Anda di halaman 1dari 5

Analisis Masalah

Sesak Nafas
Sesak nafas merupakan suatu sensasi kesulitan bernapas atau ketidaknyamanan
bernapas. Sesak napas adalah persepsi subjektif dari seorang dan biasanya berbeda
pada setiap orang.
Etiologi
Penyakit PPOK (COPD)
Penyakit ini terdiri atas emfisema dan bronchitis kronik dan biasanya diderita oleh
pasien dengan riwayat merokok sejak lama dan memiliki dyspnea sejak beberapa
tahun terakhir. Abnormalitas paru muncul sebelum terjadinya dyspnea. Penyakit
ini dapat disertai batuk dan sputumnya dapat menjadi purulent selama masa
eksaserbasi
Asma
Pasien dengan penyakit ini biasanya memiliki riwayat keluarga yang juga
memiliki asma. Selain itu,pasien juga biasanya mengetahui faktor risiko apa yang
dapat memicu asma tersebut. Bunyi napas ketika sesak biasanya mengi
(wheezing). Gejala batuk dapat menyertai, biasanya selama penyembuhan dari
serangan akut.
Obstruksi aliran napas
Obstruksi ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu bronkokonstriksi akut,
edema jalan napas, pembentukan mucus kronik dan remodeling jalan napas.
Bronkokontriksi akut terjadi akibat pelepasan mediator tergantung IgE akibaet
allergen udara. Proses ini merupakan proses utama terjadinya asma. Obstruksi ini
biasanya bersifat sementara. Edema jalan napas biasanya terjadi setelah 6-24 ja,
terpapar allergen dan berperan dalam menimbulkan respon asma akhir. Mukus
kronik yang terbentuk terdiri atas eksudat protein serum dan debris sel. Adanya
remodeling jalan napas biasanya merupakan akibat dari inflamasi dalam waktu
lama.

Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas dan


peningkatan resistensi jalan napas dan penurunan laju pernapasan ekspirasi, yang
menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengeluarkan udara sehingga
dapat menghasilkan hiperinflasi.
Embolisme Paru
Embolisme paru terjadi akibat trombus vena yang lepas dari tempat thrombus
tersebut berada. Kemudian, thrombus tersebut bersirkulasi menuju arteri pulmonal
atau sistemik dan menjadi emboli pada pembuluh darah tersebut. Embolisme paru
beresiko pada individu yang memiliki thrombosis vena dalam. Penggunaan kateter
vena dan pemakaian pacemakes dapat meningkatkan risiko thrombosis vena
ekstremitas atas, namun lebih jarang menimbulkan embolisme paru.
Patofisiologi Sesak Nafas
Perubahan pH, pCO2 dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh kemoreseptor
sentral dan perifer. Stimulasi reseptor inimengakibatkan peningkatan aktivitas
motoric respirasi. Aktivitas motoric respirasi ini dapat menyebabkan hiperkapnia
dan hipoksia, sehingga memicu terjadinya dyspnea. Menurut studi, terdapat pula
serta kemoreseptor carotid yang langsung memberikan impuls ke korteks serebri,
meskipun hal ini belum dibuktikan secara luas. Hiperkapnia akut yang terjadi
pada seseorang sesungguhnya lebih dikaitkan terhadap ketidaknormalan keluaran
saraf motoric disbanding aktivitas otot respiratorik. Hal ini disebabkan gejala
umum hiperkapnia akut berupa urgensi saat bernapas yang sasngat menonjol.
Sensasi ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan parsial karbondioksida pada
pasien-pasien, khususnya yang mengalami quadriplegia sentral kongenital yang
mengalami desentisasi respons ventilatorik terhadap CO2 tidak merasakan sensai
sesak napas ketika penderita tersebut henti napas atau diminta untuk menghirup
kembali CO2 yang telah dihembuskan. Dengan kata lain, mekanisme yang turut
serta dalam sensai sesak napas ini adalah kenaikan pCO2 dan penurunan pO2
dibawah normal. Ketika nilai pCO2 normal dan ventilasi normal, tekanan parsial
oksigen harus diturunkan dibawah 6,7 kPa untuk bisa menghasilkan sesak napas.

Hiperkapnia
Kemoreseptor yang ada biasanya tidak merupakan penyebab langsung terjadinya
dyspnea. Namun, dyspnea yhang diinduksi oleh kemoreseptor biasanya
merupakan penyebab dari stimulus lain, seperti hiperkapnia. Hiperkapnia
dapatmenginduksi terjadinya dyspnea melalui peningkatan stimulus refleks ke
aktivitas otot-otot respiratorik. Pada pasien-pasien yang diberikan agen blockade
neuromuscular, ketika mereka diberikan ventilator dan tekanan tidal CO2 dinaikan
sebanyak 5 mmHg, seluruh subjek sontak merasakan sensasi sesak napas. Namun,
pada pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik umumnya, tetap tidak dijumpai
kaitan antara hiperkapnia dan dyspnea. Contohnya, pasien dengan COPD yang
biasanya mengalami hiperkapnia kronik tidak serta merta mengalami dyspnea.
Menurut studi hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan parsial
karbondioksida tersebut dimodulasi dengan perubahan pH pada kemoreseptor
sentral, sehingga sensasi yang dihasilkan berbeda pula.
Hipoksia
Hipoksia berkaitan dengan kejadian dyspnea baik secara langsung (independen,
tidak harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung (perubahan kondisi
hipoksia dengan terapi oksigen mamp membuat keadaan penderita sesak napas
membaik). Namun, hubungan antara hipoksia dengan dyspnea tidak absolut;
beberapa pasien dengan dyspnea tidak mengalami hipoksia, begitu pula
sebaliknya.
Metaboreseptor
Metaboreseptor berada pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya diinduksi oleh
produk akhir metabolisme. Metaboreseptor ini dapat merupakan sumber sinyal
aferen yang berakibat pada persepsi sesak napas ketika berolahraga. Ketika
seseorang berolahraga berat, jarang sekali ditemui kondisi hipoksemia maupun
hiperkap, namun tendensi untuk mengalmi gejalasesak napas cenderung tinggi.
Lebih-lebih, perubahan pH darah tidak terlalu signifikan di awal-awal
latihan.sensasi dyspnea tersebut disinyalir berasal dari metaboreseptor yang ada
pada otot rangka. Namun, kondisi detailnya I belum terlalu diketahui.

Reseptor Vagal
Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung
dipajankan ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas.
Beberapa reseptor dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi
memonitor perubahan aliran di saluran napas atas dengan mendeteksi perubahan
temperaturnya. Ada setidaknya empat atau lima tipe-tipe reseptor pernapasan
selain reseptor tersebut yang diinervasi nervus vagus. Reseptor-reseptor ini
disinyalir mampu menimbulkan sensasi dyspnea, meskipun mekanismenya sendiri
masih kompleks. Reseptor-reseptor utama adalah Slowly Adapting Stretch
Receptor (SARS), Rapidly Adapting Stretch Receptors (RARs), dan Reseptor
Serat-C.
SAR
SAR dapat ditemui di otot polos dari saluran napas besar. Reseptor ini berlanjut ke
serat aferen bermyelin di vagus. Inhyalasi karbondioksida, anestetik volatile dan
furosemide dinilai mampu mempengaruhi kerja reseptor ini. Stimulasi reseptor ini
dapat menurunkan sensasi dyspnea. Inhalasi karbondioksida menghambat
aktivitas mereka dengan kerja langsung ke kanal K+ yang sensitive terhadap 4aminopiridin.
RAR
RAR dikenal sebagai terminal tak bermielin yang terhubung dengan serat aferen
bermyelin nervus vagus. Reseptor ini beradaptasi cepat untuk mempertahankan
inflasi dan deflasi paru. RAR dapat diaktifkan oleh berbagai iritan seperti
ammonia, uap eter, asap rokok serta oleh mediator imunologik dan perubahan
patologik saluran napas hingga paru. Pneumotoraks juga dapat menstimulasi
RAR, sehingga RAR dianggap berkontribusi terhadap kejadian dyspnea. Inhalasi
furosemide mampu menurunkan aktivitas RAR, sehingga inhalasi bahan kimia ini
mampu memperingan dyspnea.
Reseptor Serat-C

Dua kelompok reseptor serat C memiliki hubungan langsung ke sirkulasi bronkial


atau pulmonal. Reseptor ini dikenal dengan nama reseptor kapiler jukstapulmone,
atau reseptor J. lokalisasi reseptor ini terletak dekat kapiler alveolar dan merespon
peningkatan cairan interstisial diluar kapiler. Reseptor Serat C pulmoner berasal
dari parenkim (injeksi obat ke arteri pulmoner dapat berpengaruh ke kerja reseptor
ini). Sementara Reseptor Serat C Bronkial menginervasi mukosa saluran napas
(injeksi obat ke arteri brokial dapat berpengaruh ke reseptor ini). Reseptor
pulmoner insensitive terhadap autacoid seperti bradikinin, histamine, serotonin
dan prostaglandin, sementara serat bronkial sensitive terhadap bahan kimia
intrinsic tersebut. Namunm, kedua grup reseptor ini memiliki respon yang sama
terhadap inhalasi anestetik volatile
Referensi
T, Nishino. Dsupnoe:Underlying Mechanisms and Treatment:Mechanisms of
Dsypnoe.Br J Anaesth.2011
Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH (editor). Pathopusiology of
Dyspnea.N Engl J Med

Anda mungkin juga menyukai