BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
B.
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme
lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly Asshiddiqie
menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan
antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya
dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undangundang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti
formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang
dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undangundang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya
adalah pengujian formil. Jadi judicial review mencakup pengujian terhadap suatu
norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun
secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji
materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak
konstitusional warga negara.[1]
Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang
judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di
dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.
[2] Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review
(pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, pengujian peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).[3]
Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah
suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[4] Pengujian Undang-undang
dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk
kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah
Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat mengajukan
pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu undang-
B.
C.
Pengujian materiil
suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang. Pada dasarnya pengujian
materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan
dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususankekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang
berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip lex specialis derogate lex
generalis, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap
berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan
yang bersifat umum.
2.
Pengujian formil
Adalah pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek
formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum
tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga
substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum. Dengan
kata lain Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim
dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti
aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga
dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga
yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.[9]
Sementara Sri Sumantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah suatu
wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende
acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil
ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya.[10]
D.
1. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga Negara yang
lahir pascaamandemen UUD 1945, yang termasuk rumpun lembaga yang
menjalankan fungsi yudikatif. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 C Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan salah satunya adalah menguji Undangundang terhadap Undang-undang Dasar 1945. Lebih lanjut kewenangan
Mahkamah Konstitusi diatur dalam UU. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji
adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, yaitu perubahan
pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999. Kewenangan memutus
permhonan judicial review yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan
b.
Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
c.
d.
Pemohon dari pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan / atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah UU, yaitu:
a.
Perorangan WNI
b.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU
c.
d.
Lembaga negara
2. Mahkamah Agung
Hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UU dapat
dilakukan teradap materi muatan ayat, pasal dan/ atau bagian dari peraturan
perundang-undangan yang bertengan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebuh tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundangundangan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 31 A UU No. 5 tahun 2004
Mahkamah Agung sebagai berikut:
1.
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU
terhadap UU diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah
Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2.
a
b
Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
1)
Materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian peraturan perundangundangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undagan yang
lebuh tinggi. Dan / atau
2)
Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku.
c Hal-hal yang diminta untuk dihapus
3.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau
permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan
tidak diterima.
4.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan
5.
Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4,
amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan / atau
bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi.
6.
Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi dan/ atau tidak bertentangan
dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
7.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan peraturan perundangundangan dibawah UU diatur oleh Mahkamah Agung.[11]
Tidak ada mekanisme yang baku mengenai bagaimana, kapan dan terhadap UU
seperti apa DPR melakukan peninjauan dan revisi UU. Kewenangan melakukan
peninjauan terhadap UU melekat dan berpijak pada kewenangan yang dimiliki
DPR sebagai lembaga legislasi. Mengenai praktik selama ini, DPR bersama
pemerintah melakukan berbagai perubahan UU, jika menemukan
ketidaksesuaian UU dengan UU yang lain. Bisa juga karena factor ketertinggalan
sebuah UU dengan situasi terbaru yang muncul belakangan, atau juga karena
peristiwa hukum yang lahir belakangan tidak cukup terwadahi penyelesaiannya
dalam UU yang sudah ada. Sebagai contoh, di tahun 2006 DPR bersama
pemerintah melakukan peninjauan dan membahas perubahan UU tentang
kesehatan. Juga UU pemilu, partai politik, yang selalu hampir berubah-ubah pada
setiap periode pemilu.
e
Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang
dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
f
Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan
;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan
Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
g
Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud
dinyatakan berlaku.[12]
Pengajuan Permohonan
a.
Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama.
b.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam UU;
c.
d.
Lembaga negara.
2)
Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan.
Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat
dengan menempelkan pada papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan
dalam situs www.mahkamah konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media
cetak dan elektronik. Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon
atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari
persidangan.
6)
7)
Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari
sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa
bukti-bukti yang sudah diajukan. Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim
wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang
dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga
negara yang terkait dengan permohonan.
8)
Putusan.
Dikabulkan;
Ditolak;
Tidak diterima;
d.
Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak
dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka
undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang
diajukan tersebut menjadi tidak berlaku. MK merupakan sebuah lembaga
peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya
bersifat final. Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak
puas dengan putusan MK.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui
mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Judicial
Review Adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan
terhadap kebenaran suatu norma. yakni menguji bertentangan-tidaknya suatu
undang-undang terhadap konstitusi, dan peraturan UU dengan UU yang lebih
tinggi. Sementara Sri Soemantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu
peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
(verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak
menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam
hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
2.
Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut dimana Permohonan diajukan secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa
pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK, kemudian Pemeriksaan
kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan
pemeriksaan atas kelengkapan administrasi, ditindaklanjuti Pencatatan
permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK); Panitera
melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), lalu Panitera menyampaikan berkas perkara
yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel
hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut dan
dilanjutkan dengan penjadwalan persidangan, selanjutnya diadakan Sidang
Pemeriksaan Pendahuluan dimana Sebelum memeriksa pokok perkara, MK
melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum
(legal standing) pemohon dan pokok permohonan, selanjutnya diadakan Sidang
pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti Dalam sidang pleno dan terbuka
untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai
pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah
diajukan, dan yang terakhir adalah Putusan, dimana putusan MK diambil secara
musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam
sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapatnya secara tertulis.
Daftar Pustaka
Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundangundangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta :
Konstitusi Press, 2006.
Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung: 1997
http://tehangatsekali.blogspot.co.id/2011/11/pengujian-undang-undang.htm l
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-danjudicial-review-di-indonesia,
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmu-perundangundangan.html
http://fatahilla.blogspot.co.id/2009/11/pengujian-undang-undang-terhadapundang.html
[6]Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundangundangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[7]Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta : Konstitusi Press, 2006. H.45
[8] http://fatahilla.blogspot.co.id/2009/11/pengujian-undang-undang-terhadapundang.html di unduh Pada Senin, 05 Oktober 2015 Pukul 18.30 WIB.
[9] Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung:
1997
[10] Ibid.
[11] http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmu-perundangundangan.html diunduh pada Senin, 05 Oktober 2015 Pukul 18.54 WIB.
[12] http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmu-perundangundangan.html
[13] http://tehangatsekali.blogspot.co.id/2011/11/pengujian-undang-undang.html
diunduh pada Senin, 05 Oktober 2015 Pukul 19.34 WIB