Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS PENGARUH MODAL SOSIAL DI DALAM DEMOKRASI SINGAPORE DAN

THAILAND
AKHMAD SOLEH RICARDO
1111004015
Departemen Ilmu Politik, FIES, Universitas Bakrie, Kuningan, Jakarta

Abstrak
Singapura adalah negara yang menganut demokrasi namun terbatas yang mempunyai
pendapat per kapita tertinggi di dunia dan merupakan negara yang menjadi pusat kegiatan
ekonomi dan bisnis. Dengan beberapa kebijakannya, Singapura menjadi negara yang
nyaman bagi para turis dan tempat dimana banyak perusahaan. Namun, negara
tetangganya, Thailand berbalik keadaannya dengan apa yang terjadi di Singapura. Thailand
juga menganut demokrasi yang juga terbatas seperti Singapura. Negara yang juga
bersistem Monarki ini mempunyai pendapatan per kapita yang lebih rendah dari
tetangganya, Singapura. Namun, walaupun kedua negara ini mempunyai sistem Demokrasi,
namun demokrasi yang kedua negara anut ini masih terbatas dimana ada beberapa elemen
yang tidak terterapkan di kedua negara tersebut. Selanjutnya, Modal Social memiliki
peranan penting dalam kemajuan ekonomi sebuah bangsa, Singapore dan Thailand dapat
dijadikan contoh keberhasilan modal social mempengaruhi kemajuan perekonomian
Singapore dan Pemulihan Krisis ekonomi Thailand, karena modal social memiliki elemen
penting yaitu norms, hubungan timbal balik, kepercayaan dan jaringan. Sementara itu tujuan
analisis ini ada melihat peranan social capital dalam proses kemajuan ekonomi kedua
Negara tersebut Singapore dan Thailand dibawah Lee Kuan Yew dan Thaksin Shinawatra.
Keyword: Singapore, Thailand, Social, Democracy, Lee Kuan Yew, Thaksin Shinawatra,
Thaksinomics

Pendahuluan
Singapura merupakan negara yang merdeka dan menganut sistem Demokrasi sejak
lepasnya mereka dari Inggris pada tanggal 9 Agustus 1965 dengan perdana menteri
pertamanya yakni Lee Kuan Yew. Di masa pemerintahan Lee Kuan Yew, Singapura
berkembang menjadi negara yang dimana demokrasinya terbatas dan itu terus berlangsung
selama 7 periode (dari tahun 1963 hingga 1988)

Singapura berbentuk Negara yang

berbentuk pulau kecil yang terletak di antara Indonesia dan Malaysia, merupakan negara
dengan imigrasi terbesar di Asia Tenggara. Selain imigrasi terbesar di Asia Tenggara,
Singapura merupakan negara Asia yang menjadi salah satu pusat kegiatan perekonomian
dunia

Singapura terus memperkokoh posisinya sebagai hubungan bisnis konglomerasi

internasional untuk menarik berbagai perusahaan multinasional menanamkan modalnya


atau menginvestasi di negeri Merlion ini. Negara yang mempunyai pendapat per kapitanya

yakni US$ 48. 595 per orang per tahun. Ini merupakan negara satu-satunya di Asia
Tenggara yang mempunyai pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Menurut IMF, negara
yang tidak mempunyai sumber daya alam atau SDA ini, juga merupakan satu-satunya
negara dari Asia Tenggara yang dimana pendapatan per kapitanya mengalahkan 4 negara,
yakni

Norwegia,

Amerika

Serikat,

Uni

Emirat

Arab,

dan

Swiss

(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/23/17323166/pendapatan.orang.singapur
a.tertinggi.di.dunia/23/6/2013) .

Singapura yang dimana secara ekonomi ini terbilang

sejahtera ternyata memiliki masalah dalam demokrasinya dari dulu hingga sekarang. Hingga
kini, dari zaman Lee Kuan Yew menjabat sampai anaknya, Lee Hsien Loong menjabat,
masih belum ada kebebasan ekspresi hingga kebebasan pers yang menjadi bagian
demokrasi. Hingga kini, elemen demokrasi yang ada hanya pemilihan umum yang memilih
perdana menteri dari Singapura. Kebebasan untuk berpendapat hingga kini masih dikekang
oleh pemerintahnya hingga jajak pendapat pun masih dikunci. Sehingga, ketika pemilihan
umum tiba, sudah terprediksi siapa selanjutnya yang menjadi perdana menteri.
Kalau di Singapura rata-rata dari masyarakatnya merupakan masyarakat yang
sejahtera secara ekonomi, lain halnya dengan Thailand. Thailand merupakan negara Asia
Tenggara yang menganut demokrasi dan adanya monarki di dalam pemerintahannya.
Demokrasi yang dianut oleh negara ini pun masih terbatas dan tertutup. Dari tahun 1932
hingga 1997, politik di Thailand masih dikuasai oleh militer yang dimana salah satu diktator
yang terkenalnya adalah

Luang Phibunsongkhram yang juga mengaliansikan Thailand

dengan Jepang pada masa Perang Dunia II. Setelah 1997,muncul Konstitusi 1997 dimana
diperkenalkannya Hak Asasi Manusia dan beberapa elemen demokrasi yang mulai
diterapkan di Thailand dengan adanya pemilihan umum dan pemilihan dewan perwakilan.
Namun, kudeta rupanya tidak berhenti sampai 1997, kudeta-kudeta lainnya juga terjadi
diantaranya yang signifikan ketika masa pemerintahan Thaksin Shinawatra pada tahun 2006
yang dimana ketika itu kudeta terjadi dengan adanya junta militer dan ketika itu penasihat
raja Thailand, Jenderal

Surayud Chulanont ditunjuk oleh raja Thailand sebagai Perdana

Menteri untuk menggantikan Thaksin pada saat itu. Secara ekonomi, pendapatan per kapita
Thailand yakni US$ 5,046. Sama seperti Singapura, Thailand mengandalkan impor SDA dari
negara lain dan mempunyai industri berbasis SDA yang maju dan meningkatkan GDP
masyarakatnya. Namun, secara demokrasi, Thailand masih dikekang akibat dari masih
adanya militer yang berkuasa di negaranya. Militer memang tidak seperti dulu,
memengaruhi langsung dan menjabat di pemerintahan, namun ketika Perdana Menterinya
ada masalah atau bermasalah, maka Raja Thailand tidak segan-segan langsung menunjuk
militer untuk menggulingkan rezim Perdana Menterinya tersebut. Sehingga di Thailand

sampai sekarang ini masih terjadi kudeta-kudeta yang dimana signifikannya terjadi pada
tahun 2006. Demonstrasi besar-besaran masih terjadi di Thailand hingga sekarang.
Selain itu dalam study yang melihat hubungan antara modal social dan pertumbuhan
ekonomi berfokus pada peranan jaringan dan kepercayaan dalam pertumbuhan ekonomi,
karena pembangunan ataupun pertumbuhan ekonomi dapat berkontribusi terhadap
pembangunan yang pada akhirnya menimbulkan kesejahteraan (Sabatini 2008 h. 466).
Namun dalam beberapa kasus Negara menurut studi yang dilakukan World Bank pada
tahun 2010 dikutip dari Sabatini ( 2008 h. 466) mengungkapkan bahwa sejarah
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh progress peningkatan
pembangunan sumber daya manusia, padahal dalam hal ini modal social sangat
dipengaruhi oleh pembangunan Sumber Daya Manusia. Namun di beberapa Negara
menunjukkan relasi antara modal sosial dengan kemajuan ekonomi suatu Negara, terutama
Singapore dan Thailand, seperti kita ketahui, Singapore menurut Amaldas ( 2009 h. 982)
sebagai negara pulau mengalami sebuah kemajuan ekonomi yang sangat baik dalam
beberapa dekade terakhir abad 20, bangkit dari yang awalnya hanya pelabuhan menjadi
kota global dan bangsa yang maju. Sementara itu, mengutip dari Kingsburi dalam Rodan
(2004) keberhasilan meletakkan fundamental perekonomian Singapore, tidak bisa
dilepaskan dari PAP (People Action Party) dan kepemimpinan Lee Kuan Yew sejak tahun
1959 hingga tahun 1990. Selain itu, kunci sukses keberhasilan pembangunan Singapore
menurut BTI Index ( 2012, h. 5) Slogan Satu Bangsa, satu orang Singapore menjadi
pemersatu Singapore yang tiga perempatnya merupakan etnis China dan mengelola konflik
antar etnis yang berbeda di dalam negeri, penerapan sekularisme dalam kehidupan
beragama (pemisahan agama dalam tataran politik dan hukum ) menjadi modal penting
dalam membangun Singapore.
Sementara itu, Thailand, menurut Looney (2004 h. 65) pasca krisis ekonomi tahun
1997, dibawah Thaksin Shinawatra dapat mengembalikan thailand kepada kejayaan
ekonomi, hal ini terlihat dari tingginya pertumbuhan ekonomi. Pandangan ekonominya
sering disebut dengan Thakshinomics yang memiliki pengaruh kuat dalam pembuatan
kebijakan di kawasan Asia Tenggara, dalam tataran praktis, Thaksinomics mengacu pada
Looney ( 2004 h. 67 ) kunci pandangan Thaksinomics memadukan kebijakan arahan IMF
atau biasa dikenal dengan nama Washington konsensus, penerapan kebijakan berbasis
pasar bebas, mendorong privatisasi, namun disisi lain pendekatan ekonomi kerakyatan
seperti pemberian kredit. Walaupun kebijakan ini dinilai Kontroversial sebagaimana
Reagenomics, kebijakan ini sukses membantu Thailand melakukan recovery terhadap
ekonominya, namun kebijakan ini mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat,
terutama yang mendapatkan manfaat dari kebijakan Dual Track ini, seperti masyarakat di

pedesaan hal ini akibat program seperti program UKM ) menghasilkan sebuah kepercayaan
khususnya dari konstituen pendukung Thaksin Shinawatra (Intarakumnerd 2011 h. 62).
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Ufen (2007 h. 15) pemilu 2001 dan 2005 dimenangkan
oleh Thai Rak Thai yang didirikan oleh milioner pemilik media Thaksin Shinawatra berhasil
mendapatkan 248 dari 500 kursi parlemen di pemilu tahun 2001, mengacu pada Nelson
yang dikutip dari Ufen (2007 h. 15) TRT merupakan partai profesional namun disisi lain
masih mengandalkan peran sosok populis untuk mendulang suara, hal tersebut sebagai
sebuah modal sosial bagi Thaksin untuk menjalankan program maupun kebijakannya. Maka
dari dari pendahuluan diatas bias dilihat peranana modal sosial dalam memajukan
perekonomian di Singapore di bawah Lee Kuan Yew dan Thailand di bawah Thakshin
Shinawatra.

Objektivitas Penulis
Dalam jurnal ini, objektivitas penulis atau positioning penulis dalam hal ini adalah
sebagai seseorang yang membandingkan bagaimana pengaruh sosial demokrasi di
SIngapura dan Thailand terhadap perekonomian dan kondisi sosial masyarakatnya di kedua
negara tersebut. Karena secara general, sosial demokrasi dianggap bagaimana partisipasi
publik adalah elemen yang paling krusial dalam suatu negara demokrasi. Karena jika tidak
ada partisipasi publik dalam negara, maka yang menjadi minoritas akan selalu terpinggirkan
karena tidak adanya partisipasi. Maka dalam hal ini, jurnal ini melihat bagaimana partisipasi
publik dalam memengaruhi kebijakan ekonomi dan memengaruhi perekonomian dari kedua
negara tersebut. Dalam hal ini jika kaum minoritas tidak mengirimkan perwakilan kepada
badan legislatif, maka akan terjadi suatu. Dalam hal ini, kelas atas akan menghormati akan
bahkan jika mereka itu menuntut penghapusan hak. Maka dari itulah di sini penulis melihat
bagaimana suatu partisipasi publik yang kurang dari negara Singapura dan Thailand dan
melihat perbandingan partisipasinya di kedua negara tersebut. Serangkaian kebijakan
ekonomi yang menjadi partisipasi publik akan memengaruhi perekonomian masyarakat
Singapura dan Thailand begitu juga dengan kondisi sosial dari Singapura dan Thailand.
Banyaknya demonstrasi di Thailand merupakan bagian dari demokrasi yang masih belum
terbuka.
Kemudian penulis juga tidak setuju dengan pandangan yang mengesampingkan
faktor modal sosial dalam setiap kemajuan perekonomian, karena banyak pandangan
berdasarkan riset mengenai bahwa kemajuan perekonomian selalu dibarengi dengan
penerapan demokrasi, dalam case Singapore kemajuan perekonomian berjalan beriringan
dengan praktik otoritarianisme, namun tetap membiarkan pasar bebas tanpa kontrol negara,

Dan di Thailand sendiri Raja memiliki peran sentral didalam menjaga keberlangsungan
negara.
Atas dasar itulah penulis memiliki keberpihakan terhadap pentingnya modal sosial
dalam kemajuan perekonomian sebuah negara dan argumen-argumen pendukungnya akan
penulis jelaskan pada pembahasan kasus.
Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas yaitu: (1) Bagaimana Social
Capital mempengaruhi kemajuan perekonomian Singapore dan Thailand ?, (3) Dampaknya
bagi perekonomian kedua Negara ?

Kerangka Teori
Social Capital: Definisi, Penyebab Terjadinya dan Fungsinya
Wiliam and Durrance (2008) mencoba menjelasksn definisi mengenai Social Capital,
Nan Lin dalam (Wiliam and Durrance 2008) mengutip Marx (1987) menyebut sebagai
modal manusia, Bourdieu dan Passeron (1970) menyebut sebagai budaya modal, Linz
mendefinisankannya agar dapat diukur, maka definisinya adalah sumber daya tertanam
dalam sebuah jaringan yang dimobilisasi ketika aktor ingin mencapai sebuah tujuan.
Dari beberapa mencoba ilmuan social mencoba meneliti mengenai Social Capital
atau modal social, Sosiolog James Coleman merupakan yang paling popular, penulis
mencoba merangkum menjadi beberapa penjelasan. Sosiolog James Coleman mencoba
menjelaskan mengenai Social Capital, menurutnya hal tersebut didapat dari hubungan antar
individu yang menghasilkan suatu tindakan. Tidak seperti modal secara fisik ataupun modal
berupa sumber daya manusia, modal sosial ini tidak dapat terlihat dan sulit untuk diukur
karena hanya terdapat dalam hubungan setiap individu (Coleman, 1988 h. 100). Selain itu,
sama seperti modal secara fisik maupun modal berupa sumber daya manusia, modal sosial
ini juga dapat menghasilkan suatu kegiatan yang produktif (Coleman, 1988 h. 101).
Sementara menurut Coleman Dalam sebuah Social capital, (1988 h. 101 ) suatu
kelompok yang di dalamnya terdapat kepercayaan yang besar dan berkelanjutan akan
dapat menghasilkan yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang di dalamnya
tidak memiliki kepercayaan (Coleman, 1988: 101).
Dan yang terpenting menurut Coleman (1988 h. 99) sebuah Modal sosial ini juga
akan lebih mudah didapatkan di negara yang masyarakatnya homogen dibandingkan
dengan negara yang masyarakatnya heterogen.

Dan Putnam ( Krishna 2002 h. 03) juga menjelaskan mengenai peranan


modal social dalam sebuah masyarakat sipil,
Menuntut pengefektifan pelayanan public, sehingga mereka siap untuk mencapai
tujuan bersama, bentuknya adalah kinerja pemerintahan perwakilan lebih hanya
sebagai fasilitator karena dalam masyarakat sipil, warga dan pejabatnya telah
memiliki infrastruktur social dan nilai nilai demokrasi (Krishna 2002 h. 02 )
Berdasarkan Studinya di Italia, Putnam dalam Krishna ( 2002 h. 03) melihat social capital
sebagai sebuah variable penting dalam pencapaian sebuah masyarakat, khususnya dalam
hal pembangunan demokrasi masyarakat dan potensi konflik, penerapan reformasi
legislative di Italia tahun 1970 berdampak pada perbaikan kinerja pemerintahan khususnya
dalam hal kinerja ekonomi.

Relasi Social Capital Dengan Kemajuan Perekonomian


Menurut seorang sociology asal Perancis bernama Pierre Bourdieu dalam Liu ( 2001
h. 360)

menjelaskan bahwa modal sosial mampu memaikan peran yang signifikan

khususnya dalam hal politik dan ekonomi, serta melihat pentingnya membandingkan antara
modal ekonomi dan sosia, selain itu modal social dianggapnya sebagai akar dari berbagai
modal, baik modal manusia maupun fisik, Senada dengan Bourdieu, Fukuyama dalam (Liu
2001 h. 361) Social Capital memiliki kecenderungan untuk membentuk sociability yang
memiliki konsekuensi penting dalam ekonomi, dalam hal ini liu mengibaratkan modal sosial
sebagai "Public Good" social capital akan menghilangkan batansan dalam biaya dalam
membentuk

sosial

network

yang

berbasis

kepercayaan,

mampu

menjadi

sosial

infrastructure. Sementara itu Unger dalam (Liu 2001 h. 361) menyebutkan bahwa modal
sosial dapat meningkatkan produktivitas ekonomi dan menciptakan eksternalitas positive
Dalam konteks Asia Tenggara, Dalam konteks Asia Tenggara, Bates dan Popkin
dalam Krishna (2002 h. 25) menjelaskan tentang karakteristik ekonomi yang sangat
dipengaruhi oleh modal sosial disebut ekonomi moral artinya pembagiannya berdasarkan
kepentingan besama (mempertahankan keseimbangan ekonomi yang subsisten), hal ini
sangat dipengaruhi oleh proses internalisasi norma para petani di desa. Selain itu, Menurut
Krishna (2002 h. 26) Modal Sosial memiliki peranan dalam masyarakat Asia Tenggara :
Modal sosial dapat mempengaruhi individu untuk bekerja sama, dan jaringan sosial
yang sudah ada akan memfasilitasi kerjasama pada umumnya, tetapi di bidangbidang spesifik tindakan, terutama di mana lingkungan eksternal perlu dilibatkan,

instansi tertentu seperti partai politik atau kelompok kepentingan yang terorganisir
akan diperlukan tambahan
( Krishna 2002 h. 26)
Namun pertanyaannya, Bagaimana ini dapat berjalan dengan baik? right man in the
right place, menurut Krishna ( 2002 h. 26 ) jabatan harus diisi orang yang baik dan cocok,
tugas dan kinerjanya harus terkoordinasi dan memiliki tujuan, pengambilan keputusan
diserahkan negara atau kepada pasar. Selain itu Lowi 1985 dalam Krishna memnjelaskan
permasalahan tentang pengambilan keputusan di tingkat nasional karena konstituen di
daerah memiliki karakternya sendiri (Krishna 2002 h. 26 ).

Gambar 1.2 The Mediating Agency Prespective dalam Krishna (2002 h. 27)
Skema diatas dijelaskan oleh Krishna (2002 h. 27) sebagai berikut:
Modal sosial secara kelembagaan dijadikan memiliki kinerja melalui mediasi lembaga
atau saluran, yang masing-masing memiliki focus khususnya masalah yang
berkaitan dengan beberapa problem sosial tertentu dan bukan orang lain dan melihat
Efektivitas lembaga mediasi adalah sama pentingnya dengan tingkat aset (modal
sosial) untuk memahami variasi dalam kinerja kelembagaan (Krishna 2002 h. 27)
Sementara itu dari prespektif Bank Dunia dalam Troschke ( 2011 h. 03) melihat modal social
sebagai sebuah lembaga yang memelihara hubungan, sikap, nilai yang dapat berkontribusi
dalam pembangunan ekonomi, Selain itu menurut Troschke (2011 h. 04) dalam penelitian

Bank Dunia pernah melakukan study khusus mengenai Social Capital, menunjukkan ruang
lingkup modal social dalam pembangunan ekonomi, pertama tingkatan mikro yaitu interaksi
antara individu, rumah tangga dan perusahaan yang membangun kelompok, kedua tingkat
messo interaksi vertical antar kelompok secara hirarkis, ketiga adalah tingkatan makro
lingkungan atau interaksi yang mempengaruhi struktur. Indikataor untuk mengukur kinerja
modal social yang dimiliki pemerintah adalah kebebasan politik, penegakkan hukum dan
indicator stabilitas.

2.1 Praktek Bridging Social Capital di Singapore Dalam Mendukung Kemajuan


Ekonomi
Kemajuan Ekonomi Singapore memang tidak bisa dipisahkan dengan pengaruh
Social Capital, karena berdasarkan beberapa teori diatas bahwa elemen penting dari Social
Capital adalah norma, hubungan timbal balik, kepercayaan, dan jaringan, hal tersebut
menjadi variable penting dalam mendorong

kemajuan ekonomi Singapore, sebelum

membahas mengenai praktek social capital di Singapore, Background Singapore, menurut


Lee Kuan Yew dalam bukunya The Third World To First (2000) pasca berpisah dengan
malaysia pada tahun 1965, Singapore merupakan Negara yang sangat miskin, karena
Singapore terletak di pulau tropis dengan luas (700 km) yang miskin sumber daya alam, air
bersih, namun memiliki pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi, menjamurnya
perumahan kumuh, memiliki potensi konflik yang tinggi karena berbagai macam etnik
agama yang mendiami Singapore, namun dalam bukunya lee Kuan Yew mengatakan
bahwa:
Today, Singapore is a gleaming global hub of trade, finance and transportation. its
transformation from third world to first in one generation is one of asias great
success stories (Yew, 2000).
Hal

tersebut

membuktikkan

bahwa

Singapore

sukses

melakukan

transformasi

pembangunan ekonomi, untuk melihat kemajuan perekonomian Singapore, dan yang


mampu menjadi penentu factor keberhasilan pembangunan ekonomi Singapore adalah
factor nilai dan buadaya yang dianut masyarakat Singapore sendiri, hal ini senada dengan
dengan Troschke (2011 h.) bahwa budaya menjadi factor yang ikut menjalankan modal
social di sebuah Negara karena mampu menyediakan informasi bagi tersedianya modal
social di masyarakat, Lee kuan Yew dalam setiap tulisannya menyatakan bahwa kemajuan
SIngapura tidak bias dilepaskan dari nilai yang dijunjung tinggi yaitu Asian Value bahwa
dkatakan Lee Kuan Yew mengutip dari Elgin (2010 h. 138) menjelaskan bahwa system yang

bekerja di barat tidak cocok diterapkan di Negara negera di timur, konsep ajaran Asian
value melihat individu bukan merupakan sebuah entitas yang terpisah melainkan menjadi
sebuah keluarga, Selain itu Elgin (2010) juga menambahkan bahwa seperangkat nilai asia
yang menanamkan standar kerja keras, disiplin, dan hal ini mampu menciptakan jalan baru
manuju sebuah pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu menurut Lazar ( 2001 h. 7) masyarakat Singapore terdiri dari tiga
kelompok etnis utama Cina (76,9 persen), Melayu (14 persen) dan India (7,7 persen) ,
namun seperti kita tahu mayoritas beretnis China, Namun bentuk heterogenitas sendiri
bukan bukan jaminan adanya korelasi munculnya konflik, namun persoalan kepercayaan
dan Agama dianggap Lee Kuan Yew sebagai hambatan didalam pembangunan ekonomi
maka heterogenitas yang ada dijadikan modal untuk membangun sebuah rasa kebangsaan
bagi Singapore, Hal membangun yang dinamakan bridging social capital biasanya dalam
masyarakat yang hiterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku, hal
ini dimaksudkan oleh Supriono dkk ( 2010 h. 07 ) untuk menjembatani perbedaan yang ada,
karena seperti kita ketahui bahwa menurut (OECD 2010 ) kerentanan politik dan ekonomi
pasca berpisahnya singapore dengan federasi Malaysia tahun 1965, Lee Kuan Yew
menetapkan dua tujuan utama dalam membangun Singapore, pertama membangun
ekonomi Singapore yang modern dan kedua menciptakan rasa identitas nasional, Yang
penting disini langkah Lee Kuan Yew menciptakan rasa identitas nasional adalah hal ini
menurut BTI ( 2012 h. 5 ) dikarenakan komposisi Negara Singapore yang sangat heterogen
namun didominasi etnis China, Singapore dibawah Lee Kuan Yew memunculkan konsep
budaya kewarganagaraan netral, yang diwujudkan dengan konsep Satu Bangsa, Satu
Orang, Satu Singapore, dengan cara ini pemerintah dapat mengelola konflik antar etnis
seperti yang terjadi saat dibawah konfederasi Malaya, Selain itu Singapore juga memilih
jalan menjadi Negara sekuler, sehingga dogma agama tidak memiliki pengaruh dalam
tatanan hukum dan lembaga politik, hal tersebut senada dengan konsep bridging social
capital mengacu pada Coleman dalam (Supriono dkk 2010 h. 07) mampu menjadi jembatan
dalam perkembangan dan kemajuan masyarakat, berdasarkan hasil observasi dibeberapa
Negara menunjukkan bahwa korupsi lebih terkontrol, semakin efisiennya pekerjaan
pemerintah, mempercepat penanggulangan kemiskinan, meningkatnya kualitas hidup
manusia menjadi jauh lebih kuat.
Selain itu, nampak beberapa indicator yang menunjukkan kuat pengaruh modal
social dalam karakteristik masyarakat Singapore

menurut Chua (2010 h. 7) pertama

heterogenitas ras yang menunjukan komposisi masyarakat Singapore, hal tersebut


menimbulkan pola masyarakat ras bertingkat khususnya dalam hal lapangan kerja antara
teknokratis, manajerial dan administrasi, Kedua mengacu pada Chan ( 2010 ) dalam Chua

(2010 h. 7) meskipun secara karakteristik modern namun masyrakat Sengapore masih


sangat sangat patriarki, hal dikatakan bahwa perempuan masih memerankan banyak peran
di rumah, selain itu, ketiga Singapore merupakan negara yang menganut meritokrasi yang
terlihat dalam hal pendidikan dan pekerjaan (Chua 2010 h. 7), Selain keberhasilan
pembangunan Singapore terlihat dari beberapa indicator di bawah ini yaitu, dibawah ini
merupakan Indeks pertumbuhan GDP Singapore dari tahun 1960 hingga tahun 2010 yang
dikatakan oleh Absire (2011) dalam bukunya yang berjudul The History Of Singapore, Sejak
kemerdekaan pada tahun 1965 Singapore mengalami transformasi khususnya dalam hal
pembangunan ekonomi dan sosial

Gambar 2.1 Pertumbuhan GDP Singapore dari tahun 1960 hingga 2010 (dalam $)
Sumber
(
Australia
National
University
Division
http://rspas.anu.edu.au/economics) dalam Elgin (2010 h. 139)

of

Economics,

Perbandingan Pertumbuhan Singapore di Kawasan 1975 - 2003

Gambar 2.2 Perbandingan Pertumbuhan Singapore dikawasan 1975-2003


Sumber
(
Australia
National
University
Division
http://rspas.anu.edu.au/economics) dalam Elgin (2010 h. 139 )

of

Economics,

Gambar diatas menunjukkan bahwa Singapore mengalami kemajuan ekonomi yang cukup
signifikan hal tersebut ditunjukkan dari pertumbuhan GDP yang sangat capat dibandingkan
dengan negara Negara dikawasan, dapat kita lihat GDP Singapore dari yang awalnya
dibawah 5.000 US$ menjadi hampir 300.000 US$, hal ini tidak bisa dilepaskan dari
reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew yang merupakan perdana menteri
pertama Singapore.
Bentuk Reformasi ekonomi menurut (OECD 2010) yang dilakukan Lee Kuan Yew
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, 1960
melakukan penekanan pada industry manufaktur untuk menarik lapangan kerja yang padat
untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja dengan kemampuan rendah 1970
1980 pergeseran ke manufaktur yang lebih intensif di bidang teknik dan di pertengahan
1990an Singapore berusaja menjadi pemain ekonomi dalam hal pengertahuan atau
berbasis teknologi tinggi yang mengandalkan inovasi yang intensif, Namun keberhasilan
pelaksanaannya tidak akan berhasil jika tidak didukung struktur administrasi yang baik (BTI
2012 ) dan penyediaan layanan public yang baik, dikatakan bahwa pelanan adiministrasi
Singapore merupakan yang paling efisien di dunia, dan pemenuhan fungsi yuridksi yang
baik hal ini akan mempengaruhi proses penegakkan hukum di Negara tersebut (BTI 2012),
Dan proses transformasi ini tidak bisa dilepaskan dari peranan social capital, karena dalam
sebuah skema yang digambarkan oleh Fukuyama dalam ( Kresna 2002 h. 17 )

Gambar 1.1 Analisis pengaruh Culture, History, Legacy terhadap, social capital dan kualitas
sebuah institusi, Masyarakat yang memiliki modal social akan mudah merespon perubahan
khususnya perbaikan sebuah institusi
Sumber: Fukuyama dalam Krishna (2002 h. 17)

Peranan Culture, History, Legacy dapat menjadi modal social penting bagi Singapore dalam
adalah factor heterogenitas penduduknya serta pengaplikasian nilai Asia ini dikatakan
banyak pihak akan mempengaruhi performa institusi di Singapore (Elgin 2010 h 8 ) , Selain
itu menurut ( Keong 2010 h. 2) pemerintah Singapore juga berusaha untuk membuat ikatan
yang kuat antara warga Singapore dalam membangun bangsa dan negaranya, sementra itu
modal social dibangun dari kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, karena hal
tersebut sangat penting untuk proses memimpin semua sektor masyarakat dalam
menghadapi tantangan kolektif. Tingginya kepercayaan masyarakat, terlihat dari perolehan
suara partai berkuasa yaitu PAP yang selalu menjadi pemenang pemilu, Dibawah ini
merupakan perolehan suara People Action Party dari tahun 1963 hingga 1997
Gambar 1.2 Perolehan Suara PAP di Pemilu

Sumber: Gomez (1999) dalam Uri Gordon (2010)


Gambar 2.3

diatas menjelaskan tentang, perolehan suara PAP yang selalu menjadi

mayoritas di parlemen, bahkan pada tahun 1968 sampai 1980, menjadi partai tunggal tanpa
oposisi.

Sementara itu, Luhulima (2010) menjelaskan mengenai struktur PAP dan peranannya,
karena PAP merupakan factor penting pendukung rezim Lee Kuan Yew, PAP sendiri
digambarkan sebuah organisasi atau sebuah institusi yang disiplin dan struktur birokrasinya
sangat terstruktur dan memliki jiwa entrepreneur, PAP memiliki peranan penting dalam
pengambilan keputusan yang diisolasi oleh kekuatan kekuatan social, hal ini berhasil
menciptakan Singapore sebagai Negara yang efisien dan terbebas dari korupsi khususnya
di jajaran pemerintahannya, hal ini tidak lepas dari peranan modal social yang ikut
memperkuat dalam hal kapabilitas institusi di Negara Singapore, Hal tersebut dibuktikkan
oleh oleh Indeks yang dirilis oleh WJP Indeks, yang menempatkan Singapore pada posisi
penting. Berikut ini Indeks WJP :
Gambar 2.4 Singapore dalam RIlis WJP Rule Of Law Indeks

Gambar 2.4 diatas menjelaskan tentang performance Singapore khususnya dalam hal
Korupsi, keamanan penegakan hukum, akses kepada pemerintahan menunjukkan sangat
baik dilihat dari segi score maupun rangking.
Sumber: WJP Rule Of Law Indeks (2011 h. 92)

Rilis yang dilakukan WJP Rule Of Law Indeks menunjukkan ( 2011 h. 28 ) Singapore
memiliki peringkat yang baik di tingkat global maupun regional, pertama Singapore
menduduki peringkat kedua dalam memberikan keamanan bagi warganya, Administrasi
public efektif dan korupsi di Singapore minimal menduduki posisi ke empat, Sistem
peradilan Salah satu yang paling efektif didunia, yaitu dengan menduduki peringkat ke 5.
Hal tersebut tentunya menimbulkan dampak bagi Singapore menurut BTI (2011)
menyebutkan bahwa beberapa prestasi penting didapatkan akibat penerapan institusi
pemerintahan yang efisien dan bebas korupsi, pertama kita dapat melihat dari segi
infrastuktur, jaringan jalan menghubungkan seluruh wilayah Singapore, dan Singapore juga

memiliki pelabuhan kontener terbesar didunia dan memiliki salah satu bandara terpadat di
dunia yaitu Changi yang melayani lebih dari 42 juta penumpang pertahun.

2.2 Pengaruh Praktek Bounding Social Capital dan Pemulihan Perekonomian Thailand
Pasca Krisis Ekonomi tahun 1997/1998
Sementara itu, Di Thailand, study mengenai praktek Social capital di bawah rezim
Thaksin Shinawatra dalam penanganan krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997, mengacu
pada beberapa teori diatas yang menjelaskan mengenai social capital dapat disimpulkan
bahwa elemen penting dari social capital adalah norma, hubungan timbal balik,
kepercayaan, dan jaringan. Lalu mengapa Thailand dikategorikan sebagai menganut
praktek Bounding Social Capital, karena mengacu pada Supriono (2010 h. 5) masyarakat
Thailand yang homogen, hal ini senada dengan Rilis yang dilakukan CIA (2013)
menyebutkan bahwa

masyarakat Thailand terdiri dari etnis Thai 75%, China 14% dan

lainnya sekitar 11 %, Selain itu Bounding Social Capital dijelaskan oleh Putnam dalam
Supriyono (2010 h. 5) pada masyarakat sacred society sebagai sebuah dogma yang
mendominasi masyarakat yang Hirarki, serta pola interaksi social dituntun oleh norma yang
menguntungkan level Hirarki dan feodalisme tertentu, seperti kita tahu merupakan sebuah
monarki konstitusional, sementara itu menurut Mccargo (2005 h. 500) menjelaskan
mengenai pola kekuasaan di Thailand, bahwa dari tahun 1973 hingga tahun 2001 bahwa
raja Bhumibol yang berkuasa penuh, namun hal ini berubah pada tahun 2001 ketika
pengusaha telekomomunikasi memimpin Thailand yaitu Thaksin Shinawatra, mengubah
pola perpolitikan yang selama ini akibat dukungan public yang kuat terhadap Thaksin
Shinawatra. Namun kuatnya dukungan rakyat terhadap Thaksin sebelum akhirnya dikudeta,
tidak dapat dilepaskan dari kemampuan Thaksin dalam penangan krisis yang terjadi.
Sebelum melihat proses penanganan krisis yang terjadi di Thailand menurut Warr (2011 h.
1) menunjukan oeriode sejarah perekonomia Thailand dari tahun 1951 hingga 2006
berdasarkan indicator pendapatan perkapita dan tingkat pertumbuhan ekonominya dan Warr
(2011 h. 1) membaginya menjadi empat periode: pertama Pra-boom (hingga tahun 1986),
kedua booming

tahun 1987 hingga 1996, ketiga periode krisis tahun (1997-1999) dan

keempat pemulihan tahun (2000-2006), dalam periodesasi tersebut, akan dilihat periodesasi
penanganan krisis dari tahun 2000 hingga 2006 dibawah Thaksin Shinawatra.
Pasca terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, Warr (2011 h. 2 ) menjelaskan
perekonomian

Thailand

diambang

kehancuran

dalam

beberapa

indicator

mampu

menjelakan yaitu keluarnya investasi asing, meningkatnya angka kemiskinan, runtuhnya


nilai tukar Bath.

Dan pemerintahan Thailand dipaksa menerima bantuan dari IMF dan

kebijakan bailout senilai 172 miliar US$ dipilih untuk memperbaiki system keuangan yang
bangkrut dan mengembalikan kepercayaan public (Warr 2011 h. 2) , selain itu menurut
Scmid ( 2007 h. 4) pada tahun 1998 pemerintah Thailand melakukan pemorongan 35
persen anggran untuk pelayanan social, 26 persen untuk pertanian, 27 persen untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu IMF dan Bank Dunia memperkenalkan
program penggabungan dengan system pasar, hal ini dikatakan Scmith (2007 h. 4)
peningkatan pajak konsumsi dan pemotongan gaji pegawai negeri. Namun pada tahun 2001
keadaan berubah ketika Thaksin Shinawatra terpilih menjadi perdana menteri Thailand,
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Ufen (2007 h. 15) pemilu 2001 dan 2005 dimenangkan
oleh Thai Rak Thai yang didirikan oleh milioner pemilik media Thaksin Shinawatra berhasil
mendapatkan 248 dari 500 kursi parlemen di pemilu tahun 2001. Kebijakan ekonomi pada
masa Thaksin Shinawatra menurut Phongpaichit (2003 h. 2) dilatar belakangi oleh
sentiment nasionalisme dari kelompok bisnis local yang dipengaruhi oleh efek negative krisis
1997, kebijakan penanganan krisis tidak dapat dipisahkan dari praktek social capital, hal
dijelaskan oleh hipotesis yang ditulis oleh Mangkuprawira (2000 h. 4):

Gambar 3.1 Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan masyarakat

Gambar 3.1 menjelaskan tentang hubungan modal social dengan kesejahteraan yang
didalamnya terdapat jejaring social rasa saling percaya dan kebersamaan yang akan
menjadi modal optimal dalam penciptaan kesejah teraan masyarakat
Sumber: Mangkuprawira (2005 h. 4)

Lalu mangapa dalam hal ini penulis mencoba menghubungkan antara modal social dengan
pemulihan krisis yang terjadi di Thailand ? karena melibatkan sentiment nasionalisme, hal ini
terlihat Phongpaichit (2003) yang melihat prioritas kebijakan Thakshnomics yaitu
pertumbuhan, perdagangan bebas dan pemelharaan kapitalisme domestic agar masyarakat
lebih menerima mafaat dari pertumbuhan, Sementara itu Looney (2004 h. 70) menjaskan

kebijakan Thaksinomics, menggabungkan elemen tradisional dan kebijakan arahan IMF,


biasa disebut kebijakan dualtrack, langkah pertama dari kebijakan Thaksinomics fokus pada
pengentasan kemiskinan pada daerah miskin seperti program pendampingan pertanian,
pemberian insentif terhadap orang miskin, memberikan bantuan terhadap desa - desa,
pendirian bank rakyat, Langkah kedua menurut Phongpaichit (2003) adalah melanjutkan
perdagangan bebas, menjaga tingkat pengangguran dan menjaga tingkat pertumbuhan
PDB pertahun.
Sementara itu, praktek kebijakan Thaksinomiks pada dasarnya memiliki implikasi
pada modal social terhadap Thakshin Shinawatra, hal ini dikarenakan kebijakan Thaksin
yang sangat populis bagi masyarakat pedesaan, menurut Boonpern dkk (2012 h. 2) pada
tahun 2001 pemerintah Thailand mengaluarkan program dana pedesaan dan perkotaan
secara bergilir, setiap masyarakat desa dan kota diberikan modal kerja untuk membuat
usahanya, hingga pada tahun 2005 program ini menjadi yang terbesar di dunia karena
meminjamkan 259 miliar bath dengan jangkauan 17,8 juta orang. Kebijakan pro rakyat
tersebut menurut Tangpianpang (2010 h. 27) membuat Thaksin Shinawatra kembali
memenangkan pemilu 2005 meraih 19 juta suara, hal ini dikarenakan rusaknya citra partai
Demokrat pasca krisis, mengurangi pengaruh local dijelaskan oleh Tanpianpang (2010)
sebagai peguasa di pedesaan. Tingginya kepercayaan masyarakat terhadap Thaksin
Shinawatra dan partai Thai Rak Thai terlihat pada perolehan kursi di parlemen tahun 2001
dan 2005

Gambar 3.2 Perolehan Kursi Parlemen Thai Rak Thai di Pemilu 2001 dan 2005

Gambar 3.2. menunjukkan perolehan kursi parlemen Thai Rak Thai di pemilu 2001 dan
2005, memperoleh kursi mayoritas di parlemen, tahun 2005 memperoleh 377 kursi atau
75% dari 500 kursi parlemen
Sumber: Orathai 2002 dan Chambers (2006) dalam Ufen (2007 h. 20)
Berikut ini beberapa indicator yang menunjukkan proses kemajuan ekonomi Thailand pasca
krisis, hal tersebut juga membuktikan bahwa kesuksesan implementasi kebijakan ekonomi
Thaksinomics.
Gambar 3.3 Pertumbuhan GDP Per Kapita Thailand pasca krisis ekonomi tahun 1997

Gambar 3.3 menunjukkan trend pertumbuhan GDP Thailand pasca krisis ekonomi (fase
pemulihan) dibawah Thaksin Shinawatra GDP perkapita Thailand tumbuh 5 persen di tahun
2005
Sumber: Asian Development Bank dalam Warr (2007 h. )
Gambar 3.4 Perbandingan Pertumbuhan GDP per Kapita Thailand dengan Kawasan

Gambar 3.4 menjelaskan pertumbuhan GDP Per Kapita Thailand yang mengalami
pertumbuhan pasca krisis ekonomi 1997/1998
Sumber : Asian Development Bank dalam Warr (2007 h. )
Dari Hipotesis diatas kita dapat menarik benang merah antara proses pemulihan
Thailand pasca krisis ekonomi 1997/1998, hal tersebut menjadi penting karena ada factor
modal social yang mendorong dan mempercepat pemulihan Thailand krisis ekonomi, selain
itu kebijakan ekonomi Thaksin Shinawatra yang biasa dikenal dengan Thaksinomics
memadukan beberapa unsur salah satunya adalah modal social, mengapa karena ada
factor kebersamaan, kepercayaan dan memanfaatkan jaringan masyarakat pedesaan, hal
ini menjadi sumber daya efektif dalam pemulihan ekonomi Thailand pasca krisis ekonomi.
Indicator pemulihan ekonomi terlihat dari pertumbuhan GDP Per Kapita Thailand, yang
mengalami penurunan saat krisis ekonomi.

Kesimpulan
Berdasarkan topic diatas yang berjudul Analisis Pengaruh modal sosial terhadap
demokrasi Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Modal Sosial , mengacu pada beberapa
teori yang menjelaskan mengenai social capital dapat disimpulkan bahwa elemen penting
dari social capital adalah norma, hubungan timbal balik, kepercayaan, dan jaringan.
Sementara itu memiliki pengaruh penting dalam pembangunan ekonomi di kedua Negara
tersebut , kedua Negara tersebut memiliki praktek social capital yang berbeda, hal tersebut
dikarenakan karakteristik masyarakat di kedua Negara, Singapore menganut praktek
Bridging Social Capital artinya menjembatani perbedaan yang ada karena banyaknya etnis
yang mendiami Singapore, Lee Kuan Yew menjadikan perbedaan menjadi sebuah modal
social dalam membangun Singapore, Selain itu Nilai Asia yang dianut Lee Kuan Yew juga
memiliki

pengaruh

penting

dalam

pembangunan

ekonomi

Singapore,

tingginya

kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga menjadi modal social penting, hal ini
juga mempengaruhi performance institusi di Singapore yang mampu mendukung
pembangunan Ekonomi Singapore.
Thailand menganut Bounding Social Capital, hal dikarenakan karakteristik masyarakat
Thailand yang Homogen, Masyarakat Thailand yang masih sangat feudal dan hirarkis, hal ini
terjadi karena Thailand merupakan sebuah kerajaan memiliki nilai yang dianut oleh
masyarakatnya. Dari analisis diatas dapat kita lihat peranan modal social dalam pemulihan
pasca krisis ekonomi 1997/1998, keberhasilan kebijakan Thailand dibawah Thaksin
Shinawatra (Thaksinomics) sangat dipengaruhi factor modal social karena didalam modal
social, kepercayaan masyarakat menjadi penting dalam pemulihan Thailand dari krisis.

Daftar Pustaka

Buku
Abshire E, Jean. 2011. The Singapore History. CA: Greenwood
Krishna, Anirudh. 1893. Active Social Capital: Tracing The Roots of Development and
Democracy. New York: Columbia University.
Rodan, Garry. 2004. Transparancy And Authoritharian Rules In Southeast Asia. London:
Routledge Curzon
WJP. (2011) "Rule Of Law Index" Washington: WJP
Yew, Lee Kuan. 2000. From Third World To First. Singapore: Harper Business.
Jurnal
Amaldas, Marystella. (2009) "The Management Of Globalization in Singapore:Twentieth

Century Lessons For the Early Decades Of The New Century" Journal Of Alternative
Perspectives in the Social Science (2009) Vol 1, No 3, 982-1002
Boonpern, Jirawan dkk (2012) "Appraising the Thailand Village Fund" Research Policy
Paper 5998 The World Bank
BTI (2012) " Singapore Country Report " Bertelsmann Stiftung's Trasformation Index (BTI)
2012.
C.P.F Luhulima (2010) Analisis Perbandingan Sistem Pemerintahan Malaysia dan
Singapore (http://yoursdp.org/index.php/perspective/vantage/3818-singapore-and-its-roadto- democracy).
Chua, Vincent. (2010) "Social Capital And Inequality In Singapore" Thesis Degree Of Doctor
Philosphy, Department Sosiology, University of Toronto
CIA. 2013. The World Factbook 2013-14. Washington, DC: Central Intelligence Agency
Coleman S, James. (1988) "Social Capital in The Creation of Human Capital " The American
Journal Of Sosiology (1988) pp. 195-S120
Elgin, Molly. (2010) "Asian Values: A New Models For Development " Jornal Summer 2010
Stanford University 135-145.
Gordon, Uri. (2010) Machiavelli's Tiger: Lee Kuan Yew and Singapore's Authoritarian
Regime Jurnal Department of Political Science, Tel Aviv University, Israel, 2010
Intarakumnerd, Patarapong. (2011) 'Thaksin's Legacy: Thaksinomics and Its Impact on
Thailands National Innovation System and Industrial Upgrading" International Journal Of
Institution and Economies Vol. 3 No. 1 April 2011, pp.31-60
Keong T, Tan. (2010) "Social Capital and Singapore Society" National University Of
Singapore (NUS)
Lazar M, MIchelle. (2001) "For the good of the nation: 'Strategic egalitarianism' in the
Singapore context " Nation and Nationalism 7 (1) 2001, 59-74ASEN 2001
Liu, Hong. (2003) Social Capital and Business Networking: A Case Study of Modern
Chinese Transnationalism Southeast Asia Studies Vol. 39 No. 3 December 2001
Looney, Robert (2004) "Thaksinomics: A New Asian Paradigm ? " Volume 29 Number 1,
Spring 2004.
Mangkuprawira, Sjafri (2005) "Strategi Peningkatan Kapasitas Modal Sosial Dan Kualitas
Sumber Daya Manusia Pendamping Pengembangan Masyarakat " Makalah Pengembangan
Panel Utama IPB
McCargo, Duncan. (2005) " Network Monarchy and legitimacy crises in thailand " The Pacific
Review , vol 18 No. 4 December 2005 499-519 Routledge
OECD (2010) "Singapore Rapid Improvement Followed by Strong Performance " OECD

USA 159-176
Phongpaichit, Pasok. (2003) "Financing Thaksinomics" JSPS Core University Project,
Center for Southeast Asian Studies
Sabatini, Fabio. (2008) "Social Capital and The Quality Of Economic Development"
KYKLOS, Vol 61-2008-No. 3, 466-499.
Schmidt, J. D. (2007). From Thaksin's Social Capitalism to Self-sufficiency Economics in
Thailand. Paper presented at Autochthoneity or Development? Asian Tigers' in the World:
Ten Years after the Crisis, Wien, Austria.
Supriono, Agus dkk. (2010) "Modal Sosial: Definisi, Demensi, Dan Tipologi" Jurnal ISIP " 110 2010
Tangpianpang G, Patana. (2010) " Thaksin Populism And Beyond: A Study Of Thaksin Pro
Poor Populist Policies in Thailand" Wasleyan University April, 2010
Trochke, Manuela (2011) : Social capital and economic development: The case of
Uzbekistan, Arbeiten aus dem Osteuropa-Institut Regensburg, Arbeitsbereich Wirtschaft,
Migration und Integration, No. 310
Ufen, Andreas (2007) "Political Party and Party System Institutionalisation in Southeast
Asia: A Comparison of Indonesia, the Philippines, and Thailand " GIGA Research
Programme: Legitimacy and Efficiency of Political System March 2007
Warr, Peter (2011) : Thailand's development strategy and growth performance, Working
paper // World Institute for Development Economics Research, No. 2011,02, ISBN 978-929230-365-5
Wiliam and Durrance (2008) "Social Networks And Social Capital Rethingking Theory In
Community Informatics" Vol 4 No 3 (2008)

WEBSITE
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/23/17323166/pendapatan.orang.singapura
.tertinggi.di.dunia/23/6/2013

Anda mungkin juga menyukai