatan yang diperoleh adalah persamaan regresi linier dari data
invitro, kemudian dihitung konsentrasi sampel berdasarkan persamaan regresi
tersebut. Kemudian dihitung juga AUC yang diperoleh, K eliminasi, K absorbsi, dan
kesalahan acak. Data yang digunakan untuk menghitung K eliminasi yaitu data
kelompok 2 pada menit ke- 45,60,dan 90, sedangkan untuk menghitung K absorbsi
yaitu data kelompok 4 pada menit ke -5,10,20. Hal ini dilakukan karena data yang
diperoleh setelah percobaan ternyata masih banyak terdapat kesalahan, sehingga
hanya dipakai data beberapa kelompok saja.
Nilai K eliminasi yang didapatkan adalah 0,00394/menit, sedangkan K
absorbsi tidak dapat ditentukan. Pada menit ke- 5,10,20 konsentrasi yang diperoleh
berturut-turut adalah 0,122; 0,371; 0,454 dan pada menit ke -45,60,90 konsentrasi
yang diperoleh berturut-turut adalah 0,280; 0,256; 0,233. Hasil yang diperoleh pada
semua kelompok sesuai dengan literatur karena ketika obat diberikan dengan rute
peroral, obat baru saja diberikan kepada subyek (pada t=0), kadar obat di dalam darah
C=0, karena belum ada proses absorpsi. Kemudian, karena jumlah obat yang
diabsorpsi pada waktu-waktu awal lebih besar dari jumlah obat yang dieliminasi,
kadar obat di dalam darah terus meningkat (pada menit ke-5 sampai menit ke-20),
sampai mencapai kadar puncak (Cmaks). Pada kadar puncak ini, kecepatan absorpsi
sama dengan kecepatan eliminasi obat. Begitu mencapai kadar puncak, kadar obat
terus menurun (pada menit ke-45 sampai menit ke- 90), sebab jumlah obat yang
tersedia untuk diabsorpsi makin berkurang, sehingga menyebabkan penurunan
kecepatan absorpsi (Shargel dkk., 2005).
Kesalahan acak menunjukkan presisi atau ketepatan suatu analisis. Kesalahan
pada percobaan seharusnya kurang dari 10% agar dapat dikatakan presisi atau akurat
(Shargel, 2005). Kesalahan acak pada menit ke-5 sebesar 34,89% , pada menit ke-10
sebesar 32,67% , pada menit ke- 20 sebesar 54,06% , pada menit ke- 30 sebesar
32,69%, pada menit ke- 45 sebesar 25,32%, pada menit ke-60 sebesar 39,17% , dan
16
pada menit ke- 90 sebesar 42,17%. Hasil percobaan menunjukkan nilai kesalahan
acak yang melebihi 10%. Hal ini menunjukkan bahwa percobaan yang dilakukan tidak
presisi dan tidak memenuhi syarat. Kesalahan ini umumnya disebabkan masalah
pengukuran berulang dan alat yang digunakan kurang sensitif. Selain itu pada
pengukuran saat praktikum terjadi kesalahan saat penetapan blanko spektrofotometri
sehingga mempengaruhi nilai pembacaan absorbansi. Tujuan praktikum kali ini
adalah membandingkan bioavailabilitas suatu obat dari rute pemakaian yang berbeda
menggunakan data darah, tetapi karena pada praktikum data pengamatan yang
diperoleh masih banyak terdapat kesalahan maka bioavailabilitas, recovery suatu obat
tidak dapat ditentukan, melainkan hanya ditentukan kesalahan acak
AUC atau Area Under Curve adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC
dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk
bioavailabilitas
suatu
Pada menit ke- 5,10,20 konsentrasi yang diperoleh berturut-turut adalah 0,122;
0,371; 0,454 dan pada menit ke -45,60,90 konsentrasi yang diperoleh berturut-turut
adalah 0,280; 0,256; 0,233. Sedangkan kesalahan acak pada menit ke-5 sebesar
34,89% , pada menit ke-10 sebesar 32,67% , pada menit ke- 20 sebesar 54,06% , pada
menit ke- 30 sebesar 32,69%, pada menit ke- 45 sebesar 25,32%, pada menit ke-60
sebesar 39,17% , dan pada menit ke- 90 sebesar 42,17%. AUC total yang diperoleh
sebesar 5,5778 mg.menit/mL. Perubahan konsentrasi obat pada waktu pengukuran
sesuai dengan perubahan konsentrasi pemberian per oral, namun pengukuran yang
dilakukan belum baik karena belum memenuhi persyaratan parameter.
G. DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, I. I., 2010, Penetapan kadar Medroksiprogesteron Asetat Dalam Plasma
Secara In vitro Dengan KCKT, Skripsi, Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Anonim,
2015,
Teknik
In
Vitro,
In
Vivo
dan
In
Silico,
Pertanyaan
1. Bagaimana cara pengambilan sampel darah pada tikus?
Jawab : pengambilan sampel darah pada tikus dapat dilakukan melalui beberapa cara
berikut :
a. Plexus Retroorbitalis pada mata
tikus dipegang dan di jepit bagian tengkuk jari tangan.setelah itu tikus
dikondisikan
senyaman
mungkin,kemudian
Mikrohematikrit
digoreskan
pada medial canthus mata dibawah bola mata ke arah foramen opticus.Kemudian
mikrohematokrit diputar sampai melukai plexus, jika diputar 5X maka harus
dikembalikan 5X. Darah ditampung pada Eppendorf yang telah diberi EDTA
untuk tujuan pengambilan plasma darah
dan
pengambilan
serumnya,bisa
juga
antikoagulan.
b. Pada Vena Ekor (V. Lateralis ekor)
19
tanpa
EDTA
untuk
tujuan
Tikus dimasukkan dalam selongsong yang sesuai ukurannya tubuh tikus. Ekor
tikus dijulurkan keluar dan Vena lateralis pada ekor di Incisi (dipotong) 0,2 2 cm
dari pangkal ekor dengan silet atau gunting yang steril. Darah ditampung pada
eppendorf, kemudian diletakkan miring 45 dan dibiarkan mengendap pada
suhu kamar, selanjutnya dilakukan sentrifugasi untuk mendapatkan serum yang
dimaksud.
c. Pengambilan darah melalui vena sapena pada kaki
Mencit dipegang pada posisi setengah tegak,jarum
paha belakang sebelah
bantuan
dalam
agar
posisi
jarum
diinjeksikan
tidak
berubah,
pada
perlu
Eppendorf.
d. Pengambilan darah langsung ke jantung
e. Teknik ini umumnya dilakukan jika darah yang dibutuhkan banyak dan tikus yang
diambil darahnya ini akan sekalian dibedah untuk diambil organnya. Cara
memperoleh darah dari jantung tikus lebih sering dipakai daripada mencit.
Diperlukan anastesi dan cara ini sama pada mencit. Prinsip ini umumnya
dilakukan jika darah yang dibutuhkan banyak dan tikus yang diambil darahnya ini
akan sekalian dibedah untuk diambil organnya. Caranya dengan menusukkan
syringe langsung ke jantung dan disedot perlahan.
2. Jelaskan prinsip dan bagaimana reaksi penetapan kadar sulfadiazin dalam darah?
Jawab :
Penetapan kadar sulfadiazin menggunakan metode bratton marshal dengan prinsip
klorimetri, yaitu terbentuknya senyawa-senyawa berwarna yang intensitasnya dapat
ditentukan secara spektrofotometri visibel. Reaksi penetapan kadar melalui 3 tahap
yaitu pembentukan senyawa diazo, penghilangan sisa asam nitrit dengan penambahan
asam sulfat dan pengkoplingan garam diazonium-NED.
3. Mengapa pada percobaan ini dilakukan recovery dan apa tujuannya?
Jawab :
Recovery adalah akurasi yang dinyatakan dalam nilai perolehan kembali. Akurasi
adalah ukuran untuk menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit
sebenarnya. Tujuan recovery adalah untuk mencapai data yang akurat.
4. Jelaskan secara ringkas pentingnya pKa suatu obat, pH tempat pemakaian dan
koefisien partisi lipid/air untuk absorpsi obat melalui difusi pasif!
Jawab :
pka adalah derajat ionisasi suatu senyawa yang menentukan pH dari suatu obat.
Kecepatan absorbsi obat sangat dipengaruhi oleh koefisien partisi. Hal ini disebabkan
oleh komponen dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipid. Dengan demikian
obat-obat yang mudah larut dalam lipida akan dengan mudah melaluinya dan
20
sebaliknya. Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air, sebagian terionisasi. Besarnya fraksi obat terionkan
tergantung pH larutannya.
5. Alasan apa untuk fakta bahwa beberapa obat tersedia untuk rute pemakaian yang
berbeda?
Jawab :
Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis
yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa
jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda,
tergantung dari rute pemberian obat. Memilih rute penggunaan obat tergantung dari
tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu
mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a) Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b) Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c) Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d) Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e) Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f) Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacammacam rute
g) Kemampuan pasien menelan obat melalui oral
21