Anda di halaman 1dari 5

Paradigma dalam Sosiologi

Sebuah paradigma merupakan gambaran dasar dari pokok perhatian dalam sebuah
ilmu. Paradigma adalah konsensus yang terluas di dalam sebuah ilmu dan berfungsi untuk
membedakan sebuah komunitas ilmiah dari yang lain. Lebih lanjut, George Ritzer
memaparkan beberapa fungsi paradigma, yakni; mendefinisikan apa yang harus dikaji,
pertanyaan apa yang harus ditanyakan, bagaimana untuk menanyakannya, kaidah-kaidah apa
yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang didapatkan. (Ritzer, 2012: 1151)
Paradigma mencakup elemen-elemen penting yang membangunnya. Elemen termaksud ialah;
teori, subject matter, metode, dan eksemplar. Teori meliputi konsep, variabel, dan
proposisi. Subject matter adalah apa yang dikaji dalam ilmu tersebut. Metode adalah cara
pengkajian, termasuk instrumen di dalamnya. Kemudian eksemplar adalah karya ilmiah yang
menjadi model.
Sejarah suatu ilmu pengetahuan adalah sejarah bangun dan jatuhnya paradigmaparadigma. Untuk suatu masa mungkin hanya satu paradigma yang menonjol, dan setiap
gagasan yang mengancamnya akan disingkirkan dari pusat panggung. (Jones, 2009: 208)
Thomas Kuhn mengatakan dalam kondisi tersebut ada suatu paradigma dominan, yang
kemudian mendogma. Khusus bagi sosiologi, ada pembeda yang signifikan dari bidang ilmu
lain. Lazim dikenal bahwa sosiologi adalah ilmu berparadigma ganda atau multiple paradigm
science. Dikarenakan kelahiran suatu paradigma tak lantas meruntuhkan paradigma
pendahulunya. Jonathan Turner dan Doyle Johnson, mengategorikan sosiologi kontemporer
menjadi fungsionalisme, interaksionisme simbolik, pertukaran sosial, dan konflik. Namun
George Ritzer, yang berlandaskan pada konsep paradigma yang dirumuskan Thomas Kuhn,
melihat bahwa sosiologi kontemporer terdiri dari paradigma perilaku sosial, definisi sosial,
dan fakta sosial. (Samuel, 2012: 92)

Setiap paradigma memiliki dedengkotnya tersendiri. Paradigma fakta sosial


dibangun oleh sosiolog Prancis, Emile Durkheim. Paradigma definisi sosial dirintis oleh Max
Weber, sosiolog kenamaan dari Jerman. Paradigma perilaku sosial dikembangkan oleh
Burrhus Frederic Skinner. Sebenarnya ada sedikit masalah yang berbau politis dalam
kategorisasi ini. Dunia mengakui tiga raksasa sosiologi atau tiga sosok pembangun fondasi
sosiologi adalah Emile Durkheim, Max Weber dan Karl Marx. Namun dalam kategorisasi
Ritzer, Karl Marx dikesampingkan dan justru tempatnya diberikan untuk Skinner. Memang
cukup wajar mengingat Ritzer adalah sosiolog asal Amerika Serikat yang memiliki komitmen
kontra-komunisme, entah otentik atau karena ada tekanan dari kurikulum negara itu. Kendati
demikian, pengkaji sosiologi harus tetap prihatin akan hal ini.
Mari mengesampingkan sejenak diskriminasi politis terhadap Karl Marx, untuk
menyepakati kategorisasi Ritzer. Berikut ini dipaparkan elemen-elemen yang membentuk tiga
paradigma besar dalam sosiologi. Paradigma fakta sosial, teori-teori yang berada di lingkup
tersebut adalah teori fungsionalisme struktural, teori konflik dan teori sistem. Subject
matter dalam paradigma tersebut adalah fakta sosial atau yang dimaksud Durkheim dengan
struktur dan institusi sosial yang berskala besar. Metode yang dipakai lebih kepada
perbandingan sejarah atau bisa juga dengan kuesioner wawancara. Eksemplar paradigma
tersebut tentu saja karya-karya Durkheim, khususnya The Rules of Sociological
Method dan Suicide.
Paradigma definisi sosial meliputi teori-teori termasyhur semacam teori tindakan,
interaksionisme simbolis, fenomenologi, etnometodologi, dan bahkan eksistensialisme.
Paradigma ini memusatkan perhatian pada cara para aktor sosial mendefinisikan situasi sosial
mereka dan efek dari definisi tersebut pada tindakan atau interaksi setelahnya. Metode yang
lazim dipakai oleh definisionis sosial adalah observasi atau pengamatan, kendati mereka juga

sangat mungkin untuk menggunakan kuesioner dan wawancara. Eksemplar utama paradigma
ini adalah karya-karya Max Weber.
Paradigma perilaku sosial teorinya dapat dicakup ke dalam behaviorisme sosial.
Pertama adalah sosiologi behavioral yang sangat dekat hubungannya dengan behaviorisme
psikologi. Kedua adalah yang jauh lebih penting, yakni teori pertukaran sosial. Pokok
perhatian sosiologi bagi behavioris sosial adalah perilaku spontan (tanpa pikir panjang) para
individu. Namun secara khusus behavioris sosial memperhatikan penghargaan yang
menghasilkan perilaku yang diinginkan serta hukuman yang mencegah perilaku spontan.
Keduanya merupakan topik khas yang dapat dikaji dalam teori pertukaran. Metode yang
umum digunakan dan pada akhirnya menjadi metode khas behaviorisme sosial adalah
eksperimen. Eksemplar paradigma perilaku sosial tentu saja karya-karya psikolog ternama,
B.F. Skinner.
Paradigma Fakta Sosial
Paradigma fakta sosial pada dasarnya sejalan dengan organisisme sosial, yang
menganggap bahwa masyarakat atau kelompok masyarakat ibarat satu tubuh. Dalam satu
tubuh, sel yang satu dengan sel yang lain saling melengkapi adanya, kendati memiliki peran
yang beragam. Pendekatan organis yang masih terlalu filosofis tersebut, diteoretiskan dalam
fungsionalisme struktural. Ide pokok kaum fungsionalis strukturalis ialah bahwa kelompok
sosial merupakan suatu sistem yang diikat oleh konsensus. Di dalam setiap sistem pun
senantiasa terjadi konflik. Bahkan dalam perspektif Dahrendorf, sistem justru lahan utama
bagi konflik. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan
mungkin terlibat dalam konflik. (Susan, 2009: 49) Begitu pula dalam keluarga, yang
merupakan suatu sistem dengan ciri khasnya berupa pola dan konsensus. Setiap keluarga
memiliki pola tersendiri dan konsensus yang berbeda dari keluarga lainnya. Kendati demikian

kedua elemen termaksud tetap harus ada sebagai fondasi sistem. Sepakat pula dengan Ralf
Dahrendorf bahwa setiap sistem, dalam hal ini keluarga, selalu terjadi konflik di dalamnya.
Resolusinya adalah dengan menganalisa peran tiap anggota, kemudian membentuk konsensus
baru.
Paradigma Definisi Sosial
Salah satu perbedaan paradigma definisi sosial dengan pendahulunya, paradigma
fakta sosial, ialah pengakuannya terhadap pemahaman subjektif dari individu. Keberadaan
fakta sosial independen terhadap individu dan tidak dapat direduksi menjadi fakta-fakta
individual. (Samuel, 2010: 21) Sedangkan dalam paradigma definisi sosial, bukan tidak
mungkin individu membentuk sosial, melalui dialektika Peter L. Berger misalnya
(internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi). Ketika terjadi konflik dalam keluarga,
solusinya bukan dengan membentuk konsensus, namun dengan menganalisa pemahaman
subjektif tiap anggota. Suatu konflik seringkali disebabkan oleh kesalahpahaman karena
kurangnya pengertian akan pemahaman subjektif. Alfred Schultz mengatakan bahwa setiap
individu punya stok pengetahuan, dan setiap mereka pun menyadari bahwa individu lain juga
memiliki. Kendati demikian sering terjadi semacam keengganan atau kesulitan dalam
membaca stok pengetahuan orang lain. Inilah yang menjadi masalah, dan untuk solusinya
tinggal menjembatani stok pengetahuan individu agar kemudian mampu dimaknai oleh
individu yang lain. Pemaknaan semacam ini lebih mudah dalam membaca tindakan rasional
ketimbang tindakan afektif.
Paradigma Perilaku Sosial
Analisis memakai paradigma perilaku sosial, artinya lebih menyorot pola perilaku
masing-masing anggota keluarga. Memakai teori pertukaran, secara sederhana tindakan
positif mendapat ganjaran yang positif pula. Tidak mutlak memang, namun harus diakui

bahwa lazimnya memang seperti itu. Jikalau ada konflik dalam keluarga, merujuk teori
pertukaran, artinya ada tindakan negatif yang dibalas dengan tindakan negatif. Ketika hanya
ada satu pihak yang merilis tindakan negatif, itu bukan konflik, melainkan hanya kekerasan.
Konflik terjadi manakala ada dua pihak yang saling menyerang. Bila konflik masih sekadar
gejala, perlu sesegera mungkin membenahi tindakan menjadi lebih positif. Namun jika
konflik terlanjur terjadi, tidak ada pilihan lain untuk melakukan mediasi atau arbitrase, dalam
kondisi seperti ini diperlukan peran orang ketiga.

Anda mungkin juga menyukai