Anda di halaman 1dari 15

EL NINO DAN LA NINA

Oleh :
Ahmad Fadlan (26020114420018)

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015

EL NINO DAN LA NINA

I. PENDAHULUAN
Berbicara tentang fenomena-fenomena cuaca secara global tidak bisa lepas dari kaitan
interaksi antara lautan dan atmosfer. Interaksi ini terjadi akibat adanya hubungan timbal balik
dari lautan ke atmosfer yang dapat mempengaruhi dinamika serta kondisi fisis atmosfer. Salah
satu fenomena cuaca global akibat interkasi lautan dan atmosfer yang sangat kuat adalah
fenomena El Nino dan La Nina. El Nino dan La Nina merupakan fenomena cuaca global yang
berlangsung di wilayah ekuator samudera pasifik dan pada umumnya dikaitkan dengan adanya
anomali iklim dunia.
El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena cuaca yang terjadi setiap 3
sampai 7 tahun dengan intensitas bervariasi. Dari beberapa kali kejadian, seringkali peristiwa El
Nino diikuti oleh La Nina. Di daerah tropis, kedua fenomena tersebut biasanya menimbulkan
pergeseran pola curah hujan dan perubahan temperatur yang mengakibatkan terjadinya musim
kemarau yang panjang ataupun musim hujan yang berkepanjangan yang dapat menimbulkan
banjir di berbagai tempat (Irawan, 2009). Anomali iklim tersebut semakin sering terjadi dengan
kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang sehingga menimbulkan
dampak yang signifikan terhadap produksi pertanian di banyak negara khususnya negara-negara
di sekitar samudera pasifik (IPCC, 2001).
Selain menimbulkan dampak pada perubahan kondisi cuaca ataupun iklim, peristiwa El
Nino dan La Nina juga berpengaruh pada kehidupan ekosistem di lautan. Fenomena tersebut juga
berhubungan dengan perubahan fisik maupun biologis di lautan yang mempengaruhi distribusi
ikan. Di antara variasi parameter oseanografi yang diamati selama terjadinya peristiwa El Nino
adalah perubahan SPL, perubahan struktur vertikal, termal laut khususnya di wilayah pesisir dan
perubahan arus upwelling. Salah satu efek utamanya adalah peningkatan suhu dan penurunan
termoklin di wilayah pasifik timur yang menyebabkan jatuhnya produktivitas primer. Fenomena
ENSO dianggap sebagai salah satu penyebab utama terjadinya perubahan variabilitas iklim di
seluruh dunia. Dan akibat adanya perubahan variabilitas iklim tersebut mempengaruhi
kelangsungan hidup, pertumbuhan, reproduksi, rekrutmen dan distribusi individu dalam suatu
spesies, tetapi dampaknya juga dapat ditampilkan pada tingkat populasi, komunitas, atau seluruh
ekosistem.
Fenomena ENSO dianggap sebagai penyebab utama untuk variabilitas iklim interanual di
seluruh dunia. Kondisi ekonomi di banyak banyak negara, terutama di daerah tropis, tergantung
pada kehadiran dan intensitas fenomena ini (Lehodey et al 2006.). Namun pada dasarnya sejak
atmosfer dan samudera mencapai bentuknya seperti yang sekarang ini, maka interkasi antara
lautan dan atmosfer yang menghasilkan fenomena baik El Nino dan La Nina telah berlangsung
secara rutin denga rata-rata empat tahun hingga lima tahun sekali. Jika ditinjau dari gaya fisika
yang mendasari proses interaksi antara lautan dan atmosfer yang menghasilkan fenomena
tersebut, maka El Nino dan La Nina merupakan proses alam yang tanpa kaitan dengan pengaruh
ulah manusia. Maka tidak ada upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mempengaruhi
selain menanggulangi akibat yang dapat ditimbulkan dengan cara prediksi yang mampu
mengetahui gejala fenomena tersebut. (Ilahude dan Nontji, 1999)

II. EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)


El Nino atau ENSO (El Nino Southern Oscillation) adalah gejala anomali suhu permukaan
laut (SPL) Samudera Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi dari pada ratarata normalnya. Nama El Nino diambil dari bahasa spanyoL yang artinya anak laki-laki. Karena
lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung maka penyimpangan kondisi laut
ini menyebabkan penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirmya berakibat pada
terjadinya penyimpangan iklim. Adapun perbedaan antara kondisi normal SPL dan pada saat El
Nino terliaht pada gambar berikut,

(a)
(b)
Gambar 1. Kondisi SPL normal (a) dan kondisi SPL saat kejadian El Nino (sumber : NOAA)
Pada saat kondisi normal, SPL di sekitar Samudera Pasifik ekuator bagian barat dekat
Indonesia umumnya hangat dan proses penguapan mudah terjadi sehingga pembentuka awan
serta hujan dapat terjadi. Namun ketika fenomena El Nino terjadi, SPL di Pasifik ekuator bagian
tengah dan timur menjadi hangat dan sebaliknya pasifik barat dekat Indonesia mendingin,
sehingga membuat wilayah di sekitarnya mengalami musim kemarau berkepanjangan.
Pada tahun 1997-1999 merupakan tahun yang paling intens yang pernah tercatat di daerah
tropis Pasifik Timur dan memiliki dampak terbesar pada cuaca global. Pada saat peristiwa El
Nino berlangsung, terjadi penurunan aktifitas upwelling yang hampir mendekati kondisi
downwelling di wilayah perairan Pasifik bagian timur disekitar perairan Mexico (Gambar 2.)
akibat melemahnya angin pasat timur yang bertiup sepanjang ekuator Pasifik. Hal ini
mengakibatkan kenaikan SPL di kawasan tersebut.

(a)
(b)
Gambar 2. Peristiwa El Nino (a) dan kondisi normal/La Nina (b). (sumber : Brooks/Cole)

Sedangkan pada saat kondisi normal angin pasat umumnya bergerak secara keseluruhan dari
timur sehingga terjadi upwelling di wilayah perairan Pasifik timur dekat Mexico.
Fenomena El-Nino diamati dengan menganalisis data-data atmosfer dan kelautan yang
terekam melalui weather buoy yaitu suatu alat perekam data atmosfer dan lautan yang bekerja
otomatis dan ditempatkan di samudra. Di samudra pasifik, setidaknya saat ini terpasang lebih
dari 50 buah buoy yang dipasang oleh lembaga penelitian atmosfer dan kelautan Amerika
(National Oceanic and Atmospheric Administration-NOAA) sejak 1980-an.

Gambar 3. Lokasi weather buoy yang terpasang sepanjang Samudera Pasifik (sumber : NOAA)
Dari data buoy yang terpasang sepanjang Samudera Pasifik (Gambar 3) tersebut kemudian
dikembangkan perhitungan maupun indeks untuk memudahkan dalam memprediksi terjadinya El
Nino seperti SOI (Southern Oscillation Index) dan Nino 3.4 Index (Gambar 4). Nilai SOI
dikatagorikan berdasarkan besarnya penyimpangan SPL antara kawasan Darwin dan Tahiti yang
menyebabkan perubahan tekanan udara diatasnya dari nilai rata-ratanya. Perubahan tekanan
udara tersebut terbaca melalui Indeks Osilasi Selatan yang menyatakan semakin negatif nilai SOI
semakin kuat intensitas El Nino. Nino 3.4 merupakan salah satu parameter yang diamati terkait
dengan variabilitas iklim di wilayah Indonesia dimana Nino 3.4 tersebut merupakan salah satu
lokasi pengamatan buoy di Samudera Pasifik yakni 5N5S,120170W (Gambar 3). Menurut
Trenberth (1997), perubahan nilai SST di daerah tersebut dapat mengakibatkan penyimpangan
iklim di sekitar pantai barat Peru dan di wilayah Indonesia. Lebih jelas lagi dikatakan bahwa
anomali SST di sekitar region Nino 3.4 yang mempunyai nilai 0.4 C selama 5 bulan atau lebih
dapat menyebabkan El Nino (Tresnawati, R. dkk. 2010)

(a)
(b)
Gambar 4. Posisi Nino 3.4 (a) dan grafik SOI (sumber : NOAA)

Menurut Swarinoto et al (2007), dalam kurun waktu 1971 2000 telah terjadi El Nino pada
tahun: 1972, 1974, 1982, 1986, 1992, 1994 dan 1997, sementara tahun tahun La Nina terjadi
pada: 1973, 1975, 1988, 1995, 1998 dan 1999. Analisis anomali SPL menunjukan bahwa
simpangan positif SPL yang signifikan (lebih panas) di Laut Jawa umumnya bertepatan dengan
periode La Nina, yaitu pada tahun: 1973, 1995 dan 1998. Sedangkan simpangan negatif yang
signifikan (lebih dingin), umumnya bertepatan dengan periode El Nino, yaitu pada tahun: 1974,
1982, 1986, 1994 dan 1997.
III. LA NINA
Berkebalikan dengan El Nino, La Nina merupakan anomali kondisi cuaca dimana terjadi
penurunan SPL di wilayah perairan ekuator Pasifik Timur dan peningkatan SPL di ekuator
Pasifik Barat. Pada saat terjadi La Nina angin pasat timur yang bertiup di sepanjang Samudra
Pasifik menguat. Sehingga massa air hangat yang terbawa semakin banyak ke arah Pasifik Barat.
Akibatnya massa air dingin di Pasifik Timur bergerak ke atas dan menggantikan massa air
hangat yang berpindah tersebut, yang biasa disebut upwelling. Dengan pergantian massa air
itulah suhu permukaan laut mengalami penurunan dari nilai normalnya. Fenomena La Nina
biasanya juga disebut sebagai kondisi normal setelah terjadi El Nino dikarenakan kondisi normal
dengan kondisi saat terjadi La Nina tidak jauh berbeda. Adapun perbandingan antara kejadia El
Nino dan La Nina dapat dilihat pada gambar berikut

(a)
(b)
Gambar 5. Kondisi SPL pada saat La Nina (a) dan pada saat El Nino (b) (sumber : NOAA)
IV. SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL)
SPL merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena
suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organismeorganisme tersebut. (Prasetya dkk, 2011) sehingga SPL juga dapat dijadikan sebagai salah satu
indikator wilayah kesuburan ikan yang dapat dijadikan sebagai kawasan penangkapan ikan
(Kunarso dkk, 2011). Selain itu SPL merupakan salah satu parameter yang penting untuk
mempelajari variasi musim, fenomena iklim seperti El Nino, dan juga Indian Ocean Dipole yang
selanjutnya dapat lebih memahami perubahan iklim (Cahyarini, 2013).
Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor seperti presipitasi, evaporasi,
kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang terjadi didalam kolom
perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan
air laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang

dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden dan Hayes (1991) dalam Jumiarti
(2014), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 C pada lapisan permukaan
hingga kedalaman 10 meter dan hanya kira-kira 0,12 C pada kedalaman 10- 75 meter. Raharjo
dan Sanusi (1983) dalam Jumiarti (2014) menyatakan bahwa suhu air laut terutama pada lapisan
permukaan ditentukan oleh pemanasan matahari yang intensitasnya berubah-ubah setiap waktu.
SPL dapat diperoleh melalui pengukuran langsung atau dengan ekstraksi data satelit
penginderaan jauh. Penggunaan data penginderaan jauh akan lebih cepat, efektif, efisien dan
dapat mencakup wilayah cakupan yang lebih luas bila dibandingkan dengan pengukuran
langsung yang membutuhkan biaya dan tenaga lebih banyak, sedangkan wilayah cakupan relatif
tidak luas. Dengan telah diluncurkannya satelit AQUA MODIS yang membawa sensor
multikanal Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) diharapkan informasi
SPL yang diperoleh dapat lebih baik dan akurat. Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36 kanal
spektral yang bekerja pada kisaran gelombang visible dan infra merah (1-19 dan 26) dan termal
pada kanal-kanal selebihnya. Penelitian terdahulu tentang SPL lebih sering menggunakan citra
National Oceanic and Atmospheric Administration- Advanced Very High Resolution
Radiometer (NOAA-AVHRR) yang memiliki resolusi lebih rendah dari pada citra AQUA
MODIS (Prasetya dkk, 2011).
Pengukuran suhu air laut secara manual dapat di ukur dengan menggunakan Reversing
Thermometer. Sedangkan secara otomatik dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan CTD
(Conductivity Temperature Depth) baik di permukaan dan secara vertikal pada tiap interval
kedalaman yang diinginkan. Ketelitian pengukuran suhu baik Reversing Thermometer maupun
CTD untuk keperluan penelitian di laut sebaiknya 0,01 C atau 2 (dua) angka dibelakang koma, dan
hal ini merupakan syarat yang penting untuk kisaran suhu air laut di perairan tropis seperti di
Indonesia, yang variasinya sangat kecil, sekitar 3 derajad di permukaan air laut, yaitu antara 28 30
C. Cara lain dalam menghitung SPL adalah berdasarkan pengukuran dengan sensor dan pelampung
(buoy) yang mengukur secara in-situ secara terus menenus. Peralatan tersebut adalah dikenal dengan
TRITON Buoy (Gambar 6). Pembuatan TRITON buoy (Triangle Trans-Ocean buoy Network),
merupakan salah satu metode pengukuran data in situ dengan menggunakan pelampung (buoy) dan
jangkar (anchor) diletakkan pada suatu titik yang strategis dalam mengukur parameter-parameter
perairan laut sehingga dapat menghemat waktu, biaya dan tenaga untuk survey mendapatkan data in
situ ke lapangan (Hartoko dan Sulistya, 2010).

Gambar 6. Triton Buoy (sumber : jamstec.go.jp)

V. PENGARUH EL NINO DAN LA NINA TERHADAP BIOTA LAUT


Pada dasarnya peristiwa El Nino dan La Nia ditandai dengan kuat tidaknya angin pasat
Timur yang bertiup sepanjang Pasifik ekuator dan pola suhu permukaan laut. Akibat adanya
anomali kondisi angin pasat timur dan SPL tersebut mempengaruhi pola upwelling dan
downwelling pada sebagian wilayah perairan Pasifik ekuator khususnya bagian timur Pasifik
ekuator.
Fenomena upwelling merupakan proses naiknya massa air laut dari lapisan lautan dalam ke
lapisan permukaan yang menyebabkan suhu permukaan menjadi dingin, memiliki salinitas tinggi
dan kaya akan nutrient. Pada saat El Nino 1997-1998, terjadi penurunan aktifitas upwelling di
perairan ekuator pasifik timur yang menyebabkan SPL meningkat namun kurang nutrient, hal ini
dapat dilihat dengan adanya penurunan konsentrasi klorofil-a selama terjadi El Nino (Gambar
7a). Sedangkan kelimpahan fitoplankton sebagai produsen dasar pembentuk rantai makanan
harus membutuhkan nutrient dan sinar matahari. Akibatnya fitoplankton berkurang dan biota
lainnya yang kedudukan di rantai makanan lebih tinggi seperti ikan akan mati ataupun berpindah.

(a)
(b)
Gambar 7. Konsentrasi klorofil-a pada saat El Nino (a) dan La nina (b) tahun 1997-1998
(sumber : biologyeducation.net)
Adapun penelitian tentang pengaruh fenomena El Nino dan La Nina terhadap kehidupan
biota laut telah banyak dilakukan oleh para peneliti nasional maupun internasional, dengan
penelitian tersebut dapat diketahui bagaimana El Nino dan La Nina mempengaruhi tingkah laku,
sistem reproduksi, hingga perkembangan dan tingkat kesuburan dari berbagai biota laut di
beberapa Samudera khususnya Samudera Pasifik dan Hindia bagian Timur. Berikut hasil dari
beberapa penelitian terkait pengaruh El Nino dan La Nina terhadap biota laut :
1. Pengaruh Fenomena El Nino dan La Nina pada reproduksi kerang batu (Hyotissa
Hyotis) di Pulau La Ballena, Teluk California, Mexico. (Garcia et al, 2011).
Pada tahun 1997 hingga 1999, di teluk California anomali suhu positif teramati hingga
3o C pada saat El Nino dan anomali negatif lebih -1.0o C selama La Nina. Mempelajari
bagaimana perubahan lingkungan mempengaruhi reproduksi jenis kerang laut sangat penting
karena telah banyak yang mendokumentasikan bahwa suhu dan ketersediaan pangan
merupakan faktor paling penting yang mempengaruhi variasi musiman dalam kegiatan
reproduksi oraganisme tersebut. Adapun Penelitian ini meneliti efek dari fenomena El Nino
1997-1998 dan La Nina 1998-1999 terhadap siklus reproduksi H.hyotis melalui perubahan
suhu permukaan laut dan ketersediaan pangan.

Penelitian ini dilakukan pada sampel dari populasi liar yang dikumpulkan dalam
kawsaan terumbu tiram di perairan Pulau La Ballena (24 29 '20 "N, 110 24' 31" W)
menggunakan metode Indeks Gonadosmatik (GSI), analisis korelasi ranks Spearman yang
menguji antara keterkaitan suhu, GSI dan proporsi individu dewasa dan pemijahan. Data di
ambil dari sample kerang liar dan suhu muka laut di dapatkan dari NOAA
Hasil dari GSI dan analisis histology menunjukkan bahwa reproduksi H.hyotis
merupakan proses musiman dimana tahap tidak terdiferensiasi terjadi selama musim dingin
dan pemijahan pada musim panas. Namun, ternyata perubahan suhu mempengaruhi
reproduksi tersebut. Respon fisologis dari banyak oragnisme banyak dipengaruhi oleh suhu
dan ketersedian makanan yang secara langsung atau tidak bertindak untuk me-restart atau
mempertahankan mekanisme jam internal yang berpengaruh pada metabolism dan
pertumbhan serta pola reproduksi.

(a)

(b)
Gambar 8. (a) Rata-rata SPL bulanan dan anomali SPL dari Januari 1997 Desember 1999
di pulau La Ballena Teluk California, Mexico. El Nino di mulai pada bulan Mei 1997 hingga
Oktober 1998 (anomali positif), La Nina pada bulan November 1998 hingga November
1999 (anomali negatif). (b) Hubungan antara tahap pematangan dan pemijahan Hyotissa
hyotis dengan GSI dan SPL dari Januari 1997 hingga Desember 1999 di Pulau La Ballena,
Teluk California, Mexico.
Dalam penelitian ini frekuensi pemijahan lebih tinggi teramati pada El Nino dari pada saat
La Nina, namun periode pemijahan lebih lama pada saat La Nina. Puncak pemijahan selama
El Nino adalah 91.7 % pada Agustus 1997 dengan suhu 30.8oC dan 80% pada September
1998 dengan suhu 29oC. Dari peneltian ini membuktikan bahwa kejadian iklim memiliki
dampak nyata pada tahap reproduksi dimana selama El Nino, kondisi lingkungan yang

menguntungkan menyebabkan interval antara tahap reproduksi untuk mempersingkat dan


gonad untuk pemulihan dengan cepat sehingga mempercepat munculnya tahap matang. Pada
sisi lain, konsentrasi Klorofil menunjukkan pola yang berbeda selama El Nino dan La Nina.
Rata-rata, maksimum dan minimum pigmen lebih rendah selama El Nino dibandingkan La
Nina.
Kesimpulan penelitian ini menyatakan bahwa Intensitas pemijahan H.hyotis meningkat
selama El Nino dan menurun selama La Nina dan suhu merupakan faktor utama yang
mengatur aktivitas pemijahan. Selain itu, Index Gonadosomatik merupakan indikator
aktivitas gametogenik dan ketersediaan pangan terkait dengan perkembangan gonad.
2. Pengaruh ENSO pada tingkah laku ikan Peruvian Anchoveta (Bouchon et al, 2002)
Ekosistem pelagis di laut Peru ditandai dengan produktivitas yang tinggi yang ditopang
oleh pengembangan biomasa besar beberapa spesies, yang paling penting adalah ikan teri
(Peruvian Anchoveta). Dominasi ini terkait dengan kondisi lingkungan yang khas. Kejadian
fenomena El Nino 1997-1998 di laut Peru mempengaruhi situasi umum sumber daya
pelagis, terutama ikan teri, penurunan populasi dari 5,8 juta ton pada Mei 1997 sampai 1,2
juta ton pada September 1998. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan dampak
dari El Nino pada perilaku ikan teri di laut Peru dengan penekanan pada tingkat
penangkapan, distribusi dan konsentrasi, struktur ukuran dan aktivitas di industri sebagai
indikator utama.
Penelitian ini menggunakan data hasil tangkapan dan hasil pemantauan nelayan
terhadap pergerakan ikan teri Peru selama tahun 1997 1998. Dari hasil data tersebut di
dapakan penangkapan ikan teri menunjukkan penurunan yang cukup signifikan selama El
Nino 1997-1998 (Gambar 9), dengan dua tahap dalam pengembangan perikanan. Yang
pertama, pada saat awal El Nino, dengan dominasi penangkapan ikan teri, terutama karena
pendekatan ikan ke pantai. Tahap kedua terlihat penurunan drastis penangkapan ikan teri
dan munculnya spesies pelagis lain seperti sarden, makarel jack, makarel kuda dan ikan teri
hidung panjang.

Gambar 9. Hasil tangkapan ikan teri Peru selama El Nino


Selama El Nino 1997-1998 ikan teri menunjukkan variasi dalam distribusi, konsentrasi
dan ketersediaannya pada suatu kawasan. Akibat adanya pemanasan pada kawasan laut Peru
akibat adanya El Nino, ikan teri Peru teramati terkonsentrasi di wilayah 20 mil laut dari
pantai yang menunjukkan perpindahan ke selatan (Gambar 10). Kemudian, pada musim

gugur tahun 1998, perubahan dalam proses migrasi dari sekelompok ikan teri diamati,
dengan gerakan dari selatan ke utara tetapi dalam kepadatan yang rendah.

Gambar 10. Distribusi ikan teri Peru di Laut Peru pada saat El Nino 1997
Sebagai efek dari pemanasan suhu permukaan laut selama El Nino 1997-1998 teramati
adanya kondisi tidak nomal dari kumpulan ikan teri Peru. Dalam kondisi normal, ikan teri
pada umumnya berada pada lapisan permukaan antara 0 dan 30 meter. Namun akibat adanya
perubahan kedalaman termoklin, kelompok ikan tersebut terdeteksi 10 meter di bawah
kisaran normalnya bahkan mencapai kedalaman rata-rata 60 meter pada Mei 1997.
Dilihat berdasarkan struktur ukurannya, ikan teri menunjukkan dominasi orang dewasa
selama fenomena El Nino. Sehubungan dengan variabilitas ukuran sesuai dengan kondisi
homogenisasi individu antara 15 dan 16 cm (panjang rata-rata) diamati pada awal El Nino.
Sedangkan pada umumnya tingkat dewasa dapat mencapai 20 cm dengan pada saat
bereproduksi pada usia 1 tahun mencapai panjang 10 cm.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fenomena El Nino membuat kelompok
ikan Peruvian Anchoveta tersebut bermigrasi ke selatan dan berenang lebih dalam akibat
perairan yang hangat serta kurangnya makanan sehingga produksi ikan tersebut menurun
sangat drastis dilokasi dimana umumnya dia berada.
3. Dampak Fenomena El Nino Pada Penangkapan Ikan Tuna di Samudera Hindia.
Fenomena El Nio berhubungan dengan perubahan fisik dan biologis di lautan yang
mempengaruhi kelimpahan ikan dan distribusinya. Hasil analisis perikanan dan variabel
lingkungan menunjukkan bahwa distribusi tuna dan kelimpahannya berkaitan erat dengan
perubahan fisik di laut. Suhu Permukaan Laut (SPL), anomali SPL, pergerakan arus,
konsentrasi oksigen terlarut, pencahayaan, kecepatan angin, kedalaman lapisan
pencampuran (mixing layer), upwelling dan ketersediaan pangan merupakan faktor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan, dan zona konvergensi.
Telah banyak penelitian yang menggunakan data statistik perikanan tuna dengan
menyelediki hubungan antara kelimpahan tuna dengan parameter kelautan yang berbeda di
beberapa Samudera utama. Tentu saja, memahami bagaimana lingkungan laut
mempengaruhi distribusi spesies tuna merupakan langkah penting menuju manajemen
berbasis ekosistem perikanan, yang semakin menjadi kebutuhan dasar dalam kebijakan

manajemen (Pillai dan Satheeshkumar 2013). Penelitian ini menggunakan lokasi di


Samudera Hindia karena efek dari peristiwa ENSO pada hasil tangkapan Tuna Mata besar
telah dipelajari dengan baik di barat Samudera Pasifik (Miller, 2007) tetapi kurang dipelajari
di Samudera Hindia.
Penelitian ini dilakukan pada wilayah selatan Jawa yang mencakup antara 6 - 16 S dan
104 - 126 E (Gambar. 1B) dimana wilayah ini merupakan wilayah lautan yang memiliki
dinamika arus dan sitem gelombang yang cukup kompleks.

(A)
(B)
Gambar 1. (A) Domain penelitian. (B) Domain penelitian di Samudera Hindia bagian timur
(EIO) selatan Jawa. Pada gambar B, sistem gelombang dan arus di EIO selatan Jawa
ditandai dengan garis putus-putus untuk arus selatan jawa (SJC), garis padat untuk Arus
Lintas Indonesia (ITF), tanda strip dan 2 titik untuk gelombang Kelvin Samudera Hindia
(IOKWs), garis dengan strip dan 1 titik untuk Gelombang Rossby (RW), dan garis putusputus untuk Arus Samudera Hindia Selatan Ekuator (SEC).
Menggunakan data panangkapan ikan dan data satelit penginderaan jauh. Data hasil
tangkapan Tuna Mata besar dan data lingkungan penginderaan jauh untuk periode 19972000 yang telah dianalisis. Data ini termasuk komponen ENSO dari El Nio (April 1997 Mei 1998) dan La Nia (Juli 1998 - Juni 2000). Data pengindraan jarak jauh menggunakan
data anomali tinggi muka laut (SSHA), Suhu Permukaan Laut (SPL) dan konsentrasi
klorofil-a.
Untuk data perikanan, data tangkapan untuk Tuna Mata besar diperoleh dari logbook
nelayan yang disediakan oleh PT Perikanan Nusantara, sebuah perusahaan yang didirikan
pemerintah Indonesia, di Benoa, Bali. Data tersebut termasuk posisi penangkapan (lintang
dan bujur), hari operasional, berat ikan (dalam kilogram), jumlah kapal, jumlah kait, dan
jumlah ikan yang ditangkap per bulan selama 1997-2000. Dari kumpulan data ini, tingkat
tangkapan Mata besar Tuna dinyatakan sebagai persentase dari tingkat kait atau Hook Rate
(HR). HR dihitung sebagai jumlah ikan tertangkap (individu / bulan) per 100 kait. HR, oleh
karena itu, menunjukkan berapa banyak tuna yang terhubung per unit dari 100 kait rawai,
dan HR dapat disebut sebagai tangkapan per unit usaha. Data pengindraan jarak jauh seperti
SSHA di dapatkan dari Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic
Data (AVISO), data SPL dari Physical Oceanography Distributed Active Archive Center
(PODAAC) dan Konsentrasi klorofil-a dari Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor
(SeaWiFS).
Adapun untuk mengetahui keadaan El Nino dan La Nina, penelitian ini menggunakan
Indeks Nino 3.4 sebagai indeks ENSO dengan indikator berdasarkan SPL. Indeks ini
merupakan rata-rata anomali SPL di daerah yang dibatasi oleh 5 N sampai 5 S dan 120 -

170 W (Gambar 4a). Indeks Nio 3.4 telah didownload dari NOAA Climate Prediction
Center (http://www.cpc.ncep.noaa.gov).
Selain itu, metode yang gunakan adalah koefisen catchability (koefisien hasil
tangkapan) dimana catchability didefinisikan sebagai proporsi ikan yang tersedia dalam
populasi yang akan ditangkap oleh unit usaha penangkapan. Catchability tergantung pada
distribusi usaha penangkapan sehubungan dengan distribusi spesies sasaran (Ellis dan Wang,
2007). Koefisien catchability didefinisikan sebagai proporsi dari total ketersediaan yang
diambil oleh satu unit usaha (Haddon, 2011). Unit usaha yang digunakan untuk perhitungan
tarif tangkapan rawai adalah jumlah kait, sebagai akibat dari perubahan perlengkapan (Ward
dan Meyers, 2004). Penelitian ini menghitung koefisien catchability untuk semua bulan
selama 1997-2000.
Penelitian ini fokus pada cara-cara di mana variabilitas iklim mempengaruhi kondisi
oseanografi dan tingkat tangkapan Mata besar Tuna di EIO luar Jawa. Untuk mendapatkan
penjelasan lebih rinci tentang karakteristik spatiotemporal dari parameter oseanografi, kami
menerapkan fungsi ortogonal empiris (EOF). Analisis lebih lanjut dilakukan dengan model
aditif umum (GAM) untuk menguji hubungan antara kondisi oseanografi dan tingkat
tangkapan Mata besar Tuna. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami
bagaimana tingkat tangkapan Mata besar Tuna di EIO off Jawa dipengaruhi oleh peristiwa
ENSO.
Tingkat tangkapan dari Mata besar Tuna bervariasi pada rentang skala waktu dan
tampaknya dalam kaitannya dengan perubahan lingkungan. Perubahan kondisi oseanografi
pada saat ENSO mengakibatkan variasi pada tangkapan Tuna Mata besar, dengan rata-rata
HR 0,67 selama El Nino 1997-1998. Pada saat La Nina 1999-2000, dengan rata-rata 0,44
HR, kurang menguntungkan bagi tangkapan.

Gambar 11. (A) Variabilitas dalam tingkat


tangkapan Tuna Mata besar (Thunnus
obesus) di Samudera Hindia bagian timur
dari Jawa oleh presentasi dari tingkat kait
(HR) (garis utuh) dan SST anomali dari
indeks Nio 3.4 selama 1997-2000 (garis
putus-putus). El Nio dan La Nia peristiwa
diidentifikasi ketika rata-rata indeks Nio
3.4 melebihi + 0,5 C untuk El Nio atau 0,5 C untuk La Nia setidaknya 5 bulan
berturut-turut. El Nio ditunjukkan dengan
bar hitam di bagian atas grafik ini, dan acara
La Nia ditunjukkan oleh bar berwarna abuabu di atas. (B) Jumlah kait dikerahkan (bar
abu-abu) dan variasi time series dari
koefisien catchability (garis utuh) selama
1997-2000. (C) Variasi musiman Tuna Mata
besar HR di 1997-2000. Bar abu-abu
merupakan
monsun
tenggara
(MeiOktober), dan bar putih mewakili monsoon
barat laut (November-April).

Penelitian ini telah menunjukkan efek kondisi oseanografi ENSO diinduksi pada tingkat
tangkapan Mata besar Tuna di EIO selatan Jawa. Pola spatiotemporal dalam kondisi
oseanografi ditunjukkan oleh EOF, dikombinasikan dengan hasil GAM, menunjukkan
bahwa 1997-1998 El Nio memiliki efek positif pada tingkat tangkapan Mata besar Tuna di
EIO selatan Jawa.

Gambar 12. Di sebelah kiri, gambar nilai rata-rata selama 3 bulan yang diperoleh dari
penginderaan jauh data Samudera Hindia bagian timur dari Jawa selama El Nio
(September, Oktober, dan November 1997) dengan 3 parameter. (A) tinggi muka laut
(SSHA), (B) suhu permukaan laut (SPL), dan (C) klorofil-a (CHL-a). Di sebelah kanan,
gambar nilai rata-rata selama 3 bulan yang diperoleh selama acara La Nia (Februari, Maret,
dan April 1999) dengan 3 parameter yang sama: (D) SSHA, (E) SST, dan (F) konsentrasi
klorofil-a.
Mode EOF lebih menonjolkan bahwa skala waktu interannual dan musiman merupakan
faktor utama yang mempengaruhi variabilitas arus laut di daerah penelitian. Analisis EOF
juga memberikan bukti untuk efek 1997-98 El Nio pada EIO di lepas pantai selatan Jawa
(Gambar 12) yang dominan adalah SSHA negatif, SPL mendingin, dan konsentrasi klorofila tinggi sehingga membuat hasil tangkapan tuna meningkat dibandingkan pada saat La Nina
1998-1999. Dalam hal ini variabel lingkungan, binomial GAM menegaskan bahwa SST
adalah faktor utama yang mempengaruhi hasil tangkapan Tuna Mata besar.

VI. KESIMPULAN
Dari uraian diatas, berdasarkan hasil penelitian dari beberapa peneliti terkait pengaruh
fenomena El Nino dan La Nina terhadap biota laut maka dapat disimpulkan bahwa pada
umumnya faktor yang paling mempengaruhi kehidpuan biota laut adalah adanya perubahan suhu
pada permukaan laut. Dimana pada saat terjadi El Nino dan La Nina, parameter yang menjadi
indikatornya adalah perubahan anomali suhu permukaan air laut. Sehingga pengamatan serta
penelitian tentang faktor yang mempengaruhi perubahan suhu permukaan laut sangat penting

dilakukan karena selain dapat mengetahui perubahan kondisi atmosfer, juga dapat mengetahui
pola tingkah laku dan kehidupan biota air laut.

REFERENSI
Bouchon, M., Diaz, E., Cahun, S., Ochoa, M. 2002. Effects of "El Nio" 1997-98 on the
Schooling Behaviour of the Peruvian Anchovy (Engraulis ringens). Investigaciones Marinas,
ISSN- 0717-7178
Cahyarini, S.Y. 2011. Rekonstruksi Suhu Permukaan Laut Periode 1993 - 2007 Berdasarkan
Analisis Kandungan Sr/Ca Koral dari Wilayah Labuan Bajo, Pulau Simeulue. Jurnal
Geologi Indonesia, Vol. 6 No. 3 September 2011: 129-134
Gracia-Dominguez, F., Arellano-Martinez, M., Garcia-Cuellar, J., Lopez-Rocha, J., DupratBertazzi, G., Villalejo-Fuerte, M., and Tripp-Quezada, A. 2011. Reproductive cycle of the
rock oyster, Hyotissa hyotis (Linn 1758) (Mollusca, Bivalvia, Gryphaeidae) during El Nio
1997-98 and La Nia 1998-99 events at La Ballena Island, Gulf of California, Mexico.
PANAMJAS.
Hartoko, A. Sulistya, W. 2010. Meteorologi dan Sifat Lautan Indonesia. Pustaka Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Illahude, A.G, Nontji, A. 1999. Oseanografi Indonesia dan Perubahan Iklim Global (El Nino
dan La Nina). Makalah Lokakarya, Jakarta. 18-19 Mei 1999. Diselenggarakan oleh
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Irawan, B. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecendrungan Jangka Panjang
dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 24
No.1
Jumiarti, Pratomo, A., Apdillah, D. 2014. Pola Sebaran Salinitas Dan Suhu Di Perairan Teluk
Riau Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal UMRAH.
K Kunarso, S Hadi, NS Ningsih, MS Baskoro. 2012. Variabilitas Suhu dan Klorofil-a di Daerah
Upwelling pada Variasi Kejadian ENSO dan IOD di Perairan Selatan Jawa sampai Timor.
Indonesian Journal of Marine Sciences 16 (3), 171-180.
Lehodey P, Alheit J, Barange M, Baumgartner T, Beaugrand G, Drinkwater K, Werner F. 2006
Climate variability, fish, and fisheries. J Clim 19(20):50095030
Prasetya, BH., Sukojo, BM., Jaelani, LM. 2011. Modifikasi Algoritma Avhrr Untuk Estimasi
Suhu Permukaan Laut (Spl) Citra Aqua Modis. Perpustakaan ITS.
Suwarinoto, Y., Kartiningsih, Y. 2007. Kondisi Suhu Muka Laut Teluk Jakarta dalam Tahun
Normal, El Nino, La Nina (Studi Kasus Tahun 1996, 1997 dan 1998). Buletin Meteorologi
dan Geofisika Vol.3 No. 4
Syamsuddin, L., Saitoh, S.I., Hirawake, T., Bachri, S., Harto, A.B. 2013. Effects of El NioSouthern Oscillation events on catches of Bigeye Tuna (Thunnus obesus) in the eastern
Indian Ocean off Java. Fishery Bulletin, 111 (2013), pp. 175188
Tresnawati, R., Astuti Nuraini, T., Hanggoro W. 2010. Prediksi Curah Hujan Bulanan
Menggunakan Metode Kalman Filter Dengan Prediktor sst Nino 3.4 Diprediksi, Jurnal
Meteorologi dan Geofisika Vol. 11 No.2.
Trenberth. 1997. The Definition of El Nino. Bulletin of the American Meteorological Society
http://www.biologyeducation.net
http://www.nasa.gov/

http://sphere.ssec.wisc.edu/
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/Artikel/Sejarah_Dampak_El_Nino_di_Indonesia
.bmkg
http://www.bom.gov.au/climate/enso/
http:/www.cgd.ucar.edu/cas/ENSO/enso/

Nama
NIM
Mata Kuliah
Dosen Pengajar

: Ahmad Fadlan
: 2602114420018
: Dinamika Oceanografi dan Remote sensing
: Prof. Agus Hartoko

Anda mungkin juga menyukai