Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Istilah impetigo berasal dari bahasa latin yang berarti serangan, dan telah
digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan berkeropeng yang biasa
nampak pada daerah permukaan kulit. Ada dua tipe impetigo, yaitu impetigo
bullosa dan impetigo non-bullosa. Impetigo non-bullosa disebut juga impetigo
krustosa

atau

impetigo

kontagiosa.

Impetigo

bulosa

disebabkan

oleh

Staphylococcus Aureus dan non-bulosa yang disebabkan oleh Streptococcus


hemolitikus.3
Impetigo merupakan salah satu bentuk pioderma yang paling sering
menyerang anak-anak, terutama yang kebersihan badannya kurang dan bisa
muncul di bagian tubuh manapun setelah terjadi cidera pada kulit, seperti luka
maupun pada infeksi virus herpes simpleks. Paling sering ditemukan di wajah,
lengan dan tungkai. Pada dewasa, impetigo bisa terjadi setelah penyakit kulit
lainnya. Impetigo bisa juga terjadi setelah suatu infeksi saluran pernafasan atas
(misalnya flu atau infeksi virus lainnya).3,4.
Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada
kulit yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan
terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut
rokok/api.1,2.
Faktor predisposisinya yaitu higiene yang kurang, menurunnya daya tahan
tubuh mengidap penyakit menahun, kurang gizi, keganasan atau kanker dan
sebagainya

atau adanya penyakit lain di kulit yang menyebabkan fungsi

perlindungan kulit terganggu 2.


Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering
mengenai usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah, namun
tidak menutup kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan
wanita sama. Di Amerika Serikat, merupakan 10% dari masalah kulit yang
dijumpai pada klinik anak. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4
tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Impetigo
nonbullous atau impetigo krustosa meliputi kira-kira 70 persen dari semua kasus
impetigo. Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta
1

pada negara-negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya


masih tergolong lemah atau miskin. 3,5
Tempat predileksi tersering pada wajah terutama sekitar mulut dan hidung,
pada ketiak, dada serta punggung. Gambaran klinisnya berupa vesikel, bula atau
pustul yang apabila pecah membentuk krusta tebal kekuningan seperti madu atau
berupa koleret di pinggirnya.5
Tujuan pengobatan impetigo adalah menyembuhkan infeksi, menghilangkan
rasa tidak nyaman, memperbaiki kosmetik dan lesinya, juga mencegah
kekambuhan dengan antibiotik topikal dan antibiotik oral. 4,6.
Dalam Laporan Kasus ini akan dibahas mengenai beberapa jenis impetigo yang
terdapat di masyarakat, yaitu Impetigo Krustosa, dan Impetigo Bulosa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Impetigo adalah infeksi bakteri gram positif yang menular dan disebabkan

oleh Streptococcus dan Staphylococcus pada lapisan superfisial epidermis.


Impetigo dibagi dalam dua bentuk yaitu impetigo bulosa dan impetigo krustosa.2
2.2.

Epidemologi

Di Amerika Serikat, kurang lebih 9 - 10 % dan anak-anak yang datang ke


klinik kulit menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang

terbanyak (kira-kira 90%) adalah impetigo bulosa yang terjadi pada anak yang
berusia kurang dan 2 tahun. Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan
lesi (daerah kulit yang terinfeksi). Di Amerika Serikat, merupakan 10% dari
masalah kulit yang dijumpai pada klinik. Kebanyakan kasus ditemukan di daerah
tropis atau beriklim panas serta pada negara-negara yang berkembang dengan
tingkat ekonomi masyarakatnya masih tergolong lemah atau miskin 5.
Penelitian pada tahun 2005 menunjukkan S. aureus sebagai patogen terbanyak
yang menyebabkan impetigo bulosa dan impetigo non bulosa di Amerika dan
Eropa, sementara itu Streptococcus pyogenes pada negara berkembang.
Kebanyakan infeksi bermula sebagai infeksi Streptococcus tetapi kemudian
Staphylococci mengantikan streptococcus. Selain dapat menyebabkan manifestasi
pioderma primer dan kulit yang utuh, dapat juga menyebabkan infeksi sekunder
dari penyakit kulit yang ada sebelumnya atau pada kulit yang terkena trauma,
yang disebut dengan dermatitis impetigenisata. Impetigo jarang berkembang
menjadi infeksi sistemik, walaupun post streptococcal glomerulonepritis yang
merupakan komplikasi pada infeksi GABHS (Group A-hemolitik streptococcus )
dapat terjadi walaupun jarang. Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri
atau orang lain setelah rnenggaruk lesi. Infeksi sering kali menyebar dengan cepat
pada sekolah atau tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan hygiene
yang buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk 5,2.
2.3.

Etiologi

Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus betahemolyticus grup A (dikenal dengan Streptococcus pyogenes), atau kombinasi
keduanya. Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman
ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi penyerta.
Kuman S. pyogenes menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian
menyebar ke mukosa saluran napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal
dengan kolonisasi kuman pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada
isolasi kuman di kulit pada sekitar 11 hari kemudian.
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain
setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah

atau tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan hygiene yang buruk atau
tempat tinggal yang padat penduduk.
2.4.

Faktor Predisposisi
Faktor-faktor pencetus terjadinya Pioderma, antara lain:2

a. Higiene yang kurang;


b. Menurunnya daya tahan tubuh; misalnya karena kekurangan gizi, anemia, atau
penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma ganas, dan
diabetes mellitus
c. Telah ada penyakit lain di kulit; karena terjadi kerusakan di epidermis, maka
fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu .
2.5.

Klasifikasi Impetigo

Terdapat dua bentuk dari impetigo, yaitu:


a. Impetigo Krustosa (impetigo kantagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tillbury
Fox)
Impetigo krustosa, disebabkan biasanya oleh Streptococcus hemolyticus .
Tidak disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak. Tempat predileksi di
muka, yakni sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dan
daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah
sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwama
kuning seperti madu. Jika krusta dilepaskan akan tampak erosi dibawahnya, krusta
sering menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah.
Komplikasinya glomerulonefritis (2-5%), yang disebabkan oleh serotipe
tertentu. Diagnosis bandingnya adalah Ektima. Pengobatan yang dipakai jika
krusta sedikit, lepaskan krusta dan diberi antibiotik. Jika krusta banyak, diberikan
pengobatan antibiotik sistemik 1,6
.

Gambar 2.1. Impetigo Krustosa

Gambar 2.2. Impetigo Krustosa


2. Impetigo bulosa (Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet)
Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, keadaan
umum tidak dipengaruhi, dengan predileksi di daerah ketiak, dada, punggung.
Sering bersama-sama miliaria, terdapat pada anak dan orang dewasa. Kelainan
kulit berupa eritema, bula dan bula hipopion. Kadang-kadang saat datang berobat,
vesikel/bula sudah memecah sehingga yang tampak hanyalah koleret dan dasarnya
masih eritematosa. Diagnosis banding dan impetigo ini adalah dermatofitosis (jika
sudah pecah dan tampak koleret).
Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh.
Jika ada, diagnosisnya adalah impetigo bulosa. Pengobatannya jika hanya terdapat
beberapa vesikel bula ditangani dengan cara memecahkan bula, lalu berikan salep
antibiotik atau cairan antiseptik. Jika bula vesikel banyak maka berikan pula
antibiotik sistemik 1,5,6.

Gambar 2.3. Impetigo Bullosa


2.6. Patofisiologi Impetigo
Infeksi Staphylococcus aureus atau Group A Hemolyticus Streptococcus
dimana kita ketahui bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit berkat
kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan
dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut
adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai
enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase,
eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan
enterotoksin.

Bakteri

Staphylococcus

menghasilkan

racun

yang

dapat

menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toxin ini menyerang protein


yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan
sangat cepat menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Staphylococcus akan
merusak struktur kulit dan adanya rasa gatal dapat menyebabkan terbentuknya
lesi pada kulit.1,3,5
Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2 mm,
kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo kontagiosa awalnya
berupa warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat
dengan diameter < 0,5 cm) yang berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera menjadi
vesikel atau pustul (papula yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang
mudah pecah dan menjadi papul dengan keropeng/koreng berwarna kuning seperti
madu dan lengket yang berukuran < 2 cm dengan kemerahan minimal atau tidak
ada kemerahan disekelilingnya, sekret seropurulen kuning kecoklatan yang
kemudian mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah
dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif yang mengeluarkan sekret,

sehingga krusta akan kembali menebal. Sering krusta menyebar ke perifer dan
menyembuh di bagian tengah. Kemudian pada impetigo bulosa bula yang timbul
secara tiba-tiba pada kulit yang sehat dari plak (penonjolan datar di atas
permukaan kulit) merah, berdiameter 1-5 cm, pada daerah dalam dari alat gerak
(daerah ekstensor), bervariasi dari miliar sampai lentikular dengan dinding yang
tebal, dapat bertahan selama 2 sampai 3 hari. Bila pecah, dapat menimbulkan
krusta yang berwarna coklat, datar dan tipis.2,4
2.7. Gejala Klinis
Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dan kelainan lain
(sekunder) baik penyakit kulit (gigitan binatang, varisela, infeksi herpes simpleks,
dermatitis atopi) atau penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh
(diabetes mellitus, HIV) 3.
2.7.1. Impetigo Bulosa
a. Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter < 0,5 cm) yang timbul
sampai bula (gelembung berisi cairan berdiameter > 0,5 cm) kurang dan 1
cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan.
Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi
berwarna keruh.
b. Atap dan bula pecah dan meninggalkan gambaran collarette pada
pinggirnya. Krusta varnishlike terbentuk pada bagian tengah yang jika
disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah.
c. Bula yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh.
d. Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat
menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain.
e. Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti
tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
f. Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
g. Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah,
diare. Jarang sekali disertai dengan infeksi sendi atau tulang.2,4
2.7.2. Impetigo Krustosa
a. Awalnya berupa wama kemerahan pada kulit (makula) atau papul
b.

(penonjolan padat dengan diameter <0,5 cm) yang berukuran 2-5 mm.
Lesi papul segera menjadi menjadi vesikel atau pustul (papula yang
berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi

papul dengan keropeng/koreng berwarna kuning madu dan lengket yang


berukuran <2 cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan
disekelilingnya.
c. Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau
mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies, varisela, dermatitis atopi) dan
dapat menyebar dengan cepat.
d. Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering terbuka
(tangan dan kaki).
e. Kelenjar getah bening dapat membesar dan dapat nyeri.
f. Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi).
g. Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena tindakan
diri sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga mengenai
tempat lain).
h. Lalu dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu tanpa jaringan
parut.
i. Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi dapat
ditemukan

pada

orang

dengan

impetigo

krustosa

sebagai

tanda

glomerulonefritis (radang pada ginjal) akibat reaksi tubuh terhadap infeksi


Streptococcus penyebab impetigo. 2,3,5

2.8.

Diagnosis banding
a. Lupus eritematosa bulosa : lesi vesikel dan bula yang menyebar dapat
gatal, seringkali melibatkan bagian atas badan dan daerah lengan.
b. Pemfigus bulosa : vesikel dan bula timbul cepat dan gatal menyeluruh,
dengan plak urtikaria.
c. Herpes simpleks : vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang
pecah menjadi lecet dan tertutup krusta, biasanya pada bibir dan kulit.
d. Pemfigus vulgaris : bula yang tidak gatal, ukuran bervariasi dan 1 sampai
beberapa

sentimeter,

muncul

bertahap

dan

menjadi

menyeluruh

penyembuhan dengan hiperpigmentasi (warna kulit yang lebih gelap dan


sebelumnya).
e. Varisela: vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke
tangan kaki dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat
pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat yang sama.

f. Dermatofitosis : Bula atau vesikel yang pecah akan meninggalkan eritema


dengan koleret yang mirip dengan lesi pada dermatofitosis.
g. Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan
dinding) dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan
jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam (dermis).1,4
2.9.

Pemeriksaan Penunjang
Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan, atau pada

suatu daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang kurang
respons terhadap pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai
berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pewarnaan gram.
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil dengan
kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
Kultur cairan.
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan

adanya

Streptococcus aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes


dengan Streptococcus hemolyticus grup A (GABHS), atau kadangkadang dapat berdiri sendiri.
b. Pemeriksaan Lain:

Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil positif


lemah untuk streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk Streptococcus, tetapi

pemeriksaan ini jarang dilakukan.


Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri. 4,6

2.10. Terapi
Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan
memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang
lain dan mencegah kekambuhan.
Syarat pengobatan yang baik adalah pengobatan harus efektif, tidak mahal
dan memiliki sedikit efek samping. Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan
karena hanya diberikan pada kulit yang terinfeksi sehingga meminimalkan efek

samping. Kadangkala antibiotik topikal dapat menyebabkan reaksi sensitifitas


pasa kulit orang-orang tertentu. Pada lesi yang terlokalisir maka pemberian
antibiotik topikal diutamakan. Karena antibiotik topikal sama efektifnya dengan
antibiotik oral. Pilihan antibiotik topikal adalah mupirocin 2% atau asam fusidat.
Antibiotik oral disimpan untuk kasus dimana pasien sensitif terhadap antibiotik
topikal, lesi lebih luas atau dengan penyakit penyerta yang berat. Penggunaan
disinfektan topikal tidak direkomendasikan dalam pengobatan impetigo. Obat
topikal yang diberikan mupirocin 2% diberikan di kulit yang terinfeksi 3x sehari
selama tiga sampai lima hari. Antibiotik oral yang dapat diberikan adalah
Amoxicilin dengan asam klavulanat; cefuroxime; cephalexin; dieloxacillin; atau
eritromisin selama 10 hari. 2,4,6
2.11. Komplikasi
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak
diobati. Komplikasi berupa radang ginjal paska infeksi Streptococcus terjadi pada
1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh
pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak, tekanan darah tinggi, terdapat urin
seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejalagejala tadi muncul. 2,3,4
2.12. Pencegahan
Kebersihan sederhana dan perhatian dapat mencegah timbulnya Impetigo
Seseorang yang sudah terkena impetigo atau gejala-gejala infeksi / peradangan
Streptococcus hemolyticus grup A (GABHS) membutuhkan perawatan medik
dan jika perlu dimulai dengan pemberian antibiotik secepat mungkin untuk
mencegah menyebarnya infeksi ke orang lain. Penderita impetigo harus diisolasi,
dan dicegah agar tidak terjadi kontak dengan orang lain minimal dalam 24 jam
setelah pemberian antibiotik.
Adapun pencegahan yang harus di lakukan yaitu:
1. Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak
dengan pasien, terutama apabila terkena luka.
2. Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita.
3. Bersihkan dan lakukan disinfektan pada mainan yang mungkin bisa
menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien.
10

4. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan,
namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif).
5. Hygiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap
pendek dan bersih.
6. Jauhkan diri dari orang dengan impetigo.
7. Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari
yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar
matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci
dengan disinfektan.
8. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat
yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu. 2,3,5.
2.13.

Prognosis

Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan
pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti
glomerulonefritis dan lain-lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari
pengobatan. 1,5,6

11

BAB III
KESIMPULAN
Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis.
Impetigo terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa.
Impetigo krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana, menyerang
epidermis dengan gambaran yang dominan ialah krusta. Diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dari lesi. Penatalaksanaan dapat
dilakukan dengan melakukan perawatan diri, pengobatan sistemik dan topikal.
Pengenalan klinis dari impetigo tidaklah sulit karena biasanya memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan penunjang tidak perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa, akan tetapi dapat dilakukan pada pasien yang tidak respon
setelah mendapat pengobatan, sehingga dapat dilakukan kultur dan tes sensitivitas.
Terapi umumnya berupa medikamentosa dan non medikamentosa dengan
prinsip tetap menjaga hygiene tubuh penderita agar tidak mudah terinfeksi
penyakit kulit. Prognosis umumnya baik. Impetigo umumnya sembuh tanpa
penyulit dalam 2 minggu apabila diobati secara teratur. Komplikasi berupa radang
ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6
tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Pengobatan utama
12

pada impetigo adalah pemberian antibiotik topikal. Pemberian antibiotik sistemik


umumnya tidak dianjurkan kecuali lesi sangat luas. Dari beberapa literatur
dikatakan antibiotik topikal yang paling baik diberikan pada impetigo adalah
mupirocin 2% dan asam fusidat 2% selama tiga sampai lima hari. Antibiotik
sistemik yang dapat diberikan adalah amoksisilin/clavulanate (augmentin) 3 x
250-500 mg sehari selama 10 hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Editor
Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Jakarta; FKUI. 2010. Hal. 57-9
2. Atlas Penyakit Kulit Kelamin. Edisi ke-2. Surabaya; Airlangga university
Press. 2012. Hal.27-9
3. Wolff K., Lowell A, Stephen I, dkk. Pyoderma in Dermatology in General
Medicine. Edisi ke-7. Vol. 1 & 2 (177). Hal. 1694-8
4. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta; Hipokrates. Hal. 46-9
5. Brown RG, Burns T. Lecture Notes on Dermatology. Ed. 9. Blackwell
publishing. Hal. 17-21
6. Siregar. Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. Jakarta; EGC. 2005. Hal.47-50

13

Anda mungkin juga menyukai