Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kenyataan, kita mengenal batas wilayah administratif (sesuai peraturan
perundangan), dan batas wilayah fungsional (sesuai hubungan sosial ekonomi lintas batas
administratif). Setiap daerah memiliki batas wilayah administratif yang ditentukan secara
formal melalui peraturan perundangan, akan tetapi dalam kenyataan berbagai masalah dan
kepentingan sering muncul sebagai akibat dari hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi
yang melewati batas-batas wilayah administratif tersebut. Dalam konteks ini, alasan utama
diperlukan kerjasama antara pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah
administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka
miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Konsekuensinya adalah harus
dilakukan pembenahan microorganizationnal abilities of governments di tingkat daerah
suatu bentuk reformasi manajemen publik yang harus diperhatikan pemerintah saat ini, dan
tidak semata membenahi macroorganizational capacities di tingkat pusat. Dengan kata lain,
pembenahan kemampuan institusi pemerintahanan di bawah pusat sangat diperlukan.
Kerjasama di era reformasi saat ini sudah tidak dapat dielakkan lagi. Melihat banyaknya
permasalahan publik yang tidak dapat diseleisaikan secara individu oleh pemerintah.
Kerjasama merupakan cara untuk mengatasi permasalahan dengan tidak hanya melihat dari
satu faktor secara lokal dan sesuai dengan tingkat kemampuan setiap daerah. Kerjasama antar
pemerintahan juga dibutuhkan dalam sebuah peningkatan pelayanan antar daerah terutama
dalam pelayanan yang melibatkan daerah yang berdekatan. Kerjasama yang pertama dijalin
adalah kerjasama antar daerah atau saling berkoordnasi dan saling mengetahui kebutuhan dan
permasalahan-permasalah di daerahnya agar dapat dibantu oleh daerah lain yang berada
dalam kerjasama.
Penerapan otonomi daerah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam
pelaksanaannya selama 12 tahun saat ini belum mencapai hasil yang diharapkan. Daerah lebih
memaknai desentralisasi pada tataran administrasi dengan isu politiknya yang lebih kental dan
cenderung mengesampingkan aspek desentralisasi ekonomi sebagai upaya peningkatan
1

kesejahteraan masyarakat. melemahnya koordinasi tingkat regional dan munculnya


egosentrisme masing-masing daerah semakin menjauhkan perhatian Pemda dari isu-isu
regional dan pembangunan daerah. Menurunnya peran provinsi sebagai wakil pemerintah
pusat menambah semakin rendahnya intensitas koordinasi manajemen regional. Kendali
perintah provinsi sebagai coordinator pembangunan lintas wilayah kabupaten/kota menurun
seiring penguatan otonomi di tingkat kabupaten/kota.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa dasar hukum kerjasama antar pemerintah daerah?
2. Bagaimana kerjasama antar pemerintah daerah?
3. Apa saja bentuk-bentuk kerjasama antar pemerintah daerah?
4. Apa saja prinsip-prinsip kerjasama antar pemerintah daerah?
1.3
Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar hukum kerjasama antar pemerintah daerah
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kerjasama antar pemerintah daerah
3. Untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk kerjasama antar pemerintah daerah
4. Untuk mengetahui dan memahami prinsip-prinsip kerjasama antar pemerintah daerah

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Hukum Kerja Sama Antar Daerah
Beberapa dasar hukum yang dijadikan pedoman kerja sama antar daerah yaitu,
diantaranya:
1. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 pasal 87 ayat 1 : beberapa daerah dapat mengadakan
kerja sama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama
2. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pasal 195 ayat 1 dan 2 :
1. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja
sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas
pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan
2. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk
badan kerja sama antar daerah yang ditur dengan keputusan bersama dan pasal 196
ayat 1, 2 dan 3 :
1. Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak limas daerah
dikelola bersama oleh daerah terkait
2. Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara
bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat
3. Untuk mengelola kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
daerah membentuk badan kerja sama
3. PP No. 25 Tahun 2000 pasal 4 butir a : kabupaten/kota yang tidak/belum mampu
melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan
tersebut melalui kerja sama antar kabupaten/kota, kerja sama antara kabupaten/kota
4.
5.
6.
7.

dengan provinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut pada provinsi


PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah
Permendagri No. 69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan
Permendagri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Kerja Sama Daerah
Permendagri No. 23 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerja
Sama Daerah
Perundangan serta peraturan di atas merupakan paying hokum yang cukup lengkap serta

landasan bagi daerah di dalam penyelenggaraan kerja sama daerah. Sehingga saat ini daerah
menjadi lebih kuat legitimasinya secara hokum ketika menjadi kerjasama daerah sebagai
strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di samping itu daerah tetap perlu mensinkronkan dengan regulasi lainnya, terutama yang
bersinggungan dengan kerja sama daerah. Seperti regulasi pengelolaan keuangan daerah,
3

pengelolaan aset dan barang daerah, pembuatan naskah daerah serta pengawasan, pembinaan
dan evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah.
2.2 Pengertian Kerja Sama Antar Daerah
Secara teoritis dan empiris, terdapat beberapa prasyarat agar kegiatan/pembangunan
ekonomi dapat mencapai kondisi optimal bila dilakukan pada skala ekonomi (economics of
scale) dan cakupan ekonomi (economics of scope) tertentu. Untuk mencapai tingkat efisiensi
skala ekonomi, efisiensi biaya, kinerja pembangunan, dan tingkat pemerataan yang optimal
dalam kerangka kebijakan desentralisasi, dibutuhkan suatu ukuran yang optimal dari Pemda
untuk pembangunan dan pelayanan publik. Hasil studi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI
(2006) menunjukkan bahwa ukuran dari Pemda, baik dengan urgensi kerjasama antar
pemerintah daerah selama ini terkait dengan peningkatan pelayanan publik, kawasan
perbatasan, tata ruang, penanggulan bencana dan penanganan potensi konflik, peningkatan
peran provinsi, isu pemekaran daerah, dan isu kemiskinan serta pengurangan disparitas
wilayah.
Kerjasama pada hakekatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang
berinteraksi atau menjalin hubungan-hubungan yang bersifat dinamis untuk mencapai suatu
tujuan bersama. Disini terlihat adanya tiga unsur pokok yang selalu melekat pada suatu
kerangka kerjasama yaitu unsure dua pihak atau lebih, unsure interaksi, dan unsur tujuan
bersama. Jika salah satu dari ketiga unsur itu tidak termuat pada suatu obyek yang dikaji,
maka dapat dianggap bahwa pada obyek tersebut tidak terdapat kerjasama. Unsur dua pihak
atau lebih biasanya menggambarkan suatu himpunan dari kepentingan-kepentingan yang satu
sama lain saling mempengaruhi sehingga berinteraksi untuk mewujudkan suatu tujuan
bersama. Jika hubungan atau interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan
masing-masing pihak (kepentingan bersama), maka hubungan-hubungan dimaksud bukanlah
suatu kerjasama. Disini terlihat bahwa suatu interaksi, sekalipun bersifat dinamis, tidak selalu
berarti kerjasama. Atau suatu interaksi yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan salah
satu pihak tetapi merugikan pihak-pihak lain, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama
senantiasa menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi itu pada posisi yang seimbang, serasi,
dan selaras (Pamudji, 1985).
Kerjasama menurut (Kusnadi, 2002), berpendapat bahwa kerjasama juga menuntut
adanya keterpaduan. Semakin besar derajat keterpaduan maka akan semakin besar pula
derajat kerjasamanya. Tanpa adanya keterpaduan maka tidak akan ada kerjasama.
4

Selanjutnya, Carmen dalam Winarso (2002), memberikan wawasan tentang kerjasama dari
berbagai perspektif, antara lain:
Mitra adalah co-owners
Pelaku kerjasama adalah contributor sekaligus pewaris
Posisi egaliter antara pelaku kerjasama
Pengedepanan prinsip hubungan horizontal, serta
Penekanan kembali bahwa mitra bukan merupakan pihak lain
Memanfaatkan sebesar mungkin keuntungan komparatif dari mitra kerjasama,

tanpa mengabaikan sama sekali potensi mitra kerjasama


Menekankan pada kepentingan bottom-up cooperation daripada top-down
cooperation yang umumnya difasilitasi pemerintah (atasan).

Ada beberapa pengertian dari daerah yaitu ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional. Sedangkan daerah dalam penulisan ini adalah daerah otonom seperti yang
dimaksud dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu Daerah Otonom, selanjutnya disebut
daerah adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Berdasarkan pengertian kerjasama dan pengertian daerah diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa kerjasama antar daerah adalah suatu kerangka hubungan kerja yang dilakukan oleh
dua daerah atau lebih yang mempunyai batas wilayah secara administrative dalam posisi
yang setingkat, seimbang dan terpadu untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Pamudji
(1985), dalam kerangka kerjasama antar daerah ini harus dihindarkan gejala egoism regional
dalam proses-proses penetapan bidang-bidang yang dikerjasamakan. Kesepakatan atas
prinsip-prinsip kerjasama yang saling menguntungkan, kesepakatan tentang objek yang
dikerjasamakan, serta cara penanganannya, susunan organisasi dan personalisasi dari masingmasing pihak yang dilibatkan sebagai penanggung jawab dalam proyek, kesepakatan tentang
biaya, serta jangka waktu kerjasama sudah harus tertuang dalam peraturan bersama yang
disetujui masing-masing pihak, kerjasama dapat dipahami sebgaia berikut:
Interaksi Kerja Sama Antar Daerah
5

Interaksi Antara A

dan B
Rugi
Tidak
Rugi/Untung
Untung

Rugi

A
Tidak Rugi/Untung

Untung

Konflik
Ketidakadilan

Ketidakadilan
Harmoni

Ketidakadilan
Ketidakadilan

Ketidakadilan
Ketidakadilan
Sumber : Tarigan, 2009

Kerja Sama

Menurut Kusnadi (2002) dan Keban (2008), kerjasama dengan demikian akan
memberikan manfaat yang besar bagi masing-masing pihak yang terlibat. Manfaat yang
dapat dipetik adanya kerjasama adalah sebagai berikut:

Kerjasama dapat mendorong adanya perlombaan di dalam pencapaian tujuan

dan peningkatan produktifitas


Kerjasama mendorong berbagai upaya pihak yang bekerja sama agar dapat

bekerja lebih produktif, efektif, dan efisien


Kerjasama mendorong tercapainya sinergi, sehingga biaya operasionalisasi dan
kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang ikut kerjasama akan menjadi semakin

rendah, yang menyebabkan kemampuan bersaing meningkat


Kerjasama mendorong terciptanya hubungan yang harmonis antar pihak terkait

serta meningkatkan rasa kesetiakawanan


Kerjasama menciptakan praktek yang sehat serta meningkatkan semangat

kelompok
Kerjasama mendorong ikut serta memiliki situasi dan keadaan yang terjadi di
lingkungannya, sehingga secara otomatis akan ikut menjaga dan melestarikan

situasi dan kondisi yang lebih baik


Pihak-pihak yang bekerja sama dapat membentuk kekuatan yang lebih baik.
Dengan kerjasama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-masing daerah
yang bekerja sama dapat disinergikan untuk menghadapi ancaman lingkungan
atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani sendiri-sendiri.
Mereka bisa bekerja sama untuk mengatasi hambatan lingkungan atau mencapai

tingkat produktivitas yang lebih tinggi


Pihak-pihak yang bekerja sama dapat lebih berdaya. Dengan kerjasama, masingmasing daerah yang terlibat lebih memiliki posis tawar yang lebih baik, atau lebih
mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang
6

lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri memperjuangkan kepentingannya, ia


mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila ia masuk emnjadi anggota suatu forum

kerjasama daerah, maka suaranya akan lebih diperhatikan


Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing daerah akan
merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparasi dalam melakukan hubungan
kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki akses yang

sama terhadap informs yang dibuat atau digunakan


Masing-masing pihak yang bekerja sama akan memelihara keberlanjutan
penanganan bidang-bidang yang dikerjasamaan. Dengan kerja sama tersebut
masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak mengkhianati partnernya

tetapi memelihara hubungan yang saling menguntungkan secara berkelanjutan


Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui kerja sama tersebut,
kecenderungan ego daerah dapat dihindari dan visi tentang kebersamaan
sebagai suatu bangsa dan negara dapat tubmbuh.

2.3 Bentuk-Bentuk kerjasama


Secara teoritis, istilah kerjasama (cooperation) telah lama dikenal dan dikonsepsikan
sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan (lihat Rosen, 1993). Kerjasama telah
dikenal sebagai cara yang tepat untuk mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of
scales). Pembelanjaan atau pembelian bersama, misalnya, telah membuktikan keuntungan
tersebut, dimana pembelian dalam skala besar atau melebihi threshold points, akan lebih
menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead
(overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing dalam investasi,
misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan seperti dalam penyediaan
fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan administrator. Kerjasama juga dapat
meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pemberian atau pengadaan fasilitas,
dimana masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas
pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi,
pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb. Kerjasama antar Pemerintah Daerah adalah suatu
7

bentuk pengaturan kerjasama yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalam bidang-bidang
yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik.
Secara historis, mekanisme kerjasama antar pemerintah lokal telah menjadi isu penting di
negara maju (lihat Henry, 1995) dimulai dari bidang yang sangat terbatas seperti kepolisian
dan pemadam kebakaran dimana antara satu kota dengan kota lain telah dilakukan perjanjian
kerjasama saling bantu membantu menghadapi krisis seperti kebakaran dan bencana lainnya.
Dalam perkembangan lanjutan, mekanisme kerjasama ini tidak hanya diterapkan pada situasi
emergency saja tetapi juga pada pengaturan kerjasama untuk membeli jenis-jenis pelayanan
tertentu dari perusahaan swasta atau dari pemerintah lain, ataupun dari NGOs. Khusus
cooperative agreements yang dilakukan antar Pemerintah Daerah semula lebih ditujukan
pada (1) kegiatan tunggal, (2) berkenaan dengan pelayanan ketimbang fasilitas, (3) tidak
bersifat permanen, (4) sebagai stand-by provision yang baru dilaksanakan bila kondisi
tertentu terjadi, dan (5) diperkenankan/diijinkan oleh badan legislatif.
Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1) intergovernmental
service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (lihat
Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah
yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah,
kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua diatas biasanya
dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu
kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah,
komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah.
Dan jenisk kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu
dearah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan
kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.
Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu kerjasama antar
Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk perjanjian dan
bentuk pengaturan (lihat Rosen, 1993). Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement)
dibedakan atas :

a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian
tertulis
b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis.
Bentuk handshake agreements merupakan bentuk yang banyak menimbulkan konflik
dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk yang tertulis dibutuhkan untuk
melakukan program kontrak, kepemilikan bersama, atau usaha membangun unit pelayanan
bersama. Hal-hal yang harus diucapkan dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk
melakukan kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi
dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan konflik.
Pengaturan Kerjasama (Forms of Cooperation Arrangements) terdiri atas beberapa bentuk
(lihat Rosen, 1993: 218 - 222) yaitu:
a. Consortia: yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya, karena lebih mahal bila
ditanggung sendiri-sendiri; misalnya pendirian perpustakaan dimana sumberdaya seperti
buku-buku, dan pelayanan lainnya, dapat digunakan bersama-sama oleh mahasiswa,
pelajar dan masyarakat publik, dari pada masing-masing pihak mendirikan sendiri karena
lebih mahal.
b. Joint Purchasing: yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan pembelian barang agar
dapat menekan biaya karena skala pembelian lebih besar.
c. Equipment Sharing: yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan yang mahal, atau
yang tidak setiap hari digunakan.
d. Cooperative Construction: yaitu pengaturan kerjasama dalam mendirikan bangunan,
seperti pusat rekreasi, gedung perpustakaan, lokasi parkir, gedung pertunjukan, dsb.
e. Joint Services: yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan publik, seperti
pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana setiap pihak mengirim
aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan tersebut.
f. Contract Services: yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu mengontrak pihak
yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu, misalnya pelayanan air minum,
persampahan, dsb. Jenis pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau
ditransfer ke pihak yang lain

g. Pengaturan lainnya: pengaturan kerjasama lain dapat dilakukan selama dapat menekan
biaya, misalnya membuat pusat pendidikan dan pelatihan (DIKLAT), fasilitas
pergudangan, dsb.
Meskipun demikian, pengalaman menunjukan bahwa bentuk dan metode kejasama diatas
seringkali mengalami masalah dalam pelaksanaannya (Rosen, 1993: 223). Karena berkaitan
dengan keterlibatan masing-masing daerah yang memiliki jurisdiksi yang berbeda, maka
terjadi kesulitan dalam pengaturan jadwal penggunaan sumberdaya yang disepakati dan
pembebanan biaya untuk kerjasama, yang pada gilirannya sering memunculkan friksi atau
konflik. Hal tersebut sering terjadi karena ada daerah merasa adanya pembebanan lebih
(overcharge) terhadap dirinya, sementara yang lainnya merasa kurang mendapat pelayanan
yang seharusnya ia terima. Masyarakat juga merasa terbebani bila lokasi pelayanan
tersentralistis (gabungan) karena harus mengeluarkan biaya transport yang relatif lebih besar
dibandingkan dengan ketika memiliki pelayanan sendiri. Disamping kesulitan transport
sering diungkapkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan, juga masyarakat merasa
terasing bila dilayani oleh pihak-pihak baru.
Pembelian secara terpusat melalui suatu kerjasama (joint purchasing) juga tidak luput
dari kritikan. Standardisasi barang yang dibeli sering menjadi masalah, karena ada daerah
yang merasa barang yang dibeli telah sesuai dengan standard keinginannya, sementara yang
lain belum. Seringkali, terdapat kesulitan dalam memenuhi harapan dari pihak-pihak yang
bekerjasama (Rosen, 1993).
Di negara sedang berkembang, kerjasama antar Pemerintah Daerah sering nampak dalam
kegiatan perencanaan pembangunan, seperti Integrated Area Planning (IAP). Bentuk ini
merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau kompleksitas dari masalah-masalah
yang dihadapi karena tidak dapat ditangani dengan perencanaan pembangunan berdasarkan
batas-batas wilayah administratif. Memang harus diakui bahwa selama ini kerjasama antar
daerah belum nampak sebagai suatu kebutuhan. Padahal, berbagai permasalahan atau
keputusan internal suatu Kabupaten atau Kota ataupun juga Propinsi sering berkaitan dengan
permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Pengalaman menunjukan bahwa
banyak permasalahan pada suatu Kabupaten atau Kota atau juga Propinsi justru muncul ke
permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah lain seperti sampah,
kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan, dsb. Pendek kata, suatu perencanaan
10

atau kebijakan yang dibuat oleh suatu Kabupaten atau Kota, atau juga Propinsi, sering kurang
memperhitungkan dampaknya bagi Kabupaten atau Kota, ataupun Propinsi lain. Dalam
kondisi seperti ini, fungsi perencanaan yang bersifat integratif dan koordinasi horisontal
merupakan kunci utama.
Munculnya model integrated area planning ini diharapkan dapat mengurangi berbagai
konflik antar wilayah administratif, yaitu dengan mengefektifkan pembangunan sektor-sektor
tertentu dan institusi yang berhubungan dengan sektor tersebut dalam suatu area (dengan
mengesampingkan batas-batas wilayah administratifnya). Model ini muncul sebagai reaksi
terhadap kekurangan-kekurangan perencanaan sektoral khususnya koordinasi antar sektor,
dan juga terhadap pemenuhan kebutuhan bagi area geografis khusus (yang mungkin tidak
sesuai dengan batas-batas wilayah administratif yang ada) seperti daerah aliran sungai (DAS)
dan pembangunan perdesaan yang kemudian dikenal dengan integrated rural development.
Meskipun model ini cukup diandalkan pada masa lalu, tetapi terdapat hambatan penting
yang perlu diperhatikan. Hambatan tersebut menyangkut masalah struktur (organisasi) yang
menangani intergrated area development. Struktur yang ada adalah struktur yang formal
yang dibentuk sesuai unit-unit politik dan administratif yang ada, seperti dinas-dinas dan
lembaga-lembaga teknis masing-masing Kabupaten / Kota atau Propinsi. Struktur formal ini
tidak dirancang untuk menangani hal tersebut, akibatnya model ini kurang mendapat
dukungan otoritas formal, yang berarti sulit diimplementasikan dan sulit berhasil.
Jalan keluar yang pernah ditawarkan adalah (1) membentuk suatu struktur yang
merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditempatkan di area yang
bersangkutan, atau juga dibuat oleh pemerintah lokal atau perusahaan swasta yang diberi
status khusus; (2) membentuk tim konsultan perencanaan dari luar area, untuk
mempersiapkan perencanaannya; dan (3) melakukan reformasi struktur organisasi yang ada
dan

memperbaiki

kemampuan para

staff yang

ada untuk

mempersiapkan dan

mengimplementasikan rencana dan memperkuat hubungan horisontal antar sektor serta


memperemah hubungan vertikal.
2.4 Prinsip-Prinsip Kerjasama Antar Pemerintah Daerah
Agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip umum
sebagaimana terdapat dalam prinsip good governance (lihat Edralin, 1997). Beberapa

11

prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam
melakukan kerjasama antar Pemda yaitu :
1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama
harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan
dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutup
2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama
harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama,
termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan
publik
3. Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi
harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan
tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara
membagi kompensasi dan risiko
4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus
dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh
suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat
mencapai hasil yang lebih tinggi
5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus
dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan
membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama dengan
hasil yang nyata diperoleh
6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu agar
masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu
keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalam
kerjasama tersebut
7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah
harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip
ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama.
Selain enam prinsip umum di atas, beberapa prinsip khusus yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah yaitu:
12

1.

Kerjasama tersebut harus dibangun untuk kepentingan umum dan kepentingan yang
lebih luas

2.

Keterikatan yang dijalin dalam kerjasama tersebut harus didasarkan atas saling
membutuhkan

3.

Keberadaan kerjasama tersebut harus saling memperkuat pihak-pihak yang terlibat

4.

Harus ada keterikatan masing-masing pihak terhadap perjanjian yang telah disepakati

5.

Harus tertib dalam pelaksanaan kerjasama sebagaimana telah diputuskan

6.

Kerjasama tidak boleh bersifat politis dan bernuansa KKN

7.

Kerjasama harus dibangun diatas rasa saling percaya, saling menghargai, saling
memahami dan manfaat yang dapat diambil kedua belah pihak.
Apabila dalam kerjasama tersebut terjadi konflik atau friksi antar Pemerintah Daerah,

maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interactionist, dan bukan pendekatan
tradisional (Robbins, 1990). Pendekatan tradisional selalu mengasumsikan bahwa konflik
adalah buruk, dan memberikan dampak yang negatif. Karena itu, menurut pendekatan
tersebut, konflik harus dihindari karena dapat mengarah kepada kejahatan, tindakan destruktif
dan irasional. Akan tetapi dalam pendekatan interactionist, konflik dilihat sebagai suatu
stimulus untuk melakukan perubahan. Konflik harus dilihat akarnya, dan dari akar tersebut
dapat dilakukan berbagai perbaikan dan pembaharuan. Konflik harus dilihat sebagai indikator
untuk menginisiasi perubahan. Untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam konflik
tersebut, diperlukan kemampuan yang memadai untuk bertindak sebagai negosiator,
fasilitator, mediator dan komunikator (lihat Mayer, 2000), di pihak pemerintah daerah
khususnya pemerintah propinsi.

13

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu diperhatikan
pemerintah saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara, dan melihat
begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi
dengan melewati batas-batas wilayah administratif. Untuk mensukseskan kerjasama ini
diperlukan identifikasi isu-isu strategis, bentuk atau model kerjasama yang tepat, dan prinsipprinsip yang menuntun keberhasilan kerjasama tersebut. Mengingat peran strategis yang
dimainkan propinsi dalam sistem negara kesatuan ini, maka peningkatan peran dan
kemampuan propinsi dalam mekanisme kerjasama ini, termasuk penyesuaian struktur dan
fungsi kelembagaannya, harus menjadi agenda penting pemerintah di masa mendatang.
3.2 Saran
Dengan peningkatan peran dan kemampuan, diharapkan hubungan kohesif kerjasama
antar pemerintah daerah (kota dan kabupaten) di setiap propinsi di tanah air menjadi semakin
tinggi. Ketahanan nasional, persatuan dan kesatuan tentu akan lebih terjamin apabila setiap
propinsi memainkan peran secara efektif, seperti: mengidentifikasi kebutuhan akan bidangbidang kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota dalam propinsi, mengukur tingkat
kemampuan Propinsi dalam menangani kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota
dalam wilayahnya, menyusun suatu bentuk desain training khusus dalam membantu Propinsi
untuk memfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam wilayahnya, serta struktur, fungsi
dan kemampuan unit-unit institusi Propinsi itu sendiri harus disesuaikan dengan peran
kerjasama tersebut.

14

DAFTAR PUSTAKA
Edralin, J.S. 1997. The new local governance and capacity building: A strategic approach.
Dalam Regional Development Studies, Vol. 3.
Henry, N. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs,
N.J. : Prentice Hall.
Keban, Y.T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu.
Yogyakarta: Gava Media.
Mayer, B. 2000. The Dynamics of Conflict Resolution: A practitioners guide. San Fransisco:
Jossey-Bass.
Murwito, Sigit. Dkk. 2013. Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan Sebagai Alternatif
Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah. Dalam Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Hal 4.
Rosen, E.D. 1993. Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London: Sage
Publications, International Educational and Professional Publisher.
Tarigan, Antonius. 2009. Kerjasama Antar Daerah (KAD) Untuk Peningkatan Penyelenggaraan
Pelayanan

Publik

dan

Daya

Saing

Wilayah.

Diakses

http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=161. Pada 26 April


2015. Pukul 09:00 WIB.
Wahyudi, Andi dan AP Sari, Maria. 2011. Kerjasama Antar Daerah Untuk Meningkatkan
Pembangunan Daerah dan Pelayanan Publik di Kawasan Perbatasan. Dalam Jurnal
Borneo Administrator Vol. 7 No. 3.
Wahyudi. 2010. Kajian Kerja Sama Daerah Dalam Pengelolaan Dan Pengembangan Kawasan
Wisata Dataran Tinggi Dieng. Dalam Tesis Rangka Memenuhi Persyaratan Program
Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Hal 33.

15

Anda mungkin juga menyukai