Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang.

Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tentu tidak semua


kepentingan warga Negara dapat terakomodir secara penuh, ini disebabkan oleh
berbagai factor dan dinamika yang ada dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut. Sejatinya setiap peraturan peraturan perundangundangan dapat mewakili dan menjadi sebuah aturan yang dapat menjadi
sarana pembangunan dan melindungi berbagai kepentingan-kepentingan yang di
dalamnya memuat berbagai hal yang bersifat bonafide terhadap kelangsungan
hidup berbagai elemen masyarakat Indonesia. Ketika Peraturan perundangundangan itu dibuat, disahkan lalu diberlakukan, bukan tidak mungkin ada
beberapa kepentingan-kepentingan politik yang menyertainya. Bukan hanya itu
saja, namun terkadang peraturan perundang-undangan tersebut hanya
menguntungkan kepada satu atau beebrapa golongan saja, tidak untuk
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak sedikit di Indonesia
sering terjadi penyimpangan-penyimpangan peraturan yang menjadi hambatan
dan factor yang memperlambat urgensi laju Pembangunan. Maka untuk
menjamin, agar segala kepentingan-kepentingan suatu birokrasi tersebut dapat
terkendali, harus ada pengawasan yang efektif dan efisien. Ini bertujuan untuk
menyeimbangkan segala bentuk kehidupan demokrasi yang ada di Negara
tersebut, pengawasan ini hendaknya menjadi suatu upaya untuk melindungi
warga Negara Indonesia dari berbagai ketimpangan-ketimpangan yang dapat
merusak tatanan kehidupan demokrasi di Indonesia. Selain itu pengawasan ini
juga harus memiliki sikap yang tegas dan transparan, demi terwujudnya keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk menindaklanjuti hal ini, dikenal dengan
istilah Judicial Review atau uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan
dimana dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen
UUD 1945. Sebelumnya, tidak dikenal uji materiil sebuah peraturan perundangudangan terhadap konstitusi.

B.

Rumusan Masalah

Untuk memudahkan membahas satu persatu masalah, berikut beberapa


pertanyaan yang akan dibahas dalam makalah ini :
1.
2.

Pengertian Pengujian Peraturan Perundang-undangan.


Pengujian Peraturan Perundang-undangan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian

Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme
lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly Asshiddiqie
menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan
antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya
dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undangundang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti
formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang
dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undangundang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya
adalah pengujian formil. Jadi judicial review mencakup pengujian terhadap suatu
norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun
secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji
materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak
konstitusional warga negara.[1]
Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang
judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di
dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.
[2] Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review
(pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, pengujian peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).[3]
Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah
suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[4] Pengujian Undang-undang
dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk
kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah
Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat mengajukan
pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu undang-

undang kepada MK. Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan


dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan
Daerah kewenangan menguji baik secara materiil maupun formil peraturan
perundang-undangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung. Pengujian
Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat,
pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian ini untuk
membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat,
pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.
Undang-undang merupakan sebuah produk politik. Membentuk undang-undang
adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik. Ketika proses
membentuk Undang-undang ini berada di dalam ruang politik, maka akan
muncul potensi undang-undang yang sarat akan muatan politik. Dampaknya
undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu melanggar
hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undangundang mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa. Oleh karena itu perlu
adanya mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak
konstitusional adalah hak yang diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik
secara formil maupun materiil merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan
hak konstitusional warga Negara
Judicial review merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji
kesahihan dan daya laku peruduk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengajuan oleh
hakim terhadap produk-produk cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif adalah
konsekuensi dari dianutnya prinsip check and balance berdasarkan pada doktrin
pemisahan kekuasaan (Separation of power). Karena itu kewenanagan untuk
melakukan judicial review melekat pada fungsi hakim sebagi subyeknya, bukan
pada pejabat lain. Jika pengujian dilakukan bukan oleh hakim, tetapi oleh
lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu dapat disebut dengan legislative
review. Jika dilakukan oleh pemerintahan yang berada pada struktur yang lebih
tinggi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh
pemerintahan yang berada pada struktur lebih rendah, maka pengujian itu
disebut administrative review.[5] Baik judicial review, legislatif review, maupun
administrative review, pada dasarnya merupakan kegiatan pengujian peraturan
perundang-undangan, yang melahirkan konsekuensinya keberlakuan dan atau
perubahan sebuah undang-undang.
Amandemen UUD 1945 dan reformasi perundang-udangan di bidang peradilan
telah memetakan secara jelas pengaturan tentang judicial review ini. Sementara
dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang
pemerintah daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 juga
menyebutkan kewenangan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk
melakukan pembatalan sebuah peraturan daerah yang dianggap tidak
berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di
parlemen, mekanisme peninjauan dan perubahan perundang-undangan juga
tersedia.Secara ringkas dapat dirumuskan, kewenangan judicial review di
Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Sementara kewenangan administratfi review melekat pada Departemen Dalam

Negeri, sebagai departemen yang secara administrative menanggungjawabi


penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan kewenangan legislatif
review dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang
kekuasaan kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan
diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009, disebut kewenangan uji materiil peraturan
perundang-undangan di bawah dan terhadap Undang-undang.[6]
Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan
pembedaan yang tegas antara undang-undang dengan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengatur
sebagai berikut : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar . Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD
1945 mengatur sebagai berikut : Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang [7]
Dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diubah
dengan UU No. 12 Tahun 2008 mengatur sebagai berikut :
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan Hierarki peraturan peraturan
perundang-undangan yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan mengenai apa saja bentukbentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum
Indonesia berdsarkan UUD 1945 dan bentuk-bentuk peraturan mana saja yang
lebih tinggi dan man yang lebih rendah tingkatannya satu sama lain. berkaitan
dengan itu dapat pula diketahui dengan pasti mana saja bentuk peraturan
perundang-undangan yang disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang,
mana saja yang setingkat dan mana yang lebih tinggi dari pada undang-undang.

B.

Latar Belakang Terjadinya Judicial Review

Adanya Judicial Review dilatarbelakangi oleh :


1.Historis Ketatanegaraan
Dahulu banyak produk perundang-undangan yang bertentangan dengan undangundang dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sudah terreduksi dan disalah
artikan oleh pemerintah demi mempertahankan kekuasaan. Sehingga pasca
reformasi masyarakat menginginkan adanya suatu sistem pengujian agar
undang-undang diterapkan sesuai dengan UUD 1945.[8]
2.

Konsep Supremasi Konstitusi

Indonesia menganut supremasi konstitusi pada masa orde baru. Undang-undang


dasar tidak boleh diganggu-gugat dan ditafsirkan. Sehingga ketika terjadi
amandemen terhadap UUD 1945 banyak usulan untuk membentuk sebuah
lembaga yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi.

C.

Pelaksanaan Judicial Review Dalam Lingkungan Kekuasaan Kehakiman

Dalam pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh dua lembaga


yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam UUD 1945 diatur
bahwa Mahkamah Konstitusi berhak menguji undang-undang terhadap undangundang dasar. Sedangkan Mahkamah Agung berhak menguji produk perundangundangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Dari ketentuan ini
muncul permasalahan apakah jika Mahkamah Konstitusi membatalkan atau
menyatakan suatu undang-undang tidak berlaku lagi maka bagaimanakah
peraturan yang berada di bawah undang-undang tersebut. Apakah akan batal
secara otomatis atau tetap berlaku. Disinilah letak kekurangan sistem pengujian.
Seharusnya kita menganut sistem sentarlisasi. Dimana pengujian seluruhnya
dipegang oleh satu badan. Sehingga putusan yang dikeluarkan tidak akan
mengakibatkan pertentangan. Lingkup Judicial Review/Toetsingrecht di Indonesia
:
a.

Peraturan Perundang-undangan (regeling)

1.Menguji undang-undang terhadap UUD dilakukan oleh MK (constitutional


review)
2.Menguji peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap
undang-undang oleh MA
b.Pengujian keputusan (beschikking) dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap undang-undang ada dua
macam yakni :
1.

Pengujian materiil

Adalah pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan.


Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam

suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang. Pada dasarnya pengujian
materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan
dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususankekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang
berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip lex specialis derogate lex
generalis, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap
berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan
yang bersifat umum.

2.

Pengujian formil

Adalah pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek
formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum
tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga
substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum. Dengan
kata lain Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim
dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti
aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga
dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga
yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.[9]
Sementara Sri Sumantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah suatu
wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende
acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil
ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya.[10]
D.

Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujian Peraturan Perundang-undangan.

1. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga Negara yang
lahir pascaamandemen UUD 1945, yang termasuk rumpun lembaga yang
menjalankan fungsi yudikatif. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 C Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan salah satunya adalah menguji Undangundang terhadap Undang-undang Dasar 1945. Lebih lanjut kewenangan
Mahkamah Konstitusi diatur dalam UU. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji
adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, yaitu perubahan
pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999. Kewenangan memutus
permhonan judicial review yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan

pengadilan tingkat pertama dan terakhir, keputusannya bersifat final dan


mempunyai kekuatan hukum tetap serta tidak ada upaya hukum lain. Pasal 10
UU No. 24 tahun 2003 menyebutkan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a.

Menguji UU terhadap UUD dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

b.
Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
c.

Memutus pembubaran partai politik dan

d.

Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pemohon dari pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan / atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah UU, yaitu:
a.

Perorangan WNI

b.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU
c.

Badan hukum public

d.

Lembaga negara

Yang dimaksud hak konstitusional menurut penjelasan pasal 51 UU No. 24 tahun


2003 adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun
1945, sedangkan yang dimaksud dengan orang perorangan termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan yang sama.

2. Mahkamah Agung
Hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UU dapat
dilakukan teradap materi muatan ayat, pasal dan/ atau bagian dari peraturan
perundang-undangan yang bertengan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebuh tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundangundangan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 31 A UU No. 5 tahun 2004
Mahkamah Agung sebagai berikut:
1.
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU
terhadap UU diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah
Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2.
a

Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:


Nama dan alamat pemohon

b
Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
1)
Materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian peraturan perundangundangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undagan yang
lebuh tinggi. Dan / atau
2)
Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku.
c Hal-hal yang diminta untuk dihapus
3.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau
permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan
tidak diterima.
4.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan
5.
Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4,
amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan / atau
bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi.
6.
Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi dan/ atau tidak bertentangan
dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
7.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan peraturan perundangundangan dibawah UU diatur oleh Mahkamah Agung.[11]

3. Dewan Perwakilan Rakyat

Tidak ada mekanisme yang baku mengenai bagaimana, kapan dan terhadap UU
seperti apa DPR melakukan peninjauan dan revisi UU. Kewenangan melakukan
peninjauan terhadap UU melekat dan berpijak pada kewenangan yang dimiliki
DPR sebagai lembaga legislasi. Mengenai praktik selama ini, DPR bersama
pemerintah melakukan berbagai perubahan UU, jika menemukan
ketidaksesuaian UU dengan UU yang lain. Bisa juga karena factor ketertinggalan
sebuah UU dengan situasi terbaru yang muncul belakangan, atau juga karena
peristiwa hukum yang lahir belakangan tidak cukup terwadahi penyelesaiannya
dalam UU yang sudah ada. Sebagai contoh, di tahun 2006 DPR bersama
pemerintah melakukan peninjauan dan membahas perubahan UU tentang
kesehatan. Juga UU pemilu, partai politik, yang selalu hampir berubah-ubah pada
setiap periode pemilu.

4. Departemen Dalam Negeri

Kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah


jika tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi ini merupakan konsekuensi
dari keberdaan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang diberi mandat
untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan
pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 bagian pendahuluan angka 7
(tujuh) menyebutkan pembinaan atas penyelenggraan pemerintahan daerah
adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan pusat dan atau Gubernur selaku
wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan
penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah,
menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen melakukan
pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang
dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri untuk pembinaan dan pengawasan
provinsi serta oleh Gubernur untuk pembinaan dan pengawasan Kabupaten atau
kota. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan
peraturan daerah, pemerintah malakukan dengan 2 cara :
1)
Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu
terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi
daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu
dievaluasi oleh MENDAGRI untuk RAPERDA Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap
RAPERDA Kabupaten/Kota.
2)
Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk
dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerahwajib disampaikan kepada
MENDAGRI untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk
memperoleh klarifikasi.
Mekanisme pembatalan peraturan Daerah, disebutkan dalam pasal 145 UU No.
32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, sebagai berikut :
a
Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
b
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
c
Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
d
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan
Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah rnencabut Perda dimaksud.

e
Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang
dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
f
Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan
;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan
Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
g
Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud
dinyatakan berlaku.[12]

E. Mekanisme Pengujian Peraturan Peraturan Perundang-Undangan di


Mahkamah Konstitusi.

Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga


sidang putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan pemeriksaan permohonan uji materil
meliputi:
1)

Pengajuan Permohonan

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan


ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan
pada panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus
menguraikan secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang
dilanggar. Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa
pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD
dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
yang dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus
disertai dengan bukti-bukti yang akan digunakan dalam persidangan. Pemohon
dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah:

a.
Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama.
b.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam UU;

c.

Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;

d.

Lembaga negara.

2)

Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;

Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan


pemeriksaan atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan
tersebut syarat-syarat administrasi masih kurang, maka pemohon diberi
kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari setelah
pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh
pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan
permohonannya, maka panitera membuat akta yang menyatakan permohonan
tidak diregistrasi dan diberitahukan kepaa pemohon disertai pengembalian
berkas permohonan.
3)

Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK);

Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku


Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak
permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan
kepada DPR dan Presiden. Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai
adanya permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan
agar MA meberhentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang sedang diuji.
4)

Pembentukan Panel Hakim

Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua


MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara
pengujian undang-undang tersebut.
5)

Penjadwalan Sidang;

Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan.
Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat
dengan menempelkan pada papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan
dalam situs www.mahkamah konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media
cetak dan elektronik. Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon
atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari
persidangan.
6)

Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;

Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan


pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan
pokok permohonan. Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat

kepada pemohon atau kuasanya untuk melengkapi dan atau memperbaiki


permohonan. Pemohon diberi waktu selama 14 (empat belas) hari untuk
melengkapi dan atau memperbaiki permohonan tersebut. Nasihat yang diberikan
kepada pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan tertib persidangan.
Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau
telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada
Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.

7)

Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;

Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari
sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa
bukti-bukti yang sudah diajukan. Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim
wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang
dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga
negara yang terkait dengan permohonan.
8)

Putusan.

Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat


Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis. Apabila
musyawarah tidak menghasilkan putusan maka musyawarah ditunda sampai
dengan musyawarah hakim berikutnya. Selanjutnya apabila dalam musyawarah
ini masih belum bisa diambil putusan secara musyawarah mufakat maka
putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan
putusan apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil
putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang
dapat berupa:
a.

Dikabulkan;

Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang melanggar UUD


dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD;
b.

Ditolak;

Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang yang oleh


pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak
bertentangan dengan UUD;
c.

Tidak diterima;

d.
Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak
dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka
undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang
diajukan tersebut menjadi tidak berlaku. MK merupakan sebuah lembaga
peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya
bersifat final. Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak
puas dengan putusan MK.[13]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui
mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Judicial
Review Adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan
terhadap kebenaran suatu norma. yakni menguji bertentangan-tidaknya suatu
undang-undang terhadap konstitusi, dan peraturan UU dengan UU yang lebih
tinggi. Sementara Sri Soemantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu
peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
(verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak
menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam
hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
2.
Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut dimana Permohonan diajukan secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa
pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK, kemudian Pemeriksaan
kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan
pemeriksaan atas kelengkapan administrasi, ditindaklanjuti Pencatatan
permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK); Panitera
melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), lalu Panitera menyampaikan berkas perkara
yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel
hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut dan
dilanjutkan dengan penjadwalan persidangan, selanjutnya diadakan Sidang
Pemeriksaan Pendahuluan dimana Sebelum memeriksa pokok perkara, MK
melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum
(legal standing) pemohon dan pokok permohonan, selanjutnya diadakan Sidang

pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti Dalam sidang pleno dan terbuka
untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai
pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah
diajukan, dan yang terakhir adalah Putusan, dimana putusan MK diambil secara
musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam
sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapatnya secara tertulis.

Daftar Pustaka

Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundangundangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.

Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta :
Konstitusi Press, 2006.
Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung: 1997

http://tehangatsekali.blogspot.co.id/2011/11/pengujian-undang-undang.htm l

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-danjudicial-review-di-indonesia,
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmu-perundangundangan.html
http://fatahilla.blogspot.co.id/2009/11/pengujian-undang-undang-terhadapundang.html

[1]Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257


[2]Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundangundangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[3]Artikel Judicial Review,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-danjudicial-review-di-indonesia, diakses tgl 14 mei 2012.
[4] Sri Soemantri, 1986

[6]Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundangundangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[7]Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta : Konstitusi Press, 2006. H.45
[8] http://fatahilla.blogspot.co.id/2009/11/pengujian-undang-undang-terhadapundang.html di unduh Pada Senin, 05 Oktober 2015 Pukul 18.30 WIB.
[9] Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung:
1997

[10] Ibid.
[11] http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmu-perundangundangan.html diunduh pada Senin, 05 Oktober 2015 Pukul 18.54 WIB.

[12] http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmu-perundangundangan.html

[13] http://tehangatsekali.blogspot.co.id/2011/11/pengujian-undang-undang.html
diunduh pada Senin, 05 Oktober 2015 Pukul 19.34 WIB

Anda mungkin juga menyukai