PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anemia ialah berkurangnya jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin
atau kadar hematokrit dalam darah tepi di bawah nilai normal sesuai umur
dan jenis kelamin penderita, sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan
perifer.
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukaan
eritrosit oleh sumsum tulang, perdarahan dan proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Jika kecepatan destruksi
melebihi kapasitas sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit, maka akan
terjadi anemia.
Anemia pada anemia hemolitik sebagian besar bersifat normokromik
normositer, tetapi dapat juga bersifat hipokromik mikrositer, seperti pada
thalassemia. Penurunan kadar hemoglobin sangat bervariasi, mulai dari berat
sampai ringan dan dapat berlangsung cepat, tetapi dapat juga berlangsung
secara perlahan-lahan, seperti pada anemia hemolitik kronik.
Angka kejadian tahunan anemia hemolitik autoimun dilaporkan
mencapai 1/100.000 orang pada populasi secara umum. Sferositosis herediter
merupakan anemia hemolitik yang paling sering dijumpai, angka kejadiannya
mencapai 1/5000 orang di negara Eropa, di Indonesia belum diketahui dengan
pasti.
BAB II
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN ANEMIA HEMOLITIK
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan
penghancuran sel darah merah (eritrosit) yang meningkat dari normalnya.
Pada anemia hemolitik, terjadi kerusakan sel eritrosit yang lebih awal dari
umur eritrosit normal (rata-rata 110-120 hari). Anemia hemolitik terjadi
karena meningkatnya penghancuran sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit. Untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya jumlah sel eritrosit
tersebut, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan
meningkat dari normal.
Jika suatu penyakit atau keadaan tertentu menghancurkan eritrosit
sebelum waktunya, maka sumsum tulang akan berusaha menggantinya
dengan mempercepat pembentukan retikulosit sampai sepuluh kali kecepatan
normal.
Namun
jika
penghancuran
eritrosit
telah
melebihi
usaha
1. Gangguan Intrakorpuskular
Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan
metabolisme dalam eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan
menjadi 3, yaitu:
a. Gangguan pada struktur dinding eritrosit, terbagi menjadi:
1) Sferositosis
2) Ovalositosis (eliptositosis)
3) A-beta lipoproteinemia
4) Gangguan pembentukan nukleotida
b. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam
eritrosit.
1) Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase (G6PD)
2) Defisiensi Glutation reduktase
3) Defisiensi Glutation
4) Defisiensi Piruvatkinase
5) Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
6) Defisiensi Difosfogliserat Mutase
7) Defisiensi Heksokinase
8) Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
c. Hemoglobinopati
Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin, yaitu:
1) Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin
abnormal) misalnya HbS, HbE dan lain-lain.
2) Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin misalnya
talasemia.
2. Gangguan Ekstrakorpuskuler
Gangguan ini biasanya didapat (acquired) dan dapat disebabkan oleh:
a. Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air),
toksin (hemolisin) streptococcus, virus, malaria, luka bakar.
b. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya
dapat
1)
1. Hemolisis Ekstravaskuler
Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan
dengan hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari
sistem retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum
tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Hemolisis
terjadi karena kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigenantibodi), presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya
fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan diameter yang relatif kecil dan
suasana relatif hipoksik akan memberi kesempatan destruksi sel eritrosit,
mungkin melalui mekanisme fragmentasi.
7
besi)
selanjutnya
akan
dipakai
kembali,
sedangkan
dibuang
melalui
empedu
sehingga
meningkatkan
intrvaskuler
menyebabkan
lepasnya
bentuk
hemosiderin,
jika
epitel
mengalami
deskuamasi
maka
3. Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit, DDR, hapusan darah tepi,
retikulosit, analisis Hb, Coombs test, tes fragilitas osmotik, urin rutin,
feses rutin, pemeriksaan enzim-enzim.
Sferositosis herediter merupakan salah satu anemia hemolitik yang
sering dijumpai. Gejala klinik SH dapat berupa anemia ringan sampai
berat
disertai
ikterus
dan
splenomegali.
Pembesaran
limpa,
hiperpigmentasi kulit dan batu empedu sering dijumpai pada anak yang
lebih besar. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar hemoglobin
(Hb) masih normal atau turun mencapai 6-10 gr/dL, jumlah retikulosit
meningkat mencapai 6-20%, hiperbilirubinemia. Tes Coombs negatif, dan
tes fragilitas osmotik juga negatif. Gmbaran darah tepi menunjukkan
adanya polikromasi, sel eritrosit sferosit lebih kecil dengan hiperkromasi,
retikulosit yang meningkat.
10
kepala, kejang, lemah, lesu, nyeri otot-otot dan tulang, anoreksia, mual,
saat splenektomi
F. PENATALAKSANAAN
Terapi anemia hemolitik dapat digolongkan menjadi 3 yaitu:
1.
Suportif dan simtomatik (sesuai kausa atau penyebab dasar)
Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:
a. Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
b. Meningkatkan jumlah sel darah merah
11
ada
respon
sebelumnya
dengan
pemberian
cairan
koloid/kristaloid.
b. Penyebab anemia kongenital yang memerlukan transfusi darah secara
periodik.
c. Setiap anemia dengan tanda-tanda anoksia akut dan berat yang
mengancam jiwa penderita.
Perhitungan dosis darah untuk transfusi didasarkan atas
perhitungan sebagai berikut:
Pada seorang normal dengan volume eritrosit 30 cc/kg bb
konsentrasi Hb ialah 15 gr/dl. Jadi 2 cc eritrosit per kg bb setara dengan
Hb 1 gr/dl. PRC mengandung 60-70% eritrosit sehingga untuk
menaikkan Hb 1 gr/dl diperlukan 3 cc/kg bb.
Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan
untuk menekan proses hemolisis, terutama di limpa (lien). Obat golongan
kortikosteroid seperti prednison dapat menekan sistem imun untuk
membentuk antibodi terhadap sel darah merah. Jika tidak berespon
terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat lain yang dapat
menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin. Pada anemia
hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-0,3 mg/hari
untuk mencegah krisis megaloblastik.
12
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan
penghancuran sel darah merah (eritrosit) yang meningkat dari normalnya.
Pada anemia hemolitik, terjadi kerusakan sel eritrosit yang lebih awal dari
umur eritrosit normal rata-rata 110-120 hari. Sehingga pada umumnya
ditemukan gejala anemia, anoksia, ikterus, serta splenomegali.
Anemia hemolitk merupakan anemia yang tidak terlalu sering
dijumpai, tetapi apabila dijumpai perlu pendekatan diagnostik yang tepat dan
harus segera ditangani sesuai penyebab yang mendasari munculnya anemia
hemolitik tersebut.
B. SARAN
Semoga makalah kami susun dapat dimanfaatkan secara maksimal,
sehingga dapat membantu proses pembelajaran, dan dapat menginfeksi
kemandirian dan kreatifitas pembaca. Selain itu, diperlukan lebih banyak
referensi untuk menunjang proses pembelajaran.
14