Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini masyarakat kapitalis umumnya ditandai oleh terciptanya polarisasi
sosial diantara para pemilik kapital dengan pekerja. Kebebasan kaum kapitalis
adalah kebebasan yang ditopang oleh penguasaan fakor-faktor produksi, dengan
faktor-faktor produksi kaum kapitalis memiliki kemampuan untuk memanipulasi
dan membeli kebebasan yang dimiliki komponen masyarakat lainnya. Termasuk
kebebasan yang dimiliki oleh para pejabat negara.
Kondisi dunia yang telah dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme global
mencengkram seluruh sendi-sendi kehidupan. Dua sifat utama dari kapitalisme
yaitu eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini berjalan beriringan
sehingga pencapaian tujuan kapitalisme untuk meningkatkan akumulasi modal
semakin masive. Menurut Tabb, bahwa konstruksi kelembagaan untuk mengatur
tata dunia dilakukan melalui organisasi atau agen-agen internasional antara lain
WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade and
Tariff), Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund) dan
berbagai lembaga lainnya.
Globalisasi memperluas pergerakan modal dan memberi tempat yang makin
penting bagi korporasi besar dunia (MNCs). Di Indonesia kita menyaksikan
sebuah pergeseran yang menandai makin kuatnya ekspansi kapitalis global.
Hingga mencengkram seluruh basis perekonomian nasional, dari perekonomian
skala besar sampai perekonomian rakyat kecil. Ekspansi besar-besaran perusahaan
multi nasional disertai juga dengan tuntutan mekanisme kerja baru yang
memperkenalkan sistem hubungan kerja yang fleksibel dalam bentuk Outsourcing
dan kerja kontrak.
Semua mekanisme kerja dimaksudkan untuk meraih keuntungan yang lebih
besar dengan mengurangi tanggung jawab pemilik modal atau pengusaha terhadap
masa depan pekerjaannya. Kata kunci yang selalu mereka ungkapkan yaitu
efisiensi yang hampir identik dengan kue keuntungan yang makin besar.1
Indonesia pasca reformasi setelah tumbangnya rezim diktator, terbukanya alam
kebebasan memberikan efek positif bagi setiap warga negara untuk berserikat
1

http://www.slideshare.net/CiciCweety/makalah-Outsourcing diakses 13/05/2015 16:21

dalam organisasi-organisasi masyarakat. Begitu juga kelompok buruh semakin


tergorganisir dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Walaupun demikian
belumlah selesai masalah perburuhan dinegeri ini.
Rekson Silaban mencatat beberapa masalah utama perburuhan pasca reformasi
yaitu masalah pengangguran dan berimplikasi pada meningkatnya jumlah pekerja
sektor informal, masalah pendidikan dan komposisi, sistem pengupahan, praktek
Outsourcing dan kontrak, masalah sistem pengawasan tenaga kerja, dan masalah
jaminan sosial tenaga kerja.
Masalah tersebut menjadi isu-isu yang cukup sexy apalagi pada saat kampanye
partai politik. Agenda yang selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah habishabisnya karena isu tersebut tetap dijaga sebagai alat kepentingan politik. Dalam
paper ini yang menarik untuk dianalisis yaitu masalah Outsourcing sebagai sebuah
mekanisme perburuhan yang lahir dari rahim kapitalisme modern.
Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan
dapat ditemukan dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi. Selain
itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau seluruh
pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi
pemakaian jasa Outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit
dalam perusahaan.
Outsourcing memiliki dua jenis pertama, Outsourcing pekerjaan yang
berkaitan dengan pemborongan pekerjaan pada pihak lain, kedua, Outsourcing
manusia. Tipe Outsourcing yang kedua merupakan praktek yang memberikan
efisiensi pada tingkat tertentu dalam operasional bisnis, namun merugikan secara
serius kepentingan buruh dipihak lain. Praktek inilah yang ditentang oleh gerakan
buruh di Indonesia khususnya. Apalagi setelah disahkannya UU No. 13 Tahun
2003, praktek sistem kerja kontrak merajarela bagaikan jamur di musim hujan.
Nyaris semua perusahaan memberlakukannya dalam bentuk kontrak kerja yang
pendek dan Outsourcing.
Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 adalah landasan hukum bagi perusahaan
Outsourcing dan pengusaha berkonspirasi mempraktekkan Outsourcing. Bunyinya
sebagai berikut : "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis". Berdasarkan pasal
inilah pemerintah telah mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan
2

Outsourcing yang dahulu kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni
asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia.
1.2.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
a. Apa yang dimaksud dengan Outsourcing, dan dasar hukum Outsourcing ?
b. Bagaimana mekanisme Outsourcing dalam industri di Indonesia ?,
bagaimana hubungan buruh serta kedudukan buruh dalam sistem
tersebut ?
c. Bagaimanakah persoalan hukum Outsourcing ?
d. Bagaimanakah penyelesaian kasus Outsourcing ?

1.3. Tujuan dan Manfaat


Dari rumusan masalah diatas dapat kita ambil tujuan dan manfaat dari
makalah ini yaitu :
a. Mengetahui apa yang di maksud dengan Outsourcing dan bagaimana
dasar hukum Outsourcing
b. Mengetahui bagaimana mekanisme Outsourcing dalam industry di
Indonesia dan bagaimana hubungan buruh serta kedudukan buruh dalam
sistem tersebut
c. Mengetahui bagaimana persoalan hukum Outsourcing di Indonesia
d. Mengetahui Penyelesaian kasus Outsourcing di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. OUTSOURCING
2.1.1. Pengertian Outsourcing
Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat saat
ini, maka perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya
melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk
dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu
3

perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core
business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses
kegiatan ini dikenal dengan istilah Outsourcing.2
Pemborongan pekerjaan (Outsourcing) adalah penyerahan sebagian
pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan kepada penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan secara tertulis.3
Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu
proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa Outsourcing). Melalui
pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan
dilimpahkan kepada perusahaan jasa Outsourcing.
Dapat dikatakan bahwa Outsourcing adalah salah satu hasil samping dari
Business Process Reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan
secara mendasar oleh salah satu perusahaan dalam pengelolaannya, yang bukan
sekadar bersifat perbaikan. BPR adalah pendekatan baru dalam manajemen yang
bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berbeda dengan pendekatan lama
yakni continuous improvement process (proses peningkatan berkelanjutan). BPR
dilakukan untuk memberikan respons atas perkembangan ekonomi secara global
serta kemajuan teknologi yang pesat, yang menimbulkan persaingan global yang sangat
ketat.
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan istilah Outsourcing sebenarnya bersumber
dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-undang No 13 Tahun 2004 tentang
ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat meyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyedia jasa pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Di dalam praktiknya ketentuan tentang penyediaan jasa pekerjaan yang diatur
dalam peraturan diatas akhirnya memunculkan pula istilah Outsourcing (dalam hal ini

http://ariswan.wordpress.com/2008/05/23/Outsourcing-sebagai-solusi-dunia diakases
13/05/2015 16:58
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. PT Pradnya Paramita: Jakarta 2007, Hal
147.

maksudnya menggunkan sumber daya manusia dari pihak lain di luar


perusahaan).4
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, maka Outsourcing atau yang disebut
dengan perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dikategorikan dalam dua
kelompok, yaitu: penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada
perusahaan lain untuk dikerjakan ditempat di perusahaan lain tersebut, atau
penyediaan jasa pekerja oleh perusahaan penyedia jasa pekerja, yang dipekerjakan
pada perusahaan lain yang membutuhkan. Yang pertama titik-beratnya terletak
pada produk kebendaan, sedangkan yang kedua, lebih pada orang-perorangan
yang jasanya dibutuhkan.
Pelaksanaan Outsourcing untuk produk kebendaan, misalnya pembuatan
kancing baju, ritsleting dan lain-lain pada perusahaan garmen, atau mur, kuncikunci mesin pada perusahaan otomotif dan lain-lain. Pengaturan Outsourcing
produk jauh lebih sederhana dibandingkan dengan Outsourcing jasa perorangan,
yang oleh perusahaan pengerah/penyedia tenaga kerja ditempatkan pada
perusahaan lain. Pada Outsourcing produk, perjanjian kerjasama cukup dibuat dan
ditandatangani oleh perusahaan yang satu dengan yang lainnya, dengan
menyebutkan syarat-syarat obyek, harga, waktu dan lain-lain sesuai dengan
kesepakatan.
Pelaksanaan

perjanjian

Outsourcing

dalam

bentuk

mempekerjakan

/mengambil jasa perorangan jauh lebih kompleks. Dalam mempekerjakan pekerja,


maka penandatanganan kontrak kerja akan dilakukan antara perusahaan yang
merekrut /melatih tenaga kerja dengan perusahaan yang menampung penempatan
tenaga kerja dan antara pekerja dengan perusahaan yang menerima dan melatih
pekerja. Dengan demikian hubungan kerja, dalam artian hubungan antara majikan
dan pekerja, hanya tercipta antara pekerja dengan perusahaan yang merekrut
pekerja dan bukan dengan perusahaan tempat pekerja melakukan pekerjaannya.
Mengingat jalinan hubungan kerja yang tercipta adalah antara tenaga kerja
dengan perusahaan perekrut pekerja, serta antara perusahaan perekrut tenaga kerja
4

Ibid, Hal :217

dengan perusahaan yang menampung penempatan tenaga kerja, maka segala


pengupahan dan hak-hak pekerja lainnya akan dibayarkan dan diterima melalui
perusahaan perekrut tenaga kerja awal.
Namun demikian, Undang-undang Ketenagakerjaan di Indonesia telah
memberikan batasan batasan penggunaan tenaga kerja melalui Outsourcing, yaitu
hanya terhadap bagian-bagian yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis
utama suatu perusahaan. Dalam praktiknya tenaga kerja yang paling banyak dioutsource adalah tenaga satuan pengaman (satpam/sekuriti).
Untuk mempermudah

memahami

mengenai

Outsourcing

dapat

di

ilustrasikan sebagai berikut : A diangkat sebagai karyawan di perusahaan X.


Sebelum diangkat menjadi karyawan, antara A dan perusahaan X dibuat perjanjian
kerja yang isinya menyatakan bahwa A bersedia untuk ditempatkan diperusahaan
Y, disini dapat dilihat bahwa perusahaan X adalah perusahaan penyedia jasa
pekerja dan perusahaan Y adalah perusahaan pemberi kerja. Setelah perjanjian
kerja antara A dan Perusahaan X disepakati maka perusahaan X akan membuat
perjanjian dengan Perusahaan Y yang isinya bahwa perusahaan X akan
mempeerjakan karyawannya diperusahaan Y. Terhadap penempatan tersebut,
perusahaan Y membayar sejumlah dana kepada perusahaan X.
Dari ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa di dalam sistem Outsorcing
terdapat dua jenis perjanjian yaitu:
a. Perjanjian kerja, antara A dengan perusahaan X
b. Perjanjian penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y
Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut , walaupun A seharihari bekerja di perusahan Y, status A tetap sebagai karyawan perusahan X. oleh
karena itu, dalam sistem Outsourcing ini pemenuhan hak-hak A (seperti
perlindungan upah dan kesejahteraan syarat-syarat kerja serta perselisihan yang
timbul ) tetap merupakan tanggung jawab perusahaan X.5
Syarat-syarat tersebut wajib di penuhi oleh perusahaan penyediaan jasa
pekerja/buruh yang bersangkutan tetap terlindungi hak-haknya dan tidak
5

Ibid, Hal :218

mengalami eksploitasi secara berlebihan. Syarat-syarat yang wajib dipenuhinya


adalah sebagai berikut :
a. Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan bentuk usaha berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang berwenang
b. Pekerja/karyawan yang ditempatkan tidak boleh digunakan untuk
melaksanakan kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses
produksi.
c. Adanya hubungan kerja yang jelas antara pekerja/buruh dengan
perusahaan penyedia jasa pekerja, sehingga pekerja yang ditempatkan
tersebut mendapatkan perlindungan kerja yang optimal sesuai standar
minimum ketenagakerjaan.
d. Hubungan kerja harus dituangkan dalam perjanjian secara tertulis, yang
memuat seluruh hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undanagan ketenagakerjaan.6

2.1.2. Sumber Hukum Outsourcing


2.1.2.1.Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) atau yang biasa disebut
sebagai hukum materil, merupakan sumber hukum yang paling awal dalam
masalah Outsourcing. Undang-undang ini telah ada sejak zaman Belanda.
KUHPdt merupakan tonggak awal pengaturan pekerjaan pemborongan,
yang secara khusus difokuskan pada obyek tertentu. Ketentuan KUHPdt tersebut
diatur dalam pasal 1601 KUH Perdata, yang secara luas mengatur tentang
perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan.
Dalam pasal 1601 a disebutkan, perjanjian perburuhan adalah perjanjian
dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya di bawah perintah
pihak yang lain, si majikan, untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan
dengan menerima upah. Ketentuan pasal 1601 a dan pasal-pasal lainnya dalam
6

Ibid, Hal :219

KUHPdt yang mengatur hubungan ketenagakerjaan, telah dinyatakan tidak


berlaku sejak keluarnya Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan maupun undang-undang ketenagakerjaan sebelumnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemborongan pekerjaan, dalam pasal
1601 b yakni sebagai perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong
mengikatkan diri untuk menyelenggarkan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain,
pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Syarat
dan ketentuan pemborongan pekerjaan diatur dan ditetapkan berdasarkan hukum
perjanjian yakni kesepakatan kedua belah pihak. Asas yang berlaku dalam hukum
perjanjian adalah, hal-hal yang telah disepakati kedua belah pihak dalam
perjanjian berlaku sebagai undang-undang yang mengikat. Ketentuan tersebut
dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak.
Namun demikian, sekalipun undang-undang memberikan kebebasan
kepada pihak-pihak untuk menentukan isi perjanjian pemborongan pekerjaan,
syarat dan ketentuan dalam perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan norma keadilan.
2.1.2.2.Undang-Undang NO.13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dapat disebut
sebagai suatu kodifikasi dari berbagai ketentuan ketenagakerjaan yang
sebelumnya terpisah-pisah. Sebelum undang-undang ini berlaku, ada sekitar 15
ordonasi dan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk mengatur persoalan
ketenagakerjaan. Dengan berlakunya undang-undang no 13 tahun 2003 ini, maka
ke 15 ordonasi/peraturan tersebut telah dinyatakan tidak berlaku. Meskipun di
dalamnya tidak pernah ditemukan kata Outsourcing secara langsung, undangundang nomor 13 tahun 2003 merupakan tonggak baru yang mengatur dan
melegalisasi masalah Outsourcing. Istilah yang dipakai dalam undang-undang
tersebut adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh. Istilah tersebut diadopsi dari istilah yang dipakai dalam KUHPdt,
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Ketentuan yang mengatur Outsourcing ditemukan dalam pasal 64 sampai


dengan pasal 66 undang-undang nomor 13 tahun 2003. Dalam pasal 64 disebutkan
perusahaan dapat menyerahkan

sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada

perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan


jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Oleh karena ketentuan pasal
tersebut lebih merupakan pilihan bebas, makan pemanfaat Outsourcing bukanlah
sesuatu yang wajib, melainkan terserah pada perhitungan untung-rugi pengusaha.
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis. Namun tidak semua pekerjaan dapat diserahkan untuk dikerjakan
perusahaan lainnya, melainkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama


Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

pekerjaan
Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
Tidak menghambat proses produksi secara langsung

Syarat lain yang harus dipenuhi adalah, perusahaan pemborong harus


berbentuk badan hukum serta perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan tersebut harus sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja
dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan, atau sesuai dengan
perusahaan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam praktiknya pengawasan atas pemenuhan syarat-syarat outsourching
tersebut sangat sulit dilakukan, sehingga pelanggaran-pelanggaran kerap terjadi.
Pelanggaran yang banyak terjadi adalah rendahnya perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja terhadap pekerja. Perlindungan dan syarat-syarat kerja yang diberikan
oleh pengusaha terhadap pekerja umumnya berada di bawah standar yang berlaku
pada perusahaan di mana pekerja dipekerjakan. Masuk akal, karena perusahaan
perekrut/pengerah

jasa

tenaga

kerja

mendapatkan

keuntungan

melalui

pemotongan sebagian hak yang diterima oleh pekerja pada perusahaan di mana
pekerja ditempatkan.

Realisasi hubungan kerja antara perusahaan outsourching dengan


pekerjanya dibuat secara tertulis. Perjanjian kerja tersebut dapat didasarkan pada
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang. Syarat perjanjian kerja
waktu tertentu diatur dalam pasal 59, yaitu :
-

Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatya


Pekerjaan yang pengerjaannya diperkirakan dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama 3 tahun


Pekerjaan yang bersifat musiman
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan
Pemenuhan persyaratan tersebut di atas merupakan suatu keharusan,

karena kelalaian dalam pemenuhan syarat tersebut berakibat pada beralihnya


status hukum hubungan kerja pekerja/buruh dari perusahaan penerima
pemborongan menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan.
Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi. Pembatasan kegiatan yang dapat di-outsource tersebut ditujukan untuk
melindungi terjadinya kesewenangan-wenangan terhadap pekerja lama.
Syarat-syarat bagi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan
jasa penunjang adalah :
-

Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh
Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada butir a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dan/atau
perjanjian waktu tidak tertentu yang tidak dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak
10

Perlindungan

upah

dan

kesejahteraan,

syarat-syarat

kerja,

serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia


-

jasa pekerja/buruh
Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Sebelum

berlakunya

undang-undang

ini,

sangat

banyak

terjadi

penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat kerja antara
perusahaan outsourching dengan pekerja/buruh. Contoh yang menyolok adalah
dalam penerimaan /mempekerjakan satuan pengaman (sekuriti). Para satpam
tersebut umumnya direkrut dan dipekerjakan pada perusahaan lain, akan tetapi
mereka tidak mempunyai hubungan kerja yang tetap/pasti dengan perusahaan
Outsourcing. Mereka hanya mendapat upah pada saat mereka bekerja, sedangkan
apabila perusahaan tempat mereka bekerja memberhentikan, maka mereka tidak
lagi mendapat upah, meskipun masa kerja mereka telah lama.
Undang-undang nomor 13 tahun 2003 pada satu sisi telah berupaya untuk
melindungi pekerja/buruh dari ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha Outsourcing, dan pada sisi lain telah juga
membuka peluang terjadinya efisiensi bagi pengusaha.
2.1.3

Sejarah Outsourcing
Pada dasarnya praktik dari prinsip-prinsip outsourcing telah diterapkan

sejak zaman Yunani dan Romawi. Pada zaman tersebut, akibat kekurangan
kemampuan pasukan dan tidak tersedianya ahli-ahli bangunan, bangsa Yunani dan
Romawi menyewa prajurit asing untuk berperang dari para ahli-ahli bangunan
untuk membangun kota dan istana.
Sejalan dengan terjadinya revolusi industri, maka perusahaan-perusahaan
berusaha untuk menemukan terobosan-terobosan baru dalam memenangkan
persaingan. Pada tahap ini, kemampuan untuk mengerjakan sesuatu saja tidak
cukup untuk menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan
kesanggupan untuk menciptakan produk paling bermutu dengan biaya terendah.
11

Sekitar tahun 1950-an sampai dengan 1960-an, berbagai pertemuan ekonomi telah
mendorong kearah diversifikasi usaha, dengan tujuan mendapatkan keuntungan
dari perkembangan ekonomi dunia. Melalui diversifikasi diharapkan terjadi
efiensi untuk menciptakan keuntungan bagi dunia usaha.
Selanjutnya pada tahun 1970 dan 1980, perusahaan menghadapi
persaingan global, dan mengalami kesulitan karena kurangnya persiapan akibat
struktur manajemen yang bengkak. Akibatnya, risiko usaha dalam segala hal,
termasuk risiko ketenagakerjaan pun mengikat. Tahap ini merupakan awal
timbulnya pemikiran outsourcing di dunia usaha. Untuk meningkatkan keluwesan
dan kreativitas, banyak perusahaan besar yang membuat strategi baru dengan
konsentrasi pada bisnis inti, mengidentifikasikan proses yang kritikal, dan
memutuskan hal-hal yang harus di-outsource.
Sekitar tahun 1990, outsourcing telah mulai berperan sebagai jasa
pendukung. Tingginya persaingan telah menuntut manajemen perusahaan
melakukan perhitungan pengurangan biaya. Perusahaan mulai melakukan
outsource fungsi-fungsi yang penting bagi perusahaan, akan tetapi tidak
berhubungan langsung

dengan bisnis inti perusahaan. Di Indonesia praktik

outsourcing telah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Praktik ini dapat dilihat
dari adanya pengaturan mengenai pemborongan pekerjaan, sebagaimana diatur
dalam pasal 1601 b KUH Perdata. Dalam pasal itu disebutkan bahwa
pemborongan pekerjaan adalah suatu kesepakatan dua belah pihak yang saling
mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan
pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Namun dalam perkembangannya,
ternyata outsourcing berjalan sangat lambat. Bahkan sampai saat ini sebagian
besar perusahaan yang ada di Indonesia masih mengelola semua kegiatan bisnis
perusahaan secara internal, baik bisnis utama maupun tidak.
Salah satu faktor penghambat perkembangan tersebut adalah kurangnya
dukungan dari segi penciptaan peraturan. Kurangnya peraturan pendukung
berdampak pada lambannya sosialisasi serta rendahnya pemahaman masyarakat
atas keuntungan-keuntungan pemanfaatan outsourcing pada perusahaan.

12

Mengingat

bisnis

ketenagakerjaan,

maka

ketenagakerjaan

menjadi

outsourcing

berkaitan

peraturan-peraturan
faktor

penting

yang
dalam

erat

dengan

praktik

berhubungan

dengan

memacu

perkembangan

outsourcing di Indonesia. Legalisasi penggunaaan jasa outsourcing baru terjadi


pada tahun 2003, yakni dengan keluarnya Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang ini telah mengatur bidang-bidang yang memungkinkan
untuk di outsource, yaitu bagian-bagian yang tidak berkaitan dengan bisnis inti.
Melalui peraturan tersebut, pada tahun 2003 telah mulai tumbuh kesadaran
perusahaan-perusahaan besar untuk menggantikan tenaga kerja yang tidak
berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan, seperti satpam, akunting dan
lain-lain.
Namun demikian kendati telah diketahui bahwa pemanfaatan outsourcing
secara ekonomi memberi banyak keuntungan, ternyata sampai sekarang
pemanfaatannya di bidang ketenagakerjaan masih sangat rendah. Salah satu faktor
penghambat sekaligus menjadi kendala adalah kesulitan dalam pengalihan tenaga
kerja yang bekerja pada bagian yang akan di out-source: Apakah pekerja/buruh
tersebut di-PHK atau ditempatkan pada bagian lain, serta apakah pekerja tersebut
bersedia atau menolak di-PHK atau dipindahkan pada bagian lain.
2.1.4

Makna Dan Hakikat Penyediaan Tenaga Kerja Dengan Sistem


Outsourcing
Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan

dengan system outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh strategi
perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Dengan menggunakan
system outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran
dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang
bersangkutan.
Beberapa praktisi hukum ketenagakerjaan sebenernya banyak yang
mengkritik system outsourcing ini, karena secara legal formal perusahaan pemberi

13

kerja tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap pemenuhan hak-hak


karyawan yang bersangkutan.
Oleh karena itu, dalam rangka melindungi karyawan yang ditempatkan
tersebut ditentukan beberapa syarat untuk meminimalisasi dampak negative dari
system outsourcing ini. Syarat-syarat yang wajib dipenuhi adalah sebagai berikut :
a) Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan bentuk usaha berbadan
hokum dan memiliki izin dari instansi yang berwenang.
b) Pekerja/karyawan yang ditempatkan
tidak boleh digunakan untuk
melaksanakan kegiatan pokok yang berhub ungan langsung dengan proses
produksi.
c) Adanya hubungan kerja yang jelas antara pekerja/buruh dengan
perusahaan penyedia jasa pekerja, sehingga pekerja yang ditempatkan
tersebut mendapatkan perlindungan kerja yang optimal sesuai standar
minimum ketenagakerjaan.
d) Hubungan kerja harus dituangkan dalam perjanjian secara tertulis yang
memuat seluruh hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.7
2.1.5

Keuntungan dan Kerugian Outsourcing


Outsourcing berbeda dengan perjanjian kerja biasa. Kontrak kerja biasa

umumnya sekedar menyerahkan pekerjaan tertentu kepada pihak ketiga untuk


jangka pendek. Oleh karena sifatnya hanya jngka pendek, umunya tidak diikuti
dengan transfer sumber daya manusiadan transfer peralatan atau asset perusahaan.
Sedangkan dalam outsourcing, karena kerja sama yang di harapkan adalah untuk
jangkapanjang, maka penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain dilakukan
dengan mempertimbangkan profesionalisme perusahaan. Oleh sebab itu,
penyerahan pekerjaan sering kali diikuti dengan transfer sumber daya manusia
dan peralatan atau asset perusahan.
Berdasarkan studi para ahli menejemen yang dilakuakan sejak tahun 1991,
termasuk survey yang dilakukan terhadap lebih dari 1200 perusahaan yang
melakukan praktik outsourcing terhadap aktivitas-aktivitasnya dan potensi
keuntungan apa saja yang di harapkan akan diperoleh. Potensi keuntungan atau
alasan-alasan tersebut amtara lain :
7

Andrian Sutendi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika,Jakarta :2009, Hal :217

14

a.
b.
c.
d.
e.

Meningkatkan fokus perusahaan


Memanfaatkan kemampuan kelas dunia
Mempercepat keuntungan yang diperoleh dari reengineering.
Membagi resiko
Sumberdaya sendiri dapat di pergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan

lainnya
f. Memungkinkan tersedianya dana kapital
g. Menciptakan dana segar
h. Mengurangi dan mengendalikan biaya operasi
i. Memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri
j. Memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola sendiri.
Disamping beberapa keuntungan dari praktek Outsourcing sebagaimana
dikemukakan diatas, terdapat beberapa kerugian yang bisa diidentifikasi dari
Outsourcing antara lain :
a. Keberlanjutan mendapatkan pekerjaan tidak pasti
b. Sistem kontrak
c. Tidak adanya serikat pekerja8
2.2 Mekanisme Outsourcing Dalam Industri di Indonesia Serta Hubungan
Buruh dan Kedudukan Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Perkembangan kapitalisme di era modern telah mencapai pada puncaknya
menghegemoni dunia. Kondisi ini didukung oleh kemajuan teknologi informasi
dan transportasi yang berkembang cukup pesat. Batas-batas Negara menjadi tidak
penting lagi, hanya batas formalitas teritorial yang ada, tetapi tidak mampu
membendung pernyebaran ide-ide, inovasi, teknologi sehingga dunia menjadi
sebuah kampung global. Menurut James J (2003 : 174), globalisasi merupakan
pengintegrasian

internasional

individu-individu

dengan

jaringan-jaringan

informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi secara cepat dan
mendalam, dalam takaran yang belum dialami sejarah dunia sebelumnya.
Outsourcing merupakan turunan dari kapitalisme global. Dikatakan juga
sebagai anak kandung yang lahir dari rahim kapitalis, kondisi ini tidak bisa
dilepaskan dari sifat dasar kapitalis yaitu eksploitatif dan ekspansif. Perusahaanperusahaan transnasional dan multi nasional, semakin kuat mengcengkram
Negara-negara yang sedang berkembang. Ekspansi dan eksploitasi yang besarbesaran dilakukan demi akumulasi modal. Sebagai contoh perusahaan NIKE
8

Suria Ningsih,Mengenal Hukum Ketenagakerjaan USU Press, Medan :2012, Hal :96

15

selama periode 1989-1994 membuka lokasi pabrik baru di Cina, Indonesia dan
Thailand dimana upah sangat rendah.
Ekspansi besar-besaran perusahaan transnasional diiringi juga dengan model
dan format kerja yang mereka persiapkan (outsourcing), untuk diterapkan di
wilayah pengembangan perusahaan. Ini merupakan implementasi dari ciri
globalisasi dimana perusahaan transnasional melakukan peningkatan konsentrasi
dan monopoli berbagai sumberdaya dan kekuatan ekonomi (Martin Khor, 2001 :
12). Karena itu globalisasi adalah proses yang tidak adil dengan distribusidistribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak seimbang.
Dari penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa perkembangan outsourcing
di Indonesai sebagai salah satu negara berkembang merupakan imbas dari
hegemoni kapitalis. Outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak
tahun 1980-an, model kerja ini disahkan keberlakuannya melalui keputusan
Menteri Perdagangan RI No. 264/KP/1989 Tentang Pekerjaan Sub-kontrak
Perusahaan Pengelola di Kawasan Berikat.
Industri awal yang bersentuhan dengan outsource adalah industri
perminyakan. Bahan bakar yang dimanfaakan oleh konsumen akhir, mengalami
proses panjang dan melalui berbagai perusahaan outsourcing. Dimulai dari
pemilik konsesi lahan, eksplorasi hingga produksi, transportasi, semuanya
dilakukan oleh perusahaan yang berbeda (Komang Priambada, 2008 : 21).
Dewasa ini hampir seluruh industri baik kecil maupun skala besar yang
dimiliki oleh para kapitalis melalukan praktek outsourcing. Ada beberapa alasan
industri melakukan outsourcing yaitu pertama, efisiensi kerja dimana perusahaan
produksi dapat melimpahkan kerja-kerja operasional kepada perusahaan
outsourcing; kedua, resiko operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada
pihak lain. Sehingga pemanfaatan faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan
menekan resiko sekecil mungkin; ketiga, sumber daya perusahaan yang ada dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih fokus dalam meningkatkan
produksi; keempat, mengurangi biaya pengeluaran (capital expenditure) karena
dana yang sebelumnya untuk investasi dapat digunakan untuk biaya operasional;
16

kelima perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah;
keenam, mekanisme kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.
Pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003,
merupakan

landasan

hukum

bagi

pelegalan

sistem

outsourcing

yang

menguntungkan pihak penguasa modal dan sebaliknya merugikan kaum buruh.


Berbagai aksi protes menentang sistem outsourcing merupakan salah satu bentuk
dari resistensi terhadap kepitalisme. Dalam persfektif buruh, outsorcing menjadi
sebuah batu penghalang bagi peningkatan kelayakan hidup bagi mereka. Upah
yang murah, tidak adanya jaminan sosial dan lain sebagainya adalah indikasi dari
pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh yang mencederai human rigth.
Untuk mempertegas mengenai mekanisme tersebut berikut uraian mengenai
hubungan buruh dan kedudukan buruh dalam model kerja outsourcing :
a. Hubungan Buruh
Hubungan industrial di Indonesia sepanjang perjalanannya sering
menunjukkan bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai
faktor produksi yang dikonstruksikan Karl Marx. Outsourcing didefinisikan
sebagai model kerja yang menambahkan unsur 'pelaksana perkerjaan' diantara
relasi buruh dan modal (Rita Olivia, 2008 : 9). Kondisi tersebut menjadikan
hubungan perburuhan semakin kabur, dan memperlemah bergaining position
buruh terhadap pemilik modal.
Dalam model kerja outsourcing adanya pergeseran ruang lingkup
hubungan industrial. Awalnya yang terkenal dengan istilah tripartit atau hubungan
antara buruh, pengusaha dan pemerintah (Susetiawan, 2000:173). Dalam model
outsourcing menjadi empat lingkaran hubungan yaitu buruh, perantara atau broker
(perusahaan oustsourcing), perusahaan inti (pemilik modal) dan pemerintah.
Outsourcing sebagai sebuah model perburuhan baru, melalui beberapa tahapan
dalam perekrutan. Ketersediaan tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga kerja
mengakibatkan turunnya harga buruh. Menurut Marx tersedianya tentara-tentara
cadangan yang banyak mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap hak-hak
buruh. Eksploitasi, PHK dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak oleh
pemilik modal.
17

Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh


tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi
buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi
persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang,
tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu
yang habis dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung
berakibat pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan
outsourcing. Dan digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai
tentara-tentara cadangan.
Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari kewajibankewajiban terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja buruh.
Menurut Komang Priambada (2008 : 31), pihak pengusaha berpendapat bahwa
"Dari mana pekerja itu direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan
urusan kita sebagai pemakai". Inilah satu kondisi yang memperlihatkan bahwa
pekerja adalah barang dagangan dan outsourcing tidak lain hanyalah triffiking
yang dilegalkan.
Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan
perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan.
Tentunya tipe ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan
yang tidak seimbang. Eggi Sudjana (2001 : 27), menjelaskan bahwa kekuasaan
yang menumpuk di tangan kelompok pemberi upah atau borjuis dalam mengelola
dan menguasai sumber-sumber daya yang terbatas. Sehingga dalam prakteknya
hubungan ketergantungan ini berjalan dengan berat sebelah, karena prinsip para
kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan yang menekankan pada efisiensi dan
produktivitas, sehingga buruh sering dieksploitasi.
Hubungan peruburuhan dalam sistem oousourcing sebagimana yang telah
disebutkan diatas sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik
perbruhan merupakan sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan
mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang
tidak sehat disatu sisi pengusaha diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan.
Inilah gambaran hubungan buruh dalam sistem outsourcing.
b. Kedudukan Buruh
18

Buruh dalam model kerja outsourcing menjadi sosok barang yang


diperjualbelikan dengan harga murah, tidak harus menunggu rongsok dan bisa
langsung mengganti dengan barang yang lain, dengan kualitas yang lebih bagus
dan harga yang murah. Buruh adalah alat atau faktor produksi setelah modal,
signifikannya peran buruh sehingga ketidakhadiran buruh, berakibat pada tidak
akan tercipta akumulasi modal (capital). Idealnya buruh ditempatkan ditempat
yang layak dan dihargai dengan nilai yang tinggi, kerena merakalah yang turut
langsung menciptakan produk yang akan dikonsumsi konsumen.
Kenyataannya bahwa buruh selalu dikebiri disubordinatkan dan gerakangerakannya selalu dilemahkan, karena dianggap akan membahayakan pemilik
modal. Inilah wajah kapitaslime, wajah penindasan terhadap hak-hak buruh.
Outsourcing adalah model kerja yang mencederai makna HAM dan Demokrasi.
Celia Mather, (2008 : 28) mengungkapkan bahwa outsourcing mengakibatkan tiga
masalah utama yaitu pertama, tersingkirnya buruh dari meja atau kesepakatan
negosiasi; kedua, tidak adanya tanggung jawab hukum perusahaan terhadap
buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap sehingga semua buruh masuk kedalam
outsourcing, kondisi buruh dalam ketidakpastian. Menurut Celia Mather (2008 :
37), perusahaan inti melalui kontrator penyedia jasa memberikan upah yang jauh
lebih rendah daripada buruh tetap, mereka terhindar dari penyediaan tunjangantunjangan seperti pensiun, asuransi kesehatan, kematian atau kecelakaan, sakit
dibayar, cuti dibayar, tunjangan melahirkan. Berikut dalam Tabel 1 Gambaran
perbandingan hak buruh tetap (Permanent), dan buruh kontrak (Outsorcing) :
Tabel. 1
Gambaran Perbandingan Hak Buruh Tetap (Permanent)
dan Buruh Kontrak (Outsorcing)
Buruh Kontrak
Buruh Tetap
Minimal UMK
Tunjangan Masa Kerja
Upah Pokok (UP)
Hanya UMK
(TMK)
UP=UMK+TMK
Premi kehadiran
Dapat
Tidak dapat
Tunjangan Jabatan
Pada posisi tertentu ada Tidak dapat
Jaminan
Sosial Dapat
Tidak dapat
Tenaga Kerja
Jaminan
Kecelakaan
Kerja
Hak-hak Buruh

19

Jaminan Kematian
Jaminan Hari Tua
Jaminan
Kesehatan
(Bagi
buruh
dan
Keluarga)
Uang Makan
Transport

dan

Dapat

Tidak dapat (Termasuk di dalam


upah pokok)

Dapat,
untuk
buruh
Hak Cuti:
Tidak dapat, buruh perempuan
perempuan yang hamil
Tahunan, Haid, dan
ketika
hamil
diputus
mendapat cuti 3 bulan
cuti hamil
kontraknya.
dengan dibayar upahnya
Tunjangan Hari Raya Dapat
Tidak Dapat
Dapat (dilindungi oleh
Pesangon
Tidak Dapat
Undang-Undang)
Buruh takut berserikat karena
Kebebasan berserikat Ada dan dapat dijalankan langsung
dapat
diputus
hubungan kerjanya
Perjanjian Kerja atau
Individu yang ditandatangani di
Kolektif melalui PKB
Kesepakatan Kerja
awal
Sumber : Position paper KBC (Komite Buruh Cisadane), April 2004, hasil
pendataan terhadap 150 perusahaan di Tangerang 2003-2004.
Keberadaan buruh berstatus outsorcing pada gilirannya akan melemahkan
perjuangan kolektif buruh melalui serikat buruh, sebagai elemen pemaksa bagi
terpenuhinya hak-hak buruh. Sebab, buruh outsourcing bergerak sebagai individu
yang mengadakan hubungan kerja dengan perusahaan secara langsung, atau buruh
yang disalurkan oleh lembaga outsourcing (jasa penyalur tenaga kerja), kepada
perusahaan, para pihak yang terlibat dalam perjanjian dalam hal ini adalah jasa
penyalur tenaga kerja dan perusahaan, sementara buruh outsorcing sendiri berada
di bawah kendali jasa penyalur.9
2.3 Persoalan Hukum Outsourcing di Indonesia
Pelakaksanaan Outsourcing atau pemborongan pekerjaan berhubunganerat
dengan ketenagakerjaan. Bahkan keterkaitantersebut dapat dikatakan sebagai
paket yang tidak terpisahkan, karena pada saaat outsourcing dilaksanaka, maka
pada saat itu pula pekerja mempunyai peranan untuk mewujudkannya. Beberapa
persoalan ketenagakerjaan yang sering terjadi dalam praktik outsourcing, yakni:
9

ppm-manajemen.ac.id/wp-content/.../PAPER-OUTSOURCING-final1.doc diakses 13/05/2015


21:11

20

Pekerja Kontrak Dan Rendahnya Perlindungan Pekerja


Pekerjaa kontrak adalah pekerja yang hubungan kerjanya dengan
pengusaha dibatasi dalam jangak waktu tertentu, misalnya setahun, atau dua tahun
sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Mengingat perjanjian kerja antara pemberi pekerjaan dengan penerima
pekerjaan umumnya dibatasi oleh waktu yang singkat, bisa dalam hitungan satu
tahun atau bahkan bulanan, maka sangat berpengaruh terhadap kesinambungan
pekerjaan buruh menjadi terancam. Persoalan yang muncul adalah, setelah
pekerjaan yang diperjanjikan selesai, maka otomatis para pekerja akan berhenti
bekerja. Dalam hal demikian, siapakah yang membayar gaji mereka? Untuk
menghindar dari kewajiban membayar gaji pekerja pada saat tidak ada pekerjaan,
maka

pengusaha

mensyaratkan

kontrak

kerja

kepada

pekerja.

Dalam

pelaksanaannya, kontrak kerja tersebut bisa berlangsung sampai bertahun-tahun


dengan kontrak kerja yang telah di perpanjang sampai lebih dari dua kali. Kendati
perpanjangan kontrak telah nyata-nyata melanggar hokum ketenagakerjaan,
namun sulit bagi semua pihak untuk menghindar dari persoalan tersebut.
Pada dasarnya pekerjaan kontrak hanya diperkenankan untuk bidangbidang tertentu yang sifatnya sementara seperti memperkenalkan produk baru,
pekerjaan musiman, serta pekerjaan-pekerjaan yang pengerjaannya hanya
sementara dan tdak membutuhnkan waktu yang lama. Namun ketika syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi, para pekerja juga tidak berani menentukan syarat-syarat
penerimaannya sebagai pekerja terhadap pengusaha. Sebab hal itu dilakukan,
sudah pasti pengusaha akan menolak memperkerjakan pekerja karena masih
banyak pelamar lain yang rela bekerja sesuaidengan syarat yang ditetapkan oleh
pengusaha.
Sekalipun pengaturan outsourcing baru ditentukan melalui undang-undang
Nomor 13 tahun 2003, namun dalam kenyataannya persoalan ini sudah
berlangsung cukup lama. Praktik outsourcing telah berlangsung jauh sebelum
berlakunya Undang-Undang Ketenagakerjaan, Khususnya tenaga satpam dan jasa
perawatan/kebersihan (cleaning service).
21

Upah yang Diterima Pekerja Jauh Lebih Rendah dari Jumlah yang Diterima
Pengusaha.
Mengingat dalam kegiatan outsourcing perjanjian kerjasama bukan
ditandatangani oleh pekerja dengan pemberi pekerjaan, melainkan antara
perusahaan tempat pekerja berkerja, selaku penerima pekerjan dengan perusahaan
pemberi pekerjaan, maka negosiasi terhadap upah/jasa pekerja tidak bias diketahui
oleh pekerja/buruh.
Oleh Karena bisnis perusahaan penerima pekerjaan adalah dengan
mempekerjakan pekerja/buruh untk kepentingan perusahaan lain, maka dari jasa
itulah perusahaan memperoleh keuntungan. Keuntungan yang diperoleh berasal
dari selisih antara upah/jasa yang diberikan oleh perusahaan pemberi pekerjaan
dengan yang dibayarkan kepada pekerja. Dengan demikian, tidak mungkin semua
upsh yang diterima dibayarkan kepada pekerja, melainkan akan dipotong sekian
puluh persen untuk keuntungan perusahaan.
Para pekerja umumnya tidak bias berbuat banyak mereka tidak punya
cukup keberanian untuk meminta perusahaan peneriam pekerjan bersikap terbuka
terhadap jumlah uang yang diterima atas tenaga kerja yang diserahkan. Ketika
persoalan ini diketahui oleh perusahaan pemberi pekerjaan, mereka juga tidak bias
secara langsung memaksaakan agar perusahaan penerima pekerjaan membayar
pekerjaannya secara layak. Bahkan sering terjadi, pemberi pekerjaan dan
penerima pekerjaan berkolusi untuk memberikan upah pekerja seminimal
mungkin, sehingga selisih dari upah/jasa tersebut bias mereka bagi-bagi.
Jika merujuk kepada peraturan, mungkin tidak ada undang-undang yang
dilanggar karena perusahaan telah memberikan upah pekerja sedikit di atas upah
minimum. Demikian juga dari segi bisnis, sesuai dengan prinsip ekonomi maka
perusahaan akan berusaha mendapatkan penghasilan yang sebesar-besarnya
dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Tetapi secara moral, tidak tidak etis
bial pendapatan pekerja tersebut dipotong oleh perusahaan dalam jumlah yang
besar, padahal mereka tidak melakukan tindakan yang sebanding. Untuk
menciptakan keteraturan dan keadilan, sebaiknya pemerintah membuta aturan
22

yang tegas mengenai batasan maksimum atas hak dan kewajiban perusahaan
penerima pekerjaan, termasuk besaran persentasi yang boleh dipotong dari upah
para pekerja. Dengam demikian, kepentingan pekerja bias lebih terlindungi, serta
pengusaha juga mendapat perlindungan atas kepastian haknya.
Pengembangan Keahlian Yang Terbatas
Kendala lain yang dihadapi dalam pelaksanaan outsourcing adalh
sulitnya melakukan pengembangam karir karena di perusahaan umumnya
pekerjaan yang dilakukan adalah satu jenis tertentu secara berulang. Apabila
seseorang bekerja pada perusahaan untuk memproduksi satu bentuk barang,
misalnya kotak televisi, maka hanya produk itulah yang setiap hari dilakukan
secara berulang. Setelah suatu model berlalu, diganti dengan model lain, tetapi
masih tetap bentuk kotak televisi. Demikian juga pekerjaan di bidang sekuriti,
sejak dipekerjakan itu yang dilakukannya.
Keterbatasan pengembangan karir dalam bisnis outsourcing terjadi
karena adanya spesialisasi perusahaan. Spesialisasi itu benar-benra dilakukan
sehingga perusahaan bisa menghasilkan produk missal yang mempunyai
keunggulan ekonomi. Sangat jarang terjadi, dalam satu perusahaan outsourcing
terdapat beberapa jenis produk yang berbeda-beda. Di sinilah letak keunggulan
perusahaan outsourcing, namun secara tidak langsung hal ini telah menghambat
pengembangan keahlian, khususnya para pekerja/buruh.
2.4 Penyelesaian Kasus Outsourcing
Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan
mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh
karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan
karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003,
penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource
adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan
perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.

23

Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan
bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun
perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja
sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan,
daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource
secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di
perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan
performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.10
Salah Satu Contoh Kasus Outsoucing di indonesia adalah sebagai berikut:
Di JICT, Jangan Ada Pekerja Outsourcing
Rabu, 21 April 2010 | 20:43 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Manajemen Jakarta International Container
Terminal (JICT) diminta segera menyelesaikan nasib ribuan karyawan
outsourcing di terminalnya yang sampai sekarang masih terkatung-katung untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.Sistem outsourcing harus segera dihapus
karena akan berdampak pada implementasi International Ships and Port Security
(ISPS) Code di Pelabuhan Tanjung Priok. Pekerja outsourcing harus diangkat
sebagai karyawan organik, kata Koordinator International Transport Workers
Federation (ITF) di Indonesia, Hanafi Rustandi, dalam siaran persnya di Jakarta,
Rabu (21/4/2010).
Dikatakannya, ITF sangat prihatin dengan sikap manajemen JICT yang
tidak peduli dengan nasib pekerja dengan mengabaikan nota pemeriksaan dari
Kementerian

Tenaga

Kerja

dan

Transmigrasi

(Kemenakertrans)

yang

merekomendasikan agar para pekerja outsourcing diangkat menjadi karyawan


tetap.
Menurut Hanafi, untuk menyelesaikan tuntutan pekerja tersebut,
Kemenakertrans pada 31 Maret 2010 telah mengirim surat kepada manajemen
JICT.

Intinya,

JICT

diminta

melaksanakan

UU

No.13/2003

tentang

10

http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html diakses
13/05/2015 21:39

24

Ketenagakerjaan dan mengangkat pekerja outsourcing menjadi karyawan organik.


Namun hingga saat ini permintaan Kemenakertrans tersebut tidak digubris,
katanya.
Kasus

ini

mencuat

setelah

ribuan

pekerja

outsourcing

di

pelabuhan/terminal petikemas itu menuntut diangkat menjadi karyawan tetap.


Kontrak kerja outsourcing ditandatangani oleh manajemen JICT dengan beberapa
vendor, yakni PT Philia Mandiri Sejahtera, Koperasi Pegawai Maritim, dan
Koperasi Karyawan JICT.
Mereka antara lain bekerja sebagai operator rubber tired gantry crane,
head truck, quay crane, radio officer, dan maintenance. Pekerjaan tersebut
merupakan pekerjaan inti yang terkait langsung dalam proses produksi dan berada
di lini satu pelabuhan/terminal peti kemas, kata Hanafi yang juga Presiden
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI).
Mereka rata-rata telah bekerja 20 tahun, namun statusnya tidak berubah.
Gajinya yang hanya Rp 1,3 juta per bulan, atau 15 persen dari gaji karyawan
organik JICT. Kondisi itu dinilai sebagai diskriminasi upah.
Akibat tuntutan tersebut, sekitar 300 pekerja outsourcing terkena PHK.
Mereka kemudian melakukan aksi mogok pada 1 Februari 2010 yang sempat
melumpuhkan kegiatan ekspor/impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Unjuk rasa
kemudian dilanjutkan di Kemenakertrans, Kementerian Perhubungan dan BUMN.
Namun hingga kini nasib pekerja masih terkatung-katung.
Hanafi Rustandi yang juga Ketua ITF Asia Pasifik mengingatkan,
mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing bertentangan dengan
implementasi ISPS Code yang harus dilaksanakan JICT.
Menurut Hanafi, ketentuan ISPS Code menyebutkan, area lini satu atau
kegiatan yang langsung berhubungan dengan proses ekspor/impor barang, dan
loading/discharging container, merupakan area tertutup yang tidak boleh
dimasuki orang yang bukan pekerja organik. Jika, di area ini orang bebas masuk,

25

termasuk pekerja outsourcing, validitas keamanan pelabuhan tersebut tidak dapat


dipertanggungjawabkan, katanya.
Untuk memenuhi implementasi ISPS Code sesuai aturan internasional,
manajemen JICT hendaknya menghapus sistem outsourcing dan mengangkat
mereka sebagai karyawan organik. Mereka juga wajib mendapat pengupahan
sesuai standar hidup yang layak, untuk mencegah terjadinya gejolak atau
pemogokan yang bisa mengancam kegiatan di pelabuhan.
Hasil Analisa dari kasus diatas adalah sebagai berikut:
Memang miris sekali mendengar dan melihat dikoran, ditelevisi yang
menayangkan tentang para pekerja keras yang hanya dipandang sebelah mata oleh
pihak-pihak yang ingin mengambil dan mengeruk keuntungan sebanyakbanyaknya tanpa melihat atau malah menyadari bahwa dibelakang usahanya atau
perusahaannya itu terdapat puluhan, ratusan, bahkan ribuan pekerja kerjas
(Outsoourcing) yang tak tentu hidupnya, mulai dari biaya, jaminan entah itu
jaminan kesehatan, dan para pekerja itu juga harus memikirkan nanti, besok, atau
lusa mereka akan diberhentikan dan harus mencari pekerjaan lagi untuk sekedar
menafkahi kehidupan sehari-hari keluarganya. Tidak ada yang beda antara para
pekerja laki-laki dan perempuan, mereka-mereka yang mempekerjakan para
outsourcing ini mencari sesuatu yang murah, tapi dilain sisi haruslah mempunyai
sebuah kualitas dalam bekerja, dan dengan upah yang minim tentu itu tidak adil
untuk sebuah pekerjaan. Tapi itulah kenyataan yang ada di Indonesia sekarang ini,
seperti yang tertera dalam kasus diatas. Kasus diatas merupakan salah satu dari
kasus outsourcing yang terjadi di Indonesia, dan masih banyak lagi kasus-kasus
lain yang bahkan lebih parah dari kasus diatas.
Sekarang bisa dikatakan sedang tren-trennya tentang pegawai outsourcing
yang ada di Indonesia ini. kenapa? Karena bayak sekali para masyarakat yang
berbondong-bondong untuk ikut menjadi para pekerja outsourcing ini, katakanlah
dalam dunia hiburan. Para stasiun televisi sekarang menggunakan para pekerja
outsourcing untuk mendongkrak program hiburan misalnya saja hiburan tentang
musik, komedi dan lain sebagainya yang itu membutuhkan para pekerja
26

outsourcing agar hiburannya itu laris katakanlah seperti itu. Upah yang diberikan
memang tidak begitu banyak, tetapi kebanyakan dari para pekerja outsourcing
dalam hal dunia hiburan ini semata-mata untuk kesenangan dan upah itu hanya
sekedar digunakan untuk uang jajan. Mereka-mereka yang direkrut untuk
menjadi pekerja outsourcing dalam dunia hiburan haruslah mempunyai kriteria
tertentu, misalnya haruslah muda, cantik, tampan, dan lain sebagainya. Tetapi kita
lihat kembali kasus diatas, mereka yang rata-rata telah bekerja selama kurang
lebih 20 tahun, dengan upah yang tetap, tanpa biaya dan jaminan kesehatan apa itu
adil untuk mereka yang sudah berumah tangga dan harus menafkahi keluarga
yang ada dirumah mereka? Jelas dan tentu itu tidak adil untuk para pekerja
outsourcing tersebut. Para pekerja outsourcing itu yang bekerja keras kemudian
menuntut upah dan ingin diangkat menjadi karyawan tetap hanyalah sia-sia dan
tak didengar oleh perusahaan, malah perusahaan itu memecat sekitar 300 pekerja
outsourcing itu. Bekerja selama 20 tahun itu tidaklah sebentar, bayangkan selama
20 tahun mereka bekerja dengan upah yang sama, bekerja sekuat tenaga
meningkatkan perusahaan menjadi perusahaan andalan adalah sesuatu yang sulit
dan itu hanya dibayar secuil persen saja dari kuntungan perusahaan. Pekerja
outsourcing yang bekerja di inti yang terkait langsung dalam proses produksi dan
berada di lini satu pelabuhan atau terminal peti kemas tetap dipandang sebelah
mata, didiskriminasi dengan karyawan tetap disana. Dengan para pendemo yang
berjumlah ribuan itu perusahaan tetap tutup telinga untuk sekedar mendengar
aspirasi para pekerja outsourcing tersebut. jika kamu tidak puas dengan
perjanjian atau upah yang kami berikan, silakan keluar dari sekarang, masih
banyak para pekerja yang membutuhkan pekerjaan diluar sana, kata-kata seperti
itu yang sering digunakan oleh para jasa pekerja outsourcing. Dengan kata lain,
para pekerja outsourcing ini tutup mulut dan menerima dengan lapangan dada
pekerjaan yang akan diterimanya nanti. Walau dengan upah yang minim, tanpa
jaminan sosial maupun kesehatan, mereka akan menerimanya karna hanya itulah
jalan untuk mendapat pekerjaan bagi para pekerja outsourcing ini yang juga
minim akan pendidikan.
Jika bicara solusi atau jalan keluar untuk masalah outsourcing ini, bisa
dikatakan cukup rumit. Karena memang sejak awal para pekerja outsourcing ini
27

sudah melakukan perjaanjian dengan para penyedia jasa, dan tertera tanda tangan
dan itu sebagai bukti bahwa mereka itu telah sepakat dengan syarat-syarat yang
telah ditentukan, dan jika nantinya mereka ingin upah yang katakanlah
ditingkatkan, ada jaminan sosial dan kesehatan, bukti tanda tangan yang sah para
pekerja ouusourcing cukup diperlihatkan bahwa tuntutan para pekerja outsourcing
ini tidak sesuai dengan persyaratan sejak awal. Hanya perusahaan yang yang
katakanlah benar-benar mempunyai hati nuranilah yang mendengar dan
menghargai sekaligus mengabulkan tuntutan para pekerja outsourcing ini. Tapi
inilah sebuah bisnis, tak ada perusahaan yang ingin rugi apalagi bangkrut hanya
karena masalah para pekerja outsourcing yang setiap saat dapat diganti jika para
pekerja outsourcing ini tidak puas, misalnya upah yang diberikan, dan lain
sebagainya. Perusahaan hanya menginginkan keuntungan dan laba yang sebesarbesarnya dan terus memperluas agar dapat menguasai pasar dunia.Demikian
analisis mengenai salah kasus outsourcing yang terjadi di Indonesia.

28

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan
dapat ditemukan dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi. Selain
itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau seluruh
pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi
pemakaian jasa Outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit
dalam perusahaan.
Pemborongan pekerjaan (Outsourcing) adalah penyerahan sebagian pekerjaan
dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan
pekerjaan kepada penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan secara tertulis
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan istilah Outsourcing sebenarnya bersumber
dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-undang No 13 Tahun 2004 tentang
ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat meyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyedia jasa pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan

ketentuan pasal di atas, maka Outsourcing atau yang disebut dengan perjanjian
pemborongan pekerjaan dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu:
penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk
dikerjakan ditempat di perusahaan lain tersebut, atau penyediaan jasa pekerja oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja, yang dipekerjakan pada perusahaan lain yang
membutuhkan. Yang pertama titik-beratnya terletak pada produk kebendaan,
sedangkan yang kedua, lebih pada orang-perorangan yang jasanya dibutuhkan.

29

Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh


tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi
buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi
persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang,
tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu
yang habis dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung
berakibat pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan
outsourcing. Dan digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai
tentara-tentara cadangan
Sekalipun pengaturan outsourcing baru ditentukan melalui undang-undang
Nomor 13 tahun 2003, namun dalam kenyataannya persoalan ini sudah
berlangsung cukup lama. Praktik outsourcing telah berlangsung jauh sebelum
berlakunya Undang-Undang Ketenagakerjaan, Khususnya tenaga satpam dan jasa
perawatan/kebersihan (cleaning service).
3.2. Saran
Adapun saran dari makalah kami yaitu seharunya buruh Outsourcing lebih
diperhatikan lagi agar tidak terjadi kesenjangan sosial dan taraf hidup buruh
outsourcing bisa lebih sejahtera.

30

DAFTAR PUSTAKA

Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. PT Pradnya Paramita:


Jakarta 2007,

Andrian Sutendi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika,Jakarta :2009

Suria Ningsih,Mengenal Hukum Ketenagakerjaan USU Press, Medan :2012

ppm-manajemen.ac.id/wp-content/.../PAPER-OUTSOURCINGfinal1.doc diakses 13/05/2015 21:11al :96

http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenagakerja.html diakses 13/05/2015 21:39

http://www.slideshare.net/CiciCweety/makalah-Outsourcing
diakses 13/05/2015

http://ariswan.wordpress.com/2008/05/23/Outsourcing-sebagai-solusidunia diakases 13/05/2015 16:58

31

Anda mungkin juga menyukai