Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang
Derajat kesehatan masyarakat dalam suatu negara dapat dilihat
berdasarkan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kematian ibu (AKI).1
Sebagian besar kematian ibu terjadi di negara berkembang karena kurang
mendapat akses pelayanan kesehatan, kekurangan fasilitas, terlambatnya
pertolongan, persalinan dukun disertai keadaan sosial ekonomi dan pendidikan
masyarakat yang masih tergolong rendah.12 Upaya menjamin adanya kehidupan
yang sehat, serta mendorong kesejahteraan untuk semua orang di dunia pada
semua usia, termasuk juga upaya peningkatan kesehatan ibu merupakan salah satu
tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs), di mana konsep SDGs
melanjutkan konsep pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang
sudah berakhir pada tahun 2015. Meskipun MDGs sudah berakhir, hingga saat ini
Angka Kematian Ibu (AKI) di beberapa negara berkembang masih tinggi
termasuk Indonesia.2
Angka kematian ibu (AKI) di negara berkembang berkisar antara 50-800
per 100.00 kelahiran hidup. Negara dengan jumlah kematian ibu terbesar menurut
data World Health Organization (WHO) tahun 2004 adalah India, Nigeria,
Pakistan, Republik Kongo dan Ethiopia, Tanzania, Afganistan, Banglades, Angola,
Cina dan Kenya, Indonesia dan Uganda. Semua negara tersebut menyumbang
67% dari seluruh kematian ibu di dunia.3

WHO memperkirakan 210 juta per tahun terjadi kehamilan di seluruh


dunia, 20 juta mengalami kesakitan akibat kehamilan, 8 juta mengalami
komplikasi yang mengancam jiwa, dan lebih dari 500.000 mengalami kematian
pada tahun 1995. Sebanyak 50% kematian terjadi di Negara-negara Asia Selatan
dan Tenggara, termasuk Indonesia.3
Kematian ibu disebut juga mortalitas maternal, yaitu kematian perempuan
hamil atau kematian dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa
mempertimbangkan umur dan jenis kehamilan. Kematian ibu dapat disebabkan
komplikasi persalinan atau nifas, dengan penyebab terkait atau diperberat oleh
kehamilan dan manajemen kehamilan, tetapi bukan karena kecelakaan.3,13

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Angka Kematian Ibu (AKI) adalah
banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan
gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus
insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah
melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran
hidup. AKI juga diperhitungkan pada jangka waktu 6 minggu hingga setahun
setelah melahirkan.4
Menurut WHO Kematian ibu adalah kematian yang terjadi pada saat
kehamilan, persalinan atau dalam 42 hari setelah persalinan dengan penyebab
yang berhubungan langsung atau tidak langsung dari kehamilan atau
persalinannya.
II.2 PENYEBAB KEMATIAN IBU
Penyebab kematian ibu terbagi menjadi langsung dan tidak langsung.
Penyebab

langsung

dari

kematian

ibu

yaitu

perdarahan

(28%),

eklampsia/preeklampsi (24%), abortus, partus lama/ persalinan macet (10%) dan


infeksi (11%). Penyebab tidak langsung antara lain adalah ibu hamil menderita
penyakit atau komplikasi lain yang sudah ada sebelum kehamilan, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes, hepatitis, anemia, dan malaria.6,7
3

Selain itu penyebab tidak langsung dari kematian ibu adalah7


1. Pendidikan
Pendidikan ibu berpengaruh pada sikap dan perilaku dalam pencapaian akses
informasi yang terkait dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan ibu.
Masih banyak ibu dengan pendidikan rendah terutama yang tinggal di pedesaan
yang menganggap bahwa kehamilan dan persalinan adalah kodrat wanita yang
harus dijalani sewajarnya tanpa memerlukan perlakuan khusus (pemeriksaan
dan perawatan).
2. Sosial ekonomi dan sosial budaya yang masih rendah
Pengaruh budaya setempat masih sangat berkaitan dengan pengambilan
keputusan ibu dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan ibu.
Contoh : budaya Indonesia mengutamakan kepala keluarga untuk mendapat
makanan bergizi, dan ibu hamil hanya sisanya.
3. Empat (4) terlalu dalam melahirkan : Terlalu muda (batasan reproduksi sehat
20-35 tahun); Terlalu tua (kehamilan berisiko pada usia di atas 30 tahun);
Terlalu sering (jarak ideal untuk melahirkan : 2 tahun); Terlalu banyak (jumlah
persalinan di atas 4).
4.

Tiga (3) terlambat


Terlambat mengambil keputusan sering dijumpai pada masyarakat kita, bahwa
pengambil keputusan bukan di tangan ibu, tetapi pada suami atau orang tua,
bahkan pada orang yang dianggap penting bagi keluarga. Hal ini menyebabkan
keterlambatan dalam penentuan tindakan yang akan dilakukan dalam kasus
kebidanan yang membutuhkan penanganan segera. Keputusan yang diambil
tidak jarang didasari atas pertimbangan faktor sosial budaya dan faktor
ekonomi.

Terlambat dalam pengiriman ke tempat rujukan


Keterlambatan ini paling sering terjadi akibat faktor penolong (pemberi
layanan di tingkat dasar).

Terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan


Keterlambatan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan masalah
di tingkat layanan rujukan. Kurangnya sumber daya yang memadai, sarana dan
prasarana yang tidak mendukung dan kualitas layanan di tingkat rujukan,
merupakan faktor penyebab terlambatnya upaya penyelamatan kesehatan ibu.

II.3 ANGKA KEJADIAN AKI


AKI merupakan salah satu indikator yang peka terhadap kualitas dan
aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI (yang berkaitan dengan kehamilan,
persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit
menurun jika dibandingkan dengan SDKI tahun 1991, yaitu sebesar 390 per
100.000 kelahiran hidup. Namun jika dibandingkan dengan negaranegara
tetangga di Kawasan ASEAN angka ini masih cukup tinggi. Pada tahun 2007,
ketika AKI di Indonesia mencapai 228, AKI di Singapura hanya 6 per 100.000
kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000
kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per
100.000 kelahiran hidup.5,10

Gambar 2.1 Angka Kematian Ibu di Indonesia Tahun 1991-2012


Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa AKI di Indonesia sejak tahun
1991 hingga 2007 mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000
kelahiran hidup. Pemerintah sejak tahun 1990 telah melakukan upaya strategis
dalam upaya menekan AKI dengan pendekatan safe motherhood yaitu
memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga
selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya. Di Indonesia, Safe
Motherhood Initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran program Gerakan
Sayang Ibu di tahun 1996 oleh presiden yang melibatkan berbagai sektor
pemerintahan disamping sektor kesehatan. Salah satu program utama yang
ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di
tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Pada tahun 2000
Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi sektor kesehatan untuk
mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi Making Pregnancy Safer.5

Namun, pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang
signifikan, yakni dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Oleh karena itu, pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program
Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan
angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di
provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar,
yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari
jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi
tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi
tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia
secara signifikan.5

Gambar2.2PenyebabKematianIbuTahun20102013
Berdasarkangambartersebutterlihatbahwapenyebabterbesarkematian

ibuselamatahun20102013masihtetapsamayaituperdarahan.Sedangkanpartus
lama merupakan penyumbang kematian ibu terendah. Sementara itu penyebab
lainlain juga berperan cukup besar dalam menyebabkan kematian ibu. Yang
dimaksuddenganpenyebablainlainadalahpenyebabkematianibusecaratidak
langsung.
Di Kalimantan Selatan jumlah kematian ibu pada 13 kabupaten dan kota
pada tahun 2011 didapatkan sebanyak 120 orang dan pada tahun 2012 meningkat
menjadi 123 orang. Kematian tersebut antara lain disebakan perdarahan 53 orang
(43,08%), eklampsi 26 orang (21,13%), infeksi 9 orang (7,31%) dan lain lain 35
orang (24,45%).9
Data dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan
2012, jumlah kematian ibu di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2006-2012
terus mengalami peningkatan. Dari tahun 2006 didapatkan kematian ibu sebanyak
80 kasus hingga pada tahun 2012 kasus kematian ibu terus meningkat mencapai
120 kasus.11
Data Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2012
didapatkan jumlah kematian ibu untuk Kabupaten Banjar 28 orang (22,76%),
Kabupaten Hulu Sungai Utara 18 orang (14,63%), Kabupaten Kota Banjarmasin
14 orang (11,38%), Kabupaten Kotabaru sebanyak 13 orang (10,56%), Kabupaten
Tapin sebanyak 10 orang (8,13%), Kabupaten Tanah Laut sebanyak 9 orang
(7,31%), Kabupaten Tabalong sebanyak 7 orang (5,69%), Kabupaten Barito Kuala
sebanyak 5 orang (4,06%), Kabupaten Hulu Sungai Selatan sebanyak 5 orang

(4,06%), Kabupaten Tanah Bumbu sebanyak 5 orang (4.06%), Kabupaten Kota


Madya Banjarbaru sebanyak 4 orang (3,25%), Kabupaten Balangan sebanyak 3
orang (2.43%), dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebanyak 2 orang (1,62%).9
Pada tahun 2012 terjadi peningkatan sebanyak 123 orang (28,45%).
Jumlah AKI dari 13 Kabupaten dan kota di Kabupaten Hulu Sungai Utara
sebanyak 18 orang (14,63%). Dari 18 orang (14,63%) AKI di antaranya yaitu
perdarahan postpartum 6 orang (33,33%), atonia uteri 4 orang (22,22%), retensio
plasenta 3 orang (16,66%), ruptur 2 orang (11,11%), infeksi orang (11,11%),
lainlain 1 orang (5,56%).9

II.4 UPAYA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU


Upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal
melalui program EMAS dilakukan dengan cara:
Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir
minimal di 150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas
(PONED).
Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan
rumah sakit.
Selain itu, pemerintah bersama masyarakat juga bertanggung jawab untuk
menjamin setiap ibu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan ibu yang
berkualitas, mulai dari saat hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
terlatih, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan
rujukan jika terjadi komplikasi, memperoleh cuti hamil dan melahirkan, serta
akses terhadap keluarga berencana. Di samping itu, pentingnya melakukan
9

intervensi lebih ke hulu, yakni kepada kelompok remaja dan dewasa muda dalam
upaya percepatan penurunan AKI.5
Upaya pelayanan kesehatan ibu meliputi: (1) Pelayanan kesehatan ibu
hamil, (2) Pelayanan kesehatan ibu bersalin, (3) Pelayanan kesehatan ibu nifas, (4)
Pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan, dan (5) Pelayanan kontrasepsi.5
1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan
antenatal sekurang-kurangnya empat kali selama masa kehamilan, dengan
distribusi waktu minimal satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12
minggu), satu kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan dua
kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampai persalinan). Standar
waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu
hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan, dan
penanganan dini komplikasi kehamilan.5
Pelayanan antenatal yang dilakukan diupayakan memenuhi standar
kualitas, yaitu:5
1. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;
2. Pengukuran tekanan darah;
3. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);
4. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);
10

5. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid


sesuai status imunisasi;
6. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;
7. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);
8. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan
konseling, termasuk keluarga berencana);
9. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb),
pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum
pernah dilakukan sebelumnya); dan
10. Tatalaksana kasus.
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan
indikator cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah
memperoleh

pelayanan

antenatal

pertama

kali

oleh

tenaga

kesehatan

dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu
satu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil yang telah
memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali
sesuai jadwal yang dianjurkan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu
wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan
akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil
dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan.

11

Gambar 2.3 Cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil K1 dan K4


di Indonesia Tahun 2005-2014.

Dari gambar terlihat bahwa secara umum cakupan pelayanan kesehatan


ibu hamil K1 dan K4 mengalami kenaikan. Cakupan K1 dan K4 yang secara
umum mengalami kenaikan tersebut menunjukkan semakin baiknya akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil yang diberikan oleh tenaga
kesehatan. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa kenaikan cakupan K1
dari tahun ke tahun relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan cakupan K4.
Cakupan K1 hampir selalu mengalami peningkatan, kecuali pada dua tahun
terakhir. Hal itu sedikit berbeda dengan cakupan K4 yang tidak selalu mengalami
kenaikan, meski selama kurun waktu 10 tahun terakhir tetap memiliki
kecenderungan meningkat.5,10
Secara nasional, indikator kinerja cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil
K4 pada tahun 2014 belum mencapai target Rencana Strategis (Renstra)

12

Kementerian Kesehatan di tahun yang sama, yakni sebesar 95%. Meski demikian,
terdapat dua provinsi yang telah mencapai target tersebut. Kedua provinsi tersebut
yaitu Sulawesi Utara dan DKI Jakarta. Dari Gambar 2.4 juga dapat diketahui
bahwa terdapat tiga provinsi yang memiliki cakupan pelayanan ibu hamil K4 yang
kurang dari 50%, yakni Papua Barat (39,74%), Maluku (47,87%), dan Papua
(49,67%). Secara nasional, cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun
2014 sebesar 86,70%.5

Gambar 2.4 Cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil K4 Menurut


Provinsi Tahun 2014

Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian


Kesehatan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas
kepada masyarakat hingga ke pelosok desa, termasuk untuk meningkatkan

13

cakupan pelayanan antenatal. Dari segi sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan,
hingga bulan Desember 2014, tercatat terdapat 9.731 puskesmas di seluruh
Indonesia dengan rasio 1,08 puskesmas per 30.000 penduduk. Dengan demikian,
rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk sudah mencapai rasio ideal 1:30.000
penduduk, namun penyebarannya masih belum merata. Demikian pula dengan
Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM) seperti poskesdes dan
posyandu. Sampai dengan tahun 2014, tercatat terdapat 55.517 poskesdes yang
beroperasi dan 289.635 posyandu di Indonesia.5
Upaya meningkatkan cakupan pelayanan antenatal juga makin diperkuat
dengan adanya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan
diluncurkannya Jaminan Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011 hingga tahun
2013, dimana keduanya saling bersinergi dalam memperkuat upaya penurunan
AKI di Indonesia. Selain digunakan untuk kegiatan di dalam puskesmas, BOK
juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung, seperti pendataan, pelayanan
di posyandu, kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, penyuluhan,
pelaksanaan kelas ibu hamil, serta penguatan kemitraan bidan dan dukun.
Sementara itu, Jampersal mendukung paket pelayanan antenatal, termasuk yang
dilakukan pada saat kunjungan rumah atau sweeping, baik pada kehamilan normal
maupun kehamilan dengan risiko tinggi.5
Semakin kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta,
diharapkan dapat mendorong tercapainya target cakupan pelayanan antenatal yang

14

berkualitas dan sekaligus menurunkan AKI di Indonesia.5


2. Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin
Upaya kesehatan ibu bersalin dilaksanakan dalam rangka mendorong agar
setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih yaitu dokter spesialis
kebidanan dan kandungan (SpOG), dokter umum, dan bidan, serta diupayakan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Gambar 2.5 Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan di Indonesia


Tahun 2005-2014

15

Gambar 2.6 Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Menurut


Provinsi Tahun 2014

Pada Gambar 2.5 dan 2.6 dapat diketahui bahwa secara umum cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia mengalami kenaikan
setiap tahunnya. Cakupan secara nasional pada tahun 2014 yaitu sebesar 88,68%
dimana angka ini belum dapat memenuhi target Renstra Kementerian Kesehatan
tahun 2014 yakni sebesar 90%. Namun demikian, Di Indonesia, sebanyak empat
belas provinsi telah dapat mencapai target renstra tersebut, dan selebihnya yakni
sebanyak dua puluh provinsi belum dapat mencapai target. Tiga provinsi dengan
cakupan tertinggi yaitu DI Yogyakarta (99,96%), Jawa Tengah (99,17%), dan Bali
(97,66%). Sedangkan tiga provinsi dengan cakupan terendah yaitu Papua Barat
(44,73%), Maluku (46,90%), dan Papua (63,15%).5
Analisis kematian ibu yang dilakukan Direktorat Bina Kesehatan Ibu pada

16

tahun 2010 membuktikan bahwa kematian ibu terkait erat dengan penolong
persalinan dan tempat/ fasilitas persalinan. Persalinan yang ditolong tenaga
kesehatan terbukti berkontribusi terhadap turunnya risiko kematian ibu. Demikian
pula dengan tempat/fasilitas, jika persalinan dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan, juga akan semakin menekan risiko kematian ibu.5
3. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan pada ibu nifas
sesuai standar, yang dilakukan sekurang-kurangnya tiga kali sesuai jadwal yang
dianjurkan, yaitu pada enam jam sampai dengan tiga hari pasca persalinan, pada
hari ke empat sampai dengan hari ke-28 pasca persalinan, dan pada hari ke-29
sampai dengan hari ke-42 pasca persalinan.Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas
yang diberikan meliputi :
I

a) Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu);

b) Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri);

c) Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain;

d) Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;


I e) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas
dan bayi baru lahir, termasuk keluarga berencana;

f) Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.

17

Keberhasilan upaya kesehatan ibu nifas diukur melalui indikator cakupan


pelayanan kesehatan ibu nifas (Cakupan KF3). Indikator ini menilai kemampuan
negara dalam menyediakan pelayanan kesehatan ibu nifas yang berkualitas sesuai
standar.

Ga
mbar 2.7 Cakupan Kunjungan Nifas (KF3) di Indonesia Tahun 2008-2014

Dari Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa capaian cakupan kunjungan nifas
(KF3) di Indonesia dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir secara umum
mengalami kenaikan. Capaian indikator KF3 yang meningkat dalam 7 tahun
terakhir merupakan hasil dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan
masyarakat termasuk sektor swasta. Program penempatan Pegawai Tidak Tetap
(PTT) untuk dokter dan bidan terus dilaksanakan. Selain itu, dengan
diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010,
puskesmas, poskesdes, dan posyandu lebih terbantu dalam mengintensifkan

18

implementasi upaya kesehatan termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan ibu


nifas. Pelayanan kesehatan ibu nifas termasuk di antaranya kegiatan sweeping
atau kunjungan rumah bagi yang tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan.5
4. Pelayanan/Penanganan Komplikasi Kebidanan
Komplikasi kebidanan adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas, dan atau janin dalam kandungan, baik langsung maupun tidak langsung,
termasuk penyakit menular dan tidak menular yang dapat mengancam jiwa ibu
dan atau janin. Pencegahan dan penanganan komplikasi kebidanan adalah
pelayanan kepada ibu dengan komplikasi kebidanan untuk mendapatkan
perlindungan dan penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan
kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan.5
Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pencegahan dan
penanganan komplikasi kebidanan adalah cakupan penanganan komplikasi
kebidanan (Cakupan PK). Indikator ini mengukur kemampuan negara dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional kepada ibu (hamil,
bersalin, nifas) dengan komplikasi.5

19

Gambar 2.8 Cakupan Penanganan Komplikasi Kebidanan di Indonesia Tahun


2008-2014

Pada gambar diatas dapat diketahui bahwa secara umum, cakupan


penanganan komplikasi kebidanan di Indonesia selama kurun waktu tujuh tahun
terakhir cenderung meningkat. Cakupan penanganan komplikasi kebidanan secara
nasional pada tahun 2014 sebesar 74,56%.5
Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet, dan abortus. Kematian ibu di
Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan,
hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan infeksi. Namun proporsinya telah
berubah, dimana perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan
sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat. Lebih dari 25% kematian ibu di
Indonesia pada tahun 2013 disebabkan oleh HDK.5

20

Gambar 2.9 Penyebab Kematian Ibu di Indonesia Tahun 2010-2013


Diperkirakan 20% dari kehamilan akan mengalami komplikasi. Sebagian
komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat
dicegah dan ditangani bila : 1) ibu segera mencari pertolongan ke tenaga
kesehatan; 2) tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai,
antara lain penggunaan partograf untuk memantau perkembangan persalinan, dan
pelaksanaan manajemen aktif kala III (MAK III) untuk mencegah perdarahan
pasca-salin; 3) tenaga kesehatan mampu melakukan identifikasi dini komplikasi;
4) apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan
pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan;
5) proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan
angka kematian dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui : 1) peningkatan
pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi

21

secara memadai; 2) pertolongan persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga
kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan kelahiran; serta 3) pelayanan
emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK)
yang dapat dijangkau secara tepat waktu oleh masyarakat yang membutuhkan.
Upaya terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia salah
satunya dilakukan melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K). Program tersebut menitikberatkan kepedulian dan peran
keluarga dan masyarakat dalam melakukan upaya deteksi dini, menghindari risiko
kesehatan

pada

ibu

hamil,

serta

menyediakan

akses

dan

pelayanan

kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar di tingkat Puskesmas (PONED) dan


pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal komprehensif di Rumah Sakit
(PONEK).
5. Pelayanan Kontrasepsi
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014
Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga
Berencana, Dan Sistem Informasi Keluarga, yang dimaksud dengan program
keluarga berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia
ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan
bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang
berkualitas.5
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun
2014 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga,
22

Keluarga Berencana, Dan Sistem Informasi Keluarga, program Keluarga


Berencana (KB) merupakan salah satu strategi untuk mengurangi kematian ibu
khususnya ibu dengan kondisi 4T; terlalu muda melahirkan (di bawah usia 20
tahun), terlalu sering melahirkan, terlalu dekat jarak melahirkan, dan terlalu tua
melahirkan (di atas usia 35 tahun). Selain itu, program KB juga bertujuan untuk
meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tentram, dan
harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan
kebahagiaan batin.5

23

Anda mungkin juga menyukai