Anda di halaman 1dari 23

Mata Kuliah : Immunoserologi (P)

Dosen

: Kiki Inda Sari,Amd.AK

LAPORAN PRAKTIKUM IMMUNOSEROLOGI (P)


TPHA, ASTO (ASO), dan RA

OLEH
NAMA

: SOFYA IMAWATI

NIM

: 14.901.530

KELAS

: C.14

PROGRAM STUDI D III ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR
MAKASSAR
2016

I.

Laporan Praktikum TPHA


A. Judul

:Pemeriksaan Sifilis TPHA (Treponema Pallidum

Hemagglutination Assay)
B. Tujuan

:Tes hemaaglutinasi untuk menentukan Antibodi

terhadap Treponema pallidum secara kualitatif dan kuantitatif.


C. Metode

: Hemaaglutinasi tidak langsung (TPHA)

D. Prinsip

: Presipitasi atau koagulasi menunjukkan penyakit

sifilis yang disebabkan oleh bakteri Trepanoma pallidum dengan


uji serologi
E. Dasar teori
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang sangat infeksius,
disebabkan oleh bakteri berbentuk spiral, Treponema pallidum subspesies
pallidum. Treponema pallidum subspesies pallidum (biasa disebut dengan
Treponema pallidum) merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral
yang halus, ramping dengan lebar kira-kira 0,2 m dan panjang 5-15 m.
Bakteri yang patogen terhadap manusia, bersifat parasit obligat
intraselular, mikroaerofilik, akan mati apabila terpapar oksigen, antiseptik,
sabun, pemanasan, pengeringan sinar matahari dan penyimpanan di
refrigerator. Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan
pasangan yang terinfeksi, kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi
atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada
stadium akhir kehamilan.

Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila


dibiarkan penyakit ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik.
Infeksi sifilis dibagi menjadi sifilis stadium dini dan lanjut. Sifilis stadium
dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder, dan laten dini. Sifilis stadium
lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardiovaskular dan
neurosifilis) serta sifilis laten lanjut. Metode definitif untuk mendiagnosis
sifilis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap terhadap
eksudat dari chancre pada sifilis primer dan lesi mukokutis pada sifilis
sekunder serta uji antibodi fluoresens langsung. Uji serologi lebih mudah,
ekonomis, dan lebih sering dilakukan. Terdapat dua jenis uji serologi yaitu:
1)uji nontreponema, termasuk uji Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL) dan Rapid Plasma Reagin (RPR), 2)uji treponema, termasuk
Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS) dan Treponema
pallidum Particle Agglutination(TP-PA).
Nama Treponema diambil dari bahasa Yunani yaitu trepo dan nema
yang artinya turning thread (benang bergulung). Treponema pallidum
subspesies (sekarang disebut dengan Treponema pallidum) merupakan
salah satu bakteri Spirochetes patogen dominan.Treponema pallidum
sudah dikenal selama 500 tahun sebagai penyebab penyakit menular
seksual yaitusifilis.
Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta.
Bakteri ini berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies, yaitu Treponema
pallidum pallidum, yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum

pertenue, yang menyebabkan yaws, Treponema pallidum carateum,yang


menyebabkan

pinta

dan

Treponema

pallidum

endemicum

yang

menyebabkan sifilis endemik (juga disebut bejel). Klasifikasi bakteri


penyebab sifilis adalah;Kingdom: Eubacteria, Filum: Spirochaetes, Kelas:
Spirochaetes, Ordo: Spirochaetales, Familia: Treponemataceae, Genus:
Treponema, Spesies: Treponema pallidum, Subspesies: Treponema
pallidum pallidum.
Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk
spiral yang ramping dengan lebar kira-kira 0,2 m dan panjang 5-15 m.
Lengkung spiralnya/gelombang secara teratur terpisah satu dengan lainnya
dengan jarak 1 m, dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14 gelombang.
Organisme ini aktif bergerak, berotasi hingga 900 dengan cepat di sekitar
endoflagelnya bahkan setelah menempel pad sel melalui ujungnya yang
lancip. Aksis panjang spiral biasanya lurus tetapi kadang-kadang
melingkar, yang membuat organisme tersebut dapat membuat lingkaran
penuh dan kemudian akan kembali lurus ke posisi semula. Spiralnya
sangat tipis sehingga tidak dapat dilihat secara langsung kecuali
menggunakan pewarnaan imunofluoresensi atau iluminasi lapangan gelap
dan mikroskop elektron.
Treponema pallidum merupakaan salah satu bakteri yang patogen
terhadap manusia (parasit obligat intraselular) dan sampai saat ini tidak
dapat dikultur secara invitro. Bakteri ini berkembang biak dengan
pembelahan melintang dan menjadi sangat invasif, patogen persisten

dengan aktivitas toksigenik yang kecil dan tidak mampu bertahan hidup
diluar tubuh host mamalia. Treponema pallidum akan mati dalam 4 jam
bila terpapar oksigen dengan tekanan atmosfer 21%.Keadaan sensitivitas
tersebut dikarenakan bakteri ini kekurangan superoksida dismutase,
katalase, dan oxygen radical scavengers. Superoksida dismutase yang
mengkatalisis perubahan anion superoksida menjadi hidrogen peroksida
dan air, tidak ditemukan pada kuman ini. Treponema pallidum tidak dapat
menular melalui benda mati seperti bangku, tempat duduk toilet, handuk,
gelas, atau benda-benda lain yang bekas digunakan/dipakai oleh
pengindap, karena pengaruh suhu dan rentang pH. Suhu yang cocok untuk
organisme ini adalah 30-370C dan rentang pH adalah 7,2-7,4.
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran
mukosa vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang
terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta
pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan cepat
melalui membran mukosa yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian
kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran darah, kemudian menyebar
ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial jaringan
dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa
jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan
serologi belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru terkena
sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu
berkembangbiak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara

invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali
masuk, biasanya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh
secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multifikasi
dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas
limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai
papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat masuknya
kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum berada
diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan
hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler
(endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran
darah pada daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau
ulkus dan keadaan ini disebut chancre.
Perjalanan penyakit sifilis bervariasi dan biasanya dibagi menjadi
sifilis stadium dini dan lanjut. Stadium dini lebih infeksius dibandingkan
dengan stadium lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer,
sekunder dan laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier
(gumatous, sifilis kardiovaskular, neurosifilis) dan sifilis laten lanjut.
Sifilis Primer Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil
soliter, kemudian dalam satu sampai beberapa minggu, papul ini
berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik dari sifilis primer disebut dengan
chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang bersih, tunggal, tidak nyeri,
merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta dan berlokasi pada sisi
Treponema pallidum pertama kali masuk. Chancre dapat ditemukan

dimana saja tetapi paling sering di penis, servik, dinding vagina rektum
dan anus. Dasar chancre banyak mengandung spirokaeta yang dapat dilihat
dengan mikroskoplapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan
kerokan chancre.
Sifilis Sekunder Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan
mulai timbul dalam 2 sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu
setelah chancre muncul. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan
spirokaeta yang menyebar dari chancre dan kelenjar limfe ke dalam aliran
darah dan ke seluruh tubuh, dan menimbulkan beragam gejala yang jauh
dari lokasi infeksi semula. Sistem yang paling sering terkena adalah kulit,
limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan susunan saraf pusat.
Sifilis Laten

Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode

hilangnya gejala klinis sifilis sekunder sampai diberikan terapi atau gejala
klinik tersier muncul. Sifilis laten dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu
sifilis laten dini dan lanjut. Sifilis laten dini terjadi kurang satu tahun
setelah infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya mengalami relaps sifilis
sekunder yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu
tahun. Relaps ini dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis
laten dini dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan
serologi pada stadium laten lanjut adalah positif, tetapi penularan secara
seksual tidak.
Sifilis Tersier

Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun

setelah infeksi. Karakteristik pada stadium ini ditandai dengan adanya

guma kronik, lembut, seperti tumor yang inflamasi dengan ukuran yang
berbeda-beda. Gumma ini biasanya mengenai kulit, tulang dan hati tetapi
dapat juga muncul dibahagian lain. Gumma merupakan lesi yang
granulomatous, nodular dengan nekrosis sentral, muncul paling cepat
setelah dua tahun infeksi awal, meskipun guma bisa juga muncul lebih
lambat. Lesi ini bersifat merusak biasanya mengenai kulit dan tulang,
meskipun bisa juga muncul di hati, jantung, otak, lambung dan traktus
respiratorius atas. Lesi jarang yang sembuh spontan tetapi dapat sembuh
secara cepat dengan terapi antibiotik yang tepat. Guma biasanya tidak
menyebabkan komplikasi yang serius, disebut dengan sifilis benigna lanjut
(late benign syphilis). Sifilis primer didiagnosis berdasarkan gejala klinis
ditemukannya satu atau lebih chancre (ulser). Pemeriksaan Treponema
pallidum dengan mikroskop lapangan gelap dan DFA-TP positif. Sifilis
sekunder ditandai dengan ditemukannya lesi mukokutaneus yang
terlokalisir atau difus dengan limfadenopati. Terkadang chancre masih
ditemukan. Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dan DFA-TP positif.
Sifilis laten tanpa gejala klinis sifilis dengan pemeriksaan nontreponemal
dan treponemal reaktif (tanpa diagnosis sifilis sebelumnya), riwayat terapi
sifilis dengan titer uji nontreponemal yang meningkat dibandingkan
dengan hasil titer nontreponemal sebelumnya. Sifilis tersier ditemukan
guma dengan pemeriksaan treponemal reaktif, sekitar 30% dengan uji
nontreponemal yang tidak reaktif.

Diagnosis laboratorium Tes trepoemal merupakan uji yang spesifik


terhadap sifilis, karena mendeteksi langsung Antibodi terhadap antigen
Treponema Pallidum. Pada uji treponemal sebagai antigen digunakan
bakteri Treponemal atau ekstraknya. Misalnya Treponema Pallidum
Particcel Assay (TPPA), dan Treponema Pallidum Immunobilization (TPI).
Walaupun pengobatan secara dini diberikan, namun uji treponemal dapat
memberi hasil positif seumur hidup. (Aprianinaim,2011)
Uji non-treponemal adalah uji yang mendeteksi antibody IgG dan
IgM terhadap materi-materi lipid yang di lepaskan dari sel-sel rusak dan
terhadap antigen mirip lipid Treponema pallidum. Karena uji ini tidak
langsung mendeteksi terhadap keberadaan Treponema pallidum itu sendiri.
Maka uji ini bersifat non spesifik. Uji non-treponema meliputi VDRL
(Veneral disease research laboratory), USR (unheated serum reagin), RPR
( Rapid plasma reagin), dan TRUST ( Toluidine red unheated serum test).
(Aprianinaim,2011)
F. Pra analitik
1. Alat :
a) Mikropipet 25 l, 75 l, 100 l
b) Mikroplate tipe U
c) Automati Vibrator
d) Reagen Kit TPHA (control cell, test cell,reagen diluent,buffer
conjugate)

2. Bahan :
Serum
G. Analitik
1. Prosedur Kualitatif
a) Teteskan masing masing 1 tetes (25 ul) serum diluent kelubang
1,3,4 dan 5 untuk lubang ke-2 tambahkan serum 1 tetes (100 ul)
b) Teteskan 25 ul serum pada lubang 1 dan lakukan pengenceran
sampai lubang ke-5 dengan cara ambil 25 ul dari lubang 1 dan di
simpan ke lubang 2 lalu homogenkan. Ambil dari lubang 2 ke lubang
3 lalu homogenkan. Begitu seterusnya sampai lubang ke 5. Sehingga

di dapat pengenceran

1
2 ,

1 1 1 1
10, 20, 20, 40,

c) Tambahkan 75 ul sel control ke lubang 4 dan 5, maka pengenceran

terakhir

1
2 ,

1 1 1 1
10, 80, 80, 160,

d) Homogenkan dan inkubasi pada suhu kamar selama 45-60 menit


e) Amati aglutinasi pada masing masing lubang
2. Prosedur Kuantitatif
Hanya pada proses kuantitatif pada pengenceran sampel dilubang
ke-5 dilanjutkan lagi sampai lubang ke-9, sehingga pengenceran
terakhir yang di dapat setelah masing asing di tambah 75 ul sel tes

menjadi

1
160 ,

1
1
1
320, 640, 2560.

Hasil dibaca sampai pengenceran tertinggi yang masih aglutinasi.

H. Interpretasi Hasil
1. Uji kualitatif
a. Reaktif (+) : jika terjadi aglutinasi
b. Non reaktif (-) : jika tidak terjadi aglutinasi
Jika hasil reaktif maka hasil reaksi dilanjutkan ke uji kuantitatif.
2. Uji kuantitatif
a. Reaktif (+) : jika terjadi aglutinasi
b. Non reaktif (-) : jika tidak terjadi aglutinasi

II. Laporan Praktikum ASTO


A. Judul
:Pemeriksaan Antistreptolisin-O (ASO/ASTO)
B. Tujuan
:Untuk
menentukkan
Antibody
terhadap
Streptococcus

-hemolisa

yang

menyebabkan

rematik,tonsillitis,dan glomerulus.
C. Metode
: Aglutinasi latex untuk menentukan anti-ALO
dalam serum secara invitro.
D. Prinsip
: Reagen ASO direct latex adalah sebuah suspense
partikel lateks polystyrene yang telah disensitisasi ddengan
streptolisin-O. Ketikan reagen dicampur dengan serum yang
mengandung antibody anti-SLO, terjadi sebuah reaksi Ag-Ab
yang dapat dilihat secara visual karena timbulnya aglutinasi.
E. Dasar teori
Streptokokus grup A (Streptokokus beta hemolitik) dapat
menghasilkan berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang
pembentukan antibodi. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak
memiliki daya perlindungan, tetapi adanya antibodi tersebut dalam serum
menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja terdapat Streptokokus yang
aktif. Antibodiyang terbentuk adalah Antistreptolisin O, Antihialuronidase
(AH), antistreptokinase (Anti-SK), anti-desoksiribonuklease B (AND-B),
dan

anti

nikotinamid

adenine

dinukleotidase(anti-NADase).Demam

rematik merupakan penyakit vascular kolagen multisystem yang terjadi


setelah infeksi Streptokokus grup A pada individu yang memiliki faktor
predisposisi. Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit
jantung didapat (acquired heart disease)pada anak dan dewasa muda di
banyak negara terutama Negara berkembang.

Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh adanya


inflamasi endokardium dan mmiokardium melalui suatu proses autoimun
yang menyebabkan kerusakan jaringan.Serangan pertama demam reumatik
akut terjadi paling sering antara umur 5 15 tahun.Demam reumatik jarang
menyerang anak dibawah umur lima tahun. Demam reumatik akut
menyertai faringitis Streptokokus beta hemolitik grup A yang tidak diobati.
Pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan risiko
terjadinya demam reumatik.Diperkirakan hanya 3 % dari individu yang
belum pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini
setelah menderita faringitis Streptokokus yang tidak diobati.
ASTO (Anti Streptolisin O) merupakan antibodi yang paling
banyak dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya
infeksi Streptokokus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik
menunjukan peningkatan titer antibodi terhadap Streptokokus. Penelitian
menunjukkan bahwa komponen Streptokokus yang lain memiliki
rekativitas bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang
imunologik di antara karbohidrat Streptokokus dan glikoprotein katup,
diantaranya membran protoplasma Streptokokus dan jaringan saraf
subtalamus serta nuclei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan
kartilagoartikular.Ada dua prinsip dasar penetuan ASTO, yaitu:
1. Netralisasi/penghambat hemolisis : Streptolisin O dapat menyebabkan
hemolisis dari sel darah merah, akan tetapi bila Streptolisin O tersebut
di campur lebih dahulu dengan serum penderita yang mengandung
cukup anti streptolisin O sebelum di tambahkan pada sel darah merah,

maka streptolisin O tersebut akan di netralkan oleh ASO sehingga tidak


dapat menibulkan hemolisis lagi. Pada tes ini serum penderita di
encerkan secara serial dan di tambahkan sejumlah streptolisin O yang
tetap (Streptolisin O di awetkan dengan sodium thioglycolate).
Kemudian di tambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan
terjadi pada pengenceran serum di mana kadar/titer dari ASO tidak
cukup untuk menghambat hemolisis tidak terjadi pada pengencaran
serum yang mengandung titer ASO yang tinggi.
2. Aglutinasi pasif : Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar
dapatmenyebabkan aglutinasi dengan ASO. Maka Streptolisin O perlu
disalutkan pada partikel-partikel tertentu. Partikel yangsering dipakai
yaitu partikel lateks.Sejumlah tertentu Streptolisin O (yang dapat
mengikat 200 IU/ml ASO) di tambahkan pada serum penderita sehingga
terjadi ikatan Streptolisin O anti Strepolisin O (SO ASO).
Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml, maka
sisa ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan menyebabkan
aglutinasi dari streptolisin O yang disalurkan pada partikel partikel
latex . Bila kadar ASO dalam serum penderita kurang dari 200 IU / ml ,
maka tidak ada sisa ASO bebas yang dapat menyebabkan aglutinasi
dengan streptolisin O pada partikel partikel latex. Tes hambatan
hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup baik , sedangkan tes
aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes aglutinasi latex
hanya dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200 IU/ml.
Diagnosa demam rematik/ melewati beberapa fase dan manifestasi
klinisnya kurang spesifik. fase awal: Penderita biasanya mengalami

keluhan yang tidak khas, seperti nyeri kerongkongan, demam, kesulitan


makan dan minum, lemas, sakit kepala, dan batuk. Pada fase ini,
kebanyakan penderita hanya didiagnosa mengalami penyakit flu atau
amandel (tonsilitis) dan biasanya diberikan obat-obat penurun panas dan
penghilang rasa sakit.Demam rematik mulai bisa diindikasikan jika
penderita beberapa minggu kemudian mengalami keluhan dengan keluhan
yang lebih spesifik dan serius, terutama yang berkaitan dengan sendi,
jantung, dan saraf.
Diagnosa penyakit demam rematik (ASTO) perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium, di antaranya berupa pemeriksaan kadar LED
(laju endap darah), CRP (C reaktive protein), dan ASTO (anti-streptolysin
titer O). Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan sinar X, EKG, dan echocardiography.
F. Pra analitik
1. Alat :
a) Kit streptolisin-O
b) Pengaduk
c) Mikropipet
2. Bahan :
Serum
G. Analitik
1. Prosedur Kualitatif
a) Menyiapkan alat dan bahan
b) Meletakkan kit reagen dan sampelke suhu ruang (20-250C) sebelum
dikerjakan.
c) Letakkan 1 tetes (40 ul)serum ke atas slide pada area hitam
d) Homogenkan terleih dahulu reagen lateks lalu tambahkan 1 tetes
keatas serum
e) Homogenkan menggunakan batang pengaduk
f) Lalu goyangkanslide dan perhatikan ada tidaknya aglutinasi dalam
waktu tidak lebih dari 3 menit.
2. Prosedur kuantitatif

a) Menyiapkan tabung
b) Memasukkan 100 ul larutan NaCl 0,9 % kesemua tabung.
Misal : Tabung 1 Pengenceran
Tabung 2 Pengenceran
Tabung 3 Pengenceran 1/8
Tabung 4 Pengenceran 1/16
c) Menambahkan 100 ul serum kedalam tabung 1, homogenkan
d) Memipet 100 ul dari tabung 1 ke tabung 2, dari tabung 2 ke tabung
3, dari tabung 3 ke tabung 4. Lalu memipet lagi 100 ul dari tabung 4
kemudian dibuang.
e) Memipet 50 ul dari tabung 1 ke slide kolom 1, memipet 50 ul dari
tabung 2 ke slide kolom 2 begitu seterusnya
f) Menambahkan 1 tetes reagen lateks ke semua kolom pada slide.
g) Pembacaan tidak boleh > 5 menit
h) Volume titer : x 200 ul = 400 u/L
x 200 ul = 800 u/L
1/8 x 200 ul = 1600 u/L
1/16 x 200 = 3200 u/L
200 ul dari 100 ul NaCl 0,9% + 100 ul serum.
i) Jika masih positif pengenceran dilanjutkan.
H. Interpretasi Hasil
1. Uji kualitatif :
a. ASTO (+) : terjadi aglutinasi (kadar 200 IU /ml)
b. ASTO (-) : tidak terjadi aglutinasi
2. Uji Semi kuantitatif
Titer : Pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan aglutinasi.

III. Laporan Praktikum RF


A. Judul
: Pemeriksaan Rheumatoid Factor (RF)
B. Tujuan
:untuk membantu menegakkan diagnosis
menentukan prognosis penyakit arthritis rematoid
C. Metode
: Aglutinasi latex

dan

D. Prinsip

: Reaksi Ag-Ab yang ditandai dengan adanyya

aglutinasi,dimana adanya Agberbentuk partikel /lateks bereaksi


Ab spesifik membentuk reaksi aglutinasi(gumpalan).
Test slide aglutinasi lateks untuk menentukan RF dalam serum
yang tidak di encerkan secara kualitatif dan semi-kualitatif
ditandai dengan adanya aglutinasi.
E. Dasar teori
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang
berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah,
arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah
suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan
kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi
(Gordon, 2002). Engram (1998) mengatakan bahwa, rheumatoid arthritis
adalah

penyakit

jaringan

penyambung

sistemik

dan

kronis

dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial dari sendi


diartroidial.
Factor rheumatoid (RF) merupakan suatu kelompok antibody
spesifik yang dapat mengikat antibody lain. RF dapa berupa variasi IgG,
IgM, atau IgA, tetapi diduga IgM berperan penting, yang bereaksi dengan
IgG sebagai antigen. Tes RF merupakan tes untuk mengukur kadar RF
dalam darah. Tes ini biasa diminta untuk menegakkan diagnosis RA. IgM
RF sama seperti antibody yang lain, diproduksi oleh limposit dan sel
plasma dari sel B.Tetapi pada sebagian orang, terutama pada anak-anak,
produksi IgM melawan organisme penyebab infeksi yang tidak

berhubungan dengan penyakit rheumatoid, mempunyai kadar IgM RF


yang bervariasi. Pada pemeriksaan laboratorium IgM RF dapat
dikombinasikan dengan IgG Lateks.
Faktor rematoid dalam darah diukur dengan 2 cara yaitu:
1. TesAglutinasi :Suatu metode aglutinasi ,dimana darah dicampurkan
dengan partikel lateks yang dilapisi oleh antibody IgG

manusia.jika

darah tersebut mengandung factor rematoid ,larutan lateks tersebut


akan membentuk gumpalan atau aglutinasi.metode ini baik digunakan
sebagai tes pertama atau penyaring.jenis tes aglutinasi lain yaitu
dengan menggunakan reagen dari darah domba yang di lapisi oleh
antibody kelinci.jika sample mengandung RF,maka akan terbentuk
aglutinasi.metode ini biasanya digunakan untuk tes konfirmasi.
2. Tes Nephelometry : Pada metode ini ,darah yang telah di tes dicampur
dengan antibody reagen.saat sinar laser melalui cuvet yang
mengandung campuran tersebut,akan terukur berapa banyak cahaya
yang dapat di halangi oleh sampel dalam cuvet.makin tinggi kadar
Rf,makin banyak gumpalan yang terbentuk,sehingga sampel menjadi
keruh,sehingga lebih sedikit cahaya yang dapat melalui cuvet.gejala
klinik dari RA antara lain nyeri sendi,pembengkakan sendi,pergerakan
terbatas,kekakuan sendi,dan cepat lelah.diagnosa RA dapat ditegakkan
jika memenuhi 4 dari 6 criteria dibawah ini:1) nyeri sendi pada pagi
hari,2) artristis pada 3 sendi atau lebih,3) artritis pada sendi tangan,4)
artritis yang bersifat simetris,5)serum RF positif,6) perubahan
radiologo pada sendi.indikasi tes RF terutama digunakan untuk
membantu mendiagnosis arthritis rematoid.walaupun Rf tidak

sensitive ataupun spesifik untuk RA,tetapi 80% pasien arthritis


rheumatoid memiliki RF yang positif.
Klasifikasi Rheumatoid Arthritis Buffer (2010) mengklasifikasikan
rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu: 1) Rheumatoid arthritis klasik
pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2) Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu. 3) Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini
harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung
terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. 4) Possible
rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 3 bulan.
Patofisiologi Pada rheumatoid arthritis, terutama terjadi dalam
jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus.
Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi
tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot
akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas
otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002). Lamanya
rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya
masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang

sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi.


Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai
dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang
difus (Long, 1996).
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada
tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit
ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif.
Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada
minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala
penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika
penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux &
Lockhart, 2001). Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk
kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas
rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi
biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis
rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan
stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas,
eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik
untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari
rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat
badan menurun, anemia (Long, 1996).
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif
mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang

belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral


dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi
hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki
adalah hal yang umum. Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga
stadium yaitu : 1. Stadium sinovitis Pada stadium ini terjadi perubahan
dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena
kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan
kekakuan.
2. Stadium destruksi Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada
jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai
adanya kontraksi tendon. 3. Stadium deformitas Pada stadium ini terjadi
perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan
fungsi secara menetap. Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun
stadium pada penyakit yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan
ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendi-sendi tersebut.
Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan
dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan
imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan
kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas dapat
disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang
tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (Smeltzer &
Bare, 2002). Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat
serius terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa
kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu,

siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat
bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi
kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat
menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.
F. Pra analitik
1. Alat :
a) Mikropipet 40 mikro liter
b) Pipet tetes/Pasteur
c) Slide
d) Reagen isi Kit
1) LR 40 atau 100 ml Reagen Lateks RF (tutup putih)
Suspensi partikel lateks Polistirene putih yang diikatklan
pada IgG manusia 1.0%
2) PC 0.5 ml atau 1,0 ml serum kontrol positif (tutup merah).
Serum kontrol dari domba, siap pakai, menghasilkan
aglutinasi anti-human IgG yang jelas
3) NC 1,0 ml Serum kontrol negatif

(tutup

hijau)

Siap pakai, Tidak reaktif terhadap LR


4) GBS 100 ml Glicyne-NaCl Buffer pH 8,2 0,2
Glisine 100 mmol/l
NaCl 1 g/l
Slide dengan 6 petak
5) LR, PC, NC & GBS mengandung 0,095% Na.Azide
2. Bahan :
Serum, Stabil 24 jam suhu 2-8oC, 4 minggu suhu -20 oC
G. Analitik
1. Prosedur Kualitatif (tes penyaringan)
a) Menyiapkan alat dan bahan
b) Bawa Lateks reagen dan sampel serum kesuhu ruangan, campur LR
dengan hati-hati. Pipet kedalam petak-petak pada slide
Sampel serum 40 ul (1 tetes)
c) Campur dengan batang pengaduk dan lebarkan cairan keseluruh
area
dari petakan

d) Miringkan slide pulang balik selama 2 menit atau di rotator 100


rpm
Setelah 2 menit baca hasil dibawah sinar terang
2. Prosedur kuantitatif
a) Menyiapkan tabung
b) Memasukkan 100 ul larutan NaCl 0,9 % kesemua tabung.
Misal : Tabung 1 Pengenceran
Tabung 2 Pengenceran
Tabung 3 Pengenceran 1/8
Tabung 4 Pengenceran 1/16
c) Menambahkan 100 ul serum kedalam tabung 1, homogenkan.
d) Memipet 100 ul dari tabung 1 ke tabung 2, dari tabung 2 ke tabung
3, dari tabung 3 ke tabung 4. Lalu memipet lagi 100 ul dari tabung
4 kemudian dibuang.
e) Memipet 50 ul dari tabung 1 ke slide kolom 1, memipet 50 ul dari
tabung 2 ke slide kolom 2 begitu seterusnya
f) Menambahkan 1 tetes reagen lateks ke semua kolom pada slide.
g) Pembacaan tidak boleh > 5 menit
h) Volume titer : x 8 ul = 16 U/L
x 8 ul = 32 U/L
1/8 x 8 ul = 64 U/L
1/16 x 8 = 128 U/L
i) Jika masih positif pengenceran dilanjutkan.
H. Interpretasi Hasil
1. Uji kualitatif : aglutinasi yang tampak menunjukkan RF yang
terkandung lebih dari 20 IU/ml dalam serum spesimen yang tidak
diencerkan.
Cat : 1 tetes = 40 ul
2. Uji semikuantitatif : Pengenceran terakhir yang masih positif
aglutinasi dikalikann dengan factor konversi 12.
Mis : titer 1:16 = 16 x 12 (IU/ml) = 192 (IU/ml).nilai RF serum
pasien secara kuantitatif.
Cat: Sensitivitas Produk ini adalah 12 IU/ml ketika sampel
diencerkanProsedur Semikuantitatif

Anda mungkin juga menyukai