Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Hukum Humaniter
Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Hukum Humaniter
PENDAHULUAN
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER
1.1.
Latar Belakang
Upayadalammewujudkanperdamaianduniatelahseringkalidilakukanolehberbagai
pihak.Namundarisemuaupayayangtelahdilakukan,perangatausengketabersenjatamasih
tetapsajamenjadisalahsatuciridalamkebudayaandariperadabanmanusia.Penggunaan
senjatamenjadisalahsatualternatifdalammenyelesaikankonflikatauperbedaanpendapat
yangtimbuldarikehidupanbersosialisasiantarnegara.
Dalamsejarahperadabanmanusia,perangatausengketabersenjatamerupakansalahsatu
bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan di muka
bumi.BahkanmenurutJeanJacquesRosseau,perangadalahadalahsatubentukhubungan
sosial(duecontractsocial).SedangmenurutQuincyWrightdalambukunyayangberjudul
StudyofWar perkembanganperangadalahperangyangdilakukanolehbinatang,perang
yangdilakukanolehmanusiaprimitif,perangyangdilakukanolehmanusiaberadab,perang
yangdilakukanolehmodemteknologi.
Sengketabersenjataatauperangadalahsuatukegiatanyangmempunyaidampakyang
sangatluas.Karenatidakhanyaberdampakpadabaginegarayangmelakukannyatapijuga
negaralainyangjugamempunyaiperhatiankhususterhadapdampakyangditimbulkanoleh
peperangan. Tidak ada hal positif atau keuntungan yang didapatkan dari peperangan
melainkanhanyakerugianbesardanpenderitaanyangsangatbesarbagiumatmanusiaseperti
pembunuhanyangmembabibuta,penghancuransaranadanprasaranapublikmaupunmilik
pribadi,perampasanhartabendadansebagainya.
Dalam hal ini, Hukum Internasional membuat sekumpulan ketentuan ketentuan
mengenaiperangdantindakantindakankekerasanlainnyayangditujukanagartindakan
tindakan tersebut, yang pada dasarnya merupakan opsi terakhir yang digunakan dalam
penyelesaian suatu masalah dapat dilakasanakan secara manusiawi dan didasarkan pada
prinsipprinsip HAM (Hak asasi manusia). Ketentuan-ketentuan mengenai hal tersebut dalam
Hukum Internasional lebih dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional (HHI).
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apa yang di maksud dengan hukum humaniter dan bagaimana pengaturannya ?
2. Bagaimanakah perlindungan warga sipil saat terjadinya perang ?
1.3.
BAB II
PEMBAHASAN
1 Jean Marie Henckaerts, Studi (kajian) tetang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah
Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan terhadap Tertib Hukum dalam Konflik Bersenjata,
Internasional Review of The Red Cross , Volume 87 Nomor 857 Maret 2005, hal.1.
2.1.
Hukum Humaniter dan Pengaturannya
2.1.1. Pengertian Hukum Humaniter
Istilah hukum humaniter merupakan suatu istilah yang masih relatif baru di Indonesia,
dan kemungkinan hanya sebagian kecil dari masyarakat di Indonesia yang mengetahui apa itu
hukum humaniter. Bahkan kebanyakan dari para ahli hukum juga belum mengetahui apa
yang dimaksud dengan hukum humaniter. Istilah hukum humaniter atau sengkapnya disebut
international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum
perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws
of armed conflict).Hal ini dilakukan untuk menghindari trauma terhadap kekejaman perang
(war) sehingga diganti dengan kata sengketa bersenjata (armed conflict). Dan akhirnya
sekarang ini kita menyebutnya dengan istilah hukum humaniter.
Prof. mochtar kusumaatmadja pun berpendapat mengenai definisi Hukum Humaniter
dalam bukunya. Beliau mengemukan :2 Dari uraian diatas jelas bahwa yang dinamakan
humanitarianlawituadalahsebagiandarihukumperangyangmengaturketentuanketentuan
perlindungan korban perang berlainan dengan bagian hukum perang yang mengatur
peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu,
misalnyasenjatasenjatayangdilarang.Dengandemikianketentuanketentuanhukumatau
KonvensiJenewaidentikatausinonimdenganhukumataukonvensihumanitersedangkan
hukumperangataukonvensikonvensiDenHaagyangmengaturtentangcaraberperang.
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau
definisi mengenai hukum humaniter dari para ahli, dengan ruang lingkupnya. Rumusanrumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut Jean Pictet dalam bukunya yang berjudul The Principles of International
Humanitarian Law, beliau membagi International Humanitarian Law dalam dua
golongan besar, yaitu:3
a. Hukum perang, yang dibagi lagi dalam:
1.) Hukum the Hague;
2.) Hukum Jenewa;
b. Hak-hak asasi manusia (human rights)
2 Mochtar kusumaatmadja, hukum internasional humaniter dalam pelaksanaan dan penerapannya di
Indonesia, 1980, hal 5.
3 Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, Pengantar Hukum
Humaniter ed. Kushartoyo BS, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 1966, hal. 18.
Tujuan dari Konvensi Den Haag tersebut adalah membatasi pengaruh-pengaruh kekerasan
dan tipu muslihat sehingga tidak melanggar batas-batas yang diperlukan dalam suatu operasi
militer. Jika Hukum Den Haag lebih menitikberatkan pada pengukuhan kaedah- kaedah
internasional berkaitan dengan penggunaan kekuatan militer, maka Hukum Jenewa lebih
menekankan pada perlindungan, penghormatan dan perlakuan manusiawi terhadap personel
militer yang tidak lagi terlibat dalam pertempuran, demikian pula orang-orang sipil yang
tidak terlibat secara aktif dalam pertempuran.4
2.1.2. Pengertian Konflik Bersenjata/Perang
Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata, yaitu
sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional.Pada
perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I
tahun 1977 yang juga memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan
melawan pendudukan asing dan perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk
lain dari sengketa bersenjata internasional.
Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi
permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk
melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba di maknai
sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas
teknologi dan industri.Hal ini tercermin dari doktrin angkatan perangnya seperti "Barang
siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia".Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan
atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi. Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai
kata kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat. Yang mempopulerkan hal ini adalah para
jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun secara umum
perang berarti "pertentangan".
G.P.H. Djatikoesomo mendefinisikan perang sebagai sengketa dengan menggunakan
kekerasan yang sering berbentuk kekuatan bersenjata.5
4 Al-Majallah al-Duwaliyyah lil-Shalb al-Ahmar, edisi 728 Maret-April 1981, hal. 79-86, dalam Abdul Ghani
A. Hamid Mahmud, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata dalam Perspektif HukumHumaniter
Internasional dan Hukum Islam, (Jakarta: ICRC, 2008), Hlm 3.
5Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hal.
25
Dalam hukum humaniter, suatu keadaan dikatakan perang berdasarkan dua unsur, yaitu:6
1.) Adanya konflik yang menggunakan kekuatan bersenjata disatu wilayah.
2.) Intensitas penggunaan kekuatan bersenjata yang cukup tinggi dan terorganisir.
Sejalan dengan perkembangan situasi maka istilah perang kemudian digantikan dengan
sangketa bersenjata (armed conflict). Pengertian Konflik bersenjata identik dengan pengertian
perang yang merupakan perkembangan pengertian perang di dalam masyarakat internasional
dan secara teknis intensitasnya sama dengan perang. menurut seorang ahli Kossoy, bahwa
dilihat dari segi hukum, penggantian adalah more justified and logical.7
Haryomataram membedakan antara sengketa bersenjata internasional (international
armed conflict) dan sengketa bersenjata non internasional (non international armed
conflict), dansecaragarisbesar,hanyaadaduabentukkonflikbersenjatasajayangdiatur
dalamHukumHumanitersebagaimanayangdapatdilihatdanmengkajikonvensikonvensi
jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Pengertian konflik bersenjata internasional
terjadiapabilamelibatkanduanegaraataulebih.
Selanjutnya sengketa bersenjata Internasional dinyatakan dalam ketentuan pasal 2
KonvensiJenewa1949sebagaisengketabersenjatayangmelibatkanduanegaraataulebih,
baik sebagai perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang tersebut tidak
diakuisalahsatudarimereka.8
Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam
Protokol I tahun 1977 menetapkan jenis situasi sengketa bersenjata internasional atau situasi
yang disamakan dengan sengketa bersenjata internasional. Dalam hal ini, dimana peoples
(suku bangsa) sedang bertempur melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing dan
melawan sistem pemerintahan rasialis dalam rangka memenuhi haknya untuk menentukan
nasibnya sendiri. Sengketa ini biasa disebut dengan istilah War of National Liberation atau
yangdikenal dengan istilah CAR conflict (conflict Against Racist Regime) ini adalah fighting
6 Fadillah agus, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, (Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta : 1997), hal 2-4
7 KGPH. Haryomataram, S.H. Hukum Humaniter. Jakarta :Rajawali pers, 2005, Hal.15
8 Ambarwati, Denny ramdhany, Rina rusman, Hukum Humaniter internasional dalam studi hubungan
internasional, rajawali pers, Jakarta, 2009, hal. 56
against Colonial domination; Alien occupation; and against Racist Regime, sebagaimana
dalam pasal 1 ayat 4 Protokol 1 tahun 1977.
2.1.3. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Humaniter
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan
(distinction principle). Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara
kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu pihak,
dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk
sipil). Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula prinsip-prinsip
lain yang digunakan dalam konflik bersenjata, yaitu :
a. asas kepentingan militer (military necessity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan
kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya
penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas
(proportionally principle)
b. Asas Perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan
perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c. Asas Kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara
yang bersifat khianat dilarang.
dikemukakan di sini adalah sumber utama. Sumber utama hukum humaniter adalah sebagai
berikut.
A. Konvensi Konvensi Den Haag
Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur cara dan
alat berperang. Hukum Den Haag bersumber dari hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang
diadakan pada tahun 1899 di Den Haag dan Konferensi Perdamaian II yang diadakan pada
tahun 1907. Rangkaian konvensi tersebut dikenal dengan sebutan Hukum Den Haag.
Prinsip atau dalil pertama yang terdapat dalam hukum tersebut berbunyi sebagai berikut,:the
right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited. (hak dari pihak
yang berperang untuk mengadopsi cara melukai musuh yang terbatas).
Prinsip kedua yang penting yang terdapat dalam hukum den Haag adalah apa yang
lazim disebut Martens Clause, yang terdapat dalam Perambule Konvensi Den Haag.
Adapun Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi den Haag 1907 adalah sebagai
berikut :
a. Konvensi I tentang peneyelesaian damai persengketaan internasional;
b. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran
Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;
c. Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan;
d. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang dilengkapi dengan
Regulasi (Peraturan) Den Haag;
e. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Orang- orang Netral dalam
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Perang di darat;
Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Peperangan;
Konvensi VII tentang Pengubahan Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam laut;
Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang;
Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang di laut;
Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan
lambang pelindung yang baru selain lambang palang merah dan bulan sabit merah.Lambang
yang ketiga adalah berlian merah (red diamond).
2.2.
Rancangan konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil ini yang dikenal juga
dengan nama rancangan Tokyo, yang merupakan rancangan pertama bagi Konvensi Jenewa
IV yang sekarang, mula-mula akan diajukan pada suatu konferensi Diplomatik yang akan
diadakan di Jenewa pada Tahun 1940. Pecahnya Perang Dunia II membatalkan niat ini. Tahun
1947 dengan diadakannya suatu konferensi di Jenewa antara ahli- ahli dari berbagai negara
untuk mempelajari Konvensi- Konvensi mengenai Perlindungan Korban Perang, yang
kemudian disusul dengan konsultasi antara Komite Internasional dengan beberapa
pemerintah yang tidak mengirimkan wakilnya.
Hasil pekerjaan-pekerjaan persiapan tersebut di atas berupa empat buah rancangan
Konvensi dibicarakan pada Konferensi Internasional Palang Merah ke- XVII yang diadakan
di Stockholm diTahun 1948. Rancangan-rancangan ini diterima dengan beberapa perubahan.
Rancangan konvensi-konvensi inilah yang menjadi bahan perbincangan (working documents)
daripada KonferensiDiplomatik yang diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April hingga 12
Agustus 1949, dan yang akhirnya menghasilkan keempat konvensi mengenai perlindungan
korban perang dalam bentuknya yang dikenal sekarang.9
2.2.A. Penjelasan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949
Penjelasan Konvensi Jenewa IV 1949 mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil yang
menjadi korban perang diatur di dalam bagian II yang berisi tentang perlindungan umum.
A. Perlindungan Umum
Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk
sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil
berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya.
Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang
sipil yang perlu dilindungi, seperti :
9 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi DJenewa TH. 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta
Bandung, 1968, hal. 3-4.
Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh ditempatkan di dalam daerah-daerah yang
sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer memerlukan, tempat interniran ini
harus ditandai dengan huruf IC (TI = Tempat Interniran; IC = Internment Camps), atau
system penandaan lainnya yangdisepakati. Pengurusan para interniran, harus dilakukan oleh
Negara Penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian,
kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap
tempatinterniran, harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira yang bertanggung
jawab, yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa dari
Negara Penahan.
Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dapat
dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting, penjatuhan sanksi-sanksi tersebut
harus sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku di daerah yang diinternir
tersebut.
Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke negara
asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan
serupa selama berlangsungnya permusuhan antara para pihak yang bersengketa.
B. Perlindungan Khusus
Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam
sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk
sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk
sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang
bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata.
Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional
dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil.
2.2.B. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil Pada
Saat Berperang
Berbeda dari ketiga Konvensi Jenewa Tahun 1949, Konvensi mengenai Perlindungan
Penduduk Sipil di waktu perang bukan merupakan penyempurnaan daripada KonvensiKonvensi yang telah ada, melainkan adalah suatu Konvensi yang sama sekali baru. Ini tidak
berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan hak- hak penduduk sipil belum pernah diatur
dalam hukum perang yang tertulis.
Untuk sebagian perlindungan ini memang telah diberikan oleh Peraturan Den Haag
tersebut di atas. Akan tetapi ketentuan-ketentuan ini jauh dari lengkap, karena hanya
mengatur perlindungan penduduk dipil di wilayah yang diduduki. Peraturan Den Haag tidak
memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan dan perlindungan hak penduduk sipil
musuh di wilayah pihak dalam pertikaian sendiri, dan juga tidak memuat ketentuan-ketentuan
mengenai perlakuan penduduk sipil yang diinternir.
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 adalah konvensi pertama yang secara khusus
mengatur tentang korban penduduk sipil selama peperangan. Banyak ketentuan pasalnya
berkaitan dengan akibat dan perlakuan buruk terhadap penduduk sipil yang berada di wilayah
Penguasa Pendudukan, daripada pasal- pasal yang mengatur tentang aturan berperang.
DidalamKonvensiJenewaIVpengertianorangorangyangdilindungiadalahlainsekalidengan
pengertianorangorangyangdilindungidalamartiketigaKonvensiJenewalainnya.Haliniditegaskan
dalam kalimat terakhir daripada pasal 4 yang mengatakan bahwa orangorang yang dilindungi oleh
Konvensi Jenewa keI, II, dan III tidak dapat dipandang sebagai orang yang dilindungi dalam arti
Konvensi Jenewa IV. Dengan perkataan lain, unsur pokok daripada pengertian orang yangdilindungi
dalamartiKonvensiJenewaIVadalahbahwaiaituadalahpenduduksipil.
Secaramudah dapatlah dikatakan bahwa orangorang yangdilindungi menurut pasal 4 adalah
penduduksipilnegaradalampertikaianyangtelahjatuhkedalamkekuasaanmusuh,atauapabiladilihat
darisudutpihakyangmenguasaimereka,orangorangyangdilindungidalamartiKonvensiJenewaIV
adalah penduduk sipil musuh. Karena selain di wilayahnya sendiri, suatu negara dalam perang juga
berkuasa di wilayah musuh yang diduduki oleh angkatan perangnya, dapat juga orangorang yang
dilindungimenurutKonvensiJenewaIVitudirumuskansebagai:
1.Warganegarasipilmusuhdiwilayahnegarapihakdalampertikaian.
2.Penduduksipildiwilayahmusuhyangdidudukiterkecuali:
a.)Warganegaranegarapendudukansendiri.
b.)Warganegaranegarasekutu.
c.) Warganegara negara netral yang mempunyai hubungan diplomatic dengan negara
pendudukan.
d.)Warganegaranegarabukanpesertakonvensi