Anda di halaman 1dari 23

BUMN MEMBANGUN DESA (UNHAS-KPDT-ANTAM)

PROPOSAL
PENYUSUNAN PERENCANAAN
PROGRAM BUMN MEMBANGUN DESA
I. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Pengembangan dan pelaksanaan program community development PT.


Antam (persero) Tbk UBPN Sulawesi Tenggara, selanjutnya disebut Antam,
selama ini telah memberi ruang partisipasi masyarakat dan pemangku-pemangku
kepentingan (stakeholder). Realisiasi berbagai program corporate social
responsibilty (CSR) sudah terlaksana sebagai bagian dari strategi Antam untuk
terus tumbuh dan berkembang seperti yang tertuang dalam salah satu misi untuk
mencapai Visi Antam 2020 yaitu berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, terutama disekitar wilayah operasi, khususnya pendidikan dan
pemberdayaan ekonomi.
Melalui CSR, perusahaan telah berkontribusi terhadap pembangunan
masyarakat sekitar dengan mengalokasikan sejumlah anggaran dari biaya
operasional maupun keuntungan perusahaan setiap tahunnya untuk membiayai
berbagai program pengembangan masyarakat (community development) dan
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitar daerah operasi perusahaan. Di samping itu,
pencapain visi melalui misi mempertahankan/meningkatkan hubungan dan pola
kerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten juga sudah berjalan baik.
Dalam konsep Antam, CSR terpahami sebagai perwujudan komitmen
kepada keberlanjutan (sustainability) perusahaan yang tercermin ke dalam triple
bottom line 3P yaitu profit, planet, dan people. Bahwa keberlangsungan hidup
perusahaan hanya akan terjadi apabila perusahaan menaruh kepedulian terhadap
pertumbuhan ekonomi, kepedulian terhadap pengembangan konservasi
lingkungan dan kepedulian terhadap pengembangan sosial. Searah dengan
perkembangan perusahaan, bisnis harus memberikan kontribusi terhadap tiga hal
tersebut. Karena pada dasarnya keberlanjutan adalah keseimbangan antara
kepentingan ekonomi, lingkungan, dan masyarakat. Untuk mempercepat target
pencapaian Visi 2020 dan pencapaian komitmen CSR Antam, sebuah upaya yang
lebih komprehensif dan terfokus diperlukan dengan melibatkan semua
stakeholder pembangunan di wilayah operasi Antam.
Penanggulangan kemiskinan dan kemandirian masyarakat/desa di sekitar
wilayah tambang menjadi salah satu tantangan yang dihadapi Antam dibalik
indikasi kemajuan dalam program-program community development dan PKBL
(program unggulan dan program utama). Hal itu menjadi penting karena
kemadirian sebuah desa dan masyarakatnya tidak akan tercapai apabila hanya
mengandalkan kemajuan ekonomi dan infrastruktur semata.
Menjadi sebuah keniscayaan bahwa tertanggulanginya kemiskinan dan
kemandirian sebuah desa tidak bisa diharapkan tuntas melalui dorongan
pertumbuhan ekonomi semata. Terdapat batas kemampuan dari pertumbuhan
ekonomi untuk bisa berefek menetes ke bawah (trickle down effect) bagi
1

keluarnya rumah tangga miskin dari perangkap kemiskinannya. Karena itu,


diperlukan pendekatan selain pertumbuhan ekonomi tersebut, dalam hal ini
pemberdayaan masyarakat. Artinya, bila dorongan pertumbuhan ekonomi yang
telah diupayakan oleh Antam selama ini dikomplementasi dengan pemberdayaan
masyarakat, maka penanggulangan kemiskinan dan kemandirian desa diekspektasi
akan lebih efektif.
Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, upaya penanggulangan
kemiskinan lebih difokuskan pada peningkatan kemampuan (capability building)
dan perbaikan penguatan kelembagaan (institutional strengthening) yang
memungkinkan orang miskin lebih dapat memanfaatkan potensi diri dan
lingkungannya dalam memecahkan masalah dan kebutuhannya. Fokus dari
pemberdayaan bukan hanya perubahan pada orang miskin tetapi juga perubahan
pada lingkungannya baik terkait sumberdaya maupun kelembagaan.
Sinergitas antara pemerintah akademisi swasta (private public
partnership) berdampak pada komunitas dan efek keberlanjutan karenanya
diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dan menjadikan masyarakat
sebagai pelaku utama (subyek) dalam kerangka pemberdayaan partisipatoris yang
difasilitasi melalui pendekatan introduksi teknologi dan optimalisasi lingkungan.
Konsep ini diimplementasikan melalui pengelolaan dana CSR yang melibatkan
Unhas KPDT Antam dengan basis komunitas pada dua belas desa (12) area
ring satu. Pendekatan ini selain penekanannya pada introduksi teknologi juga
mendampingi masyarakat menjadi wirausahawan- wirausahawan (entrepreneur)
di tingkat lokalitas.
Lingkungan terkecil dari realitas kemiskinan adalah desa. Pada tingkat
desa realitas kemiskinan terkonstruksi unsur-unsur lokalitasnya, selanjutnya desa
tersebut berinterkoneksi dengan desa lainnya. Gambaran ini membawa
pemahaman bahwa sebuah daerah pada hakekatnya adalah jalinan interkoneksi
lokalitas-lokalitas desa, dan dibalik jalinan interkoneksi itulah kemiskinan
terwujudkan.
Pada wilayah area eksploitasi tambang Antam terdapat dua belas (12) desa
yang ada di area ring satu merupakan desa yang sangat dekat dan bersinggungan
langsung dengan aktifitas pertambangan. Karena itu, dalam program CSR,
pendekatannya tidak hanya meniscayakan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga
pendekatan pemandirian desa. Dengan sinergi pemberdayaan masyarakat dan
pemandirian desa yang didalamnya berinterkoneksi unsur entitas manusia dalam
kelembagaan sosialnya dan sumberdaya/potensi ekonominya, dapat diekspektasi
terkembangkan dan terbentuknya penjelmaan teknostruktur lokalitas desa dalam
mengelola potensi lokalitasnya menghasilkan energi ekonomi kehidupannya.
I.2. Tujuan
Tujuan dari program ini adalah mengoptimalkan upaya penanggulangan
kemiskinan berbasis kemandirian desa melalui penemuan dan penciptaan Produk
Unggulan Desa (PruDes) dengan pendekatan introduksi teknologi berbasis potensi
desa, pendekatan partisipatoris dalam pemberdayaan, bantuan penanganan dan

pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, kesehatan, dan pendidikan), dan penyadaran


kepedulian lingkungan (pemanfaatan, keberlanjutan, dan konservasi).
I.3. Sasaran
Sasaran yang hendak diwujudkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:
(1) Meningkatnya teknostruktur (teknologi dan kelembagaan) masyarakat desa
dalam merencanakan dan mengelola potensi desanya sesuai tuntutan
dinamika perkembangannya.
(2) Berkembangnya kelembagaan (organisasi dan aturan main) tingkat desa yang
memberi ruang bagi akses dan kontrol bagi orang miskin baik laki-laki
maupun perempuan dalam pengelolaan sumberdaya internal desa.
(3) Terbukanya peluang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam mengakses dan
menjadi pelaku utama pada proses introduksi dan alih teknologi,
pemberdayaan masyarakat, bantuan sosial, dan rehabilitasi lingkungan yang
dilakukan melalui pendekatan partisipatoris (participatory approach).
(4) Terbukanya jaringan kelembagaan desa dalam mengakses sumberdaya dan
memasarkan produk pada tingkat supra desa. Sehingga teridentifikasi potensi
produksi (production) pada tahun I, tercipta pasar (market) tahun II,
terbangun jaringan (networking/chanelling) di tahun III, dan terlaksana
proses posisi tawar (bargaining position) masyarakat dampingan pada tahun
IV, dan Tahun V terciptanya mekanisme pasar yang sehat, terbuka, dan
kompetitif.

I.4. Luaran
Luaran kegiatan yang diharapkan untuk mencapai sasaran-sasaran di atas adalah:
(1) Tersedianya dokumen perencanaan program yang lahir melalui pendekatan
partisipatoris dalam konsep pemberdayaan masyarakat sesuai karakteristik
program/kegiatan yang dikembangkan berdasarkan karakteristik dan potensi
desa.
(2) Dokumen perencanaan program yang terwarnai upaya pemberdayaan
masyarakat sesuai karakteristik program/kegiatan tersebut.
(3) Dokumen perencanaan fasilitasi desa-desa tidak berdaya berbasis
pembelajaran sosial untuk pemberdayaan masyarakat dilengkapi kerangka
sinerginya dengan program/kegiatan Antam dan SKPD tingkat kabupaten dan
provinsi yang berbasis rekayasa sosial untuk tahun 2012;
(4) Dokumen kerangka monitoring dan evaluasi program dan kegiatan untuk
tahun 2012 dan 2013.

II. KERANGKA KONSEPTUAL

II.1. Pemberdayaan Masyarakat


Paling tidak terdapat lima alasan mengapa program pemberdayaan masyarakat
pada tahap advanced yang terjadi di Pomalaa sekarang ini dianggap penting untuk
segera dilakukan, yaitu:
1. Melalui pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan akselerasi transformasi
sosial dari masyarakat tidak berdaya (masyarakat miskin) menjadi masyarakat
berdaya, selanjutnya menjadi masyarakat mandiri (termasuk desa mandiri)
kemudia ditransformasi menjadi masyarakat madani.
2. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya konstruktif menuju penegakan
good governance
3. Melalui siklus pemberdayaan masyarakat akan tumbuh rasa tanggung jawab
dan rasa memiliki (ownership) atas program yang dijalankan sehingga
keberlanjutan program dapat dijamin. Hasil ini terjadi karena pembangunan
direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai sendiri oleh warga komunitas.
4. Pemberdayaan masyarakat memberi efek pada penguatan eksistensi komunitas
dalam hal kesadaran kritis, daya organisir diri, dan interkoneksitas dengan
pilar pemerintah dan dunia swasta dalam suatu sistem kemasyarakatan lokal
(local societal system)
5. Melalui pemberdayaan masyarakat akan terjadi peningkatan kemampuan
(capability building) dan penguatan kelembagaan (institutional strengthening)
komunitas melalui pembelajaran berdasarkan pengalaman
Transformasi Sosial
Strategi intervensi yang bisa dilakukan agar masyarakat miskin segera
keluar dari ketidakberdayaannya adalah melalui proses akselarasi transformasi
sosial. Upaya transformasi sosial perlu dilakukan untuk menciptakan desa mandiri
sekaligus masyarakat yang mandiri. Transformasi sosial ini dilakukan melalui
tahapan-tahapan capaian, keseluruhan tahapan tersebut adalah proses transformasi
dari desa/masyarakat miskin (tidak berdaya) menuju desa/masyarakat mandiri
(berdaya) sampai masyarakat madani.Tahapan awal dari proses transformasi
tersebut adalah terciptanya kesadaran kritis masyarakat lokal. Terciptanya
kesadaran kritis ini dapat dilihat pada adanya kesadaran masyarakat terhadap
kondisi keterbelakangan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan dan
menemukenali masalah yang ada.
Tahapan selanjutnya adalah upaya penguatan kelembagaan masyarakat
lokal (organisasi masyarakat desa). Kondisi ketidakberdayaan masyarakat lokal
adalah karena kurang maksimalnya fungsi organisasi masyarakat yang ada, oleh
karena itu diperlukan suatu upaya penguatan kelembagaan masyarakat. Dengan
4

penguatan organisasi masyarakat lokal yang ada, maka masyarakat dapat


melakukan perencanaan program-program pembangunan desa.
Tahapan berikutnya adalah upaya untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya (R), Organisasi (O) dan Nilai-nilai atau aturan (N) dan interkoneksi
diantara ketiganya. Setiap desa memiliki karakteristik R-O-N masing-masing.
Dengan kualitas R-O-N yang baik maka kemitraan antara pihak Antam, Pemda,
dan Masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang ada menjadi dasar utama
terciptanya Masyarakat dan Desa Mandiri.

Good Governance
Dengan bergulirnya otonomi daerah, diharapkan desa/kelurahan
menjalankan peran pembangunan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik dan bersih (clean and good governance). Hal ini hanya dapat terjadi
apabila tiga pilar tata pemerintahan, menjalankan peran dan fungsinya masingmasing. Ketiga pilar itu adalah pemerintah desa/kelurahan, warga masyarakat
(citizen) dan kalangan usaha/swasta (private sector).
Apabila salah satu pilar dari tata pemerintahan itu timpang, maka akan
sulit tercapai tata pemerintahan yang baik. Warga masyarakat perlu bersikap
mengkoreksi jalannya pemerintahan desa/kelurahan dan pembangunan sebagai
warga yang baik. Sebaliknya pemerintah desa/kelurahan menerima masukan
masyarakat sebagai bagian dari keterbukaan dan tanggung gugatnya. Sedangkan
kalangan usaha/swasta berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi lokal dengan
membuka peluang kerja, menjalankan kewajiban seperti membayar pajak,
memperhatikan kelestarian lingkungan, dan menjalankan tanggung jawab sosial
lainnya.
Ketiga pilar tersebut harus berjalan bersama dengan kekuatan bersama
yang seimbang menuju visi yang sama, yaitu terciptanya masyarakat yang
sejahtera. Berjalan bersama mengandung arti bahwa masing-masing memiliki
peran dan orientasi yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama yaitu
masyarakat yang sejahtera, atau masyarakat madani.

Peran pemerintah beriorientasi kepada pelayanan maksimum melalui


penciptaan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil, pemberlakuan
peraturan yang efektif dan berkeadilan, penyediaan pelayanan publik yang efektif
dan accountable, penegakan HAM, dan penyediaan standar kesehatan dan
keselamatan publik. Sedangkan, swasta beriorientasi pada keuntungan maksimum
untuk dapat menjalankan industri, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong
perkembangan ekonomi.
Selanjutnya, masyarakat beriorientasi kepada kegunaan maksimum dari
sumberdaya yang dimiliki dengan memberikan peluang yang sama kepada
anggota masyarakat agar hak-haknya terpenuhi, dan dapat melakukan kontrol
sosial dan check & balance pemerintah, mempengaruhi kebijakan publik dan
pengembangan sumberdaya manusia. Kekuatan bersama yang seimbang
bermakna bahwa ketiga pilar tersebut memiliki kesetaraan, sehingga jika misalnya
pemerintah terlalu berkuasa maka perlu ada power sharing di mana masyarakat
diberdayakan untuk ikut mengambil keputusan; tidak sepenuhnya ditentukan oleh
negara atau pemerintah.

Dalam konteks power sharing, ada kewenangan berbeda antara pemerintah


dan masyarakat dalam penyediaan barang, yang berimpilkasi pada penegasan
kapan masyarakat bertindak sebagai pelaku dan kapan sebagai partisipan. Dalam
hal penyediaan barang dan jasa murni publik, seperti pertahanan keamanan,
hubungan luar negeri, penegakan hukum, dan semacamnya, pemerintah
merupakan pelaku utama, sedangkan masyarakat ikut berpartisipasi untuk
mensukseskan peran tersebut. Sebaliknya, untuk urusan penyediaan barang dan
jasa murni individu atau privat, masyarakat menjadi pelaku utama, sedangkan
pemerintah ikut berpartisipasi.
Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan
pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur, mulai dari perencanaan,
pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaannya, masyarakat menjadi pelaku

utama. Agar pelaksanaan peran masyarakat tersebut berjalan dengan baik maka
perlu diakukan tindakan-tindakan berikut:
1. Pengembangan kelembagaan masyarakat dan pengorganisasian masyarakat.
Pengembagan kelembagaan masyarakat diperlukan agar peran tersebut tidak
dilakukan secara individu melainkan secara bersama sehingga efisien dan
efektif serta sistematis dan terstruktur, pada akhirnya maksimum utilities dapat
diwujudkan.
2. Peningkatan kekuatan masyarakat agar terwujud power sharing. Masyarakat
perlu mengetahui hak dan kewajibannya relatif terhadap hak dan kewajiban
kedua pilar pembangunan yang lain. Ini akan menghindari misalnya
munculnya over power dari pemerintah, atau penyalahgunaan hak oleh swasta,
dan melembaganya fungsi kontrol masyarakat
3. Pemberdayaan Masyarakat. Peran ini dilakukan oleh pemerintah dan swasta
agar kompetensi setiap anggota masyarakat dalam melaksanakan perannya
dalam kelompok kebersamaan meningkat. Pemberdayaan dilakukan sesuai
kebutuhan dan kondisi suatu masyarakat. Karena kondisi dan kebutuhan
masyarakat unik, maka tidak ada pedoman yang berlaku umum tentang
bagaimana pemberdayaan dilakukan, melainkan pedoman umum kepada
fasilitator pendamping tentang bagaimana mengenali kondisi masyarakat
bersama masyarakat untuk selanjutnya diputuskan secara bersama langkahlangkah perumusan kebutuhan dan langkah-langkah pemberdayaannya.
Partisipasi dan Perasaan Memiliki
Pembangunan partisipatif menjadi model yang sangat efektif dalam upaya
membangun kesadaran masyarakat sekaligus menata kembali tatanan sosial yang
ada. Pembangunan partisipatoris ini merupakan model pembangunan yang
melibatkan komunitas pemanfaat sebagai pelaku utama untuk secara aktif
mengambil langkah langkah penting yang dibutuhkan untuk memperbaiki hidup
mereka.
Pembangunan partisipatoris ini juga merupakan koreksi dan sekaligus
model pembangunan yang memadukan dua ancangan yaitu ancangan dari atas,
dimana keputusan-keputusan dirumuskan dari atas dan ancangan dari bawah, yang
menekankan keputusan di tangan masyarakat yang kedua-duanya memiliki
kelemahan masing-masing. Dengan kata lain pembangunan partisipatoris tidak
berarti meniadakan peran pelaku luar; ahli, pemerintah, dan lainnya tetapi
mendudukkan mereka sebagai fasilitator dan katalis dalam suatu proses yang
sepenuhnya dikendalikan oleh masyarakat pemanfaat.
Pembangunan partisipatoris ini mengembangkan ancangan
ketiga dengan cara menggabungkan keuntungan dan membuang
kerugian masing-masing ancangan; top down dan bottom up

sehingga diperoleh ancangan ketiga yang disebut ancangan


partisipatoris yang mempertemukan gagasan makro yang
bersifat top down dengan gagasan mikro yang kontekstual dan
bersifat bottom up. Ancangan ini memungkinkan dilakukannya
perencanaan program yang dikembangkan dari bawah dengan
masukan dari atas. Pola pembangunan dengan "ancangan
partisipatoris" disebut pembangunan partisipatoris, yang akan
menghasilkan pembangunan "mikro" yang tidak terlepas dari
konteks "makro".
Peran
pelaku
eksternal
(fasilitator)
dalam
pola
pembangunan partisipatoris bukan untuk mengambil alih
pengambilan
keputusan
melainkan
untuk
menunjukkan
konsekuensi dari tiap keputusan yang diambil masyarakat
sehingga keputusan yang diambil akan rasional. Proses
pengenalan persoalan, perumusan kebutuhan, perencanaan dan
pemrograman, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan
merupakan kesepakatan bersama antar pelaku pembangunan
yang terlibat (pemerintah, swasta dan masyarakat), dimana
seluruh proses pembangunan sekaligus merupakan proses
belajar bagi tiap pihak yang terlibat.
Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai "katalis
pembangunan"
dan
masyarakat
sebagai
"klien"
yang
diberdayakan dan difasilitasi agar mampu berperan sebagai
"pelaku utama" untuk memecahkan persoalan mereka melalui
hasil kerja mereka sendiri.
Penguatan Eksistensi Komunitas dan Penyadaran Kritis
Struktur ketimpangan terjadi di masyarakat terjadi ketika
segelintir orang yang memiliki akses dan kontrol besar terhadap
sumber-sumber kekuasaan, dibandingkan orang yang lain,
sedangkan orang yang dirugikan disebut sebagai kelompok
terpinggirkan atau kelompok lemah. Pemberdayaan adalah
upaya yang ditujukan untuk orang atau sekelompok orang yang
mempunyai akses dan kontrol yang terbatas/terpinggirkan
terhadap berbagai sumber kekuasaan. Tujuan pembedayaan
adalah untuk mengembangkan struktur masyarakat yang
seimbang dan adil.

Di tingkat komunitas lokal, pemberdayaan paling tidak


dapat memiliki tiga makna yakni, pertama adalah proses
pengembangan hubungan yang lebih setara, adil, dan tanpa
dominasi di suatu komunitas. Pemberdayaan memerlukan proses
penyadaran
kritis
masyarakat
tentang
hak-hak
dan
kewajibannya.
Pemberdayaan
juga
memerlukan
proses
pengembangan kepemimpinan lokal yang egaliter dan memiliki
legitimasi pada rakyatnya. Kedua, proses untuk memberi
daya/kekuasaan kepada pihak yang lemah, dan mengurangi
kekuasaan kepada pihak yang terlalu berkuasa sehingga terjadi
keseimbangan.
Ketiga,
pembagian
kekuasaan
antara
kepemimpinan lokal dengan masyarakat secara adil. Pembagian
kekuasaan yang adil berarti adalah penyelenggaraan sistem
demokrasi di tataran komunitas.
Dalam wacana pembangunan, mengapa terminologi
partisipasi sangat melekat dengan terminologi pemberdayaan?
Apakah pengembangan partisipasi berarti dengan sendirinya
adalah
proses
pemberdayaan?
Ataukah
pengembangan
partisipasi harus disertai dengan proses pemberdayaan? Dalam
kenyataannya,
pengembangan
partisipasi
tidak
selalu
demokratisasi, karena ada jenis-jenis partisipasi yang bersifat
teknis/instrumental. Karena itu, partisipasi teknis tidak dapat
dihubungkan
dengan
pemberdayaan
karena
proses
pemberdayaan jelas tidak akan terjadi tanpa adanya agenda
demokratisasi komunitas. Sebab, pengembangan partisipasi bisa
saja dijalankan tanpa pemberdayaan. Partisipasi juga tidak selalu
mendorong proses pemberdayaan. Sama seperti konsep
partisipasi,
konsep
pemberdayaan
seringkali
dikebiri
pemaknaannya menjadi teknis. Pemberdayaan seringkali
diartikan
sebagai
peningkatan
kemampuan
(bahkan
keterampilan) masyarakat yang tidak dalam konteks perubahan
komunitas dan demokratisasi.
Pemberdayaan adalah proses yang sangat politis, karena
berhubungan dengan upaya mengubah pola kekuasaan dan
mereka yang bekerja dengan kerangka pemberdayaan berarti
menantang kelompok pro status quo yang pastinya tidak begitu
saja bersedia melakukan perubahan (dalam arti power sharing).
Proses pemberdayaan selalu memerlukan proses demokratisasi,
9

atau sebaliknya, proses demokratisasi selalu memerlukan proses


pemberdayaan. Pengembangan demokrasi hanya akan berhasil
jika masyarakat berhasil mengidentifikasi hal-hal yang tidak
bersifat demokratis dan secara bertahap melakukan perubahan
terhadapnya
agar
menjadi
lebih
demokratis.
Hal
ini
membutuhkan kesadaran masyarakat mengenai adanya aktoraktor yang sangat berkuasa, di berbagai level yang berbeda,
yang memiliki kepentingan dan kemungkinan besar akan
menolak usaha-usaha perubahan tersebut.
II.2.

Desa Mandiri

Pemberdayaan masyarakat menjadi keniscayaan dalam


penanggulangan kemiskinan, karena komunitas adalah wadah
paling substantif bagi orang miskin dalam memenuhi kebutuhan
dan memecahkan masalahnya (Freidman, 1992). Menurut Sen
(2000), sejarah pembangunan di negara berkembang telah
ditandai oleh penurunan kemampuan secara psikologis, sosialekonomi dan politis pada entitas komunitas, baik karena
pelemahan oleh negara melalui pembangunannya yang
otoritarian ataupun tokenisme maupun karena pelemahan oleh
pasar melalui mekanisme harga yang tidak fair. Pemberdayaan
masyarakat dengan demikian adalah konsekuensi logis dari
proses deprivasi yang berlangsung sekian lama.
Komunitas dipandang saluran sosial bagi orang miskin
untuk
keluar
dari
kemiskinannya
melalui
mekanisme
kebersamaan yang berlangsung didalamnya, khususnya terkait
dengan barang/jasa yang basis pengelolaannya adalah ruang
komunalitas. Sama halnya dengan pasar yang menjadi saluran
ekonomi bagi orang miskin untuk keluar dari kemiskinannya
melalui mekanisme harga yang berlangsung didalamnya,
khususnya
terkait
dengan
barang/jasa
yang
basis
pengelolaannya adalah ruang swasta. Sama pula halnya dengan
pemerintah yang menjadi saluran publik bagi orang miskin untuk
keluar dari kemiskinannya melalui mekanisme kebijakan yang
berlangsung didalamnya, khususnya terkait dengan barang/jasa
yang basis pengelolaannya adalah ruang publik.
Artinya,
dibalik
keniscayaan
akan
pemberdayaan
masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan, perubahan pada
10

eksistensi pemerintah dan pasar guna mendukung keberdayaan


masyarakat tersebut juga merupakan keniscayaan. Bila tiga
saluran ini berfungsi dengan baik dalam memfasilitasi rumah
tangga miskin untuk keluar dari kemiskinan, maka pada titik
itulah kerangka kepemerintahan yang baik memberikan
kontribusi optimalnya dalam upaya reduksi kemiskinan (Billah,
2000).
Terdapat tiga unsur yang bekerja dalam suatu sistem sosial
desa didalam desa tersebut berfungsi sebagai wadah
pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah warga miskin.
Pertama, unsur sumberdaya (resources/R), yakni segala potensi
pada diri orang miskin dan lingkungan komunitasnya, baik
berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya
finansial dan sumberdaya fisik yang dapat dikelola dalam
memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah kemiskinan.
Kedua, unsur organisasi (organizations/O), yakni entitas pelaku
yang mengelola sumberdaya tersebut, baik berupa individu
rumah
tangga,
kelompok/gabungan
individu,
organisasi
sukarela/komunal, maupun organisasi perusahaan. Ketiga, unsur
norma (norms/N), yakni basis nilai serta prinsip/aturan yang
menjadi acuan bagi pelaku dalam menjalankan pengelolaan
sumberdaya. Efektivitas R-O-N dalam mendorong perubahan
sangat ditentukan oleh interkoneksinya satu sama lain (Ohama,
2006). R-O-N adalah tiga serangkai unsur pembangunan yang
perlu diperhatikan dalam memformulasi program/kegiatan
maupun dalam menganalisis potensi masyarakat yang akan
menerima manfaat program/kegiatan pembangunan.
Setiap entitas desa memiliki tiga unsur (R-O-N) tersebut,
tetapi jumlah
dan pola interkoneksi diantara ketiganya
bervariasi antar desa sesuai pengalaman desa tersebut dalam
menghadapi dinamika perubahan yang pada gilirannya
memanifestasikan kualitas teknostruktur masing-masing desa.
Karena
itu,
proses
pemberdayaan
masyarakat
untuk
penanggulangan kemiskinan meniscayakan penghantaran tiga
unsur untuk berkomplementasi dengan unsur yang sudah ada
dalam entitas desa, sedemikian rupa sehingga unsur yang
dihantarkan dengan unsur yang sudah ada berkomplementasi
satu
sama
lain,
dan
dengan
komplementasi
itulah
11

karakteristik/identitas desa dalam menjalani perubahan tetap


terpelihara.
Secara metodologis, pemahaman atas komplementasi R-ON
meniscayakan
komplementasi
pula
dalam
desain
program/kegiatan pembangunan. Sebuah program/kegiatan
pembangunan yang bisa berefek pada keberdayaan masyarakat
seyogianya terdiri dari tiga proses yang berkomplementasi satu
sama lain (Ohama, 2006) yakni: (1) pendidikan penyadaran
(conscientization)
untuk
membenahi
unsur
N
(berupa
pendampingan pemahaman potensi lokal, pemetaan swadaya,
penyusunan dan implementasi rencana, monitoring dan evaluasi,
dan refleksi pengalaman); (2) pengorganisasian masyarakat
(community organizing) untuk membenahi unsur O (fasilitasi
pembentukan kelompok, pengembangan organisasi komunitas,
pengembangan jaringan, pengembangan kolaborasi multipihak);
(3) penghantaran sumberdaya (resources delivery) untuk
membenahi unsur R (berupa pelatihan SDM, bantuan
peralatan/teknologi, bantuan modal/finansial, pembangunan
sarana/prasaran fisik).
Dalam program BUMN Membangun Desa ini diasumsikan
bahwa daerah adalah suprastruktur desa yang dari sana saluran
kebijakan bekerja untuk menghantarkan unsur keberdayaan (RO-N) bagi penanggulangan kemiskinan di tingkat desa. Dengan
demikian, pemberdayaan yang dilakukan pemerintah dan
perusahaan selama ini lebih bermakna mensinergikan unsur
keberdayaan yang dihantarkan program/kegiatan pemerintah
dan perusahaan dengan unsur keberdayaan yang sudah ada
dalam mekanisme masyarakat.
Agar sinergi antara unsur keberdayaan yang dihantarkan
pemerintah dan perusahaan dengan unsur keberdayaan yang
terdapat dalam desa dapat berjalan optimal dan berkelanjutan,
maka secara metodologis pilihan strategi perubahan yang
ditempuh adalah sinergi antara dorongan perubahan berbasis
pembelajaran sosial (social learning) dengan dorongan
perubahan berbasis rekayasa sosial (social enginering).
Dorongan perubahan berbasis pembelajaran sosial lahir secara
bottom-up dari pendampingan pada masyarakat, dorongan
perubahan berbasis rekayasa sosial lahir secara top-down dari
12

arahan teknokratik program/kegiatan SKPD dan program CSR


perusahaan.
Menurut Friedmann (1987), perencanaan pada domain
publik memang melibatkan dua jenis pengetahuan yang
diaplikasikan dalam mendorong perubahan yakni pengetahuan
ilmiah (scientific based knowledge) untuk perencanaan yang
bersifat arahan sosial (social guidance planning) oleh pemerintah
dan pengetahuan berbasis pengalaman (experience based
knowledge) untuk perencanaan yang bersifat transformasi sosial
oleh prakarsa/swadaya masyarakat.
Perubahan melalui pembelajaran sosial diasumsikan
berlangsung karena adanya proses belajar berdasarkan
pengalaman (experience based learning process) yang terjadi
pada warga miskin dan komunitasnya dalam memenuhi
kebutuhan dan memecahan masalah lokal. Warga miskin dan
komunitasnya difasilitasi untuk mengalami identifkasi masalah
dan kebutuhan, merencanakan tindakan dalam mengatasi
masalah dan kebutuhan berdasarkan potensi lokal, menjalankan
implementasi
rencana,
memanfaatkan
hasil-hasil
dari
implementasi rencana, serta mengambil pelajaran dari rangkai
siklus pengalaman tersebut. Melalui rangkaian mengalami itulah
kesadaran ditumbuhkan, nilai dan norma diapresiasi dan
dibangun bersama, wadah kelembagaan diperkuat, pengetahuan
dan teknologi dikembangkan dan sumberdaya lokal dikelola dan
dipelihara.
Perubahan
melalui
rekayasa
sosial
diasumsikan
berlangsung karena adanya arahan program/kegiatan yang
disusun secara teknokratik oleh perusahaan dan pemerintah
dalam
perwujudan
visi.
Perusahaan
dan
Pemerintah
menggunakan teori dan model ilmiah didalam mengidentifikasi
dan memprioritisasi masalah/isu strategis terkait visi dan arahan
kebijakan untuk mencapai visi tersebut. Melalui implementasi
program/kegiatan tersebut sumberdaya dihantarkan kedalam
entitas desa serta pengetahuan, sikap dan keterampilan warga
desa
diubah
dalam
kerangka
untuk
mensukseskan
program/kegiatan tersebut.
Sinergi antara rekayasa sosial dengan pembelajaran sosial
dalam program BUMN Membangun Desa ini merupakan konsep
13

utama yang melatari setiap upaya dorongan perubahan bagi


penanggulangan
kemiskinan
berbasis
pemberdayaan
masyarakat dan pemandirian desa. Melalui rangkaian fasilitasi
untuk pembelajaran sosial, warga miskin dan komunitasnya
diharapkan dapat eksis sebagai pelaku atas perubahan yang
didorong bukan sekedar penerima manfaat, sehingga akses dan
kontrol terhadap R-O-N internal semakin terkuatkan serta
jaringan untuk akses terhadap R-O-N eksternal semakin berjalan.
Sementara itu, melalui rangkaian arahan rekayasa sosial,
pihak perusahaan dan pemerintah daerah diharapkan semakin
efektif-efisien dalam menghantarkan R-O-N bagi warga miskin
dan komunitasnya pada setiap desa. Pertemuan sinergis antara
R-O-N berbasis pembelajaran sosial dengan R-O-N berbasis
rekayasa sosial inilah yang diharapkan mendorong kemandirian
desa dan keberdayaan masyarakat dalam penanggulangan
kemiskinan tanpa teralienasi dari eksistensi entitas supra
strukturnya yakni pemerintah provinsi dan kabupaten.
III. MEKANISME PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1. SKEMA SIKLUS KEGIATAN
Siklus pelaksanaan kegiatan tingkat komunitas secara umum terbagi enam (6)
tahapan seperti terlihat pada gambar berikut ini:

Tahapan Siklus Kegiatan :


1. Persiapan dan penguatan fasilitator
14

2.
3.
4.
5.
6.

Pemetaan Sosial dan Pemetaan Potensi R-O-N


Pengorganisasian Kelompok
Perencanaan Partsipasipatif (RPJM Desa)
Pelaksanaan Program
Monitoring Evaluasi Program

Pada saat yang sama di tahun 2012 sudah mulai ada penyiapan
implementasi produk unggulan di 12 Desa sasaran sebagai kegiatan pilot berupa
empat produk: Pertanian (gula-tebu, coklat) Peternakan (Ternak dan Unggas), dan
Perikanan (penyiapan alat tangkap set net Jappa)
1. Persiapan dan Penguatan Fasilitator
Kebaradaan fasilitator sebagai pelaksana program sekaligus sebagai agen
pemberdayaan dan agen perubahan menempati posisi strategis bagi keberhasilan
sebuah program. Fasilitator BUMN Membangun Desa diharapkan selain memiliki
kemampuan teknis sesuai teknologi yang diintroduksi juga berkompetensi dalam
penyadaran, pengorganisasian, fasilitasi perencanaan dan implementasi kegiatan
berbasis komunitas melalui RPJM Desa. Oleh karena itu, persiapan dan penguatan
fasilitator menjadi penting dalam mengawali program.
Pada tahapan ini fasilitator melalui pelatihan khusus dipersiapkan untuk
melakukan proses sosialisasi awal di tengah masyarakat. Pendekatan kepada
setiap tokoh masyarakat dan kelompok strategis perlu dilakukan secara terencana,
intens, berkala, dan terukur. Munculnya kesadaran warga masyarakat akan
pentingnya implementasi program ini sedini mungkin dimulai dari tahap ini,
sehingga kesadaran ini dapat menjadi pondasi yang kuat bagi proses-proses
berikutnya. Dalam kerangka itu, maka, komunikasi dengan warga masyarakat
perlu terus dijaga dan dilakukan dengan memanfaatkan forum-forum warga yang
sudah ada seperti masjid dan tempat ibadah lainya. Pertemuan-pertemuan
informal lainnya juga sangat efektif dan perlu tetap dimediasi dan diprakarsai
untuk mendapatkan informasi awal yang akan sangat berguna pada tahapan
selanjutnya.
Untuk memunculkan kepedulian warga masyarakat terhadap diri dan
lingkungannya, dilakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat, mereka diajak
untuk melihat dan mengamati lebih dekat lingkungan sekitar mereka. Bagaimana
realitas warga masyarakat dan lingkungan mereka saat ini. Permasalahanpermasalahan yang mereka kemukakan tentunya berasal dari berbagai aspek
kehidupan sosial. Dan dari permasalahan tersebut kita akan mendapatkan sebuah
potret sosial masyarakat dan lingkungannya.
2. Pemetaan Sosial dan Pemetaan Potensi R-O-N
Pemetaan sosial dan pemetaan potensi R-O-N merupakan upaya untuk
membantu pelaku pembangunan menghimpun informasi secara cepat dan akurat.
Proses pemetaan ini merupakan salah satu upaya untuk membenahi unsur N

15

sebagai bentuk pendidikan penyadaran melalui pendampingan pemahaman


potensi lokal dan pemetaan swadaya sekaligus serta menjadi bahan penyusunan,
implementasi rencana, monitoring evaluasi, dan refleksi belajar dari pengalaman.
Dalam konteks perencanaan pembangunan, kedua pemetaan itu
merupakan bagian paling elementer untuk menentukan kerangka strategi
operasional pembangunan. Kedua aktivitas tersebut sekaligus sebagai kegiatan
potret diri bagi masyarakat dampingan secara sosial dan lingkungan. Pemetaan itu
dilakukan secara swadaya difasilitasi oleh fasilitator untuk menumbuhkan
kesadaran dan kepedulian terhadap kondisi sosial dan lingkungan sekitar.
Kegiatan ini dilaksanakan melalui serangkaian diskusi mendalam dan teknik
khusus dengan berbagai elemen komunitas termasuk tokoh-tokoh dan kelompok
strategis yang telah diidentifikasi.
Output dari pemetaan sosial dan pemetaan potensi R-O-N ini akan
diperoleh gambaran utuh tentang profil lingkungan, informasi tentang pola
hubungan sosial dan jaringan komunikasi dalam masyarakat desa. Peta kekuatankekuatan sosial yang dominan dalam masyarakat dan informasi tentang faktorfaktor strategis yang menggerakkan tindakan masyarakat.
Di samping itu, dalam pemetaan ini juga akan ditemukan alternatif media
komunikasi/informasi yang akan dipergunakan sebagai alat sosialisasi dan
diseminasi di tingkatan masyarakat, simpul-simpul kultural yang dianggap
berpengaruh di dalam perubahan-perubahan sosial, pengalaman dan pandangan
masyarakat terhadap intervensi sosial, khususnya program-program
penanggulangan kemiskinan dan informasi tentang kebiasaan masyarakat, adat
istiadat yang mempunyai potensi untuk mendukung keberhasilan program. Hal
yang tidak kalah pentingnya adalah informasi khusus mengenai keterlibatan
perempuan, dan nilai-nilai serta pola pikir masyarakat terhadap peran perempuan
dalam pembangunan baik di sektor domestik maupun sektor publik dan pola
komunikasi warga masyarakat. Semua hasil pemetaan sosial dan identifikasi
potensi R-O-N itu sekaligus menjadi ancangan bagi analisis masalah dan
kebutuhan masyarakat dampingan.
Proses pemotretan kondisi sosial dan lingkungan komunitas diharapkan
akan melahirkan kesadaran diri dan kesadaran lingkungan. Kesadaran diri akan
tercermin dari pemahaman dan sikap yang menempatkan bahwa dirinya adalah
bagian terpenting dalam pembentukan masyarakat. Kesadaran lingkungan
merupakan pemahaman dan keyakinan yang mendalam baik individu maupun
komunitas untuk menjaga, menyelamatkan dan melestarikan lingkungan yang
terwujud dalam pemikiran, sikap, dan tingkah lakunya. Kesadaran ini akan
menjauhkan dari sikap eksploitatif dan keserakahan di dalam berinteraksi dan
memperlakukan lingkungan. Kesadaran lingkungan pada pengelolaan teknologi
akan meningkatkan efisiensi dan penghematan pemakaian sumberdaya alam
dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dengan kesadaran diri dan lingkungan yang menjadi acuan berperilaku
maka sebagai bagian dari komunitas, setiap individu seharusnya mereka tidak
menjadi bagian yang menambah persoalan, tetapi merupakan bagian dari
pemecahan masalah dengan cara berkehendak untuk memelihara dan menghargai
lingkungan. Selanjutnya akan tumbuh kesadaran untuk melakukan upaya

16

perbaikan, yang dimulai dari diri sendiri. Setiap anggota masyarakat akan mampu
untuk memberikan sumbangan (baik tenaga, waktu, pikiran, ruang bagi kelompok
lain untuk berpartisipasi, dan berdemokrasi) untuk bersama-sama saling peduli,
menjaga dan memelihara lingkungan agar kehidupan bersama tetap harmonis.
Secara teknis, proses pemetaan ini dilakukan secara partisipatif. Melalui
aktivitas pemetaan, warga dalam komunitas saling berbagi informasi dalam
mengenali lingkungannya masing-masing. Tujuannya antara lain agar komunitas
memahami kondisi nyata diri dan lingkungan. Dalam kegiatan ini masyarakat
melakukan rangkaian kegiatan yang sekaligus sebagai proses belajar menggali dan
menemukan informasi kondisi nyata dari masalah, tantangan, dan potensi sosial,
ekonomi, budaya dan lingkungan. Berbagai masalah itu harus didukung oleh data
dan fakta, sehingga diperlukan proses pendalaman untuk mengumpulkan
informasi yang diperlukan.
Informasi dan fakta yang sudah didapatkan dianalisa dan dikaji bersama.
Proses ini merupakan analisa kritis terhadap berbagai kondisi yang ada
berdasarkan informasi dan fakta tadi untuk dicari sebab akibatnya termasuk
kelompok yang terkena dampak dari masalah yang ada (kelompok sasaran). Setiap
informasi yang muncul dianalisa apakah hal tersebut merupakan masalah yang
sebenarnya atau hanya merupakan gejala saja.
Tahap selanjutnya adalah merumuskan masalah yang sudah ditemukan dan
disepakati bersama dikelompokkan (pengorganisasian masalah), kemudian
dianalisa hubungan sebab akibatnya dengan kembali membuat pohon masalah
untuk menemukan akar masalah. Selama proses ini berlangsung, terjadi proses
refleksi dan analisa kritis terhadap setiap tantangan yang ditemukan.
3. Pengorganisasian Kelompok
Proses pengorganisasian kelompok merupakan bagian pendalaman proses
identifikasi dan pembenahan unsur O (community organizing) melalui fasilitasi
pembentukan kelompok, pengembangan organisasi komunitas, pengembangan
jaringan, dan pengembangan kolaborasi multipihak. Fasilitasi pembentukan
kelompok bisa dilakukan dengan memaksimalkan fungsi kelompok yang sudah
eksis selama ini bisa juga membentuk kelompok baru dengan mengedepankan
proses demokratis partisipatif dalam proses pembentukannya. Upaya lain adalah
pengembangan organisasi komunitas seperti komunitas petani, komunitas
peternak, komunitas nelayan, atau komunitas lainnya.
Pengembangan dan pembentukan organisasi komunitas pada hakekatnya
adalah upaya pengorganisasian masyarakat. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa
pengertian pengorganisasian masyarakat telah banyak disalahartikan dan
dimanipulasikan serta seringkali juga dikecilkan artinya sehingga hanya terbatas
pada membentuk organisasi atau badan hukum, jadi lebih ditekankan pada fisik
organisasi sebagai bentuk akhir dari upaya pengorganisasian masyarakat.
Pengorganisasian masyarakat mencakup hal-hal yang lebih luas dan
bersifat langkah-langkah penyadaran masyarakat terhadap kondisi dan
permasalahan yang dihadapi dan kebutuhan menggalang potensi untuk

17

memperbaiki dan mengembangkan tatanan kemasyarakatan dalam rangka


membangun komunitas yang ada agar lebih peka dan tanggap serta mampu
menjawab perubahan yang terjadi. Ini berarti komunitas yang terbentuk melalui
proses pengorganisasian masyarakat ini akan merupakan komunitas dinamis dan
mampu menjawab berbagai perubahan yang terjadi baik dari dalam maupun dari
luar.
Dengan demikian suatu komunitas bukan hanya sekedar suatu badan
hukum (legal entity) tetapi lebih merupakan himpunan antar pribadi yang saling
berinteraksi dan memiliki keterikatan atau kesalingbergantungan dan yang berakar
pada suatu tatanan budaya setempat. Pengorganisasian masyarakat ini juga
merupakan bagian dari proses membangun potensi dan kapasitas suatu kelompok
masyarakat (empowerment) agar mereka mampu secara aktif berpartisipasi dalam
pembangunan sehingga pada gilirannya akan mampu melakukan manajemen
komunitas (community management) terhadap lingkungan dan hidupnya.
4. Perencanaan Partisipatif (RPJM Desa)
Perencanaan adalah proses pengambilan keputusan untuk menentukan
tujuan kegiatan/program, memilih jenis-jenis kegiatan, menyiapkan sumberdaya
yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan yang telah dilakukan. Perencanaan
partisipatif melalui penyusunan dokumen Rencana Program Jangka Menengah
Desa RPJM Desa merupakan proses perencanaan terpadu berbasis komunitas
sebagai perwujudan perubahan paradigma dari top down yang non partisipatif ke
model bottom up yang partisipatif. Program yang berparadigma partisipatif,
diwujudkan dengan mengedepankan prinsip-prinsip kebersamaan, kesetaraan,
kepercayaan bersama baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan sampai pada
evaluasi.
Proses perencanaan partisipatif ini sekaligus sebagai media perubahan
sikap, perilaku, interaksi dan peran dari semua stakeholder suatu komunitas
menuju sebuah paradigma tentang kesadaran pentingnya merencanakan
program/kegiatan secara partisipatif dengan melibatkan semua stakeholder
pembangunan. Melalui proses ini terbangun dan terkuatkan kepedulian warga dan
solidaritas sosial, mendorong dukungan dari aparat pemerintah provinsi,
kabupaten, kecamatan dan desa. Dan yang tidak kalah pentingnya, proses ini
makin mengukuhkan komitmen perusahaan terhadap pencapaian Visi Antam 2020
yaitu berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama disekitar
wilayah operasi tambang.
Apabila penjajakan kebutuhan (need assesment) semula berkembang
sebagai wacana pengambilan keputusan publik di dalam kerangka demokrasi,
maka perencanaan pada awalnya berkembang dalam wacana pengelolaan
program. Wacana mengenai program berbasis masyarakat (people centered
approach) kemudian juga mendorong berkembangnya metodologi perencanaan
partisipatif (participatory planning approach) dengan mengembangkan proses
perencanaan dari bawah (bottom up planing).
Meskipun berbagai modifikasi dan adaptasi dilakukan untuk
mengembangkan proses partisipatif bersama masyarakat, perencanaan tetap

18

merupakan aspek pengelolaan program yang menggunakan logika dan kerangka


pikir tertentu. Perencanaan adalah proses pengambilan keputusan untuk
menentukan tujuan kegiatan/program , memilih jenis-jenis kegiatan, menyiapkan
sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan yang telah dilakukan.
Biasanya ketika bekerja dengan masyarakat, ada 3 level perencanaan yang
dilakukan yaitu : perencanaan tingkat masyarakat, perencanaan tingkat program,
dan perencanaan tingkat lembaga. Masing-masing level mengembangkan jenis
perencanaan yang berbeda dan berkaitan satu sama lain. Perencanaan di tingkat
lembaga (perencanaan program maupun perencanaan lembaga/organisasi)
dimunculkan dari kebutuhan masyarakat dampingan.
Perencanaan kegiatan merupakan proses mengembangkan rencana kerja
berdasarkan penjajakan kebutuhan yang telah dilakukan. Hasil kajian masalah dan
potensi masyarakat dijadikan bahan untuk menyusun rencana kegiatan yang
sederhana, jelas dan realistis. Artinya bentuk perencanaan ini benarbenar dapat
dilaksanakan oleh masyarakat.
Hasil rumusan masalah dan potensi-potensi, dijabarkan menjadi empat.
Pertama, penetapan prioritas masalah berdasarkan kriteria masyarakat. Kedua,
alternatif alternatif pemecahan untuk setiap masalah. Ketiga, Alternatif-alternatif
kegiatan yang bisa dilakukan sesuai dengan ketersediaan sumber daya baik lokal
maupun dari luar. Keempat, penentuan para pelaksana, penanggung jawab dan
pendamping kegiatan.
Rencana kegiatan yang dikembangkan perlu mencantumkan dengan jelas
apa, bagaimana, siapa, untuk apa, untuk siapa dan kapan akan dilaksanakan
kegiatan tersebut. Semakin konkrit dan jelas rencana yang dihasilkan semakin
besar kemungkinan rencana kegiatan dilakukan berdasarkan hasil keputusan
masyarakat. Pelaksanaan kegiatan sebaiknya diorganisir dan dipimpin oleh
anggota masyarakat sendiri, sedangkan petugas lembaga program hanya
mendampingi. Penyusunan rencana kegiatan ini juga dimaksudkan untuk
mendorong agar terjadi proses pembelajaran di dalam proses penyusunan rencana
atau kebutuhan menjadi kegiatan yang disertai dengan sumber pembiayaannya
serta tersusunnya perencanaan yang logis dan sistematis . Dalam tahapan kegiatan
ini juga diharapkan terjadi proses cek and re-ceck data dan informasi serta
konsistensi kebutuhan dan rencana kegiatan. Hal tersebut di atas merupakan
beberapa unsur perencanaan yang tercantum dalam dokumen RPJM Desa.
RPJM Desa merupakan dokumen rencana desa yang disusun untuk jangka
waktu 5 tahun. Dokumen ini harus diacu dalam pembahasan usulan kegiatan di
musrenbang sehingga sebaiknya rancangan awal RKP Desa disusun berdasarkan
dokumen ini, dipaparkan di musrenbang dan diperbandingkan dengan hasil kajian
kondisi dan persoalan desa terkini, sehingga kemudian terjadi penyesuaian
kembali. Mengapa harus menyusun RPJM Desa? Berdasarkan hasil kajian,
rencana pembangunan jangka pendek (tahunan) yang terputus-putus ternyata tidak
berdampak perubahan yang berarti. Agar rencana program berkesinambungan
diperlukan kerangka program jangka menengah untuk menjadi rujukan
penyusunan rencana kerja tahunan.
5. Pelaksanaan Program

19

Pelaksanaan program merupakan wujud dari implementasi kegiatan yang


tertuang dalam dokumen RPJM Desa pada tahun selanjutnya. Di samping itu, ada
pula pelaksanaan kegiatan paralel dengan perencanaan reguler yang dilakukan di
setiap desa. Pelaksanaan kegiatan paralel dimaksud mengacu pada hasil
identifikasi produk unggulan yang berpotensi dikembangkan pada 12 desa di area
ring satu Antam.
Produk unggulan dimaksud diinisiasi oleh masing-masing pendamping
masyarakat yang bersinergi dengan masyarakat setempat secara partisipatif. Para
pendamping ini memiliki kemampuan teknis dan kemampuan community
development. Potensi-potensi produk unggulan yang teridentifikasi dapat segera
dilaksanakan pada tahun 2012 ini.
6. Monitoring dan Evaluasi Program
Pemantauan dan evaluasi program merupakan kegiatan pengelolaan
program yang dilaksanakan untuk memantau berlangsungnya kegiatan program
secara periodik apakah berjalan sesuai dengan rencana atau tujuan yang
ditetapkan dan disepakati sebelumnya ataukah terjadi ketidaksesuaian atau ada
perubahan-perubahan. Melakukan perekaman secara sistematis mengenai
inormasi perkembangan kegiatan/program beserta analisa dan gagasan
(rekomendasi) mengenai penyesuaian/modifikasi kegiatan/program yang perlu
dibuat; biasanya dalam bentuk progress report.
Membangun tradisi kepedulian dan saling berbagi, saling memperhatikan,
saling belajar/bertukar informasi, saling mengontrol agar kebersamaa dalam
proses mencapai tujuan dapat terus dijaga sehingga aktivitas monitoring dapat
memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan di masa depan. Kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan sejak awal dipantau terus menerus untuk melihat apakah
rencana yang telah disusun bersama dilaksanakan dan hambatan-hambatan yang
terjadi pada saat pelaksanaan. Penyimpangan yang terjadi pada saat pelaksanaan
dipelajari dan diperbaiki agar tetap dapat mencapai tujuan akhir yang diinginkan.
Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk menilai apakah program
memang berjalan pada arah yang benar, mengidentifikasi permasalahan dalam
pelaksanaan program dan kegiatan, memperkirakan antisipasi yang dibutuhkan
untuk menjaga alur pelaksanaan program. Kegiatan monitoring evaluasi ini
dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin unsur
komunitas. Dalam hal ini komunitaslah yang menjadi pelaku utama, bukan
fasilitator atau pendamping (outsider).
Evaluasi merupakan kegiatan pengelolaan program, yang dilaksnakan
untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, dan relevansi program terhadap
kondisi komunitas setelah berlangsungnya program tersebut dalam suatu jangka
waktu tertentu. Mengkaji dampak program terhadap kehidupan komunitas, apakah
terjadi perubahan yang signifikan dengan adanya program.
Bagi komunitas, hasil evaluasi digunakan untuk merencanakan
pengembangan kegiatan baru yang lebih bertumpu pada kemampuan (potensi dan
sumberdaya) sendiri. Bagi lembaga pendamping, menganalisis hasil-hasil yang
dicapai untuk digunakan dalam perencanaan, penyusunan kebijakan dan strategi

20

program lembaga ke depan. Forum pengambilan keputusan masyarakat mengenai


tujuan dan kegiatan baru yang ingin dikembangkan. Aktivitas ini merupakan
pembelajaran (refleksi-aksi-refleksi) baik untuk masyarakat dampingan maupun
pendamping (fasilitator).
Kegiatan evaluasi kegiatan juga dimaksudkan sebagai proses belajar
bersama untuk menilai pencapaian hasil kegiatan, kesesuaian rencana dan
tindakan dan mengidentifikasi permasalahan yang muncul. menerus. Untuk
program ini, maka akan dilakukan evaluasi. Evaluasi setelah melihat adanya
perkembangan-perkembangan atau perubahan-perubahan yang terjadi di
masyarakat dengan adanya kegiatan, dilakukan setelah statu jangka waktu tertentu
(misal : per tahun).
Evaluasi akhir program, dilakukan antara lain untuk melihat/mengkaji
apakah tujuan program tercapai, apa saja yang sudah tercapai dan yang belum dan
mencari penyebabnya dan yang kedua adalah mengkaji pengaruh program
terhadap kesejahteraan masyarakat secara komprehensif. Pelaksanaaan evaluasi
program dilakukan sendiri oleh komunitas sebagai perencana, pelaksana dan
penerima manfaat dari setiap kegiatan secara partisipatif.

IV. PEMBIAYAAN
Mengacu pada anggaran program unggulan dari sektor pertanian, perkebunan, dan
perikanan.

21

Kecamatan Pomalaa
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Pomalaa di Kota/Kabupaten Kolaka,
Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) :
- Kelurahan/Desa Dawi-Dawi (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Hakatutobu (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Huko Huko (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Kumoro (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Oko Oko (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Pelambua (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Pesouha (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Pomalaa (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Sopura (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Tambea (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Tonggoni (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Totobo (Kodepos : 93562)

22

Anda mungkin juga menyukai